Selasa, 29 Desember 2015

Milikmu bukan milikku

Dina mencoba untuk mencari uang disaat kedua orang tuanya pergi karena tugas ayahnya. Ia enggan ikut, dengan alasan kuliahnya yang tinggal 7 bulan lagi rampung. Ia diam saat memikirkan itu, saat semuanya sepi dia terpikir suatu hal. Mengapa tak mencoba menjadi pengasuh bayi saja? Barangkali ada yang minat dengan jasa itu? Selagi ada libur panjang sebelum sibuk dengan sidang. Ia mulai menyiarkan jasanya ke setiap penjuru ruang, mencari peluang baik. Siapa yang menyangka, usahanya memang diminati saat liburan panjang seperti ini. Dina akan pergi ke rumah seorang ibu dan juga suaminya, cukup jauh dari depan gang yang ia masuki tadi.
"Selamat siang, bu." Ia mengetuk pintu rumah yang sudah sedikit terkelupas kayunya. Warna cokelatnya agak pudar termakan zaman, sudahlah itu bukan alasan yang baik untuk menolak tawaran emas ini.
"Iya, selamat siang. Kau Dina Meswana, yang ada di ruang chat tadi?"
"Iya, benar bu. Kapan saya mulai bekerja?"
"Sekarang saja. Karena ibu dan bapak ada urusan ke kantor."
"Oh baik, hati-hati dijalan," ujar Dina, melambaikan tangan ke mobil orang tua itu yang lama kelamaan menjauh.
Dina menyadari bahwa rumah ini akan tak ramah dengan hatinya. Sepertinya pula, ia akan lebih sering meringkuk dipojokan jika seluruh pekerjaan usai sampai orang tuanya kembali.
Saat ia mengintip ke kamar, benar saja, anak si ibu tadi sedang tertidur manis. Baiklah, kubiarkan saja dan menonton FTV yang ada pada jam itu. Sudah hampir jam 6 sore, bayinya sama sekali tak menangis. Bulu kudukku mendadak merinding, saat kucoba memastikan bayi itu didalam kamar. Here it is! Seperti film horror, aku membayangkan sesuatu mengejutkanku saat pintu itu terbuka. Namun hening, tak ada sama sekali jejak apapun. Bayi si ibu menggeliat, sepertinya dia merasa dirinya lengket, kurang mandi, atau kurang makan alias lapar. Dia belum minum susu seharian ini kan? Kuracik segera susu yang kata si ibu ada di lemari makan. Kubersihkan botol minum dengan air hangat, dan setelah itu ya kubuat susu yang hangatnya pas. Aku tahu takarannya, maklum dulu aku juga sempat mengurus keponakanku. Sebentar, siapa yang menyalakan lagu tidur ini? Sepertinya suara ini berasal dari kamar bayi itu, akan kupastikan setelah mencabut kabel dispenser yang tadi kubutuhkan panasnya untuk menyeduh susu. Kudapati sebuah radio jadul, tapi dia sedang memutar kaset. Disitu aku mulai merasakan kejanggalan, aku merasa ini semua tak wajar. Sudah kurasakan sejak tadi siang, tapi daritadi kuanggap biasa saja.
"Apa-apaan rumah ini?" ujarku sedikit geram. Kuletakkan botol susu itu di dekat bayi untuk sementara. Sebelum kupastikan kaset tadi mati dan jendela kututup rapat. Takut bayi ini masuk angin karena hembusan dari luar cukup keras.
Saat kuberniat untuk membalikkan badan dan mendekati bayi. Kudapati semua berubah, semua terlihat usang. Tak seperti tadi yang kulihat, bercat putih dipadukan warna pink, dan sedikit tempelan dinding menambah kesan lucu dikamar bayi. Sekarang tidak, sudah kupastikan ini seperti rumah yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan.
Sudut kamar dipenuhi debu dan sedikit lumpur bercampur dengan dua bangkai tikus yang "mungkin" mati keracunan. Dinding menjadi kusam, warnanya sudah agak kecoklatan, namun tidak untuk tempelan dinding. Masih sama seperti yang tadi pagi kulihat. Aku melangkah mundur tak percaya, sampai akhirnya menabrak meja tadi. Botol diatas meja jatuh, dan saat itu pula tangisan bayi pecah. Aku terkejut, karena daritadi tak kudengar tangisannya. Kucoba untuk mendekati tempat tidur yang sekarang sudah seperti kasur reot yang habis dimakan rayap disudut kanannya. Tirai kelambunya juga sudah ada yang sobek, untuk ini aku tak tahu siapa yang merobeknya.
Benar saja, saat kulihat dengan jelas, kudapati bayi yang tengah menggeliat mengucek matanya. Aku sedikit lega, namun tetap tegang seperti awal saja. Kalau bisa setelah kuminumkan susu untuknya, aku akan segera keluar dari rumah ini.
Bayi itu kembali tidur, dan saat itu juga aku akan melarikan diri dari keadaan ini.
Namun, setelah kuletakkan botol susu dimeja bersama radio usang tadi, derap langkah seseorang terdengar. Ada di ruangan ini! Aku tak salah dengar! Suaranya seperti berlari dalam kamar, sekarang kudengar langkah anak kecil juga. Ikut berlari bersama langkah yang entah milik siapa tadi. Mereka berlari kearahku dan aku merasa terdorong ke dinding. Dan suara anak kecil mengatakan,
"Maukah kau ikut bermain?"
click clak! Sakelar lampu bermain, hanya sekali saja.
"Ayo main!" Anak kecil itu jelas didepan wajahku, menampakkan diri. Tak bisa kujelaskan bagaimana, yang pasti itu membuatku ketakutan luar biasa. Aku terduduk di pojokan, aku tak percaya ini terjadi. Saat ada kesempatan, kuputuskan untuk berlari sekencang mungkin keluar dari rumah.
"Aaarrrrghh!" Aku kesal dan berlari. Kubuka pintu rumah dan terjatuh tepat didepan pagar rumah. Seorang bapak dan pemuda menghampiriku.
"Ada apa dek?"
"Didalam pak, didalam ada setan."
"Jangan mengarang," ujar pemuda itu.
"Benar, pak! Kau harus percaya padaku,"
"Jangan mengatakan hal itu, sebaiknya kau pulang dan lupakan apa yang kau lihat." Bapak itu melihat serius padaku, lalu melempar pandangan ke arah rumah tadi.
"Biar kubantu bangun," ujar pemuda itu.
"Terima kasih," kataku yang masih tergopoh untuk bangun.
"Sebaiknya jangan kau ganggu anak ini, pulang sana. Pulang," ujar bapak tadi tenang, menatap lurus ke arah pintu rumah. Aku yang bingung, segera menanyakan ke pemuda tadi.
"Eh, memangnya bapak itu sedang apa?"
"Memisahkanmu dari anak dan ibu yang ada didalam rumah itu."
"Hahh!?" Aku yang terkejut hanya bisa pingsan. Dan aku tak menyadari sesuatu yang terjadi saat mataku terpejam. Namun, sesuatu membangunkanku, klakson mobil membuatku membuka mata.
"Sudah selesai, aku pulang."
"Tak bisa,"
"Kenapa?"
"Kembalikan anak kami yang kau bawa, dia milikku bukan milikmu" ujar bapak yang ada disitu.
Saat ku lihat ke belakangku, anak tadi mengejutkanku dengan senyumannya yang ngeri.

"Haaaaaaaa!!!!!!!!!!" Teriakanku memecah suasana tahlil malam itu. Pemuda yang tadi membantuku bangun, ada disisiku.
"Sudah bangun?"
"Ada apa ini?"
"Sedang tahlil,"
"Tahlil siapa?"
"Kau sudah menemukan bayi dan juga ibunya yang ternyata terkubur dalam kamar dirumah itu. Dan tadi, ibu dan bapak yang menjadi tersangka, sudah ditangkap polisi."
"Oh. Iya." Jawabku singkat, masih sedikit kurang percaya dengan keadaan.
Ternyata, orang yang membayarku untuk mengurus bayi itu hanyalah sepasang psikopat. Dan ingin menjebakku, dan dijadikan pelaku palsu untuk menutupi kasus dengan alibinya. Ibu dan bayi itu akhirnya bisa tenang. Tinggal anak kecil itu yang tak kuketahui asal usulnya.  Anak kecil? Dia siapa ya?

Shalat berjamaah terakhir bunda.

Seringkali aku berpikir sejenak, apa alasan ibu selalu mengeraskanku saat menyuruh sholat. Seperti biasa, aku akan menuruti semua perkataannya. Kutinggalkan seluruh gadget yang pada saat itu sedang ku pegang erat-erat, itu karena beberapa temanku menanyakan tentang pemeriksaan auditor atas laporan keuangan besok pagi. Aku belum menikah, karena memang usiaku masih muda, 22 tahun. Meski dibiarkan, diam-diam ibu selalu mulai membicarakan hal itu. Aku sibuk dengan pekerjaan kantor, inilah alasan yang sering kupakai untuk menutupi kejengkelanku atas pertanyaannya yang mengarah ke itu-itu saja setiap hari.
Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ibuku keluar dari kamarnya dan berjalan mengarah ke kamarku. Aku melihat samar-samar, karena sibuk dengan laptopku.
"Disa, sudah sholat isya?"
"Sebentar bu, Disa belum selesai buat laporang keuangan bulan ini."
"Sudah malam, nanti kamu ketiduran. Ayo sholat," ujar ibu terus-menerus, agak membuatku kesal sedikit.
"Sedikit lagi ini, bu. Sebentar yah, Disa matikan laptopnya," ujarku. Lalu kubangunkan badan ini dan berjalan lurus ke arah kamar mandi. Kutunaikan shalat isya, namun tetap menyalakan lagi laptopku, masih ada pendataan di neraca yang kurang tepat. Aku sesak akan hal ini, membuat aku hendak mati berdiri. Aku lelah, sejenak tertidur beberapa menit di atas laptopku, hari itu benar-benar membuatku tertekan. Ibu membangunkanku, dan menyuruhku pindah ke tempat tidur. Saat itu aku benar-benar enggan menolak melihat kasur, tapi aku ingat bagaimana wajah manajer jika besok belum semua selesai. Tapi kupastikan jam 3 nanti aku bangun dan meneruskannya.
Aku setiap hari berangkat pukul 7 pagi, dan pulang pukul 4 sore. Dan sudah terbayang apa yang akan selalu ada pada setiap notifikasi dan log panggilan ponselku?
Ya, ibu, dia akan selalu mengingatkanku untuk sholat wajib. Sesekali dia menyarankanku untuk sholat dhuha, namun kujawab dengan kata "iya","sdh bu." dan yang lainnya yang biasa orang lakukan saat kesal kepada seseorang. Tapi di waktu istirahat, saat kubaca lagi ruang obrolan aku dengan ibu, sempat terpikir betapa jahatnya aku menjawab seperti ini. Andai dia tahu, saat itu aku sedang sangat sibuk dikantor.
"Mah sudah masak?" tanyaku di whatsapp,
"Sudah, Disa. Kamu sudah makan siang?"
"Belum bu, aku masih harus mengerjakan tender baru."
"Jangan terlalu memforsir semuanya."
"Iya bu,"
"Sekalian ibu kasih tahu, jangan lupa sholat!" ketikan ibu cukup membuatku membayangkan bagaimana suara ibu kali ini dibenakku. Lupakan hari ini, aku akan bersikap biasa saat pulang nanti.
Tak lama bos memberitahu para karyawan bahwa ada cuti selama 5 hari. Dan selanjutnya, aku akan diam dirumah, sekalian aku akan temani ibu. Abangku pulang, dia memang sedang menjalani tugas di medan, kebetulan liburan menghampirinya pula.
Hari pertama libur, aku segera menjemput abang ke bandara, tentu ibu ikut. Wajah ibu sangat bahagia bertemu dengan abang yang sudah 5 bulan tak datang ke Jakarta. Kami akhirnya bersama-sama ziarah ke makam ayah, sekalian memberitahu bahwa abang datang disini. Heru Prakoso, seorang Lettu marinir yang baru menyelesaikan pendidikan 6 tahun silam.
"Bang, ibu minta kita jangan kemana-mana,"
"Jadi ke bandung gak jadi nih? Kita ajak ibu lah, Dis."
"Ibu gak mau, bang. Lain kali aja, ibu mau kita dirumah nemenin dia."
"Tapi besok abang ada temu reuni di SMA,"
"Sebaiknya, emang kita tetap dirumah bang. Dari pulang abis jemput abang, ibu keliatan pucat. Sudah 3 hari seperti itu."
"Yaudah, besok abang antar ibu ke dokter ya,"
"Iya bang." Kami pun menggagalkan seluruh rencana yang sudah tersusun sejak sebulan yang lalu. Biarkan kami berbakti sepenuhnya pada ibu diliburan ini. Dari arah dapur, kulihat ibu termenung di meja makan, sesekali tersenyum merespon abang yang tengah menceritakan tugasnya. Aku ikut ramai dan segera duduk diantara mereka. Sambil menyiuk nasi untuk ibu, aku merasa ada hal yang buatku sedih sekali. Apalagi saat memberikan piringnya, lalu kuabaikan perasaan itu dan kembali mengambilkan nasi untuk abangku. Doa dipimpin abang, kemudian kami makan dan mensyukuri rezeki hari ini. Seusai makan, ibu akhirnya membuka mulut dan mulai berbicara. Kala itu, aku merasa senang dan lebih lega.
"Kita harus sholat tepat pada waktunya. Jangan pernah melalaikan sholat sedikitpun," ujar ibu. "Berjamaah, itu kebiasaan ayahmu yang sangat ibu rindukan. Setiap kali pulang tugas, kami selalu sholat berjamaah dan mengajak heru yang berumur 4 tahun untuk sholat agar terbiasa nantinya." Sambung ibu. Aku tersenyum, dan abang menghampiri ibu, duduk disisinya, merangkulnya untuk menguatkan. Tiba-tiba ibu batuk keras, aku dan abang terkejut akan hal ini. Kugopoh ibu ke dalam kamar, dan membaringkannya di kasur. Abang menjaga ibu, dan aku pergi ke dapur untuk mengambil teh hangat. Sesampainya dikamar, ibu meminta abang untuk membantunya pergi ke mushola di belakang untuk sholat berjamaah.
"Tidak bu. Biar Disa dan aku yang sholat disini. Ibu berbaring saja," ujar abang membantu ibu duduk dikasur untuk minum teh hangat yang tadi kubawakan.
"Iya bu, biar Disa antar ibu ambil air wudhu. Ayo bang bantu," aku mengajak abang mengantar ibu ke kamar mandi. Lalu abang membaringkan ibu dikasur, aku yang bertugas memakaikan mukena ibu.
"Ushalli fardhu....." abang melafalkan niat sholat maghrib, dan aku merapihkan sedikit rambut ibu yang masih terlihat. Rakaat pertama sampai ketiga kami selesaikan dengan lancar, alhamdulillah. Aku sedang berdoa setelah sholat, dan abang masih keliatan berzikir. Ketika suasana sedang khusyuk, hening, suara batuk ibu cukup membuat kami terkejut. Abang menyadarkan ibu ke bahunya, dan aku segera membantu ibu untuk minum.
"Ibu, ayo bu. Ke dokter saja ya," ujarku sedih, karena keras kepala ibu yang membuatku menaikkan nada bicaraku. Aku tak mau sesuatu terjadi dengannya, kehilangan ayah cukup membuatku hilang pegangan hidup.
"Ibu, Heru antar ibu ke rumah sakit ya. Ayo, Dis, bantu abang."
"Jam berapa sekarang?"
"Jam setengah delapan, bu."
"Ayo kita sholat isya dulu,"
"Kita harus ke dokter bu, kali ini saja dengarkan aku bu,"
"Iya bu, sebaiknya ibu ke dokter sekarang," abang mendukungku, dan aku mencari baju hangat untuk ibu. Tapi ibu segera menolaknya, ia bicara sambil lemas terduduk.
"Ibu mau sholat isya berjamaah, nak." ujar ibu padaku. "Heru, pimpinlah sholat isya ini, ibu mau berjamaah. Bantu ibu duduk dikursi,"
"Ibu berbaring saja, kaya tadi bu."
"Ibu mau duduk, satu shaf dengan Disa." Akhirnya abangku membantu ibu bangun dan mendudukannya di kursi tepak disebelahku. Aku sedih melihat keadaan ibu saat ini, tapi aku tetap menahan tangisan. Aku bodohnya sedang membayangkan jika ibu... ah sudahlah.
Saat rakaat terakhir, ekor mataku melihat tubuh ibu mulai goyah. Tak terjadi apa-apa, aku bersyukur atas itu.
"Semoga ibu selalu bersama.." tubuh ibu menimpaku, jatuh tepat dipangkuanku sekarang.
"Ya Allah, bu. Ibu, kenapa ini,"
"Abang panggil ambulan dulu, Dis." Abang segera mengambil handphonenya, namun tangan ibu meraih tangan abang.
"Kau harus jadi imam yang baik, tetaplah amanah. Jaga Disa ya. Heru, anak kebanggaan ibu."
"Ibu.." ujar abang.
"Disa, jangan lupakan sholat. Jadilah wanita yang tegar yah, ibu pulang dulu." ujar ibu padaku, sambil mengusap pipiku. Lalu ia pejamkan matanya, tinggallah ia tertidur manis di pangkuanku. Tangisanku pecah kala itu, abang pun segera memeluk ibu. Ia terus menciumi tangan ibu, aku terus mencium kening ibu. Aku tak pernah menduga, sholat isya berjamaah ini sholat berjamaah terakhir ibu...
.
.
Aku sudah tinggal bersama tanteku, itu keputusan abang. Untuk sementara tinggal selagi abang menyelesaikan tugas di Medan. Tinggal dua bulan lagi, selanjutnya aku akan tinggal bersama dia. Dekat dengan makam ibu, di Magelang, dimana ayah dimakamkan disana. Aku sekarang merasa lega, tetap berdekatan dengan ayah juga ibuku... tenanglah kalian, aku akan selalu membanggakan kalian.

Sabtu, 05 Desember 2015

Karunia Cinta Suci

Hujan di akhir Desember ini menghantarkanku pada kerinduan berkepanjangan. Tak bisa kuwakilkan dengan apapun, cukup airmata yang bergulir di pipi, senyuman hangat, dan wajahnya yang kurindukan. Dia, karunia terindah yang Tuhan berikan untukku dan anugerah disepanjang jalan hidupku.
Aku, Saras Andari Triatmojo, lebih sering dipanggil Saras oleh teman-teman, karena lebih mudah saja, tak ada yang lain. Aku besar dikalangan kelas atas, aku anak seorang Letnan Kolonel Heru S. Triatmojo dan seorang ibu tangguh bernama Hani Nafisa yang keturunan Jawa tulen. Aku tentu mengalami bagaimana di didik disiplin dirumah oleh papa, dan mama yang akan selalu membelaku. Tapi ujung-ujungnya, aku akan segera merasa bersalah atas semuanya. Usiaku sudah menginjak 22 tahun, sudah lulus dengan predikat sarjana ekonomi terbaik ke-5 di salah satu Universitas di Surabaya. Aku lebih senang berkumpul dengan semua temanku sampai tengah malam, dan baru pulang pagi harinya. Bukannya mencari kerja, aku malah terus menghamburkan uang saku yang masih terus dipasok oleh papa. Kadang kalau sudah papa yang memarahiku, mama lebih memilih menggantikanku dan malah bertengkar dengan papa. Aku, akan menjadi penengah diantara mereka dan pertengkaran itu diakhiri dengan papa yang lebih dulu masuk ke kamar. Mama juga meninggalkanku untuk menyusul ayah dengan kalimat penutup,
"Mama doakan kamu cepat dapat jodoh, biar kamu tahu rasanya sulit mengurus anak seperti kamu, Saras."
Aku diam terduduk sendiri di ruang tamu, tapi tak kesepian. Ada ponsel yang kupegang untuk tetap berkomunikasi dengan teman-temanku yang mengantarku pulang tadi. Mereka anak orang kaya, dan aku merasa pantas bergaul dengan mereka karena pangkat papaku. Suatu hari, aku mengulang kesalahan yang sama dan papa segera menyisir keberadaanku dengan menyuruh bawahannya. Salah seorang pria datang dari arah pintu masuk bar. Aku dan ketiga temanku masih dalam keadaan tertawa, bersenang-senang, dan hal apapun yang kami inginkan. Dia sekarang berdiri disampingku, kebetulan aku duduk disofa paling pinggir.
"Malam, izin bertanya. Anda mba Saras?"
"Iya, kenapa?" sahutku yang masih duduk dan membiarkannya berdiri.
"Yahaha dipanggil mba, haha!" Tawa teman-temanku pecah, dan aku segera bangun, menarik lelaki entah siapa namanya itu menjauh dari mereka.
"Saya dapat perintah Letkol Heru untuk membawa pulang mba,"
"Saras aja sih manggilnya. Yaudah tunggu disini, gue ambil tas dulu." Segera kutinggalkan mereka yang masih asyik dengan minumannya  sedangkan aku pergi bersama lelaki yang kutahu harum parfumnya merk Bvlgari. Enak, tapi aku tak suka pria seperti dia, bajunya bebas tapi tetap kaku. Segera kuputuskan untuk naik mobil dan meluncur ke rumah. Dan dia menurunkanku didepan rumah, sudah ada papa yang berdiri disana. "Masuk, Saras." ujarnya dengan nada dan wajah yang datar. Aku hanya tertunduk lemas masuk ke dalam rumah, disana sudah ada mama yang mulai mewawancaraiku.
"Terima kasih atas bantuannya, Satria."
"Siap, komandan."
"Segera kembali ke barak,"
"Siap,"
Suara derap langkah lelaki tadi terdengar menjauh dari rumah. Papa masuk ke dalam rumah, sejenak menatapku, lalu berjalan mondar-mandir, dan mengusap rambutnya sambil menghela napas kesal.
"Lama-lama papa pusing liat kamu begini terus, Saras. Mulai besok, uang dan semua fasilitas yang ada papa tahan. Ma, ambil semuanya," perintah tegas papa membuat mama segera bergerak mengambil tasku. Disana sudah ada kunci mobil yang memang selalu kubawa kemana-mana, ada smartphone, dan dompet berisi kartu kredit juga debit milik pribadi.
"Ma, jangan semuanya dong," bujukku pada mama,
"Itu keputusan papa, mama bisa apa? Udah nurut aja, Saras. Hanya sebulan kok, gak lama."
"Kamu dirumah bantu mama, jangan kerjaannya hambur-hambur uang,"
Aku mengangguk saja, dan melihat mama menjauh bersama semua barang berhargaku yang dibawanya masuk ke kamarnya. Baru kali ini, aku menangis tersedu diruang tamu. Aku pergi dari kehidupanku yang biasanya, aku merasa sunyi tanpa semuanya. Dan entah apa yang terjadi dalam hidupku dalam sebulan ke depan. Bagaimana hidupku tanpa semua yang berharga, dan apa kata teman-temanku tentang hal ini? Aku enggan membayangkannya saat ini, segera kulangkahkan kaki ke kamar dan segera tidur. Berharap, ketika bangun pagi, aku sudah melewati masa sebulan itu.
Dihari ke sebelas, papa menganggapku sudah membaik dan segera ia melepaskan satu persatu barang berhargaku. Saat ini masih smartphone dan uang tunai sebesar seratus ribu saja, tak lebih. Dan ini akan menjadi pelarianku untuk sebelas hari keterlambatanku untuk hang-out dengan semua temanku. Tapi sialnya, lelaki yang kuketahui bernama Satria itu hendak turun jaga. Dan ia memanggilku yang sedang sibuk berlagak tak kenal dengannya.
"Saras,"
"I-iya, ada apa ya mas?" sapaku,
"Mau kemana malam begini?"
"Mau beli pewangi di depan,"
"Oh, minimarket di depan sana?"
"Iya, hehe. Saya duluan, mas."
"Oh iya silakan."
Akhirnya, dia melepasku juga dan aku akan dengan bebas datang ke mobil Andre yang menunggu di parkiran minimarket itu. Saat aku hendak masuk ke dalam mobil Andre, ternyata sudah ada Satria yang berdiri di belakangku. Dengan seragam yang masih ia kenakan, dia meminta waktu untuk bicara padaku.
"Apa lagi sih?"
"Bapak menelepon saya untuk menjemput mba di minimarket,"
"Hah?" Aku bingung, kenapa ayah masih mencurigai tindak-tandukku diluar rumah.
"Pasti lu yang bilang ke papa kan kalo gue mau main sama temen-temen?"
"Ngga, mba. Saya memang dihubungi sama bapak tadi pas mba jalan ke luar gerbang."
"Halah, basi!" ujarku enggan bicara lagi padanya, kami berdua akhirnya berjalan kaki. Sudah kubilang, tak usah menemani sampai rumah, tapi dia selalu bilang ini perintah bapak. Aku kesal, kupikir dia hanya penjilat yang ingin dekat dengan papa saja, mencari pamor. Tak lama papa menyapaku dengan gelengan kepala dan decak kagum ayah terhadap tingkahku yang sudah keterlaluan.
"Duduk," ujar papa padaku,
"Satria, kau duduk juga. Silakan," sambungnya. Dia pun duduk di kursi satu lagi, dan letaknya tak jauh dari posisiku duduk.
"Sudah papa putuskan, kau dan Satria akan papa nikahkan! Papa akan urus semuanya, dan Satria, segera urus lampiran yang diperlukan. Ajukan besok ke kantor, paling lama sebulan kemudian, sidang akan dilakukan."
"Tapi pah, kenapa gini sih?"
"Kamu susah diatur sama papa selama ini,"
"Tapi pah,"
"Masuk ke kamarmu, ada mama disana,"
"Ish,"
Mulai saat itu, aku benci dia, segala sesuatu yang berhubungan dengan Satria, aku enggan peduli! Aku segera memeluk mama yang duduk dikasurku, dia mengusap rambutku. Dia menasihatiku untuk menuruti saja apa yang papa putuskan. Karena itu adalah pilihan yang terbaik untukku, dan mama, orang yang kupikir memihakku, malah menyetujui pernikahan itu. Jadilah aku yang menangis semakin keras, dibantu dengan hujan yang turun deras secara mendadak.
"Tidur, nak. Pikirkan semuanya, timbang baik dan buruknya. Semua akan baik-baik saja. Percaya,"
"Iya mah," jawabku lemah. Aku bingung harus berkata apa, sebulan setelah hari esok adalah sidang pengajuan pernikahan. Tuhan, bantu aku untuk ikhlas menjadi seorang istri prajurit. Aku tak mau sebenarnya mendapat calon suami yang seorang prajurit TNI.
Rasa panikku membuat waktu bergulir dengan cepat. Mama membawakanku baju stelan berwarna hijau muda yang sering disebut baju persit. Aku sebenarnya malas bertemu dengan lelaki yang bernama Satria itu. Tapi walau bagaimanapun, perintah papa adalah hal yang wajib ditaati. Mama mengantarku dengan motornya menuju ke kantor untuk melakukan sidang. Disana sudah ada Satria yang lengkap dengan Pakaian Dinas Harian (PDH) dan baret merah yang ia kenakan saat itu. Segera kuturun dari motor dan berjalan sedikit cepat ke arah Satria.

"Sini," kubisikkan dia,
"Ada apa?" sahutnya menghampiriku yang berbicara pelan.
"Ada perjanjian yang mesti kita buat. Kau dan aku hanya sebatas teman, dan kau hanya bertugas untuk mempercayaiku saja. Oke?"
"Baiklah. Terserah kamu, Sar."
"Baiklah, terima kasih Satria." Aku sekarang siap untuk sidang, aku mulai percaya padanya karena setiap senyumannya mengirimkan kode padaku untuk percaya pada setiap ucapannya. Aku menyukainya, aku memang suka dengan lelaki yang bisa dipegang setiap janjinya.
Urusan pernikahan kantor, sudah selesai dengan mudah. Dan saat keluar ruangan, entah apa yang kupikirkan. Saat Satria mendekatiku, jantungku mulai berdetak tak menentu. Aku memeluknya, dan kulihat dia menengok ke semua arah, entah apa yang ia pikirkan. Tak lama, satu kecupan dikeningku menghasilkan deheman dari mama yang baru datang entah dari mana.

"Ayo, jadwalmu masih banyak."
"Aku pergi dulu, mas."
"Iya, hati-hati," ujarnya, kujawab ia dengan senyuman hangat yang kusediakan dan kukeluarkan dengan maksud apa, aku tak tahu.
"Ibu pinjam Sarasnya dulu ya,"
"Oh, siap bu."
Dia masih berdiri disamping motor, aku masih melihatnya jelas sampai saat itu. Namun saat motor mulai beranjak, jarakku padanya mulai terbentang. Rasa enggan terputus pandangan pun sudah mulai terasa, aku belum bisa menyebut ini cinta. Mungkin rindu, untuk masalah ini akan kuhilangkan dengan sering bertemu dengannya. Tapi kata mama, aku dan dia mesti dipingit, biar "pangling" katanya. Biasa, mama dan papa ku masih menganut paham orang dulu yang hampir jarang ditemukan paham seperti ini di jaman sekarang.
Ibu dan aku segera pergi untuk melakukan kegiatan selanjutnya, tentu saja pengrekrutan anggota persit baru. Aku merasa bahagia saat ini, aku bingung dengan perasaanku sekarang. Semua berlalu dengan indah, dan bergulir dengan lancar sampai acara resepsi dan pedang pora usai. Aku dan Satria menempati sebuah rumah tinggal sementara, memang tak begitu besar tapi cukup besar untuk kami yang masih tinggal berdua. Sudah seminggu kami menempatinya, dengan rasa nyaman dan aman.
Malam harinya, mama dan papa mampir ke rumah baruku yang masih butuh sentuhan kreatif dari tangan kami. Kami berbicara akrab, tertawa sesekali karena Satria yang humoris. Mama dan aku menyediakan makanan ringan untuk di santap di ruang tamu.
"Kamu bahagia dengannya?"
"Iya, mah."
"Kamu sudah..."
"Aku belum siap untuk itu, mah. Aku bawa teh dulu ke depan ya, mah."
"Oh iya. Ayo bareng mama aja,"
"Iya,"
Aku tahu akan kemana pembicaraan mama menjurus, aku enggan membahas itu dulu. Aku dan Satria tak akan saling menyentuh satu sama lain. Paling tidak, hal seperti peluk, cium kening, dan mencium tangannya setiap dia bekerja, sudah kulakukan sejak kita resmi menjadi suami istri. Dia memegang teguh perjanjian yang kubuat waktu itu. Mama dan papa memutuskan untuk pulang, dan meninggalkan senyuman pada kami yang berdiri didepan pagar.
"Minum mas tehnya, aku udah buatin loh,"
"Iya, diminum ya tehnya," ujarnya sambil melempar senyuman padaku. Aku duduk dikursi, dan menatapnya yang memakan singkong goreng yang ku sediakan tadinya untuk tamu terhormat pertama yang singgah dirumah baru kami. Kami memutuskan untuk sholat isya berjamaah dan selanjutnya tidur karena waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB.
"Besok kamu ada kegiatan apa?" tanya Satria santai berbaring disebelahku. Tentu dengan kaus putih yang ia padukan dengan bawahan piyama berwarna biru.
"Mama bilang, kegiatan besok itu makan siang bersama ibu-ibu persit dan yang lainnya," jawabku sibuk merapikan meja yang berada di sisi tempat tidur. Disitu banyak novel yang sengaja kuletakkan disitu untuk membuatku mengantuk setiap malamnya. Aku menyusulnya berbaring disana, di sisi kanan Satria.
"Kau jangan macam-macam ya," ujarnya mematikan lampu meja di sisi kiri tempat tidur.
"Yang ada kau yang kuingatkan, jangan macam-macam." Kulempar bantal ke wajahnya dan mengambil novel untuk membantuku tidur.
"Mata kamu rusak kalau baca kaya gitu,"
"Biar aku ngantuk mas,"
"Yaudah, aku tidur duluan ya,"
"Iya," kusenyumi dia yang sekarang membelakangiku. Kantukku malam ini dua kali lipat, karena tadi siangnya kami mesti memindahkan posisi lemari sesuai apa yang kuinstruksikan, agar terlihat lebih luas kelihatannya.
Subuh sekitar jam 4 pagi, aku sudah menjauh dari novelku dan selimut sudah membalut ditubuhku. Satria sudah tak ada di sampingku, kudengar ada suara dari dapur. Dia ingin membuat makan untuk sahur.
"Kenapa gak bilang, mas." ujarku sambil mengikat rambutku dan berdiri disampingnya.
"Tidurmu nyenyak tadi. Aku gak enak bangunin kamu," katanya. Dia langsung menghentikan masaknya dan mengajakku ke kamar lagi. Dia menidurkanku di tempat tidur dan menyelimutiku seperti tadi.
"Kamu tidur ya," ujarnya mengecup keningku,
"Iya,"
Dia segera meninggalkanku dan aku hanya bingung dengan sikapnya. Aku bosan, tak bisa tidur, kuambil handphone milik Satria dan kucoba cari tahu tentangnya. Aku kan sekarang istrinya, bebas untukku mencari tahu tentang suamiku bukan?
Kulihat artikel yang baru ia baca, dan sedikit mengejutkanku. Disitu tertulis "8 cara melawan hawa nafsu syahwat." Dan poin ke 7 adalah dengan menunaikan puasa sunnah. Aku mengunci layar handphone-nya, karena kedengarannya dia melangkah ke kamar.
Sudah sebulan juga aku menjadi istrinya, kuputuskan meminta ijin untuk pergi berkumpul dengan teman-temanku. Aku teringat dengan Rio, aku menyukainya dari dulu. Tapi sayang, Satria yang diizinkan oleh orangtua untuk menjadi suamiku. Di cafe, saat Satria sedang ke toilet, Rio datang dan dia membawa dua wanita dalam pelukannya. Aku tak percaya menatap tingkahnya yang seperti itu.
"Eh ada istri komandan," sapa Rio tak ramah, terdengar seperti mengejekku.
"Apa maksudnya?"
"Iya, kan lu udah dapet penjagaan ketat dari apa tuh kesatuan baret merah?" tanya Rio pada kedua wanita yang masih dipeluknya.
"Kopassus, mas." ujar salah satu diantaranya.
"Ya itu dia. Ibu persit, mau minum apa, biar saya traktir. Atau mau aku saja yang melayani?"
"Kurang ajar!" Kutampar dia dengan kencang, kuluapkan emosiku pada tanganku, yang akhirnya berbicara. Aku berlari keluar cafe, meninggalkan Rio yang setengah mabuk dan mengatakan seperti itu. Seseorang mendekatiku, dia Satria yang datang mengenakan jaket kulit hitam dan membantuku berdiri.
"Bawa aku pulang,"
"Kau sudah sele.."
"Kita pulang, mas." Aku berjalan menuju mobil dan disusul dengan Satria yang sudah kuberitahu untuk tidak menghajar Rio yang berada didalam cafe. Sesampainya dirumah, Satria memelukku ketika tangisanku pecah dikamar. Aku mengata-ngatai Rio sampah, dan Satria terus memelukku dan membiarkan kaus berwarna merah dengan plat abu-abu itu basah terkena air mataku.

"Aku akan menuruti apa yang kamu mau, aku lepas perjanjian itu. Kupikir Rio akan lebih baik darimu, nyatanya tidak!" Kubentak Satria yang tak salah apa-apa, aku hanya meluapkan emosi bukan memarahinya.
"Sabar, maafkan aku ya yang memutuskan untuk menerima saran ayahmu,"
"Bukan salahmu!" Tangisanku makin keras dipelukannya.
"Saras? Ini Saras yang sering kabur itu bukan? Yang sering marah kalau kujemput karena disuruh ayahmu?" Ucapannya membuatku menghentikan tangisan sejenak.
"Memangnya dia sering menangis gini? Loh, kukira dia wanita kuat," sambungnya. Aku tersenyum melihatnya, dan dia menyeka air mataku.
"Aku ngantuk sekarang,"
"Tidur yuk, cuci muka dulu sana."
"Harus sendiri?"
"Ayo aku temani," dia menemaniku ke kamar mandi dan menjemputku saat akan ke kamar. Malam itu terlalu indah untukku, tak bisa kujelaskan dari mana atau yang mana. Sepertinya kalimat pun tertunduk tak mampu mewakilkan kebahagiaan malam itu, malamku dengannya. Satriaku.
Setahun terakhir, ku lalui dengan tenteram sebagai pengantin baru yang sesungguhnya. Apa dayaku yang harus sabar dengan keadaan, Satria mendapat surat perintah penugasan. Aku sudah seharusnya memahami dari awal, bahwa aku siap menerimanya dipindahtugaskan kemana saja.

"Sulawesi? Itu jauh, mas," kataku sambil menyeduh susu dan menyiapkan roti untuknya.
"Iya, aku dapat surat perintah itu tadi. Aku sudah bicara dengan ayahmu, menitipkanmu padanya,"
"Diminum susunya, mas. Oh iya, untuk berapa lama?"
"Enam bulan, dek. Maaf,"
"Untuk apa?"
"Aku minta maaf saja. Maafkan aku," dia memelukku erat. Entah apa yang akan dia sampaikan, tapi kali ini aku merasakan kehangatannya.
"Kumaafkan,"
"Aku berangkat dulu ya," kucium tangannya. Dan aku berjalan ke depan kantor bersama ibu persit lainnya untuk melepas para suaminya bertugas. Perasaanku mendadak tak enak, dadaku sesak, dan kutahan dengan senyuman saat truk yang membawanya mulai berjalan, dan menjauh dari pandangan.

Enam bulan bukan waktu yang sebentar, apalagi aku baru menikah dengannya setahun lebih. Apalagi aku sedang mengandung buah cinta kami yang berusia 7 bulan. Aku tak merasakan kerinduan, namun kesedihan terus datang. Tapi mama selalu bilang, mungkin itu bawaan bayi atau apapun itu. Dan itu sudah kubiarkan mengusik hidupku selama tiga bulan. Baiklah, tinggal tiga bulan lagi, dan dia akan datang memelukku dan bermesraan seperti setahun terakhir yang indah di hidupku. Seusai sholat ashar, kuputuskan untuk membuat makanan seadanya untuk makan. Kebetulan mama tadi pagi menemaniku berbelanja di pasar.  Saat didapur, kudengar pintu rumah terketuk, entah siapa yang ada dibaliknya. Dengan langkah yang berat, kubuka pintu. Serda Sapta ditemani oleh Bu Dwi, utusan persit, mengajakku untuk berbicara di teras.

"Dengan berat hati, saya sampaikan..." ujar Serda Sapta dan mulai memberitahuku tentang kabar Mas Satria disana. Dia tertembak di dalam hutan oleh orang tak dikenal. Namun sekarang sedang ditangani oleh tim medis.
"Ya Allah," Aku segera jatuh tersungkur, entah apa penyebabnya tapi tubuhku langsung lemah dan perutku mulai kontraksi. Bu Dwi membantuku bangun, dan menyuruh Serda Sapta untuk memanggil bantuan pada orang yang ada disitu. Aku tak peduli keadaan sekitarku saat itu, yang pasti saat kudengar kabarnya tadi, hatiku remuk seketika. Aku tak tahu keadaannya yang sebenarnya, tapi kupastikan ia mendengar bisikan hatiku.
"Bangun, Mas. Bantu aku bertahan disaat seperti ini. Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri! Aku belum bisa hidup tanpamu, mas." Kuteriakan suara hatiku, agar dia segera merasakan apa yang kusampaikan.
"Kau alasanku kuat sampai saat ini. Kumohon, jangan pergi lebih dulu," Aku sudah berbaring di rumah sakit, dan aku tak merasakan apapun saat itu. Aku hanya merasa, dunia hening, pandanganku samar, kuucapkan namanya sebelum kupejamkan mata dan hilang kesadaran.
Dua hari kemudian, aku baru sadar dari pingsanku. Disana sudah ada mama dan papa yang menemaniku di ruang ICU. Kulihat, pasien baru masuk ke dalam ruangan ini, dan disebelahku.
"Bayimu ada disini," kata mama menunjuk kotak mungil yang berada di dekat meja perawat. Aku tersenyum, kubangunkan tubuhku untuk memastikan bayiku ditempatkan ditempat yang nyaman.
"Satria, mah." Kutangisi dia yang kucinta, mama memelukku dengan nyaman. Papa juga kulihat menyeka air matanya yang tak sengaja mengalir. Perawat membawa bayiku dan Satria, dan meletakkannya pada dekapanku.
"Satria, anak kita." Aku menahan tangisan dan mengubahnya menjadi senyuman hangat untuk anakku tercinta.
"Itu dia," kata papa dan kutolehkan ke arah yang papa tunjukkan. Dia Satria! Segera ku bangkit dari pembaringan, dan menghampiri Satria yang masih tertidur manis dengan oksigen yang menempel. Kupanggil namanya, dan ku letakkan Rafa disebelahnya. Kuambil dan kupelukkan tangan Satria ke tubuh mungil Rafa, kubiarkan dia merasakan menjadi ayah meski keadaannya seperti ini. Aku menahan tangisan, dan membisikkan azan untuk Rafa dengan tangan Satria yang kuletakkan diatas kepalanya.
"Drrt deerrt," terdengar suara aneh dari alat yang menempel di tubuhnya. Segera kugendong Rafa, dan menjauh darinya. Lagi. Kulihat tim medis membantunya untuk tenang, tubuhnya kejang, dan tak tega melihat keadaannya seperti itu.
Aku memilih untuk tidak mengetahui kabar tentangnya dulu untuk saat ini.
.
.
.
Desember, bulan yang ku catat sebagai bulan pelepasanku atasnya. Rafa, hadiah terindah yang ia berikan untukku sebelum pergi semakin menjauh dariku. Sejak pendarahannya malam itu, kupikir dia akan kuat seperti biasa yang ia lakukan dilapangan. Makamnya di sirami bunga mawar segar, dan kusenyumi pusaranya dengan nisan berwarna putih.
Aku mengikhlaskannya pergi, dan kubiarkan dia bahagia dengan pahlawan lainnya dengan gugur dalam medan tugas.
Setahun sudah kepergiannya, aku sibuk mengurusi Rafa. Untuk masalah pengganti Satria, itu menjadi urusanku nanti. Aku belum berpikir untuk mengganti pemeran utama dari dramaku.
Terima kasih sudah menjaga kesucian cinta yang kita ikrarkan dulu. Terima kasih sudah menjadi karunia terindah yang kumiliki. Terima kasih sudah membawaku untuk melangkah menjadi wanita yang lebih berguna di bumi ini. Terima kasih juga sudah menjadi prajurit terbaik untuk negara, untuk keluarga, untuk Rafa juga untukku. Terima kasih banyak, Satria.
Dari aku, yang tak berhenti tuk selalu merindukanmu, Saras.

Kamis, 03 Desember 2015

Aku dan Kenangan Senja

Tiga tahun yang lalu, aku berdiri di sini dalam keadaan menggenggam tangan seseorang. Seseorang yang pergi lebih dulu dari sisiku ke sisi orang lain. Perjuanganku seakan dianggapnya sebagai sebuah perjuangan yang tak ada artinya. Padahal jujur saja, aku mengusahakannya dengan sepenuh hati ini mengharapkannya. Tapi biarlah, memang itu keinginannya, apa harus aku memaksakan kehendakku? Sedangkan keadaan telah menasihatiku untuk lekas pergi dan jangan berharap pada waktu untuk meminta bersamanya.

Aku, Mahesta Rahardi. Aku biasa di panggil Esta, dan di panggil abang dengan ketiga kakak perempuanku. Mereka sudah menikah semua dan sekarang posisiku adalah seorang om tunggal itu karena aku adalah anak lelaki satu – satunya. Sudah setahun yang lalu aku menjadi seorang mahasiswa di sini. Dan sudah cukup pula aku mengenal beberapa teman yang menemaniku saat ini. Mereka menghiburku dan membantu melupakan seseorang itu, seseorang yang kuharapkan tepat empat tahun yang lalu.

---

Siang itu, terik matahari sedang menyoroti bumi. Keringat terus membasahi baju olahraga ku sampai sempat terpikir apa matahari sedang menyorotiku saja? Waktu pertandingan semakin dekat, dan tim futsalku semakin sibuk pula melatih fisik. Walau hanya membawa nama kelas, rasa ingin tampil membela tim sendiri membara di dadaku. Break! Itu kata – kata pelatih yang kutunggu semenjak tadi. Botol minum dengan label yang masih menempel itu seakan melambaikan kesegarannya padaku. Sama dengan wanita yang daritadi menunjukkan pesonanya dihadapanku. Rambutnya terurai lepas dan mengikuti setiap kibasan tangannya untuk sesekali merapikan rambut. Aku baru melihatnya, wajahnya asing, juga senyumnya.

“Pir, dia anak kelas berapa?” tanyaku pada Firman, sahabat karibku.

“Dia? Dia yang mana? Rima maksudnya? Dia anak kelas kita,” jawabnya,

“Oh ya? Kenapa aku baru lihat dia? Wajahnya asing,”

“Memang. Dia kan baru saja masuk, dia baru selesai ikut persiapan lomba KIR tahun ini di Surabaya,”

“Ooooo...hebat ya,” jawabku tersenyum dan menyisakan senyuman itu pada pemandangan jauh disana. Ia mendekat dan tersenyum padaku. BODOH! Seharusnya jangan mengarahkan pandangan kesana lagi. Tapi tenang, aku berhasil menangkap senyumnya yang mencoba menggodaku untuk tetap menatapnya. Untung aku anak yang kuat, tapi tak janji akan tetap bertahan jika ada senyuman indah itu menari lagi dihadapanku.

Dikelas, dia tampak lucu dan menggemaskan kala ia tertawa ramah dengan Firman dibangku belakang. Aku menatap sesekali, ku telaah lagi dari sudut pandang lain dan sejenak lupakan senyuman indahnya. Gayanya tak terlalu feminim tapi masih terlihat kewanitaan, sepatu cats putih dengan kaus kaki berwarna abu membungkus kakinya yang terlihat tak terlalu kecil juga tak terlalu besar. Rok abu – abu yang panjangnya ideal yaitu dibawah lutut membuatku semakin kagum padanya. Dan satu lagi, ia akrab dengan anak – anak lelaki di sekolah, dan itu adalah celah yang akan kucoba untuk mendekatinya. Sore hari pun tiba, bel pulang sekolah juga nampaknya sudah seperti alunan merdu nan indah yang dirasakan oleh seorang siswa, itu aku. Firman menghampiriku selepas piket, sengaja ku tunggu karena Rima juga belum pulang. Nyatanya ia tak bersama Rima, wajahku kebingungan merasa waktuku terbuang percuma menunggu orang yang sudah pulang.

“Pir, Rima kemana? Mestinya kan dia bareng pulangnya sama kamu?” tanyaku sambil mencoba melihat ke arah kelas, siapa tahu dia masih ada di sana.

“Dia udah pulang bareng Juple, Endah, Rian sama siapa lagi ya? Lupa,” jawabnya,

“Emangnya kemana mereka?” tanyaku kembali sambil berjalan ke arah parkiran motor,

“Mereka mau nonton konser,” jawab Firman. Apa? Rima, orang yang aku suka itu doyan nonton konser. Tidak ada yang harus disalahkan, ini hanya sekedar respon terkejut saat mendengar sesuatu yang asing kulakukan.

“Oooh, futsal jadi kan?”

“Iya malem. Nanti aku jemput, sampai nanti.” Firman jalan lebih dulu sedangkan aku masih bingung dengan apa yang ku ketahui tentang Rima tadi. Aku pun segera pulang ke rumah, dan kejutan! Ayah pulang dari tugasnya di Padang, dan membawa beberapa oleh – oleh untukku dan tentunya sebagian untuk keempat keponakanku yang masih tampak lucu dan imut ini.

Kebetulan kedua kakakku juga mampir ke rumah, jadi aku tak usah repot mengantarnya. Ayah selalu begitu, ia selalu menjadikanku supir pribadinya sekaligus pengantar paket. Ya sudah, biarlah, ini tugasku dan aku suka ia masih perhatian padaku. Ibu sudah menyiapkan masakan spesial untuk menyambut kedatangan ayah, anak – anaknya dan juga cucu-cucunya. Kami pun menghabiskan makan sore bersama, suasana hangat terasa sampai ke semua sudut ruangan di rumah. Selepas makan sore, aku memutuskan untuk menemani kedua keponakanku. Kebetulan adik mereka sedang tidur pulas setelah meminum susu. Hanya sekedar bermain mainan mereka yang sengaja di bawa dari rumah mereka untuk mengisi waktu. Jadilah ruangan ini layaknya kapal pecah, berhamburan tak tahu arah. Sejam kemudian, Firman datang menjemputku untuk pergi futsal, tapi ia malah mendapat hadiah ceramah dari ayahku. Jadilah malam itu, kami tetap di rumah dan tak ada kegiatan futsal sesuai yang tadi siang sudah kami rencanakan. Lupakan tentang malamnya kami yang gagal keluar main, dan sekarang tentang caraku keesokkan harinya.

“Esta! Buruan sih, lama banget. Kalau bangun bisa gak pake kesiangan?” ujar Firman kesal di halaman rumah, aku masih terduduk sambil tertawa.

“Maaf maaf, kan aku baru selesai sarapan. Lagian bukannya ikut sarapan,” jawabku sambil mengikat tali sepatuku, tapi Firman masih berusaha mengacuhkanku. “Udah!” aku segera pergi ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, suasana masih terasa biasa sampai kedatangannya mengubah suasana pagiku. Rima datang membawa sejuta rasa yang sampai saat ini membuatku bingung menebaknya. Firman menyapa Rima dibangkunya, dan aku hanya melihat dari kejauhan. Siang harinya, kuputuskan untuk bergabung dengan Rima dan yang lainnya. Tampaknya dia biasa saja begitu mulai bicara denganku. Firman hanya tersenyum melihat tingkah bodohku yang terus mencoba mendekatinya dengan obrolan yang kurang penting. Tapi menurut ku inilah usahaku untuk mendapatkannya. Sepertinya dia masih biasa saja, aku mendadak kesal dan memilih beranjak dari sana. Firman mengikutiku ke kantin, dia merangkulku sambil berbicara beberapa hal.

"Kamu ngapain?" sahut Firman,

"Deketin dia. Emangnya kenapa?" tanyaku kembali, “lu suka juga sama dia?” sambungku sambil menyedot teh yang sudah ku pesankan,

"Bukan itu maksudku, tapi Esta.."

"Ssshht, udah jangan berisik. Mending makan aja baksonya," ujarku memotong pembicaraan Firman.
 
Aku malas mendengar ucapan Firman selanjutnya, takutnya itu membuatku mundur untuk mendekati Rima. Akhirnya kami berdua pun kembali ke kelas, di sana sudah ada Rima dan seorang pria dari kelas lain. Duduk di kursi Firman dan berbicara intim berdua saja, semoga tak lebih dari itu seperti apa yang kupikirkan.

"Firman, kamu duduk di sana sebentar ya. Aku mau bicara sebentar sama dia," ujar Rima dari kursinya sambil menunjuk ke arah lelaki itu.

Kesal? Jelas. Aku punya perasaan, tapi apa harus aku memberitahukan perasaanku dengan menghajar lelaki itu? Hah, terlalu jauh berpikiran seperti itu. Saat guru mulai masuk ke dalam kelas, lelaki itu keluar dan senyuman Rima padanya begitu spesial. Tak seperti senyuman yang ia berikan padaku, senyuman yang biasa ia bagikan pada semua teman - temannya. Sepulang sekolah, aku memberanikan diri untuk mengajak Rima pulang bersama.

"Rima, pulang bareng yuk!" sahutku pada Rima yang masih membereskan bukunya ke dalam tas. Ia menolehkan padangannya padaku,

"Oh, Esta. Iya, tapi aku mau ketemu sama orang," ujarnya,

"Yaudah sekalian aku antar. Ayo,"

"Iya," kami berdua pun pergi ke parkiran. Ia tak tahu perjuanganku mendapat pinjaman motor dari Firman. Kali ini aku memang terbantu dengan adanya pinjaman motor itu. Untuk pertama kalinya aku mengajaknya pulang bersama, dia memegang jaketku saja.

‘Hanya jaket? Dia pikir aku supir ojegnya apa?' pikirku, tapi mungkin ini tahap awal jadi aku harus banyak - banyak bersabar sedikit saja. Dari hari itu, aku dan dia sering pulang bersama. Dan aku mulai mendapatkan izin untuk setiap hari mengendarai motor ke sekolah. Aku semakin dekat dengannya, dan sepertinya ini akan mempermudahku untuk menyampaikan perasaanku terhadapnya. Rima, masih jadi wanita satu - satunya yang membuatku gila dan sering bertindak bodoh. Sampai akhirnya, waktu yang tepat pun datang. Aku mencoba membuat suasana seakan romantis dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan.

"Rima, kamu suka diam di taman?"

"Iya, udaranya segar. Aku sering di sini kalau di rumah sedang sendiri,"

"Emang ngapain aja?"

"Sekedar bermain dengan anak kecil yang tinggal bersebelahan denganku. Atau belajar juga lebih asyik disini," ujarnya tersenyum padaku. Wajahnya kenapa cantik begini?

"Oh, kamu tahu? Kenapa aku ada di sini, menemanimu?" tanyaku,

"Aku tahu. Memangnya kenapa?"

"Oh. Jadi kamu sudah tahu. Aku menyukaimu sejak kamu pulang dari Surabaya. Sejak sering lalu lalang di depan mataku. Sering berbicara dan saling balas senyum," ujarku memberanikan diri dan menyembunyikan rasa maluku. Wajahnya tak terlihat karena terhalang rambutnya, tapi ia tak mengangkat wajahnya sama sekali.

"Rim?" kucoba memanggilnya, dan akhirnya ia mengangkat wajahnya.

"Esta, bisa kita jalan - jalan. Jangan di sini," ujar Rima, permintaannya kukabulkan. Kami beranjak ke sebuah tempat makan yang biasa kami datangi. Sekarang aku menunggu jawabannya, aku memesan makanan untuk kami berdua. Ia mengajakku bicara dengan asyik, kami tertawa dan sejenak melupakan perkataanku tadi di taman. Selepas itu dia mengajakku pindah ke belakang tempat makan itu. Di sana memang ada pemandangan.

"Hahaha, Esta?" Rima memasang wajah serius kali ini dan baru kusadari barusan,

"Iya? Ada apa?"

"Jangan pergi," ujarnya, menggenggam tanganku. Aku berdiri tepat di sisinya,

"Ke-kenapa?"

"Sebenernya, aku suka sama kamu. Tapi aku saat ini gak bisa sama kamu, makasih juga buat semua perhatian kamu selama ini. Aku bingung ganti semua perhatian kamu," ujarnya, jelas mataku hanya bisa membulat.

Jantung berdegup kencang, seakan tak terima, tubuhku ingin beranjak darinya. Tapi ia semakin memeluk tanganku dan kini ia menyandarkan kepalanya. Aku hanya bisa diam dan memilih tak banyak bicara, sampai aku mengantarnya pulang ke rumah.

Waktu sedang mencoba menasihatiku untuk tidak melakukan apapun lagi untuknya. Perasaanku mulai pudar saat aku mendengarnya ingin pergi ke sebuah konser, dan kebetulan ia memang suka dengan itu. Suatu waktu, aku memberanikan diri untuk berbicara pelan padanya. Sedikit menasihati untuk tidak terlalu sering menghadiri konser musik. Pandanganku sudah diubahnya menjadi sekedar teman biasa, tak lebih.

"Rim, mau tanya dong," ujarku,

"Hmm?" sahutnya sambil merapikan bakso yang ia sudah masukkan ke dalam mulutnya,

"Kata Juple nanti ada konser di Senayan, kamu ikut?" ujarku memancingnya,

"Iya, aku udah beli tiketnya. Ada band yang aku suka, Esta. Kamu mau ikut juga?" tanyanya, nampaknya dia sangat antusias saat membicarakan itu,

"Sebaiknya sih, menurutku ya. Jangan terlalu sering pergi nonton gitu, apalagi kan kamu perempuan. Gak baik lah,"

"Oooh, masalah itu. Aku bisa jaga diri kok. Tenang aja Esta," jawabnya dengan santai, sedangkan aku serius menyampaikannya.

Berharap ia akan berubah, nyatanya dia tetap dengan kebiasaannya seperti itu. Aku tak bisa membuat peraturan dihidupnya, karena aku bukan siapa - siapanya. Dia bukan kriteriaku, aku sadar mungkin aku orang yang pemilih dan terlalu protektif dengan orang yang ku suka.

Kedua, ada juga hal yang membuatku benar - benar mengurungkan niatku untuk menyukainya. Sejak saat itu aku sudah sedikit menutup diri darinya dan berhenti mendekatinya lagi. Di tambah dengan mendengar berita tentang dia yang telah menjadi pacar lelaki yang kebetulan sering kulihat berbicara dengannya saat istirahat dan saat kelas tak ada guru. Aku tahu jelas berita itu dari Firman kemarin sore,

"Esta! Es! Esta, woy! Udah dengar berita ini?" teriak Firman dari belakang,

"Oy? Ada apaan emangnya?" jawabku menoleh padanya,

"Rengga, dia jadian sama Rima. Kemarin aku dengar waktu futsal, kamu gak ikut. Rima datang ke tempat futsal kita," ujar Firman.

Jujur saja sedikit kaget, tapi tak bisa bohongi diri, perasaanku sudah biasa saja sekarang. Perasaanku terlanjur datar dengannya, dan untuk menyukainya lagi itu hal yang sulit. Sudahlah, mulai sekarang aku memutuskan untuk tidak memikirkan hal percintaan selama belajar sampai akhirnya ujian akhir pun datang. Libur panjang menyambutku dan seluruh teman seangkatanku. Sudah 3 tahun pula aku melupakan hal bodoh yang pernah menyukainya.

Akhir - akhir ini Rima kembali menghubungiku, dia mengajakku bertemu. Tapi jelas aku tak bisa bertemu dia lagi, mungkin sudah malas.

"Esta, apa kita bisa ketemu?"

"Buat apa? Jadwal kuliahku mulai padat,"

"Ya kan kita udah satu tahun juga gak ketemu, apa kamu gak kangen?"

"Maaf, bukan aku gak kangen. Kamu temen aku, ya jelas aku kangen lah. Jangankan ke kamu, ke Firman, Ayu, Shinta juga Rengga. Aku juga kangen," kupertegas nama Rengga agar ia paham mengapa aku seperti ini sekarang. Tapi sudah dipastikan, tak ada sedikitpun perasaanku yang tertinggal di sana.

"Bukan itu Esta, apa kita gak bisa mengulang waktu? Mengingat masa kita dekat, waktu kita sering pulang bareng dan lain - lain,"

"Maaf Rima, aku gak bisa. Aku masih ada tugas lainnya, kalau memang hanya itu yang kamu mau tanyakan. Aku tutup dulu,"

"Yaudah iya. Semangat kuliahnya ya Esta," Rima tampaknya ingin membuatku mengingat semua tindakanku yang pernah aku lakukan untuknya. Apapun yang sudah kulakukan dulu padanya. Tapi hatiku terlampau mengeras untuk setiap permohonannya. Tak ada lagi yang mesti di ingat, walaupun hanya sedikit yang kurindukan dari cerita lalu. Hanya rindu, tak lebih dari itu. Sudah cukup suram cerita lalu dengan masalah percintaan. Tapi bukan berarti aku sudah tak ingin mencintai seseorang lagi dihidupku.

---

Jam ditanganku menunjukkan pukul enam sore, sudah cukup lama untukku berdiri di sini mengenang masa lalu. Yang menurutku tak begitu kuinginkan untuk terulang lagi. Pemandangan sore yang pernah kuingat dulu, hamburan cahaya senjanya mulai membaur pada tubuhku. Anginnya membuatku ingin memasukkan tanganku ke dalam saku jaket yang kukenakan. Tapi sebuah tangan memeluk tanganku dengan erat,

"Kau sedang apa?" tanyanya dengan senyumannya yang manis,

"Aku sedang menikmati semilir angin di sini."

"Oh begitu," ujarnya menggandeng tanganku dan menyandarkan kepalanya pada bahuku.

Aku sudah tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa, bukan remaja sekolah yang masih senang bermain dengan cinta. Satu hal lagi, aku sudah memiliki seseorang sekarang. Dia jauh lebih menginginkanku dan sudah cukup jelas aku juga menginginkannya. Namanya Dian, Mardiana Rahayu. Dia teman kuliah ku, dan dia wanita yang ku cintai saat ini, semoga aku bisa selalu membuatnya menjadi wanita yang paling beruntung. Sampai kapanpun.

"Kau sedang memikirkan apa sih?" tanya Dian,

"Ah tidak." Aku pun memberikan senyuman yang manis padanya, setidaknya inilah yang ku punya agar ia yakin denganku. Dia membalas senyumanku dan aku senang melihat senyumnya, dia lebih manis dari yang kubayangkan saat menatapnya dalam keadaan dekat seperti ini. Kenapa aku baru mengenalnya ya? Ah, sudahlah, sekarang ku syukuri saja apa yang kudapat. Jujur saja, aku benar - benar suka melihatnya.

"Kau sudah selesai?" tanyaku,

"Iya sudah. Ayo kita pulang," ujarnya memeluk tanganku dan mengajakku untuk pulang bersama.

Akhirnya aku dan Dian memilih pulang sekarang, sebelum malam tiba. Aku tak enak dengan kedua orang tuanya jika harus pulang sampai rumah tepat malam hari. Aku kembali terbawa hanyut suasana indah di bawah langit senja. Inilah sebuah cerita, aku dan kenangan senja. ~Selesai

Jumat, 27 November 2015

Pulang (5)

Sekedar info, aku dan Dimas sudah setahun tanpa komunikasi dan jangan tanya kabarku, karena aku sedang tak baik-baik saja selama setahun terakhir. Sudah ya, jangan buat aku menangisi dia lagi, sudah capek batinku bersedih.
Bazar kali ini harus kulalui tanpanya, untung saja ada Denis dan Aji yang menemaniku. Aji jelas berniat menemaniku sebagai wakil kelas A semester 5 yang ikut serta bazar fakultas. Tapi kalau Denis, tak usah ditanya niatnya, sudah pasti menggoda wanita yang menjaga stan sebelah. Wanita yang ia kejar, Tuti, anak kelas H semester 5.
"Den, ambilin tali dong," panggil Aji sambil sibuk menahan tenda agar tetap berdiri. Denis mengambil tali dan memberikannya, namun tak fokus.
"Den, ambilin dus makanan itu. Buruan!" Denis memberikannya dengan cepat sambil terus modus ke Tuti yang hari ini makin anggun. Katanya.
"Den ambilin Tuti!" godaku.
"Hah?" sahut Denis bingung. Aji langsung tertawa melihat tingkah temannya salah tingkah. Aku juga pastinya akan terbawa suasana untuk tertawa.
"Tuti, ada salam!" Aku teriak dari arah stanku.
"Dari siapa, Les?"
"Denis tuh."
"Dimana dia?"
"Itu lagi bawain dus makanan dari ruang penyimpanan," kataku sambil ikut sibuk menata makanan yang ada diatas meja. Segera Tuti berlari, membantu Denis yang kesulitan membawa makanan di stan kami dan untuk stan Tuti. Romantis kan Denis? Lupakan dia, hening dulu tolong, aku menghela napas sejenak. Kemudian berkata, sekarang aku merindukan Dimas, dan aku akan selalu baik-baik saja.
Aku duduk, di dalam stan, tugas promosi di depan stan sudah menjadi tugas para pria ganteng nan menawan itu. Hahaha duo tangguh, Denis dan Aji. Kuraih ponsel dan kumainkan sebentar, menunggu pelanggan pertama yag ikhlas mengeluarkan uangnya untuk belanja di stan yang terlihat bagai gubug dibelah dua (?) Hahaha.
Tak ada lagi suara nyanyian duo tangguh itu, mereka kemana? Aku berdiri dan kepalaku menengok ke kanan dan kekiri. Kusapu semua pandangan yang ada dihadapanku.
"Tut, mereka kemana?"
"Ga lihat tuh, Tuti tadi lagi bersihin mangga dibawah. Coba tanya Hilman, tah. Hilman, si Denis sama si Aji kamana tadi (Hilman, tadi Denis sama Aji kemana?)" ujar Tuti memanggil Hilman yang sibuk menata kompor gas di meja stan-nya.
"Eh gatau. Tadi sih kesana, terus gatau lagi kemana,"
"Jih, jajan mereun, (Yah, jajan kali)" sahut Tuti,
"Tadi sih lari, ngacir gitu ke sana," Hilman menunjuk ke arah gedung Pasca Sarjana. Oh, sepertinya mereka pergi ke kamar mandi, dan itu alasan yang akan mereka pakai saat kutanyai. Sudah biasa.
Kududuk, sambil kupanggil para maba (mahasiswa baru) yang sedang lewat, entah akan membeli atau sekedar melihat saja.
"Hese, maba mah, (susah juga anak maba)" ujar Tuti,
"He emh," aku lemas, kuistirahatkan tubuhku di kursi. Dan sesekali kuseka air keringat yang mengucur, maklum walau pakai tenda, udaranya tetap pengap.
Tak lama, ada musik hiburan diputar, ini bagian yang kusukai saat bazar. Acara para kakak kelas UKM Seni Budaya akan menunjukkan keahlian mereka dibidang kesenian. Entah nyanyian, musik dengan alat maupun tanpa alat contohnya beatbox.

"Dia indah, merentas gundah. Dia yang selama ini kunanti~ Membawa sejuk  memanja rasa, dia yang selalu ada untukmu~" lagu ini! Ah aku suka sekali, indah artinya. Diam-diam kucuri waktu untuk ikut bernyanyi juga. Hampir hafal aku, cita-citaku ingin datang ke konsernya Tulus. Lagunya selalu romantis, dan selalu sampai ke hati. Sama seperti dia yang selalu mengena dihati. Rindu yang membuatku yakin kalau ini cinta.

"Bila didepan nanti, banyak cobaan untuk kisah cinta kita. Jangan cepat menyerah, kau punya aku, kupunya kamu. Selamanya kan begitu,"

Tiba-tiba nyanyian berubah menjadi suara dehem seseorang. Puisi pun dimulai, "ada yang bacain puisinya," kata Tuti menyadarkanku yang terlalu hanyut dalam khayal tentangnya.

"Setiap nafas yang ku hirup,
Itu adalah helaan asa tentangmu,
Setiap hembusan nafas yang kau hembus,
Itu adalah sempurnaku dalam hari.
Aku tak bisa tanpamu,
Aku ingin semua tetap berjarak,
namun wajar.
Bukan menyiksa karna rindu,
Bukan cinta menggebu karna nafsu."
Sepertinya aku tahu puisi ini, persis dengan puisi yang iseng kutulis disebuah buku. Aku tahu puisi ini, persis yang pernah kupikirkan. Tunggu, ini pernah kutulis dibuku tulis Dimas kan?

"Bukan, bukan cinta yang menemukan hati," ujarku bersamaan.
"Tapi hati yang menemukan cinta.
Menyatukan aku dengan seseorang. Dan itu kau..."
"Dimas," suaraku lirih,
"Lesta," suaranya jelas ditelingaku, mungkin juga ditelinga setiap mahasiswa yang ada di sekitar area bazar, waktu itu.
"Tetaplah bersamaku, jadi teman hidupku. Berdua kita hadapi dunia. Kau milikku, milikmu, kita satukan tuju. Bersama arungi derasnya waktu~"
Kucari sumber suara, tak ada yang memegang buku atau mikrofon setidaknya. Kucoba untuk menutupi segala kemungkinan yang terjadi dalam imajinasiku. Ramai, suasana jadi meriah saat aku duduk didalam stan. Segera kuarahkan mataku pada seorang lelaki yang tampak rapi, dengan stelan yang tak bisa kujelaskan bagaimana. Dia membawa buku tulis yang kutahu, itu buku dia. Aku mendadak luluh, dan airmataku mengalir tanpa kusuruh. Haru? Jelas, aku merindukannya. Tapi lidahku mendadak kelu untuk berucap, aku bingung harus mengatakan apa pada pertemuan ini. Tuti menarikku keluar stan dan berdiri dihadapannya, sekarang.
"Kamu gak merindukanku?" ujarnya. Segera kupeluk dia, entah apa yang kupikirkan tapi itu spontanitasku. Gemuruh suara mahasiswa menyoraki kebahagiaanku, ikut meramaikan suasana hatiku. Jas biru dongkernya itu basah karena air mataku. Semua keadaan kembali normal seperti biasa, hanya saja aku dan dia, bicara di taman belakang gedung akuntansi, stan sudah kupercayai pada duo tangguh itu. Ternyata mereka menjemput, komandan utama, Dimas si edan, kata mereka. Ia segera memberiku sapu tangannya yang berwarna biru juga.
"Lap ingusmu, jorok ih."
"Eh iya,"
"Itu hadiahku, kau ambil saja." ujarnya nampak jijik bekas ingusku. Aku hanya memukul tangannya, aku tak suka dia mengejekku terus.
"Ngga deh, ngga. Sini ku lap ingusku juga disini,"
"Eh jangan! Kotor!"
"Oh, sekarang sudah mulai khawatir kalau aku nanti sakit ya? Aku kan cuma mau satu sapu tangan denganmu. Emang gak boleh?" ujarnya. Aku kaget, aku tahu mengarah kemana ucapannya. Terus membully-ku karena puisi yang tadi ia bacakan, ia lebih tahu dulu bagaimana perasaanku padanya.

"Waktu itu, ada telepon dari Saskia. Dia memintaku untuk mengakhiri hubungan. Karena dia akan menikah dengan seseorang pilihan orang tuanya. Dia sudah ada di stasiun, dia akan ke Surabaya untuk menikah dan menetap disana. Makanya aku buru-buru," ujar Dimas, aku mengangguk, dan sesekali meng-iya-kan ceritanya.
"Maaf ya," sambungnya menggugahkan kesadaranku.
"Kenapa?" Aku bingung harus bertanya apa.
"Aku pergi gak bilang ke kamu. Setahun terakhir tanpa kabar. Aku memang sengaja tak menghubungimu,"
"Eh, kenapa?"
"Biar kamu kangen aku, hahaha!"
"Ish, Dimas!"
"Iya iya, bercanda. Aku mau ngelatih hati aku, soalnya kata mama, kalau kamu rindu dia berarti kamu cinta sama dia," perkataan mamanya sama dengan mamaku.
"Terus?" tanyaku antusias.
"Rindu, haha! Jangan meledek,"
"Aku juga,"
"Ih aku bercanda, Les."
"Ih!" Ku pukul lagi lengannya, dia hanya tertawa dan menghindari pukulanku.
"Aku cinta kamu," katanya,
"Aku ngga, Dim. Hahaha,"
"Aku serius,"
"....." aku diam. Berusaha berpikir dengan jernih, dan menjawabnya dengan bijak.
"Aku juga," jawabku. Dia mengecup keningku, dari situ aku tahu dia serius mengatakannya. Dan datanglah Denis dan Aji mengacaukan semuanya.
"Edan.. Main cium aja, Dim!" Denis meledek,
"Lain muhrim euy! (Bukan muhrim tuh!)" sahut Aji ikut-ikutan edannya Denis.
"Kalian juga belum muhrim, rangkul-rangkulan." Dimas menjawabnya dengan santai. Dan mereka berdua saling mendorong dan berjauhan. "bercanda. Eh kenalin, tuan putri nih orang Bogor, cakep gak?"
"Udahlah, bungkus Dim!"
"Kreseknya mana? Minta di Bu Darmi, mana ada yang cukup buat dia?" Dimas lagi dan lagi membuatku geram padanya, aku kesal dan memilih diam.
"Hayo loh, pundung! (Hayo loh, marah!)" kata Aji.
"Aku juga bakal gendut ah entar,"
"Hah?"
"Kan nanti aku jadi aset kamu. Tolong rawat aku yang baik ya,"
"Ya iya lah, Dim. Masa dibiarin terlantar, hahaha."
"Ketawa, puas deh puas. Eh kamu aset aku kan, udah jadi modal aku, terus kewajiban aku juga." kata Dimas,
"Hehehe, kok?" kataku bingung.
"Aku kan punya kewajiban buat bahagiain anaknya Pak Hardi," Dimas membuatku melayang, sekali lagi, dia tahu bagaimana membuatku tersenyum. Tiap saat.
"Pulang?"
"Belum selesai bazarnya!"
"Ah itu biar Aji sama Denis yang terusin. Iya kan?" tanyanya pada mereka berdua.
"Iya gampang, Les. Haha," seru Aji menarik Denis berjalan kembali ke stan kebanggan kami.
Akhirnya kami berjalan ke arah parkiran bersama, dengan motor yang sama pula seperti dulu. Belum berubah, sama seperti rasaku padanya.
"Eh inget gak perjanjian kita?"
"Ngga, apaan emangnya?"
"Kamu nungguin aku gak waktu itu setengah jam? Di depan gang?" Pertanyaannya membuatku membuang lima detikku untuk berpikir.
"Iya," jawabku singkat.
"Nah sekarang, ku bayar janjiku. Kuantar pulang sebagai gantinya," jelasnya, sesegera mungkin aku mengingat perjanjian itu. Dimotor kutatap wajahnya yang terlihat dari kaca spion.
"Makasih untuk selalu ingat semua janjimu." ujarku dalam hati, mengundang senyumanku.
"Sejak kapan sih kita jadi ngomongnya aku kamu?"
"Eh?" Dia bisa membaca pikiranku? Kok dia bertanya seperti itu?
"Sejak kamu sayang aku?" pertanyaannya cukup menjebakku. Payahnya, aku malah terjebak juga disana.
"Iya,"
"Makasih ya,"
"Buat apa?"
"Buat rasa bosan yang kamu rasain. Buat waktu yang kamu luangin buat sekedar merindu,"
"Oh iya. Sama-sama,"
"Kamu gak peluk aku? Aku bukan Mang Osman!"
"Haha belum muhrim!"
"Awas ya, kalau sampai rumah kulihat Pak Hardi diteras. Kupanggil tetangga, kalau bisa pak ustad!" ujarnya dengan nada tinggi.
"Memangnya ada apa?"
"Ku lamar anaknya Pak Hardi, langsung meminta pak ustad jadi penghulu, kunikahi anaknya Pak Hardi dengan tetangga yang jadi saksinya,"
"Hahaha nekat,"
"Biar kamu bisa meluk aku, abis dimintain gak mau terus!" ujarnya, dan ngerem mendadak.
"Aduh!" Rintihku sakit karena helmku membentur helmnya.
"Ayo kita pulang," ujarnya,
"Emang daritadi ngapain kita?"
"Jalan-jalan,"
"Ini arah pulang rumahku kan,"
"Iya," jawabnya singkat,
"Terus?"
"Gak kenapa-kenapa,"
"Ih dasar,"
"Tapi sayang kan?"
"Entar ah, jawabnya. Buktiin dulu janjinya,"
"Ngelamar anaknya Pak Hardi?"
"Hahaha iya!" jawabku. Kali ini aku terlampau senang sekali dan memeluknya dalam hitungan detik, kemudian kulepas.
"Yah, udah nyaman padahal. Jadi lamar deh, biar rada lamaan,"
"Hahaha"

Kunikmati hari itu bersamanya, juga bersama hujan yang mulai turun saat aku dan dia sudah dekat rumah.
"Hujan, gak jadi lamar dong?"
"Kata siapa? Pak Hardi gak keluar rumah kan?"
"Engga, kan hujan, Dimas."
"Bagus, aku minta nomer Pak RT dong."
"Buat apa?"
"Ngejarkom ke pak ustad sama warga yang punya payung aja. Suruh ke rumah Pak Hardi, ada acara nikahan dadakan. Ujan-ujan!"
"Hahaha lucu!"
"Biarin! Biar tuan putri ketawa!"

Dia sudah cukup membuatku bahagia, dia pulang pun hadiah terindah milikku. Jangan pergi, tetap disini ya. Setidaknya kalau kau pergi, ingatlah untuk pulang, kesini.

Pulang (4)

Eh besok ulang tahun ayah, sepertinya aku akan membeli kue yang enak kali ini. Usia tuan rumah ini sudah genap 50 tahun, sudah saatnya aku membahagiakan ayah.
"Enak yang mana ya?" ujarku didepan kulkas. Didalamnya sudah ada satu, dua, tiga... sepuluh, bahkan lebih, semuanya terlihat enak. Pak tuan rumah bilang, dia tak suka terlalu banyak krim, dan lebih suka yang cake-nya cokelat.
Karena aku bingung, kuputuskan untuk mengetik pesan ke Dimas, kira-kira yang mana yang mesti dibeli.
"Yang cokelat?" isi pesanku,
"Iya, yang cokelat aja. Pak Hardi suka pasti,"
"Eh manggil nama ayah gue. Oh jadi yang mana dong? Bingung,"
"Lu dimana? Gue kesitu,"
"Gak usah! Hujan diluar,"
"Hujan itu air kan?"
"Gak usah! Jangan, ntar sakit baru tau rasa,"
"Yaudah." pesan terakhir yang ia kirimkan. Kubiarkan saja pesan itu, hanya kubaca tak kubalas. Hampir 20 menit kubuang waktu hanya untuk memilih kue yang tepat. Notifikasiku berbunyi,
"Milihnya yang mana aja. Jangan sampe malem-malem disana," pesan baru yang pending, sepertinya.
"Iya, ini juga gue masih milih haha, bingung. Enak-enak,"
"Lu dimana?"
"Di Papuy Bakery,"
"Di Manado?"
"Di Bogor lah! Dekat kantor polisi"
"Gue kesana," ujarnya masih dalam bentuk chat via Whatsapp.
"Gausah, gerimis!" Pesanku yang ini tak digubris olehnya, hanya dibiarkan tanpa di read. Kurang ajar bocah ini, kuputuskan untuk menunggu Ka Dara menjemputku, katanya dia yang akan bayar kue yang kupilih. Saat ku istirahatkan otakku untuk memilih. Kulihat dari pantulan kaca, ada seseorang datang dan nampak kebingungan. Dan seorang pelayan disitu menunjuk ke arah kue tart, aku yang tak mengerti terus meluruskan kakiku. Pegal.
"Heh endut!" Panggilnya,
"Heh apa lu, manggil gitu,"
"Ya sorry bercanda. Mana kue yang lu bingungin? Sebanyak ini? Halah,"
"Kenapa," sahutku dengan wajah datar,
"Sama, gue juga bingung. Kemarin sih ayah gue juga ultah, beli yang tiramitsu. Juara kata mama, dia ikut makan juga. Lu pengen yang kaya gimana sih?"
"Gue pengennya yang gak banyak krimnya. Gak begitu, banyak selai diantara kuenya, gitu."
"Ok, tunggu sebentar. Duduk sana," ujarnya dan meninggalkanku sendiri. Tak lama, dia kembali dengan pelayan yang akan ia wawancarai soal kue disini. Wajahnya serius, menanyakan hal ini dan hal itu. Aku, sibuk mengirim pesan ke Kak Dara, memberitahunya kalau aku tak sendiri.
"Yang ini?" pertanyaannya yang kudengar.
"Ini full tiramitsu."
"Banyak krimnya?"
"Ngga, ini tiramitsu luar, tengah dan selai cake-nya juga tiramitsu,"
"Harganya berapa?"
"215 ribu,"
"Mahal ya, mba."
"Iya mas." Pelayan itu masih berdiri didepan kulkas bersama Dimas yang berpikir. Kemudian pelayan itu menawarkan jasanya untukku.
"Mba, sudah pesan tadi?"
"Oh, belum mba. Saya sama dengan mas itu,"
"Oh pacarnya ya mba," ujar pelayan,
"Ngga, mba. Kita sahabatan mba," jawabnya mematahkan harapanku yang tumbuh tadi, untung baru benih.
"Yang ini, mba saya mau ini aja. Ya, Lesta, kita pilih ini,"
"Oke," aku enggan menjawab setiap perkataannya. Tapi nanti aku terlihat seperti benci karena tingkahnya yang mematahkan perasaanku saat itu.
"Nanti Kak Dara kesini,"
"Heh? Oh lu janjian, gue kira sendiri. Eh tapi gak apa-apa deh, gue kan temen lu."
"Iya"
Tak lama, pelayan tadi memberikan kertas, kutulis ucapan yang akan dituliskan di atas kue. Dia sibuk dengan ponselnya,
"Saskia ya?"
"Iya nih. Bingung gue sama dia,"
"Yah cewe semua ngebingungin kali," kataku.
"Kok lu ngga?" tanyanya bingung, tapi tetap memandang ponselnya.
"Gue ngebingungin juga kali,"
"Lu juga ribet orangnya, Les. Tapi kok gue gak ngerasa itu ya?" Dia menatap ponsel yang entah apa yang ia buka.
"Hahaha asem!" Kulempar tisu bekas mengelap sepatuku, ke wajahnya.
"Mba! Ada yang jorok nih, buang tisu sembarangan!"
"Ih, ngadu!" aku kesal. Tapi ternyata dia sedang memegang tisu itu, dan membuangnya ke tempat sampah yang ada didekat situ. Kak Dara datang, aku memanggilnya agar kesini. Dan dia memutuskan untuk pulang lebih dulu. Kuantar dia sampai depan toko, dan kubiarkan motornya melaju.

***

Keesokan harinya, sudah hampir setengah jam kutunggu Dimas didepan gang. Kaki sudah terasa pegal, dan akhirnya kutinggal dia pergi ke kampus sendiri. Seperti yang biasa kulakukan saat dia sedang ada kerjaan di luar kota, semacam fotografer freelance. Sesuai perjanjian yang ia buat, "kalau gue belum dateng sampe setengah jam, lu berangkat sendiri ya. Jangan nunggu, nanti gantinya, gue yang anter lu pulang," dia selalu bicara seperti itu, dengan cengengesannya yang khas.
Sesampainya di kampus, Denis memanggilku dari arah pintu masuk kelas. Dia mengajakku untuk pergi ke depan kampus, dan makan bubur ayam bersama. Dia cerita sesuatu yang cukup membuatku kaget. Denis kemarin mengantar Dimas bertemu dengan klien, Pak Darius dari Medan. Dia meminta bantuan Dimas untuk mengatur dan mengelola galeri yang baru dibuka disana. Dimas tak bisa menyia-nyiakan kesempatan yang ada, dia segera menyetujui kontrak itu. Selama dua belas bulan, dia akan jadi anak rantauan.
"Dimas berangkat malem kemarin, Les. Dia juga nitip salam buat lu," ujarnya. Aku hampir tak percaya, itu berarti setahun tanpanya. Apa kabar dengan kuliahnya? Apa kabar denganku? Apa kabar dengan pertanyaanku soal Saskia?
"Ada Saskia di bandara?"
"Ngga deh. Kan cuman gue yang anter, yang bantuin dia packing,"
"Oh gitu."
"Tapi kemarin dia nelepon orang, dia bilang itu Saskia, bilangnya sih mereka putus kemarin."
"Eh? Kok bisa? Mereka kan baru sebulan,"
"Ya iya sih, gatau deh apa yang bikin mereka akhirnya nyerah. Eh dia juga nelepon orang pas mau boarding pass, dia agak kesel sih. Pas gue tanya kenapa, katanya gak diangkat terus, rumit nih cewe, gitu."
"Oh." jawabku datar, seakan cuek dengan apa yang ia ceritakan tentang Dimas. Tapi entah kenapa, saat mendengar penjelasan Denis yang tadi, rasanya ya ia maksud itu aku. Ah terlalu percaya diri, aku hanya sahabatnya, tak lebih. Aku tak mau merusak persahabatanku, hanya karena keegoisan perasaanku. Aku nyaman seperti ini dengannya. Tapi jarak Bogor dan Medan, lumayan menyiksa, mengurungku pada murung yang teramat. Aku takut rinduku menggebu, konon katanya rindu yang besar dapat menumbuhkan cinta yang besar pula.
Kusudahi sarapan bubur ayam Pak Mahmud yang lezat itu. Seusai jam perkuliahan, Denis mengajakku untuk pulang bersama. Kusenyumi dia, "makasih, aku dijemput Mang Osman," ujarku, dan setelah memberi senyuman, dia pun melanjutkan perjalanannya. Kuputuskan untuk duduk di tempat penjual jus depan kampus, sudah kuberitahu Mang Osman tadi dimana posisiku. Dimas, dia benar-benar tak bisa dihubungi, lalu dia pakai nomer yang mana? Enggan memutuskan komunikasi, tapi dia seakan menghilang ditelan keadaan. Lamunanku telah membawaku mengingat semua yang pernah kita lalui. Senyumanku merekah seketika, mengindahkan sore ini. Khayalanku saja, jangan ikut mengkhayal tentangnya, karena ini tentang dia, cukup aku saja, kau jangan.
Klakson motor berbunyi membuyarkan semuanya, segera kunaiki ojeg langganan keluargaku. Ditengah jalan, petir sudah terdengar bergemuruh, tandanya aku harus sudah berada di rumah sebelum hujan membasahi seluruhnya. Aku, Mang Osman, juga motor dan bagian lainnya, semacam tas yang kugendong dari tadi pagi. Kalau hujan, nanti aku rindu Dimas, hujan selalu mengingatkanku padanya. Celaka!
Di kamar, aku mulai merasa bosan, harus kubiasakan tanpa dia. Ruang obrolanku dengannya hanya sampai malam itu.
"Gue tidur duluan ya, capek banget nih. Abis jemput tuan putri, hahaha."  Dia berbohong padaku, di catatan waktunya 21.25 dan kata Denis, jam flight-nya pukul 21.45. Tuan putri yang mana yang kamu jemput, Dimas. Kamu pangerannya malah pergi jauh ninggalin gadis desa yang penuh pengharapan ini. Aku tersenyum melihat layar smartphone-ku.
.
.
3 bulan
.
.
6 bulan
.
.
Sudah genap setengah tahun aku menunggunya. Jelas teman sekelasku menanyakan kabarnya padaku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum sebagai jawaban hangat. Denis mengajakku berbicara di dalam kelas, ini mata kuliah Bu Ratih.
"Sepi yah," ujar Denis.
"Iya, hehe." Aku berusaha ramah, namun sebenarnya sedih karena tak mendengar kabarnya selama ini.
"Aku kangen dia nih,"
"Sama," jawabku.
Sepertinya, aku mulai mencintainya, Denis juga menyatakan hal yang sama. Di dalam perpustakaan,
"Dia punya janji apa sih?"
"Hah? Janji apa ya?"
"Gatau deh. Pokoknya, dia sih bilangnya, dia bakal pulang secepatnya buat nepatin janji sama kamu, Les."
Apa itu? Janji apa yang dia maksud? Aku langsung tersenyum, apa benar yang kupikirkan sama dengan apa yang ia maksud?
.
.
.
.
.
Bersambung

Rabu, 25 November 2015

Magelang Yang Terlupakan

L.Gurman

"Kamu ngerasa? Ya wajar kan aku curiga, aku cuma minta kamu paham maksud aku," ujar Hana enggan menatapnya,

"Aku gak pernah kasih harapan ke mereka, Hana. Kamu yang harusnya lebih paham aku," ujarku tetap menjaga nada dan intonasi bicara.

"Paham kalau kamu suka ngobrol sama perempuan lain? Iya? Tadi aku malah liat kamu sama Giska," ujarnya, "dia teman kuliahku," sambungnya. Kali ini aku hanya bisa diam seketika. Kebingungan.

 "Udahlah, Han. Gausah bicarain itu dulu, niat kita kan mau jalan. Bukan ribut begini,"

Kali ini, ucapanku tepat sekali, sekarang Hana hanya diam dan keadaan mobil hening, sepi sekali. Hanya suara dari radio yang sudah menyala sebelum adanya keributan itu.

"Kita harus pikirin lagi soal pertunangan kita," ujar Hana tiba-tiba, dan cukup mengejutkanku yang sedang khusyuk menyetir mobil.

"Kenapa? Masih karena kecurigaan kamu sama Giska? Aku gak ada apa-apa sama dia, tadi itu dia yang nyamperin aku, nanyain kabar kamu," tegasku, dan sepertinya itu belum cukup membuka hati Hana yang terbelenggu cemburu.

"Sepertinya aku mulai ragu sama hubungan kita, Raka. Maaf,"

"Udahlah, Han. Kamu gak bisa percaya sama aku sedikit apa? Kamu gak biasa kaya gini," sahutku agak kesal dengannya kali ini.

"Engga, maaf," ucapan Hana seperti petir bagi diri seorang taruna yang memiliki tubuh tinggi tegap, pemegang tenor drum di drumband akmil - Canka Lokananta itu. Karena tak bisa menahan emosinya, entah apa yang ia pikirkan. Kemudinya keras saat akan kuputar ke kanan, seketika itu pula hantaman keras ke arah mobil yang melaju berlawanan pun terdengar. Disusul dengan suara beberapa orang yang berteriak ngeri. Dalam keadaan pusing, kulihat sekeliling dan kutemui Hana yang tergeletak tak berdaya. Beberapa pengemudi mobil dan warga yang ada disitu membantuku mengangkat tubuhnya dan sesegera mungkin membawanya ke rumah sakit. Aku khawatir sesuatu terjadi padanya. Dua jam menunggu di lobby, dalam keadaan terus mengkhawatirkannya, akhirnya kudapati kabar bahwa dia berhasil dioperasi. Dokter segera menjelaskan bahwa dia akan baik-baik saja. Tapi hanya saja, dia mengalami shock berat yang menyebabkan ingatan Hana terbuang sebagian. Kali ini, sekeras-kerasnya jiwaku ditempa di lapangan, mendengar hal itu aku merasa hampa dan ingin kuulang waktu dan tak akan kubuat kesalahan yang membuatnya seperti ini.

***

Magelang dengan sejuta keindahan yang disuguhkan, tak menarik lagi untuk seorang aku. Rakaditya Sulistio, dengan akrab dipanggil Raka oleh beberapa teman letting-ku. Aku seorang taruna di Akmil, Magelang, dan aku tetap berdiri tegap meski sesekali ingat dia. Adalah seorang Hana, gadis yang menemaniku satu tahun terakhir. Namun ia sudah hilang, bersama dengan kenangannya. Aku hampir lelah menghadapinya yang sudah sulit untuk melakukan pendekatan. Kresna dan Denis selalu membantuku, meski kata menyerah terus mendorongku untuk berhenti mencintainya. Sampai saat tiba, IB pun datang, mereka berdua menyuruhku untuk ke rumah Hana yang berada di Kulon Progo, Jogjakarta.

 

"Ah, udah kita ke rumah Kresna aja sih," ujarku malas bergerak dari tempat tidur.

"Hana butuh lo, Raka. Ayo buruan, kita apel dulu," ujar Denis, dan sesegera mungkin kami berdua berlari menuju barisan. Dan akhirnya, kami dilepas IB, didepan sudah ada taksi yang menunggu kami. Pesanan mas Kresna, kata supirnya. Taksi yang kami naiki, bukan yang seperti biasa yang memakai "tarif lama". Rasanya cukup menggambarkan bagaimana taksi itu, kembali kepada perjalanan kami ke Kulon Progo.

Hampir lima bulan tak kutemui dia, karena berbagai alasan yang tak mungkin kujelaskan disini. Saat kuputuskan untuk masuk terakhir, ibunya Hana langsung menarikku keluar untuk bicara.

"Kamu tak mendapat surat dari ibu?" ujar ibu,

"Tidak, bu. Memangnya kenapa?"

"Sebaiknya kamu pulang, atau jangan menemui Hana. Dia.."

"Aku tahu, bu. Dia amnesia kan?" sergapku menyambung ucapannya, kutundukkan kepala menatap wajahnya dan ku pegang kedua bahunya. Senyumanku terus kupasang sebagai cover dihadapannya. Dia diam.

"Kenapa ibu, ada apa sebenarnya?" tanyaku bingung,

"Sudahlah nak, lebih baik kamu pulang sekarang," aku tersentak mendengar perkataannya yang terkesan mendesakku untuk pergi. Kenapa? Kutanyakan dia dengan pertanyaan yang sama, sampai akhirnya dia mengajakku untuk ke dalam dan mengintip kamar Hana.

"Jangan banyak bicara," ujar ibu, dan langsung pergi ke ruang tamu, meninggalkanku didepan kamarnya. Segera aku masuk ke dalam sana, kudapati Hana sedang menatap ke arah meja belajarnya. Dia terlihat sedang menulis sesuatu. Saat kudekati, aku hampir terkejut, ia menulis nama "Raka" diselembar kertas yang ada didekatnya. Itu berarti dia tidak lupa sedikitpun tentangku?

"Hana?" Aku tak sengaja memanggilnya,

"Ka Ndaru? Kamu pulang? Bawa apa, Hana mau martabak seperti biasa." sahutnya, aku diam. Dan sebagai lelaki, hanya bisa menahan airmata karena memang ingin menangis.

"Siapa itu?" tanyanya curiga, ku balikkan tubuhnya dan menghadap ke arahku. Aku berlutut dihadapannya, dia mulai meraba wajahku. Sampai akhirnya, kubiarkan tangannya merasakan detak jantungku. Kupeluk tangannya, tepat didepan jantungku.

"Raka?" tebakannya tak meleset, dia masih mengingat detak jantungku. Wajahnya nampak terkejut, dan dia sesegera mungkin bangun hendak menjauh dariku.

"Kamu pergi, aku bilang pergi!!" bentak Hana,

"Engga, Hana. Tenang," ujarku sambil memeluknya. Benar, tangisannya tak membasahi seragamku.

"Aku buta, Raka. Aku malu,"

"Kamu ingat aku?"

"Iya," jawabnya sambil terisak. Dia masih bersandar di pelukanku, kubiarkan itu. Aku masih tak percaya, sejak kapan dia ingat denganku.

"Maaf kalau aku terlambat ingat kamu," ia menceritakan semua hal yang tak kuketahui. Sejak terakhir bertemu, saat menghampirinya di area parkir.

 

"Siapa sih kamu? Bisa gak ganggu saya lagi?"

"Aku, Raka. Kamu gak inget apapun?"  

"Gini ya mas. Saya gak kenal kamu, dan kalau kamu kenal saya, mungkin kita cuma kenal di seminar atau apa,"

"Kamu gak pake cincin kita?"

Segera kuperiksa jarinya, dan dia masih memakainya ternyata. Tapi dia sama sekali tak tahu kenapa cincin itu ada dijarinya.

"Ini cincin dari kakak saya, bukan dari siapapun, termasuk mas sendiri." ujarnya. Dari gaya bicaranya, dia sudah berbeda dari biasanya.

"Namamu siapa?"

"Raka." jawabku sudah tak peduli. Kutinggalkan dia dan kembali ke restoran, Kedua rekanku sudah menunggu disana. Dan sejak itulah dia mulai mengingatku.

 

Selesai bercerita, aku paham sekali kenapa surat ibunya Hana yang bilang dia akan menikah dengan orang lain. Aku berbohong pada ibunya, tentang surat yang tak kuterima. Karena aku yakin, Hana juga akan menungguku.

"Gak apa-apa, Hana. Aku senang kamu ingat,"

"Lupakan aku, Raka."

"Kenapa?"

"Cukup, sebaiknya kau pulang. Dan tolong, lupakan aku."

"Aku akan menunggu, Hana."

"Kalau kau punya cara untuk mengejarku, aku punya lebih banyak cara lagi untuk menjauh darimu."

Aku keluar dari kamar Hana, setelah kubantu dia untuk berbaring ditempat tidurnya. Kuseka basah air mata yang tak sengaja keluar karena percakapan tadi. Aku meminta izin untuk pulang pada ibunya Hana, disusul dengan kedua temanku, dan Ka Ndaru yang mengantar kami sampai mobil.

"Bagaimana?" tanya Denis,

"Mulai sekarang, sudah kubiarkan dia bersama orang pilihannya,"

"Kenapa?" tanya Kresna, antusias.

"Sepertinya dia terlalu benci denganku, dia akan menikah dengan orang lain." ujarku tegar, berusaha menutupi apapun yang kudengar dan kulihat, tadi. Aku merasa lega sekarang, aku sudah tahu bagaimana perasaannya sekarang padaku. Kunikmati angin Kulon Progo setelah hujan. Segar. Kami akan menginap saja di rumah Kresna.

Magelang yang terlupakan, semua kenangan indah maupun menyakitkan terangkum disini. Kuamnesiakan ingatanku saat itu juga, kubuka semua yang terkunci. Entah jiwa atau hati tentangnya sekalipun. Dan detik ini, resmi ku lepas semua kenanganku bersamanya, di Magelang.

 

 

Larasanti Gurman. Lahir di kota Hujan, beberapa tahun yang lalu. Hobi adalah membaca komik dan menulis cerita. Lebih senang bermain imajinasi dibanding bermain petak umpet, capek. Kuliah di jurusan akuntansi, berniat akan membuat karya sastra berbasis kas dan akrual. Inspirasi saat ini, dia, anggota Marinir, Indonesia.

Senin, 23 November 2015

Pulang (3)

Hujannya indah, jatuh diwaktu yang tepat dan ditempat yang benar. Apa bagusnya? Ya coba lirik cerita sebelumnya, hari ini kami harus bertemu dengan Pak Haris yang lumayan mendidik cara mengajarnya. Tegas, bukan galak. Kami tak masuk kelasnya, karena pengemudi gila yang menjadi sahabatku itu. Dan juga hujan pula yang mengantarkanku pada sebuah warung yang biasa kami datangi karena jamuannya yang nikmat. Juga teh manis hangatnya. Sudah mengerti kan mengapa hujan hari ini indah?
Sama seperti kisah cinta, yang "katanya" indah pada waktunya. Aku percaya saja, walaupun masih galau karena belum memaknainya sendiri. Mungkin dengan hujan sore ini, aku mulai bisa memaklumi, mengapa remaja saat ini mengagungkan cinta diatas segalanya. Meski sebenarnya itu terdengar terlalu berlebihan. Menurutku, bukan menurutmu, terserah.

"Yuk?" panggil Dimas yang berdiri didepan pintu masuk warung. Aku menjawab, iya, dan kuambil helm dan jaket yang kubawa tadi. Tidak dipinjamkan, ukuranku dan ukurannya berbeda. Jauh. Kusenyumi saja ibu warung yang sejak tadi ngobrol, sebagai tanda perpisahan akrab yang kulakukan. Obrolan kami juga tak kalah seru dari obrolan mereka diluar, entah tentang apa itu. Yang pasti tampang para pria disana serius dan sesekali tangan Dimas bergerak, mengarah kesana kesini dan entah apa yang ia jelaskan dengan tangannya itu.

Sepertinya, pelanginya sedang mengintip bumi, apakah manusia sudah siap dengan keindahan setelah penantian yang ramai disebut hujan itu?
"Wih!" teriaknya mendadak berhenti di pinggir jalan. Sekedar info, tadi dia sempat mengarahkan jalannya ke pinggir jalan dan perlahan menurunkan kecepatan motornya hingga akhirnya ia ngerem mendadak.
"Ada apa sih, Dim?" jawabku membenarkan helm yang sedikit miring karena sempat terbentur helm Dimas.
"Itu ada pelangi," tunjuknya ke langit dengan cepat dan kemudian dia kembali menjalankan motornya lagi. "Gak jelas ih, Dim. Ya Allah, kuatkan Lesta! Mesti diapain dia Ya Allah,"
"Diturunin aja dari motor," sahutnya,
"Iya, bener." Aku menganggukan kepalaku dan mengusap wajahku meng-amin-kan ucapannya. Seketika, motor berhenti lagi dan kali ini mesinnya juga, eh tidak, standarnya juga ia turunkan.
"Eh? Kok turun sih! Gue mesti pulang cepet, takut hujan lagi..."
"Entar gue pusing, gue sakit, entar gue gak masuk, emang lu gak kangen gue?" dengan cepat dia mengambil naskah yang akan kuutarakan. Aku spontan hanya cengengesan menatapnya yang tampak lucu karena bete dengan ucapanku yang itu-itu saja.
"Hehe, lu ambil kata-kata gue, payah eh plagiat," ujarku.
"Lu yang gak kreatif, itu-itu mulu ngomongnya," jawabnya santai,
"Yaudah sih! Eh kok turun sih, buruan!"
"Eh? Lupa? Tadi doa apa?" perkataannya buatku berpikir beberapa detik saja, "ini di-Amin-in sama Allah," jawabnya cengengesan, gak peduli gerimis udah mulai turun lagi. Aku hanya bisa cemberut tanpa menatapnya, cuma diam lalu bete lagi.
"iya, iya, berangkat," dia akhirnya menjalankan motornya, dan aku hanya senyum dibelakangnya. Hahaha aku puas menjebaknya.
...
...
"Gak usah ketawa," dibalik keheningan dia bicara, eh? Dia tahu sedang apa aku?
"Apaan sih? Siapa yang ketawa?"
"Elu, dut."
"Ngomong apa tadi?"
"Endut. Lesta kan endut," ujarnya,
"Daripada lu, gak seksi ah, kurus,"
"Ya biarin, biar imbang. Udah ah berisik, gue turunin diterminal lu!"
"Eh, jangan!" Kutarik jaketnya, kuberi tanda aku tak mau diturunkan diterminal. Masih jauh ke arah rumah. Di lampu merah hampir dekat rumah, ponselnya Dimas berbunyi. Dia sibuk membobol kantung celana levisnya yang berwarna biru. Yang kudengar hanya ada kata, iya, iya, ngerti, iya dan iya. Udah, itu aja, gak ada yang lain. Kupikir itu dari pacarnya yang tinggal di Bandung sekarang, namanya Saskia.
Lampu hijau. Dan ia memacu motornya hingga depan gang, kemudian remnya beraksi.
"Lu turun disini aja ya," ujarnya,
"Eh? Iya." Kulepas helmnya, dan kugantungkan di depan motornya.
"Lagi ada perlu nih, maklum udah punya pacar hahaha." ucapannya entah kenapa membuatku sedikit kesal dihati.
"Oh. Ngerti deh, yang udah gak jomblo lagi."
"Lagi lu, korea mulu sih idamannya. Susah kan? Hah, cuma gue yang mirip Lee Minho kan? Aduh sayang, gue udah punya pacar, duh." ujarnya dengan rasa percaya diri yang tinggi.
"Ih, ogah." Tampangku mulai datar mendengarkannya, dan memukul lengannya kencang sebagai tanda tak suka dengan tingkahnya yang itu.
"Nanti gue anter lu sampe rumah," aku diam, bingung. "Besok tapi, haha." sambungnya.
"Dasar gila," aku langsung mengambil kresek yang berisi tahu isi dan tempe goreng dari warung tadi untuk ibuku dirumah. Setelah kudengar suara motor yang nyala. Kukira dia akan mengejutkanku seperti biasa karena ia tahu aku akan menengok. Tapi kali ini, saat kutengokkan pandangan, ternyata dia sudah memutar balik motornya dan memacunya dengan cepat. Dalam hatiku, "daah, hati-hati, Dim." dan tersenyum sendiri, kemudian kembali datar.
Sesampainya didepan pagar rumah, kutemui ibu diteras sedang bersama seorang tamu, oh dia ketua RT.
"Mah," kucium punggung tangan kanannya.
"Pak," kusapa, hanya itu, tak kucium tangannya karena enggan. Hahaha, bukan ayahku, omku, atau suamiku, eh? Hahahaha.
Kuletakkan tas ke meja belajar, juga plastik berisi tahu isi dan tempe di tempat yang sama, tapi lebih pelan. Kurebahkan sejenak tubuh yang lelah karena dari siang sampai dengan tadi sore, berkeliling ngalor ngidul. Tapi sesuatu mengusik jiwaku, ada pertanyaan yang mengganjal dikepala.
"Itu Saskia yang telepon?" itu pertanyaan yang terus menghantui pikiran sehatku. Yang kata dia sih, pikiranku akan selalu dan semakin sehat kalau ingat dia. Membosankan ya lelaki itu, dasar sahabatku, hahaha.
.
.
.
.
.
.
Bersambung..
@megawati
@liliana ze

Pulang (2)

Author : L.Gurman

Dimas menghela nafasnya, dan berusaha membahagiakanku dengan lawakan garingnya. Dia terus mengusik diamku, padahal ingin sekali tertawa. Tapi dia keterlaluan, kalau cuma sekali ya kumaafkan. Ini mungkin sudah puluhan kali aku dijadikan bahan tertawaan kelas. Berharap aku menghadiahinya sebuah tawa kecil dan sebuah kalimat "ya, kumaafkan" dariku. Nyatanya tidak. Kemudian dia diam, kudengar dosen terus mengoceh tentang leasee dan lessor. Apa kau tau itu? Itu pemeran utama dari drama yang kububuhi judul "pembayaran leasing". Aku yang bosan, hanya nunduk lalu melukis beberapa saja nama aktor korea yang kuinginkan, hanya bertemu bukan berharap menjadi pasangan hidup. Mimpinya terlalu tinggi, nanti jatuhnya makin sakit. Kembali ke suasana dan "dia" yang berubah.

"Lesta, kamu kenapa? Itu diliatin dosennya," ujarnya bisik ketakutan, ikut merunduk dan meyakinkanku, kalau dosen benar-benar sedang memperhatikanku. Aku langsung mengangkat wajahku, dan menegakkan dudukku. Saat kulihat, dosennya sedang menulis dipapan tulis dengan "anteng" dan jangan tanya selanjutnya bagaimana aku. Sudah jelas aku makin geram dengan sikapnya yang membuatku muak.
"Hahahaha," ia tertawa puas disebelahku, tapi dengan suara bisik yang tetap mengejekku. Kumaafkan untuk kali ini, dan kuputuskan untuk berhenti bercanda dan tetap belajar.
Oh iya, aku mengenalnya sejak semester awal sejak kami dipertemukan dikelompok yang sama dan ditunjuk sebagai ketua barisan. Tak usah dibahas bagaimana ia dipermalukan kakak kelas karena salah panggil nama kakak kelas, dan akhirnya.. jika kuingat itu, hanya akan membuatku tertawa terus saat melihatnya. Boleh aku tertawa lepas sekarang? HAHAHAHA.

Kami memacu nyali kami untuk tidak masuk mata kuliah Auditing II yang aku dan teman sekelas kenal bahwa dosennya adalah dosen yang kelak menguji kami nanti. Di sidang skripsi.
"Gausah masuk," ujarnya sambil asyik mengendarai motor santai,
"Heh, gila. Pak Haris sekarang!"
"Yaudah kamu aja, ntar aku turunin didepan kampus ya, Les?"
"Enak aja!" kutoyor helmnya dari belakang, motornya oleng. Atau memang sengaja ia kemudi dengan tak stabil.
"Heh pea! (Pea: entah tulisannya bagaimana yg pasti artinya lebih "bodoh") Yang bener, nanti gue gak jadi pake toga eh!" ujarku sedikit teriak dari belakang. Hujan, hujan! Sesegera mungkin ku instruksikan dia untuk menepi, kalau tidak bajuku akan basah. Baju dia? Tidak. Karena dia pakai jaket, bukan baju. Kalau kau tanya jaket dia, ya mungkin akan kujawab basah. Haha, bercanda. Dia juga selalu begitu, lupakan ini, boleh?

"Ini mienya,"
"Cie paham banget sih gue laper,"
"Lu kan gendut, Les" itu kata paling *kampret* yang kudengar darinya.
"Sialan, awas lu minta," kataku menarik mangkuk mie yang tadi ia pesankan untukku. Dia hanya tersenyum dan sesekali menyeka jaketnya yang sedikit basah.
"Gue ke kamar mandi dulu ya," ujarnya berlalu setelah kuberi anggukan, tak kujawab karena mulutku sudah kujejali mie. Maklum aku gendut, dan aku lapar. Untungnya sahabatku yang satu itu mengerti, aku sayang dia. Sekembalinya dari kamar mandi, dia meminta izin untuk merokok diluar. Untuk kali ini, kurespon saja ucapannya.
"Ishh, gak baik buat kesehatan. Kurus lo!"
"Ah temen gue gendut ini,"
"Haha!" jawabku sedikit ketus, aku marah saat dia mengungkit fisikku yang gempal seksi, itupun katanya juga. Hahahaha.

Seusai makan, kupanggil ibu warung.
"Berapa bu?"
"Anu mba, tadi sudah dibayar sama masnya yang pesen," ujarnya dengan intonasi medok khas Jawa Tengah itu.
"Oh? Makasih mba,"
"Enggeh mba,"
Lalu kuhampiri dia, tak kutemui batang rokok diantara jari jemarinya, baik yang kanan maupun yang kiri. Lalu dia ngapain daritadi disitu? Dia sedang akrab dengan teh hangat yang mengebul dengan dua bapak-bapak yang ikut mengebul juga, tehnya.
"Sudah?" kujawab dengan anggukan, dan senyuman untuk para bapak yang sudah baik menemaninya.
"Lu tunggu didalem aja, Les. Hujannya masih gede," ujarnya,
"Yah lu dingin juga, Dim,"
"Udah masuk sana, tuh disini nyiprat aer ujannya," ujar Dimas sambil menyuruhku untuk masuk ke dalam dengan kode kepalanya, dan aku menurut saja.
.
.
.
.
.
.
Bersambung

Pulang

Author : L.Gurman

Hujan sepertinya terus mengguyur bumi, tapi tidak untuk kepala dan seluruh tubuhku. Tak terkecuali. Aku berlindung di bawah naungan rumah mewah namun ngeri. Atapnya sudah usang tergerus zaman. Bukan, bukan untuk ribuan tahun yang lalu, hanya saja cuaca di Bogor ekstrim akhir-akhir ini. Hujan, lalu panas, hujan ya sesudah itu panas, hujan lalu ya hujan terus. Itu loh, yang sering dapat kutipan "pengirim" banjir ke Jakarta. Haha, kutertawai berita macam itu, terlalu menggelitik. Bukan tentang Jakarta banjir atau Bogor yang sering hujan yang akan jadi dongeng sebelum tidur para anak marmut yang lucu itu. Tapi dia, orang yang mengindahkan sulitku, dan menyulitkan indahku. Dimas Dirgantara, sahabatku yang mencoba menjadi temanku, "teman hidup" katanya. Sudah rajin kepalanya ia elus karena sakit, itu karenaku. Habisnya, dia terlalu sering menyesatkanku sampai dosen menggelengkan kepalanya untukku.
"Lesta, kamu ngapain?" Ujar dosen yang melihatku mendadak berdiri.
"Ngga pak, tadi katanya saya diabsen yang nilainya C pak,"
"Lesta, lesta, npm kamu berapa?" tanyanya sambil liat daftar nilainya.
"023 pak,"
"022, Adi Wicaksono. Bukan kamu,"
Semuanya tertawa, juga Dimas yang memberitahuku untuk berdiri dan menghampiri dosen. Katanya kalau tidak maju, tak bisa perbaikan nilai. Kurang ajar memang, aaarghhhh aku kesal. Saat kuhampiri bangkunya, dia hanya diam tapi masih ada tawa kecil bekas tadi aku dipermalukan.
Tapi sikapku tegas marah, tapi dia lebih punya ketegasan untuk membuatku tersenyum "lagi". 
.                                                  
.
.
.
bersambung

Sabtu, 21 November 2015

Ember bekas

Kalau besok lantai basah.
Mungkin ember itu sudah rusak.
Wajar, karena itu ember bekas, lapuk.
Kalau besok ada yang salah.
Mungkin kepercayaannya sudah rusak.
Wajar, karena sudah ada jejak kesalahan, mungkin berbekas. Bahkan berkerak, abadi.
Buang saja lah.
Tapi kalau sayang, simpan.
Jangan diperbaiki.
Sia-sia, simpan saja.
Jika ingin bertanya kenapa,
Disana ada pujangga nganggur.
Tanya saja, dia bisa jawab kok.
Sudah kutitipkan jawaban padanya.

Selasa, 03 Maret 2015

you'll be ok part.2 - ff EXO Chanyeol

Author POV  

Chanyeol terus mencari lift, keadaan di dalam mall sudah berantakan bahkan meja resepsionis pun sudah menjadi kepingan kayu tak bernilai. Debu, asap bekas bom yang berskala kecil yang digunakan untuk menakuti orang dan melancarkan aksinya sampai ke lantai 23. Ini hanya keluarga yang dendam terhadap pemilik mall, karena sebelum ia bangkrut ia membeli spot restoran itu untuk menjadi salah satu bagian dari perusahaan Korewa Group. Tapi presdir Jang tidak menyukai ini, maka ia membuat restoran itu bangkrut. Menurutnya kehilangan investor kecil tak akan membuat perusahaannya gulung tikar. Maka, presdir menyuruh orang untuk membuatnya bangkrut, dan memberikan kepada investor lainnya yang lebih menguntungkan grupnya.

Kembali kecerita di restoran tempat penyanderaan. Chanyeol sudah berada di lantai 23 dan dia masih bersembunyi diluar restoran. la melihat Inha yang nampak tegar namun tetap saja wajah ketakutannya terlihat jelas. Chanyeol sedang merencanakan sesuatu untuk menyelamatkan Inha dan semua orang disitu. Inha didorong hingga jatuh tersungkur, ia tak bisa menahan diri. Ia pun masuk, dan Jinwoo menyayangkan cara Chanyeol yang langsung masuk kesana. Mau tak mau, Jinwoo menunggu waktu yang tepat pula untuk masuk melindungi Chanyeol dan Inha.   Jinwoo akhirnya masuk segera menghajar orang yang menarik kerah baju Chanyeol, juga menarik Inha dengan kasar. Ia segera menarik penutup kepala dan terkejut saat mendapati seseorang yang ia kenal, itu kakaknya sendiri. Dia melepas tarikan kerahnya, dan berdiri sempoyongan tak tahu harus berbuat apa. Ia mendorong kakaknya kedinding dan menatap lurus ke mata kakaknya.
"Kak, kenapa kau melakukan ini?" tanya Jinwoo tak memutuskan pandangannya.
"Kau pikir kenapa ayah bunuh diri dengan menabrakkan diri ke bus malam itu?"
"Maksudmu?" sekarang malah Jinwoo yang kebingungan,
"lya, ayah memilih bunuh diri daripada melihat kita ikut menderita. Karena jika ayah mati, itu berarti asuransi ayah akan keluar, itu untuk biaya kita dipanti." jelas Hyunwoo,
"Lalu apa masalahnya dengan banyak orang seperti ini? Kenapa harus Inha yang kau sekap?"
"Karena ayahnya yang membuat ayah kita begini," Jinwoo hanya bisa nenatap lurus kearah dinding didepannya. Ia seperti sedang kebingungan, haruskah ia membantu kakaknya atau menyelamatkan orang-orang di sini termasuk Inha dan Chanyeol?
.
.

Author POV  

Jinwoo memilih untuk menggantikan diri untuk Inha dan Chanyeol, namun kakaknya tak mau menyakiti adiknya. Perseteruan mereka berdua dianggap penyelamat bagi semua yang ada di dalam, setidak memperlambat waktu mereka mati. Bom waktu belum ditentukan, dan Chanyeol diam-diam melepaskan ikatan tangan Inha. Ia juga ingin menolong Jinwoo, tapi diwaktu yang tepat ia akan mengalahkan kakaknya Jinwoo. Wajah Inha masih kaget saat mendengar sebuah kenyataan.
"Chanyeol," panggil Inha,
"Ya?" jawab Chanyeol yang masih sibuk membukakan tali pengikat tangannya, "Aku khawatir dengan Jinwoo,"
"Dia akan baik-baik saja," Chanyeol selesai melepaskan tali itu, Chanyeol menarik tangan Inha untuk bergabung dengan tawanan yang lain, tapi Inha menahannya. Ia pun menoleh ke arah Inha, dia memegang genggaman Chanyeol.  

Inha POV
 
Aku tak bisa membiarkan Jinwoo terus bersitegang dengan kakaknya. Aku pun berniat melepaskan genggaman Chanyeol, orang yang terlalu indah dan baik untukku. Wanita macam apa aku ini, lebih banyak mengecewakan dibanding membahagiakan lelaki yang jelas-jelas sayang padaku. Ia terlalu baik untukku, dan untuk usaha membalas kebaikannya aku akan menyelamatkannya dari sini. Inilah saatnya aku membiarkan ia tahu seberapa rasa sayang yang kumiliki untuknya. Chanyeol menatap genggaman tangannya semakin longgar dan lepas, ia memasang wajah tak percaya. Aku mempertegas tatapannya yang sengaja ia berikan untukku,
"Kau ini kenapa?" tanya Chanyeol,
"Aku tak akan membiarkanmu tersakiti." Lalu aku berlari ke arah Hyunwoo, aku harus mengambil remotenya. Biar aku saja yang terluka, demi nyawa ratusan orang yang ingin bertemu dengan keluarga mereka. Aku harus bertanggung jawab atas perlakuan ayahku kepada ayahnya Jinwoo. Aku mengambil paksa walkie talkie yang dimiliki petugas keamanan yang ada di barisan sana. Aku berjalan menuju petugas itu sambil mengusungkan remote itu. Jangan macam-macam, atau kalian mati!!!! Aku terus menahan emosi tangisku melihat Chanyeol yang menatapku sedih tak percaya. Setelah ku dapat, aku meminta tim pemadam kebakaran segera ke atas dan membawa orang-orang disini.
"Ini ancaman, kuberi waktu 30 menit. Kalian bawa orang-orang ini turun dari sini, jika kalian tepat waktu itu bagus. Tapi jika kalian terlambat, aku dan semua orang disini akan mati bersama. Ini bom waktu, aku akan menyalakannya saat kalian sudah menginjak mall ini. Utus para tim unit, aku akan menyalakan...." aku menatap jam dinding yang lurus dihadapanku,
"SEKARANG!!!" ujarku menahan tangis sambil menekan tombol setelah ku dengar kapten mengutus beberapa tim unit untuk kesini. Chanyeol bangun dari duduknya, aku menodongkan pisau yang kuraih dari meja makan. Kumohon Chanyeol jangan mendekat! Aku tak mau mekukaimu terus-terusan, izinkan aku saja yang berjuang untukmu! Jinwoo memanggilku dan bicara untuk tidak main-main dengan keadaan. Tapi aku kali ini tidak bercanda, aku ingin kalian semua selamat. Kalian, orang-orang yang kucintai. Aku membiarkan Kak Hyunwoo lari, biarkan aku saja yang menggantikan kesalahan mendiang ayahku yang meremehkan orang kecil. Chanyeol berhasil menggenggam tanganku dan menjatuhkan pisaunya. Ia memelukku,
"Jangan melakukan hal bodoh, aku takkan membiarkanmu disini. Aku akan membawamu turun juga," ia berbicara padaku dengan tulus, sepertinya ia tak marah padaku.
Aku tersenyum dipelukannya, Jinwoo dan kakaknya sudah keluar ruangan ini. Aku dan Chanyeol saja yang bertahan disini. Aku melihat digelangku terdapat kawat yang bisa menancap, kupikir inilah yang bisa menyelamatkanmu. Chanyeoool...
Kutusukkan kawat itu ke punggung Chanyeol dan kudorong dia ke dinding, agar menancap lebih dalam. Setelah ia mengerang sakit, baru aku berteriak pada petugas untuk segera menyelamatkannya.
"Toloooong!!!!"
"I-inha, apa-apaan kau!" ujar Chanyeol menghalangiku untuk memanggil orang yang ada diluar, ia masih merintih sakit. Ia memegang tanganku yang hendak berdiri, sengaja ku lempar tangannya, aku tak akan membiarkan dia disini. Aku berlari meminta tolong kepada seorang ahjussi, aku benar-benar ingin ia diselamatkan dari sini. Ia pun membantu menggotong Chanyeol bangun dan berjalan keluar.
"Inha, kau harus ikut denganku," Chanyeol menarik tanganku, aku menatapnya teduh, tersenyum, dan menanggukkan kepala. Ia juga tersenyum balik kepadaku, disitulah aku semakin yakin kalau kau mencintaiku. Setelah sampai di pintu darurat, aku berlari dan memencet tombol penutup pintu otomatis. Ia takkan terbuka dengan apapun kecuali tombol yang kutekan ini. Ku tahan dulu saat Chanyeol berteriak memanggil namaku.
"Inhaaaaaaaaa!!!!" kulihat ahjussi menahan Chanyeol mendekati pintu, aku tak bisa membendung lagi air mata. Aku memikirkan sesuatu yang membuat Chanyeol tak melupakanku,
"Oh iya, tunggu," ujarku mencari bingkisan yang ku hadiahkan untuknya. Ketemu!
"Chanyeol, dengar aku,"
"Rgghhhhhh" ia masih berusaha membuka pagar pintu darurat, aku pun menggenggam tangannya erat. Sangat erat, ini perpisahan.
"DENGARKAN AKU!!!!" saat aku berteriak, ia pun terdiam. Menatapku dengan mata yang berkaca, aku memberikan kado itu.
"Aku memberikan ini untuk satu hal. Kau harus melupakanku dan cari penggantinya. Jika kau cinta padaku, pandanglah hadiah ini tapi tolong kau harus bahagia." ia hanya diam dan meneteskan air mata.
Kujulurkan tangan, kuusapkan pipinya, kuhapuskan air matanya, kubuat ia takkan meneteskan air mata lagi. Ia memeluk tanganku yang masih ada di pipinya, ia memejamkan mata menikmati sisa waktu. Disaat seperti itu, terdengar suara mesin waktu yang semakin cepat. Segera kusadarkan Chanyeol dari khayalnya, ia pun membuka matanya.
"Inha, jangan,"
"Ahjussi, bawa dia ke satu lantai dibawah lantai ini. Jangan berdiri, merunduk terus lalu tiarap dibawah meja atau apapun itu.
Satu lagi.." ucapanku tertahan, "..jaga dia.." aku menjauh dari mereka. Aku pun menunggu waktunya, saat itu datang aku memilih memejamkan mata dan semua selesai....  

Author POV  

Setelah bunyi ledakan itu, ahjussi melambaikan tangan untuk meminta bantuan. Helikopter pun merapat, saat itu Chanyeol memanggil nama Inha untuk terakhir kalinya dengan nada berbisik sambil memeluk hadiah dari kekasihnya itu.
"Inha.." ia membuka matanya,
"..kau yang terbaik.." ia pun tak sadarkan diri.
Ahjussi dan dua petugas itu menjemput Chanyeol untuk dibawa ke rumah sakit. Saat mendarat, Jinwoo dan Eunji pun menghampiri Chanyeol dan menemaninya sepanjang perjalanan ke rumah sakit.
Eunji terus khawatir, dan Jinwoo sangat merasa bersalah. Ia membuka bingkisan yang Chanyeol peluk dari sebelum dibawa ke ambulance, ia terkejut saat melihat bahwa itu sebuah topi dan ada kotak merah. Ia tak mencoba membuka semuanya, karena Inha pasti ingin Chanyeol lah yang membukanya pertama kali.
Ia tersenyum menatap Chanyeol sebagai tanda bahagia dengan seorang lelaki yang beruntung dicintai Inha.  

Dua hari kemudian, Chanyeol baru bangun dari komanya sejak dibawa dari atas gedung. Ia mendapati ada Inha yang menyambutnya bangun, mencoba meraihnya. Ohh! Dapat, aku dapat merasakannya. Ini sungguhan, bukan mimpi. Saat ia hendak merapikan rambut depan yang menghalangi keindahan wajahnya, ia menahan dan meletakkan tangan Chanyeol jauh darinya. Dan saat itulah ia sadar, kalau Inha benar-benar sudah dalam kenangannya. Eunji sedang tertidur bodoh di sofa sana, Chanyeol teringat dengan hadiah yang Inha berikan padanya. Saat ia buka, ia tersenyum lebar, sedih, senang, terharu menjadi satu untuk selalu mengenangnya.    

Flashback: off  

Sekarang Chanyeol sudah berbahagia dengan Eunji, ia menikahinya setelah Eunji menyelesaikan studinya di Canada. Ia sskarang hanya ingin menyayangi Eunji dan kepadanya aku berusaha kuat dengan semuanya. Inha, terima kasih sudah membawaku menjadi lebih dewasa, menghadapi kehidupan ini.