Sabtu, 27 September 2014

Parodi CINTA WOLFiction part. 2 - EXO



Fanfiction Parody EXO – WOLF Drama Ver. Part 2

Review sedikit EXO – WOLF Drama Ver. Part 1
-          Luhan yang memiliki kekuatan aneh seperti yang dimiliki oleh Kris. Ia tak sengaja bertemu yeoja bernama Sohee dimalam itu. Saat beberapa orang yang terus mencarinya mengajak Luhan dan yang lain untuk berkelahi, mereka pun menyetujui cara itu. Berusaha melindungi teman barunya itu. Tak disangka tanpa sengaja karena kekuatan Luhan membabi buta, ia melemparkan pukulan pada D.O yang menyentuhnya untuk berhenti memukuli lawannya. Semuanya menjadi berubah, tak ada pertemenan lagi yang terlihat diantara mereka. Mereka pergi meninggalkan Luhan sendiri didalam gedung tua itu. Kekesalan itu masih menguasai diri mereka terhadap Luhan, apalagi Jongin atau Prince Kai.

Start...
            Keesokkan harinya, semua wajah anak – anak yang ikut berkelahi malam itu sudah tak karuan. Kai yang terluka di bibirnya juga Luhan, dan yang lain memar lebam di daerah wajahnya. Chanyeol masih merasakan sakit di tangannya, Lay masih merasa ngilu di kakinya. Sohee yang sesekali menengok ke sekitarnya, kembali menatap papan tulis dan memerhatikan guru yang berbicara didepan kelas.
            “Mereka benar tak tahu aku ada disana malam itu?” tanya Sohee dalam hati. Ketika matanya mengarah pada Luhan, entah mengapa ia selalu merasa terkunci. Tak bisa bergerak pada tatapan itu. Ia pun segera mengalihkan pandangannya, jangan sampai ada yang melihat. Luhan yang tersadar akan itu, membalas menatap Sohee yang sudah kembali menghadap ke buku dan papan tulis.
            “Mengapa kemarin kau tampak ketakutan seperti itu? Membuatku semakin bersalah, wajahmu waktu itu. Sohee,” ujarnya dalam hati, terus menatap Sohee dan tak melepas pandangannya pada Sohee. Ditempat lain, Kai juga menatap Sohee tanpa sadar ada seseorang lainnya yang lebih dulu memandangi wanitanya itu. Tersenyum, melihat Sohee membuatnya tersenyum dan kembali memerhatikan guru didepan kelas. Sampai akhirnya, bel pulang sekolah pun berbunyi.
            “Hei!! Ayo kita tengok D.O hyung!” teriak Sehun dari arah belakang setelah pelajar terakhir selesai. Luhan lebih memilih keluar kelas, ia sedang tak mau mendengar apapun. Dengan keadaan menahan sakit memegang perutnya, ia berjalan menggendong tasnya. Ia pulang lebih dulu, sekarang ia hanya bisa menjauh dari mereka. Ia memilih tak ikut menjenguk D.O, karena disana ada Kai yang masih merasa kesal dengan Luhan.
            Sesampainya dirumah sakit, mereka semua segera menghampiri D.O yang berbaring diatas tempat tidur. Sohee memilih tak banyak bicara dan terus tersenyum diantara mereka.
            “Kau sudah merasa lebih baik?” tanya Sohee dengan senyuman manisnya,
            “Ya, seperti inilah keadaanku. Sudah lumayan membaik, tapi masih terasa..” jawaban D.O tertahan, “AAAA...kakiku masih sakit, Chanyeol!” teriak D.O pada Chanyeol yang memainkan kakinya.
            “Perut kau masih sakit?” tanya Sohee tersenyum,
            “Iya masih. Sedikit lagi mungkin,” ujar D.O sambil memegang perutnya. Chanyeol dan Lay terus menggodai D.O yang masih sakit. Sohee terus tersenyum, dan tak ada wajah murung lagi seperti saat ia mengingat Luhan. Sohee menyuapi makan untuk D.O, dan matanya tak sengaja menangkap seseorang berdiri terjaga disana.
            ‘Luhan?’ bisiknya dalam – dalam, tak terdengar. Ia melihat Luhan sedang menatap D.O dengan rasa bersalah. Sebenarnya ia ingin selalu bersama teman – temannya itu, yang menemaninya pertama kali.
            “Hoaam, aku ngantuk,” ujar Sehun menguap dan menutup mulutnya kembali. Kai mengajak yang lainnya untuk pulang. Mereka pun berpamitan dengan D.O dan membiarkan ia beristirahat dirumah sakit. Di depan rumah sakit, Kai mengajak Sohee untuk pulang bersama tapi ia menolaknya ia ingin pulang sendiri. Sebenernya Kai memang menginginkan jawaban tidak dari Sohee. Karena ia berniat untuk mengunjungi rumah Luhan sepulang dari rumah sakit. Ia ingin berniat untuk meminta maaf pada Luhan dan mengajaknya berbicara. Tapi ternyata Sohee juga memiliki rencana yang sama, yaitu berkunjung ke rumah Luhan. Sohee menemui Luhan berdiri tak jauh dari gerbang keluar rumah sakit. Setelah ia tahu Sohee melihatnya, kemudian Luhan berjlana seakan menuntun Sohee yang berjalan tepat dibelakangnya. Sesampainya dilorong rumahnya, Luhan terjatuh karena menahan sakit yang sama sekali belum ia obati. Hanya masih ada memar di perut dan punggungnya.
            “Kamu tidak apa – apa?” tanya Sohee menghampiri Luhan yang tampak lemah,
       “Gwaechana. Aku masih kuat berjalan,” jawab Luhan berusaha tegar. Namun Sohee tetap membantunya bangun, dan membantunya menidurkan tubuh Luhan ditempat tidur.
            “Kau istirahat saja. Aku akan membuat bubur, jika sudah selesai akan aku bangunkan,” ujar Sohee tersenyum pada Luhan sambil membenahi posisi bantalnya. Luhan hanya bisa membalas senyuman Sohee tadi. Perasaan yang timbul selama ini membuatnya tersiksa. Ia serba salah pada Sohee juga Kai.
Tak lama, Sohee kembali ke kamar Luhan dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat untuk Luhan. Ia sedikit demi sedikit menyuapi Luhan sesendok bubur.
            “Apa aku tak mengganggu hubunganmu dengan Kai?” tanya Luhan pelan membuka obrolan yang semenjak tadi hanya saling tatap dan senyuman yang bertebaran.   
            “Aniyo, kau tak pernah mengganggu apapun. Malah aku yang selalu merasa mengganggu pertemanan kalian,” jawab Sohee,
            “Mwo? Aku tak mengerti maksudmu,” heran Luhan,
            “Aku menyukaimu,” ujar Sohee yang memilih mengakuinya terlebih dahulu, Luhan hanya tercengan melihat Sohee seperti itu. Tapi kemudian ia tersenyum menatap Sohee, dan melanjutkan memakan suapan buburnya. Waktu sudah berjalan cukup cepat, tampaknya malam semakin larut. Mamanya Sohee sedang tidak bisa menjemputnya karena lembur. Ditempat lain, Kai sedang berdiri didepan pagar rumah Luhan berniat untuk menjenguknya. Tapi apa yang ia dapatkan? Ia mendapati wanitanya yang baru keluar dari dalam rumahnya. Kai yang terkejut hanya bisa menahan rasa marahnya karena melihat kejadian tadi.
            “Sohee kau disini?” tanya Kai,
            “Iya, aku disini. Kau sedang apa disini?” tanya Sohee kembali,
            “Aku disini ingin menjenguk Luhan,” jawab Kai,
            “Baiklah, aku pergi lebih dulu ya,”
            “Iya. Hati – hati dijalan,” ujar Kai melambaikan tangan pada Sohee yang dari jauh membalasnya. Dan lama kelamaan saat Sohee tak terlihat dari pandangannya, Kai pun mendorong Luhan ke dalam rumah. Ia menarik kerah bajunya Luhan,
            “Kau masih mau dekati Sohee?” tanya Kai dengan amarahnya,
            “Bukan seperti itu, Kai. Tak seperti yang kau pikirkan,” jawab Luhan pasrah dalam keadaan seperti itu. Ia tak ingin melawan karena tak ingin memperkeruh suasana. Ditempat lain, ternyata orang yang selalu mencari Luhan membuntutinya. Orang itu menguntit Luhan sampai akhirnya menemukan kelemahan Luhan. Ia menjadikan Sohee menjadi barang ancaman yang bisa memancing Luhan datang ke hadapan mereka. Ketua organisasi itu akhirnya menyuruh beberapa orang untuk menculik Sohee saat pulang sekolah, esok petang.
            Sohee berjalan ke arah rumahnya, ia terus memikirkan bagaimana keadaan Luhan saat ini. Tapi dibalik lamunannya, ia sadar setiap langkahnya sedang diikuti oleh orang. Sohee mempercepat langkahnya, menghindar. Sadar akan Sohee yang mencoba menghindar, mereka segera menyergap Sohee dan membawanya ke dalam mobil. Karena Sohee memberontak, salah satu dari mereka memukul kepala Sohee dulu. Segaris jalur darah mengalir dari dahinya. Mereka segera membersihkan itu, agar tak dimarahi oleh ketuanya. Karena ketuanya meminta agar tak melukai Sohee sedikit pun. Sesampainya disana Sohee segera sadar dari pingsannya, ia pun langsung mengikuti mereka semua.
            “Halo! Luhan?” tanya ketua itu dengan senyum menyeringai. Ia tetap memegang tangan Sohee, tak akan dilepaskan sampai akhirnya Luhan datang.
            “Siapa ini? Itu suara Sohee! Dimana ini?” tanya Luhan panik mendengar suara Sohee,
            “Ditempat biasa. Datang sendiri, wanita ini tergantung padamu. Jangan panggil temanmu,” ujar ketua organisasi itu. Luhan mengiyakan rencana yang diminta oleh orang tadi, menukar Sohee dengan dirinya. Tapi diam – diam, Sohee mengambil handphonenya dan menghubungi Kai. Hari itu D.O juga baru saja keluar dari rumah sakit. Jadi mereka berencana untuk menyelamatkan Luhan dari ancaman mereka.
            “Kita harus menyelamatkan Luhan,” ujar Kai menghentikan langkahnya keluar kamar,
            “Apa maksudnya?” tanya Tao,
            “Benar, sepertinya Luhan dalam bahaya. Sohee baru saja meneleponku tapi tak sempat menjawab,” ujar Baekhyun,
            “Baiklah.” Kai dan yang lain segera menyusul Luhan. Luhan pun terus menatap teman – temannya yang datang hanya untuk menolongnya.
            “Gomawo,” ucap Luhan pada Kai,
            “A-ara ara..” jawab Kai tersenyum menyeringai manis, Luhan pun tersenyum padanya dan yang lain.
Mereka pun langsung berkelahi dengan anggota organisasi yang lain. Tao dan Kai yang paling bersemangat. Baekhyun mengerahkan segala jurusnya untuk melawan. Luhan menghampiri Sohee yang masih dipegang oleh sang ketua organisasi. Ketika ia hendak menghajar ketua itu, ia menatap mata Sohee yang ketakutan mengingat peristiwa waktu itu. Luhan yang terkunci pada tatapannya menahan pukulannya. Saat itu pula, salah satu dari mereka memanfaatkan kesempatan untuk memukul Luhan dari belakang.
            “LUHAN!!!!” teriak Sohee, teriakannya memanggil Kai dan yang lainnya. Mereka pun menghampiri Luhan yang terjatuh. Sohee tak mampu membendung air matanya lagi. Ia membiarkan air itu mengalir di pipi halusnya itu. Menetes tepat di tanda kekuatan yang Luhan miliki, itu membuat tanda itu pudar perlahan dan menghilang. Tak hanya tanda itu yang pudar, rambut Luhan pun berubah menjadi warna hitam. Hilanglah kekuatan luar biasa yang Luhan miliki.
            Dirumah Luhan sudah ada Kris yang terus membaca lewat indera keenamnya. Ia melihat ada seorang wanita yang membuat Luhan bukan sebagian dari dirinya lagi. Dan itu membuatnya kesal, dan ia selalu kesal akan itu.

Selesai *^^* The End of EXO – WOLF Drama Version ahahahah....selamat menikmati, kalau ada yang kurang boleh langsung bilang. Gomawo, gomapta, gomapseumnida. SARANGHAE!

(Inspirated by : Wolf drama ver. – EXO ver. Part 2)
Salam,
Toshiro Yagami
Gomawoyo, Nan neohuideul-eul saranghamnida!! Saranghaeyo~

Senin, 22 September 2014

Fanfiction MV JIN - Gone (Neoman Eobda)



Fanfiction ~ Inspirated by : MV Jin – Neoman Eobda

Cast :
-            Ara a.k.a Kim Yoo Jung
-            Ren a.k.a Xiumin

Hwang Ren atau panggil saja Ren adalah seorang anak laki – laki dari pasangan orang tua yang hidup dengan kehidupan yang serba berkecukupan. Hidup di kalangan orang kaya ini tak membuat Ren hidup manja. Ia di didik oleh kedua orang tuanya untuk tetap menjadi anak yang sederhana, dan selalu mensyukuri apa yang sekarang mereka miliki. Ia anak terakhir dari tiga bersaudara, kedua kakaknya adalah perempuan, mereka bernama Sohee dan Yuna. Untuk kalangan keluarga kaya, anak perempuan tidak diwajibkan untuk memiliki keahlian di salah satu alat musik klasik. Ya piano, alat musik yang sepertinya setiap permainannya membuat orang terkagum. Karena ia satu – satunya anak laki – laki, ia diwajibkan oleh kedua orang tuanya apalagi ayahnya, ia ingin anak lelakinya pandai bermain alat musik itu. Untuk memenuhi keinginan kedua orang tuanya. Tempat latihannya cukup jauh, rumah itu terletak di Daegu. Rumah itu milik seorang seniman handal yang mahir memainkan piano. Ia adalah teman baik ayahnya Ren sewaktu SMA. Dengan sangat berat hati, liburan musim semi ini mesti dipenuhi dengan pulang pergi Seoul – Daegu, demi memenuhi keinginan ayahnya. Kedua kakaknya sudah lebih dulu menguasai alat musik Biola dan Harpa.
            “Eomma, apa harus aku sibuk seperti ini diliburan musim semi? Pulang pergi Seoul – Daegu?” tanya Ren merajuk,
            “Ya, ini keinginan ayahmu. Ibu bingung harus bagaimana, kau turuti saja apa maunya ayahmu. Tunjukkan kalau kau bisa membahagiakannya,” ujar eomma Ren,
            “Sepertinya diliburan ini aku akan kelelahan,” celetuk Ren,
            “Sabarlah sedikit. Eomma yakin kau akan menyelesaikan ini secepatnya. Nah, sekarang kau tidur,” ujar eomma Ren,
“Baiklah,” jawab Ren membaringkan tubuhnya.
            “Besok kau harus berangkat ke Daegu. Untuk pertemuan pertama,” ujar eomma Ren, sambil membenahi selimut Ren dan membaluti tubuh anaknya yang sudah berbaring. Senyuman dari Ren pun ia lontarkan untuk eomma-nya yang akan pergi keluar kamar. Ayahnya sudah menyediakan sebuah mobil pribadi untuknya pulang pergi Seoul – Daegu. Tak lupa dengan beberapa pengawal untuk menjaganya selama berlatih disana dan mengantarnya kembali ke rumah. Dari dulu, ayah dan ibunya selalu mengkhawatirkan penyakit itu. Ren yang memiliki kelainan pada jantungnya, mencoba untuk tetap menjaga kesehatannyasampai ia mampu membahagiakan kedua orang tuanya. Itu sebabnya, ayah Ren tak pernah membiarkan anaknya itu pergi kemana – mana seorang diri. Malam itu pun berlalu, semua orang dirumah beristirahat untuk menunggu kehadiran sang fajar. Pagi nanti.
Pagi hari disebuah rumah mewah milik keluarga Ren,
            “Pagi eom! Pagi appa!” ujar Ren menggendong tasnya turun dari tangga dan menghampiri meja makan. Ia meletakkan tasnya di kursi sebelahnya dan ikut duduk untuk sarapan bersama – sama. Dengan wajah ceria dia mengambil sepotong roti, dan mengolesinya dengan selai favoritnya, strawberry. Kedua kakaknya tersenyum melihat tingkah adiknya yang tak seperti biasa itu.
               “Eoh, Ren. Kau tampak ceria sekali sepertinya. Ada apa?” tanya Yuna penasaran,
            “Ah, aku kan akan pergi ke Daegu untuk pertemuan pertama. Aku sangat senang dan tak sabar seperti ini, noona,” jawab Ren,
              “Haha, tumben sekali. Kau kan disana akan belajar, bagaimana bisa kau senang seperti ini?” tanya Yuna heran,
               “Karena aku akan belajar untuk diriku, jadi aku harus senang,” ujar Ren,
         “Baiklah. Adikku ini memang selalu menang dalam mencari muka. Haha,” jawab Yuna tertawa bersama Sohee, eomma dan appa mereka hanya tersenyum. Ren hanya tersenyum lebar sambil melahap roti yang tadi sudah diolesi selai strawberry. Ayah Ren lebih dulu selesai sarapannya dan segera keluar rumah, disusul kedua kakaknya. Mereka berbincang dulu di meja makan, dan tak terasa sudah memakan waktu. Klakson mobil berbunyi, tandanya ayah sudah cukup muak menunggu Ren yang makannya belum selesai.
              “Chakkaman! Eomma, aku lupa membawa bukunya,” ujar Ren,
          “Aigoo~ Ya sudah. Cepat lah kau cari, nanti eomma yang akan kedepan menemui ayah. Untuk menunggu sebentar lagi,” ujar eomma, Ren segera berlari ke kamarnya. Ia mulai menengok semua celah kamar untuk mencari bukunya. Buku itu berisi not balok sebuah lagu yang ingin ia latih nanti di Daegu, ia tulis kemarin malam. Tak lama, ponselnya berdering. Sohee noona!
            “Ren, ya! Cepatlah sedikit, ayah sudah menunggumu disini,” ujar Sohee dengan nada sedikit tinggi, karena ayahnya sudah marah didepan sana.
            “Iya, tunggu sebentar. Kau lihat bukuku yang kau kasih waktu itu tidak, noona?” tanya Ren sambil sibuk mengangkat beberapa bukunya yang barangkali menimpa buku spesialnya itu.
            “Omo! Kau daritadi mencari buku itu?” tanya Sohee noona,
              “Iya, kau tahu?” Ren kaget,
            “Siapa yang kemarin menyuruhku menyimpannya didalam tasmu. Katamu kan agar pagi nanti tidak ketinggalan. Kau bagaimana sih?” ujar Sohee noona ditelepon,
                 “Aigo, ya! Daritadi dong kasih tahunya,” dumel Ren yang melangkah meninggalkan kamarnya,
         “Kau tidak bertanya dulu sih,” Sohee noona menutup teleponnya, karena melihat Ren sudah melangkah keluar. Akhirnya mereka pun berangkat, ayahnya mengantar Ren untuk pertemuan pertama ini. Agar Ren tak merasa canggung, dia memilih untuk membaur dulu dengan pelayan rumah yang akan menjadi pelayannya di rumah itu. Karena masih masa libur musim semi, ia memilih menginap saja disebuah paviliun dirumah itu.
         “Paman, disini memang sepi seperti ini setiap hari?” tanya Ren saat berkeliling rumah itu, saat itu pemilik rumah masih akrab berbicara dengan ayah Ren.
        “Iya, memang seperti ini. Sejak dia pergi meninggalkan rumah ini untuk ikut dengan ibunya. Sejak orangtuanya berpisah,” ujar paman tersebut,
           “Dia? Siapa itu, paman?” tanya Ren,
           “Anak perempuan Tuan Kim. Dia pindah ke Inggris dua tahun yang lalu,” ujar paman,
           “Namanya siapa, paman?” Ren mencoba mencari tahu,
           “Namanya Tiara, biasa dipanggil Ara,” jawab paman,
           “Memangnya disana dia ngapain, paman?” tanya Ren,
          “Dia disana belajar, menyelesaikan pendidikan SMP nya. Ia lulus setahun yang lalu, ah sudah. Jangan banyak bertanya, lebih baik kau cepat ke dalam rumah. Sebelum Tuan Kim mencarimu,” ujar paman menggiring Ren kedalam rumah. Ayah Ren memperkenalkan anaknya kepada teman SMA nya sekaligus guru piano Ren nantinya.
          “Jeoneun Hwang Ren imnida, annyeong haseyo,” sapa Ren memperkenalkan diri,
        “Baiklah. Kalau begitu, dia sudah bisa aku tinggal kan?” ujar ayah Ren kepada Pak Kim, guru piano Ren.
         “Iya. Sudah, haha sebaiknya kau ke kantor sekarang. Aku akan membuat anakmu pandai memainkan piano,” ujar Pak Kim berjalan melewati Ren yang duduk, ayah Ren mengikutinya ke depan. Dan suara mobil pun bunyi, dan semakin menjauh, ayah Ren pergi. Dan ia harus berjuang belajar sekarang. Sehari – hari, Ren hanya tidur, makan, latihan dan sesekali berlari pagi bersama paman penjaga Ren. Ren sedikit membenci tindakan pengawal ayahnya yang terus membuntuti kemanapun ia pergi.
          Telepon berdering, eomma menelepon. Ren merindukan panggilan ini,
         “Ren, eomma rindu. Kau akan pulang hari ini,” ujar eomma Ren,
         “Eoh, jinjja?” Ren kaget,
         “Ye, kau akan pulang malam ini. Tapi dua hari lagi, kau akan kembali kesana. Kau akan menghabiskan liburan disana kata appa-mu,” jelas eomma Ren. Sepertinya ia mulai malas mendengar harus kembali kesana. Disana tidak ada sesuatu yang spesial daripada kota Seoul, ia tak boleh kemana – mana. Itupun sekalinya pergi keluar rumah harus dikawal oleh pengawal suruhan ayah Ren. Dia pun menutup telepon eomma-nya setelah sekiranya usai berbicara.
       Setelah mereka bertemu dan menghabiskan waktu bersama dirumah, Ren pun kembali ke Daegu. Senyuman menyambut ia dirumah sana, ya paman menyambutnya dengan senyuman yang lebar. Ia pun masuk ke dalam rumah untuk memulai kelasnya. Dari luar terdengar suara mobil datang mendekati rumah dan berhenti didepan. Ren mencoba mengintip jendela siapa yang datang, sepertinya ia tahu siapa itu. Wanita yang berwajah lugu itu sepertinya Ara yang paman ceritakan, anak Pak Kim. Ditengah pelajaran, Ren terus mencuri pandang pada Ara yang masuk ke dalam rumah.
          “Kau mau belajar atau tidak?” ujar Pak Kim sambil memukul sticknya pada buku teksnya,
        “N-ne, mianhada,” jawab Ren kaget, dan ia membiarkan Ara berlalu dari matanya. Ia akan mencari dan menemuinya nanti.
            ‘aku akan menemuimu, Ara. Haha,’ ujar Ren dalam hati sambil tersenyum melihat naskah nada yang sedang ia pakai untuk latihan.
          “Baik, kau boleh istirahat dulu. Aku akan kembali mengajar sore,” Pak Kim pun pergi keluar ruangan. Ia bertemu dengan Ara saat berpapasan, tapi sedikitpun Ara menatap Ren. Ia malah melengos melewati Ren yang mencoba menunjukkan pesonanya. Pengawal ayahnya datang,
“Ayo  cepat istirahat. Jangan mengganggu putri Pak Kim,” ujar pengawal itu dan Ren pun diam mengikuti instruksi pengawal itu. Ren menghampiri paman pelayan itu, ia menghabiskan waktu istirahat bersamanya. Ia mulai mewawancarai paman tentang Ara yang baru datang ke Daegu. Terdengar suara Pak Kim yang sedang membentak seseorang. Ia pun beranjak dari dapur, pura – pura mengintip sambil memakan sebuah anggur sebagai kamuflase. Ia meminta untuk paman pelayan menemaninya untuk berlatih sebentar diruangannya. Ia melihat Ara dimarahi karena tak bisa menempatkan nada pada nadanya,
            “Kau bisa lebih baik bermain piano ini? Coba rasakan alunannya, ya sudah kita istirahat. Berhenti memakan permen saat latihan,” bentak Pak Kim pada Ara yang terus memakan permen saat latihan. Pak Kim akhirnya meninggalkan Ara diruangannya. Karena terkejut, Ara menumpahkan permennya ke lantai. Ren kaget melihat cara Ara memungut permennya. Ia meraba seakan tak tahu dimana permen itu berada. Akhirnya Ren pun bertanya pada paman pelayan itu,
            “Paman, apa Ara tidak bisa melihat?” tanya Ren,
            “Shhhttt..jangan membicarakan apa – apa disini,” ujar paman,
            “Iya. Tapi apa benar?” tanya Ren,
            “Iya benar. Sudah, belajar lagi saja,” ujar paman pelayan. Ren pun melanjutkan latihannya, sampai ia mampu menyelesaikan tugas dari Pak Kim. Ia mengintip dan melihat Ara yang sendiri mencoba memainkan, ini kesempatan bagus untuknya. Ren pun datang untuk memainkan beberapa nada, membantu Ara memainkan piano. Tentunya nada yang sudah Pak Kim ajarkan, agar Ara pun mampu memahami setiap alunannya. Ara mulai tersenyum tanpa tahu siapa yang membantunya bermain piano. Alunannya terdengar nyaman, indah, senyuman Ara terus bertahan diwajahnya. Karena mendengar suara langkah kaki seseorang, Ren pun bersembunyi dibalik piano.
         “Kau yang memainkan pianonya tadi?” tanya Pak Kim pada Ara, tanpa menjawab Ara terus tersenyum dan merasakan lagi bekas sentuhan seseorang itu. Ara tahu, ia murid ayahnya. Permainan Ren yang masih membekas di telinga Ara. Karena tak mendapat jawaban, ayahnya Ara meninggalkan ia lagi sendiri didalam ruangan. Ren mengintip dan kembali duduk disamping Ara. Ia melanjutkan permainannya,
            “Kau senang?” tanya Ren menatap Ara dan tangannya tetap menekan tombol nada piano untuk mengalunkan lagu. Ara tersenyum lebar, matanya indah, Ren senang melihat itu. Tak lama dada Ren kembali sakit, dan ia mencoba mengambil sesuatu di saku bajunya. Ia pun meminum obat untuk menekan rasa sakit yang terasa sewaktu – waktu. Yang Ara tahu yang Ren makan adalah permen, sama dengan yang selalu ia makan.
              “Kau makan permen?” tanya Ara polos,
         “Ne, sekarang kau makan juga ya,” ujar Ren, “..buka mulutmu, aaa..” aba – aba Ren hendak menyuapi permen untuk Ara. Telunjuk Ren mengenai bibir Ara, dia tersenyum menatap telunjuknya. Seakan Ara pun mengerti apa yang Ren rasakan, ia pun ikut tersenyum. Keesokan harinya, Ren mengajak Ara berbicara agar bisa lebih dekat lagi. Ren memeriksa keadaan sekitar, ia tak menemukan siapapun disana.
          “Aman!” gumamnya, tangan Ren melambai memanggil Ara agar segera mengikutinya. Ia sadar kalau Ara tak bisa melihat. Ren meraih tangan Ara untuk pergi bersamanya. Ara terkejut, matanya seketika terbuka lebar, tanpa terlihat apapun yang ada didepannya. Ia hanya tersenyum saat mulai merasakan genggaman tangannya mulai mengenal tangan Ren. Dibelakang rumahnya, Ren pun mengajaknya duduk dikursi yang berada disana entah sejak kapan.
       “Kau mau mencoba mengenalku?” tanya Ren tersenyum dihadapan Ara, tanpa ada yang melihat termasuk Ara.
       “Hmm,” Ara kembali tersenyum dan mulai meraba wajah Ren. Senyumannya semakin lebar dan merekah. Ren pun mulai menurunkan tangannya ke dada kirinya. Mengenalkan Ara dengan detak jantung miliknya, ini akan berbeda pada setiap orang. Tangan Ren terus memeluk tangan Ara yang tetap meletakkan di dada Ren. Ren merasakan sakit lagi didada kirinya, wajahnya terus meringis dan ia pun meminum obat yang biasa ia minum. Permen Ren, begitu penilaian Ara. Pengawal yang sudah berkeliling rumah mencarinya, langsung menarik paksa Ren. Karena ia harus ke rumah sakit untuk diperiksa. Juga atas suruhan ayah Ara yang tak ingin melihat anaknya dekat dengan Ren. Ayahnya takut kalau Ara mulai mencintai Ren yang tahu akan meninggal, ia akan sakit hati. Ayahnya Ara hanya bisa melihat dari lantai atas. Di lantai bawah, Ara sedang merangkak mencari Ren dan obatnya yang ia dengar jatuh ke tanah.
        “Ren,” bisik Ara sambil terus mencari obatnya, setelah dapat meraih itu. Ayahnya membangunkan dirinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar.
            “Sedang apa kau tadi?” tanya ayahnya,
           “A-aniyo. Aku tak melakukan apa – apa, appa. Kemana Ren?” tanya Ara terus menggenggam obat Ren,
        “Dia pulang sebentar. Ayahnya ingin menjemputnya dulu,” jawab ayahnya menjaga perasaan putri kesayangannya itu. Ara hanya mengiyakan saja tanpa tahu yang sebenarnya terjadi didepan matanya. Ia hanya tahu suara Ren yang menjauh dari dirinya.

Satu hari.....
Dua bulan.....
Enam bulan.....
Ren tak kunjung datang, permen yang menjadi cemilannya sudah habis. Ia menunggu Ren tiba, tapi masih tak datang. Ia terus memutar tempat ‘Permen Ren’ itu, berharap akan ada kejutan darinya. Dan datang bermain musik lagi untuk Ara, tapi nyatanya tak datang. Pagi itu, Ara keluar kamar hanya untuk sarapan. Setelah itu ia melanjutkan penantiannya didalam kamar, musim dingin sudah akan tiba. Ia masih belum datang mengunjunginya. Ternyata selama itu, Ren dirawat dirumah sakit setelah melakukan operasi jantung. Hasil yang kurang memuaskan membuat Ren tak putus asa. Ia gunakan sisa hidupnya itu untuk pergi ke Daegu, menemui tuan putrinya.
“Kleek..” suara gagang pintu pun berbunyi. Seseorang masuk ke dalam ruangan piano, itu yang terpikir dalam pikiran Ara. Mata indahnya terbelalak menyadari itu.
           “Ren,” sapa hatinya, senyuman diwajahnya kembali merekah. Ia bahagia, ia terharu, ingin meneteskan air mata. Tapi Ara hanya punya beberapa rasa sedih tanpa air matanya. Ia buta. Ren memainkan sebuah nada seperti pesan yang memiliki arti, “aku mencintaimu dari seluruh dirimu,” tak sampai nada terakhir, ia pun meninggal. Mata Ara kembali terbelalak, ia terkejut. Ren tak memainkannya sampai selesai, ia kecewa. Matanya mulai berkaca,
            “Ada apa dengan Ren?” rintih hatinya,
Nada yang semestinya sebagai pesan terakhir yang akan Ren berikan pada Ara sebelum ajalnya, hanya sampai ungkapan, “dari seluruh dirimu.” Ia belum sempat menyatakan bagian “aku mencintaimu” dalam pesan terakhirnya. Pengawal Ren pun menggotong tubuhnya dan membawanya ke dalam mobil. Tanpa sepengetahuan Ara, tubuh Ren kembali dibawa menjauh dari dirinya. Lagi. Ayah Ara yang menyadari putrinya sedih menyadari Ren tak memainkan nada itu. Ia pun melanjutkan nada itu dan menggantikan isi pesan Ren.
            “Dia mencintaimu,” pesan itu pun sampai dihati Ara. Tampak jelas wajah Ara yang lega mendengar itu, dan meneteskan air mata yang sekiranya bisa ia keluarkan. Sebagai ungkapan, “aku juga mencintaimu,”

Selesai. (^,^)v
             
Happy Ending yaa ceman – ceman :*. Semoga selalu setia pada fanfiction yang terinspirasi dari berbagai MV yang menyentuh. Terus setia lihat fanfiction lainnya ya, terima kasih.


(Inspirated by : MV JIN – Neoman Eobda (Gone) )
Salam,
Toushiro Yagami
(selaku tim ekspedisi dua dunia >>dunia sadar dan tidak sadar<<)