Kamis, 16 Juni 2016

Dan aku.

Kalau bisa aku pergi melayang jauh, aku akan memilih kehatimu. Iya, karena disitulah letakku mengharapkan kebahagiaan. Aku yang sedang terkapar tak berdaya karena sama sekali tak ada yang kuharapkan selain dari seorang dia saat ini. Dia, orang yang kugantungkan harapan bersamanya. Entah sampai kapan itu.

"Ren, woy!" panggilku,

"Ya? Ada apa?" tanya Renaldi menoleh ke arahku yang sedang berjalan menyusuri lorong.

"Dimas mana? Kok ga keliatan ya? Mau bareng dong pulangnya,"

"Dimas sih gatau yah, gue juga gak liat dia daritadi. Palingan juga absen," jawab Ren sambil memakai jaket. Tasnya kupegangi dulu karena dia menitipkannya tadi meski perjanjiannya sebentar. Dia menitipkannya sampai parkiran motor dan bodohnya aku mengikuti maunya.

"Boleh bareng nih?"

"Yuk. Meisya lagi berantem sama gue, jadi dia pulang duluan. Yaudah biarin aja lah," ujarnya sambil mengunyah permen karet yang sejak di kelas tadi ia mainkan. Tanpa henti. Apa cintanya juga begitu? Penuh dengan main-main dan kefanaan manusia yang menggilai cinta? Aku duduk di jok belakang motornya, berharap keajaiban datang. Dimas menyuruhku untuk duduk bersamanya di motor yang ia miliki dan menyusuri jalan raya bersama. Ia manis, aku suka. Tapi caranya terlalu mainstream, kalau Ren tidak. Dia punya 1001 cara agar aku atau orang lain yang memilih pulang bersamanya, tertawa.

Awalnya ia tak pernah membawa Meisya berkumpul bersama dengan kami walaupun sebentar. Aku hanya ingin tahu, siapa yang berhasil membahagiakan temanku. Setidaknya kami paham harus menyalahkan kepada siapa saat salah seorang diantara kami terluka hatinya. Ren berusaha menelepon Dimas saat di lampu merah, tapi sama sekali tak ada jawaban. Dan terus dia lakukan seperti setiap kali papasan dengan lampu merah. Ia sangat aneh, tak biasanya begini, menunggu lampu merah menyala dan memainkan ponsel. Terus menerus. Kurasa ini bukan menghubungi Dimas, atau mungkin mereka memang sedang janjian futsal atau apa gitu? Entahlah, nanti kutanyakan pada Bedu saja lewat LINE. Biasanya dia mengajakku bercanda sepanjang perjalanan dan kali ini, tidak. Mungkin sedang ada masalah tanpa ujung, kurasa begitu.

Sesampainya didepan rumah, mamaku sedang membeli sayuran di depan rumah. Aku turun dari motornya dan menyuruhnya untuk menyalami mama yang ada di dekat kami.

"Re, salam dulu ke mama gue,"

"Iya bentar. Ini Meisya kerjaannya ganggu mulu, tadi bilang gak mau dianterin. Sekarang bilang gue disuruh jemput,"

"Yaudah, gak usah mampir. Salam aja, langsung pergi nanti. Meisya jemput tuh," jawabku menyuruhnya untuk segera menghampiri mamaku dan segera menjemput kekasihnya yang cantik itu. Setelah dua bulan berpacaran, barulah kami tahu bahwa bidadari yang membuat Ren tersenyum selalu adalah dia, Meisya. Yang teman sekelasku, hanya saja ada jarak diantara kami karena dia artis. Ya, artis remaja, setidaknya wajah cantik dan imutnya itu sudah ada di berbagai merk terkenal baik makanan maupun kosmetik. Dulu bukannya Ren tak mau memperkenalkan kekasihnya, tapi memang tak ada waktu untuk sekedar nongkrong bersama di warung kopi. Hari ini kata Ren, Meisya marah karena seharusnya Ren menemaninya ke studio pemotretan untuk produk busana ternama di Indonesia. Kata dia juga, Meisya mengajaknya untuk menggantikan model laki-laki yang seharusnya melakukan pemotretan hari ini.

"Gue sih males lah kalau udah di suruh begini. Emang dia pikir gue itu siapanya dia sih?"

"Yaudahlah, Ren. Permintaan pacar lu juga kan ini?" tanyaku meyakinkannya, dan berusaha membela temanku, Meisya. Entahlah dimatanya aku teman atau bukan.

"Masalahnya ini udah berlangsung selama dua tahun, masih syukur Key segini juga. Lu tau sendiri mantan dia berapa biji, pacaran yang lama sama gue doang. Dan lu tau apa?"

"Apaan Ren?"

"Kata Bedu kemaren, gue udah digosipin ‘kacung' nya Meisya. Dan semua teman sekolah kita dulu sama anak kelas di kampus udah tau, lu belom tau emangnya?"

"Belom," ujarku berusaha menyembunyikan. Padahal jauh sebelum Bedu, aku sudah mendengarnya dari mulut Meisya sendiri. Waktu di kamar mandi, tak sengaja terdengar karena aku sedang buang air kecil di salah satu kamar mandi.

"Jangan deh. Itu gosip malu-maluin banget, gue takut lu gak mau temenan sama gue lagi. Cukup dah temen gue itu lu, Bedu sama Dimas apalagi Lita pesutku," ujarnya duduk karena lelah berdebat di telepon dengan Meisya. Ia memutuskan untuk berteduh di rumahku dulu, cuaca panasnya membuat dia semakin lelah dengan keadaan. Dia mulai tak peduli dengan raungan Meisya kali ini, ia terlihat sangat lelah. Setelah kuajak bicara selama dua jam dan sekarang sudah sore, ia pun pamit pulang. Mama ikut mengantarnya sampai depan pagar, dan saat ia menyalakan mesin motornya, mama memilih masuk. Tapi aku tidak, aku malah tersenyum melihat motornya yang menjauh dariku dan lambaian tangan untuk pertama kalinya. Kuacuhkan hal yang membuatku senyum tadi dan segera mengunci pintu. Besok akan menjadi hari yang menegangkan karena Bu Ellyn akan mengadakan kuis dadakan. Kuliah memang begini, ikuti, pelajari materi semalaman kalau ada kuis, salin dari google kalau ada tugas lalu lupakan setelah itu. Aku dan Ren akan menjadi tim yang bertanggung jawab atas pengumpulan materi kuis nanti. Aku yang mencari, dan Ren yang akan mengatur semuanya, agar semua bisa disembunyikan dengan baik dan benar. Meskipun cara kami tak sama sekali bisa dibenarkan atau dikatakan baik, namun kami memang butuh ini untuk bersaing diantara mahasiswa yang mengejar nilai juga dosen yang memperhatikan nilai saja. Kebetulan kami hanya sekumpulan mahasiswa yang sedang mencari ilmu. Dan memahaminya tak cukup dengan sebulan untuk beberapa bab yang menyebalkan itu. Bukan karena dosennya yang tak mampu mengajar kami, hanya saja kapasitas otak kami hanya sampai batas gigabyte, belum sampai terabyte. Mungkin aku takkan bertemu dengan mereka semua jika otakku sepandai Einstein. Manusia-manusia gila yang haus akan wanita seksi namun tak pernah berani menyapa lebih dulu. Aku disini dimanfaatkan untuk membuka kalimat dengan beberapa wanita itu. Dan setelah itu, sudah dibayangkan bagaimana jalan ceritanya. Ada yang bertahan sampai seminggu, ada yang sial hanya kenal sebatas dua hari karena ternyata wanita itu sudah memiliki kekasih. Ada pula yang harus terjebak sampai ke kantor polisi, ternyata dia dijebak menjadi supir pribadi wanita yang menjual na******. Bisa kujelaskan saja siapa mereka?

Dimas, dia pria asli Bandung yang merantau ke Kranggan lalu dia memilih tinggal di Bogor. Dia sedang mengambil jurusan kuliah menjadi pria yang tangguh untuk menggoda beberapa wanita cantik. Inilah yang membuatnya tersandung kasus dengan seorang wanita. Ia hampir dipukuli oleh pacar wanita itu, waktu kemarin di cafe ‘d'kems' bersama dengan kami bertiga lainnya. Lita saat itu absen dulu, karena dia mesti kerja rodi dengan ibunya di Toko Kue milik ibunya. Aku bagian yang mendekati awalnya, hanya dengan beberapa kata wanita itu memang kuakui terbuka pikirannya. Dia juga ramah dengan orang yang baru ia kenal, iya maksudnya aku. Dimas akan datang berpura-pura menjadi orang yang kutunggu daritadi. Setelah acting-nya yang sok kenal dan sok asik, aku akan mundur dan kembali bersama Ren dan Bedu yang menunggu di meja lain. Menurutku dia tak salah, karena kulihat wanita itu nyaman saja diajak bicara, bercanda bahkan mau dipegang tangannya. Dan tak lama, seorang lelaki mendekati mereka berdua dan saat itu Bedu juga Ren tidak melihatnya. Hanya mataku yang saat itu tak sengaja memantaunya.

"Ngapain lo?! Nyari mati gangguin cewe orang?" teriak lelaki itu, dia terus menarik tangan wanita yang tadi Dimas pegang juga. Dia diam dan mencoba untuk menjelaskan semuanya, berharap semua akan baik-baik saja.

Aku harus kesana, dan melanjutkan drama yang sudah kupikirkan sebelumnya. Mestinya aku menjadi aktris daripada berusaha menjadi seorang akuntan. Aku berlari dan sibuk menelepon supirku, Pak Rahmat agar membawa kotak P3K yang ada didalam mobil. Kupecahkan gelas yang kubawa, dan berhasil melukai kaki wanita itu. Lalu aku tarik baju Dimas dan dengan kesal beberapa acting yang kupikirkan telah kulakukan.

"Jahat! Gitu? Iya? Sekarang udah nyuruh aku duduk disana kamu suruh aku jadi temen aja, sekarang kamu malah selingkuh. Iya?!" teriakku didepannya. Berusaha untuk lebih tegas lagi dan lebih garang dari amarah pria tadi. Dimas langsung diam terpaku, dan hanya mengikuti apa mauku. Dia terlalu pasrah, dan dia mestinya menikah dengan temanku namanya Isny. Sekedar info, dia adalah teman sekelasku juga saat aku berkumpul dengan para wanita yang hobinya gosip. Aku juga menyukai kegiatan itu.

"Mbak, gak apa-apa kan?" tanyaku, langsung mengambil kotak P3K yang dibawakan Pak Rahmat tadi. Dan segera mengobati lukanya dan aku kembali membentak Dimas untuk duduk dikursi yang agak jauh dariku saat aku mengobati kaki wanita itu. Hanya serpihan kecil yang menggores, bukan potongan kaca yang tertancap.

"Sudah, maafin pacar saya ya mas, mba. Permisi," ujarku pada mereka dan memberikan kotak P3K ke Pak Rahmat dan menyuruhnya untuk menunggu dimobil lagi. Saat aku dan Dimas kembali, Bedu dan Ren sudah mulai tak tahan menertawakan sahabatnya yang satu itu. Dan mereka menunjukkan ‘respect' dengan sandiwaraku yang kelas dunia.

"Demi dewa, Keisha benar-benar aktris dunia, menciptakan kedamaian dari perang dunia yang hampir pecah tadi. Wah wah," ujar Ren. Kulempar dia tissue bekas mengelap tanganku yang menyentuh betis wanita tadi.

Kami pun akhirnya pulang dengan sisa tawa yang masih ada karena kejadian hari ini. Dimas, dia tak pernah jera karena masalah itu dan bodohnya dia bangga sudah berteman di semua sosial media wanita itu. Dia tak berpikir akan ada masalah apa lagi jika aktivitasnya ketahuan lelaki yang tak lain adalah kekasih hati wanita yang kemarin hampir memukulnya. Dan dia, takkan berubah dari yang lalu, aku suka.

Cerita kedua adalah tentang temanku yang berurusan dengan kantor polisi. Bedu, orangnya tinggi dengan dada yang bidang namun otaknya kosong adalah sahabatku yang kusayang. Ceritanya berawal dari seorang gadis SMA mendekati kami yang tertawa karena lawakan Bedu saat kita sedang berkumpul di warung Bu Inah.

"Eh kamu ikut ketawa juga dek?" usilku bertanya begitu, hanya aku yang sadar kalau dia tadi ikut tertawa. Karena mungkin kami sama-sama wanita, dan aku paham betul maksud dari adik kelas ini ikut tertawa. Dia ingin membuka pembicaraan dengan kami, anak kampus yang keliatannya hanya bisa bersantai saat istirahat dan belajar saat dosen berada di kelas.

(lanjutin yaaah)

Sejauh perjalanan ini, Ren hanya terlihat diam disebelah Bedu. Hanya dengan kacamata hitam dan jaket yang ia kenakan sejak berangkat tadi. Kulihat dia berbeda dengan Bedu hari ini,terlihat seperti terpisah jauh dari raga aslinya. Raganya yang setiap hari hadir di kampus, bersama kami semua. Dan perlu sekedar info, kami memutuskan untuk tidak terpaku berkumpul dengan kumpulan kami saja. Ya kumpulan yang berisi pria mesum, pria jorok dan pria yang bijaksana dalam menentukan film yang mana yang harus ditonton setiap malamnya.

"Bebeb, kok diem aja?" tanya Lita alias Bona kepada Ren yang terlihat murung meratap ke arah jendela. Dia mahasiswi yang tak kalah abnormalnya dari kami, sudah hampir 6 bulan dia bergabung dengan kelompok kecil-kecilan kami.

"Haha, ini nih Bon, gue lagi boring. Dibelakang penuh banget emang?" jawab Ren langsung,

"Bona juga disini kesempitan, beb. Sini gabung biar makin anget deh," ujar Lita. Dia sering dipanggil Bonbon oleh kami semua, tapi khusus permintaannya kami ralat panggilannya dengan sebutan "Bona". Katanya dia agak malu kalau dipanggil Bonbon, terlalu norak. Kupikir panggilan itu memang yang terlintas dikepala kami, dan apa memang pikiran kami yang? Ah sudahlah lupakan.

"Bon, gak usah deh ya. Nanti si Key bangun dari tidurnya," ledek Ren,

"Apaan sih?" sahutku ikut berbicara. Aku langsung menjauhkan ponselku yang sejak tadi merenggut konsentrasiku.

"Ngga, kata Ren lu itu liat handphone mulu. Gak bosen? Dikirain dia, lu itu lagi tidur. Lagian tumben banget gak mau jauh dari yang namanya gadget pas ngumpul gini." ujar Bona.

"Iya nih, Bon. Lagi cek e-banking, kok error terus ya? Nanti di Bandung gak bisa beli apa-apa dong?" keluhku pada Bona. Menutupi apa yang sebenarnya sedang terlihat. Kuceritakan pada Bona, tapi sebelumnya kucoba untuk membuat perjanjian dengannya. Seperti, "yang nyebarin rahasia ini, mulutnya bau ya?" sumpah serapah yan kuberikan demi keutuhan rahasiaku yang suci ini. Kulihatkan padanya, beberapa foto di akun instagram seseorang dan memang Bona mengakui itu terlalu menyakitkan untukku. Bedu mendekat, dan saat itu pula aku refleks mengunci layar ponselku dan pura-pura sibuk berbicara pada Bona.

"Iya, Bon. Tapi harusnya kemarin Bu Irma yang kasih contohnya," kualihkan pembicaraan.

"Tumben banget ngomongin pelajaran?" tanya Bedu memeriksa kursi paling belakang. Barangkali memang ada makanan yang sengaja ditimbun oleh kami yang duduknya paling belakang. Posisi dapur atau seksi logistik dan suplai makanan untuk seluruh ABK selama armada berjalan mengarungi jalan tol Bogor-Bandung.

"Gak ada makanan ya, Key?" Bedu tetap mencari sampai ke bagasi yang ada dibelakang jok yang kutempati.

"Beb, ini bawa lagi Bedunya dong? Ganggu nih disini," ujar Bona yang risih karena Bedu mengusik ketenangan didalam perjalanan.

"Bedu, sini nak sama om. Mau dikasih film lanjutan yang kemarin gak?" panggil Ren santai dengan earphone miliknya, tanpa menoleh sedikitpun. Ia hanya mengeraskan suaranya agar Bedu mendengarkannya dan kembali duduk. Bedu hanya ingin film yang di unduh Ren kemarin sore, tak usah kubahas lebih lanjut bagian ini. Sudah terpikir bukan, film apa yang mereka berdua maksud?

(dijalannya dilanjutin ya, bentar tapinya -,-)

Usai kunjungan ke Boscha, kami pun sedikit menghirup udara segar dataran tinggi di Bandung. Sungguh, aku terpana melihat keasriannya. Meski sekarang sudah hampir jam 1 siang, kami terus memuji hamparan hijau yang terlihat. Tentu ada sentuhan beberapa atap rumah yang terlihat, milik penduduk penjaga keasrian ini. Kumohon, jangan lagi dibuat perumahan, penginapan apalagi perkantoran. Kumohon, jangan.  

Bona dan aku sibuk berfoto, mengabadikan masing-masing pemandangan. Sampai ketika aku sadar, waktu sudah hampir setengah dua siang. Bona menanyakan apakah aku mau sholat sekarang.

"Gue lagi haidh, Bon. Hehehe, ingetin Ren sama Dimas yah sekalian." ujarku pada Bona yang segera menghampiri Dimas dan Ren yang sedang asyik dengan teleskop yang bisa dimainkan bebas. Untuk sekedar pengetahuan saja, tak lebih.

"Ren, sholat lu. Dim, lu juga sana. Key nyuruh gue kesini buat ngingetin kalian, si Bedu mana?"

"Si Bedu tidur di bus kali, udahlah bodo amat. Minggu nanti, ajakin dia taubat di gereja sama lu, Bon."

"Yakali kita satu gereja, pisah bebeb Ren. Buru deh sana, ajakin Dimas taubat, sholat, yang sholeh biar nantinya lurus sendiri itu pikiran," ujar Bona sambil menoyor sedikit kepala Dimas. Kulihat mereka berdua langsung pergi ke arah musholla dadakan yang disediakan. Aku hanya tersenyum kala melihat senyuman itu, Dimas selalu tersenyum manis. Aku suka.

Besok akan menjadi hari yang menyenangkan, dimana aku akan terus menceritakan sejarahku dengan Dimas. Iya, perasaanku. Akan kusiarkan terus, karena kupikir ini akan menjadi semester dimana takkan ada kegilaan yang sama di setiap menit ke depan nanti. Tak lama, Dimas kembali dengan wajah yang segar sehabis menyelesaikan sholat dzuhur. Dan ia kembali tanpa makhluk gila bernama Ren.

"Renaldi kemana?" tanya Bona mengunyah makanan ringan yang ia bawa dari Bogor. Tentu yang dititipkan dirumahku, tak ada gudang lain selain disini. Aku hanya menatap Dimas diam-diam dan tetap duduk manis di samping Bona yang sibuk makan. Aku akan biarkan dia terus berbicara dengan Bona sampai dia memutuskan untuk duduk di sampingku.

"Bagi dong, Bon! Pelit ih," bujuk Dimas duduk di sisi kanan Bona. Itu berlawanan denganku, dan aku hanya bisa menyikut lengan Bona mengirim kode.

"Aku gak tahu kan, Key. Nanti deh ya," ujar Bona berbisik sedikit.

"Apaan sih? Jahat banget mainnya rahasiaan sama temen sendiri,"

"Shht gue lagi omongin elu nih, Dim."

"Eh?" ujarku refleks, dan kemudian diam.

"Dimas pernah ngompol di matkul Pak Hari Situmeang. Bhaha gue inget banget itu, Dim!" lanjut Bona disertai hembusan napas legaku. Dimas langsung sibuk membekap mulut Bona agar tidak berbicara lagi tentang hal itu, hal yang sudah kuketahui dari jauh hari. Dan kemudian aku bersandar ke bahunya Bona, dan menghirup udara segar dataran tinggi Bandung. Tak lama Ren mendorongku dari belakang, aku kaget bukan main. Pasalnya tinggal beberapa langkah lagi, saat hilangnya keseimbanganku, hilang juga usiaku. Dan suratan hidupku, hanya sampai semester enam. Enam?! Sungguh lebih horor dari film horor "Annabelle", itu loh boneka yang mirip dengan Bona, sahabatku. (Maaf ya, Bon. Aku tak maksud menjelekkan namamu, sahabat. T_T)

"Gendud!" ujar Ren, aku langsung memukulnya yang sekarang bersandar padaku. Ia merintih kesakitan, "aduh sakit ih, jahat." sambungnya dan kembali bersandar.

"Lu udah solat, Ren?" tanyaku,

"Udah dong." jawabnya sambil mengambil makanan ringan yang ada ditangan Bona dan kembali bersandar sambil mengunyah.

"Ih itu berantakan! Bubuknya kena jaket gue ih," ujarku sambil menepuk lengan jaketku dan levis yang kukenakan sejak tadi subuh atau sejak awal perjalanan kami. Ren, makhluk yang kukenal paling jorok dan paling labil sepanjang hidupku. Dan Meisya, adalah penyebab utama dia seperti itu atau mungkin dia memang dilahirkan sebagai makhluk yang seperti itu.

Di dalam bus, aku yang sedang bersandar pada Bona memutuskan untuk tidur. Karena ternyata, matahari tadi sudah menguras sebagian dari tenagaku. Dan sekarang sudah akan pergi ke Kota Bandung, yang penuh akan gadis cantik yang bersolek dan juga tempat para wanita berbelanja untuk mempercantik diri. Dan aku, sudah benar-benar nyaman dengan posisi seperti ini, tak kurang tak lebih. Kumohon, jalan macetlah, aku butuh banyak waktu di bus.

"Kayanya hari bakal panjang, dan kita bakal lama bareng-bareng." ujarku yang bersandar ke bahu Bona dan memeluk tangannya manja.

"Dan gue bakal kangen suasana ini," sahut Ren saat dia tiba-tiba bersandar padaku dan dengan nyamannya kubiarkan itu terjadi. Tapi tak lama, aku bangun dan kembali memainkan gadget yang kumiliki. Ren pun bangun dan melanjutkan istirahatnya dengan bersandar pada jok bus yang nyaman itu. Hanya aku dan mataku yang masih berjaga di bus. Aku akan menjaga semua yang kucintai, termasuk dia yang disana. Kudengarkan musik dengan nyaman, perlahan bahuku semakin berat dan membuatku mengalihkan pandangan dari gadget yang sedang kumainkan permainan online. Aku konsentrasi karena itu permainan online, akan menghabiskan kuota kalau kutunda semakin lama. Kalau kuabaikan, aku yang kalah dan ujung-ujungnya aku yang rugi. Baik peringkat maupun kuota internet.

Kutengok sebelah kananku, dan sudah ada kepala Ren disana. Aku mematung, aku kali ini tak tega mengusik tidurnya. Aku pun membiarkannya tetap bersandar dan mengambil jaket yang ia peluk untuk menutupi wajahnya yang culun. Apa wajahnya selucu ini jika dia sedang tidur? Kupakai saja kacamatanya karena kalau kubiarkan dalam genggamannya itu akan jatuh dan retak.

"Aku akan mencoba untuk sok asik seperti dia tadi. Dengan gaya cool menatap jendela yang lebar, menikmati lagu koleksiku. Dan...." ucapanku terhenti, aku terkejut. "....seseorang yang sedang berada disisiku." Aku terkejut dengan ucapannya tadi, dan aku baru menyadari itu. Aku terus menepis semua pikiran buruk tentangnya, dan kembali memainkan permainan yang tadi menyibukkanku. Begitu bus rem mendadak membuat heboh para penumpang, kulihat tangan Ren menyentuh dahiku. Aku segera terbangun dari tidur dan mulai bertanya kenapa tangannya bisa ada pada keningku. Termasuk Ren yang malah kembali ke tempat duduknya waktu awal keberangkatan. Ia mengambil tas yang ia bawa dari kabin, dan minum sebelum turun dari bus. Kuabaikan dia dan mencoba mencari sumber yang lain. Tapi semua konsentrasi mengarah kepada mall di depan sana, ternyata kita sudah di depan pintu parkir masuk. Baiklah, nanti kutanyakan saja kepada siapa yang mengetahui dengan jelas.

Bona menceritakan semuanya, tentang aku yang mulai mendengkur, walau kecil itu cukup mengusik. Bona bilang kalau tadi kenapa tangannya Ren ada di keningku adalah aku yang bersandar padanya. Ponselku hampir jatuh karena aku sudah tertidur lebih dulu. Ren yang ambil ponselku, dan memainkan sampai gameover, lalu ia mematikan ponselku karena baterainya lemah. Bona juga bercerita kalau Ren sempat mengambil beberapa foto. Bona langsung menahan ucapannya,

"Eh?" ujar Bona terkejut dan menutup mulutnya,

"Foto? Foto apaan? Bon, foto apa? Ren foto gue apa gimana?"

"Kaga elah. Udah lupain aja, gue masih belum beranjak dari tidur tadi,"

"Boong, ih. Bona, gue gak suka punya temen suka boong." Aku jelas mengancamnya agar dia tak semena-mena padaku. Tapi Bona malah pergi meninggalkanku dan bergabung dengan Ren, Bedu dan Dimas yang sibuk memesan sosis bakar. Aku sendiri disana, memilih duduk untuk menunggu, aku kurang tertarik untuk berbelanja. Sekarang kutatap saja seluruh tingkah mereka yang aneh dan lucu. Aku sayang mereka, tapi tunggu, fokusku mengarah padanya.

"Dimas! Sini deh," teriakku memanggilnya. Dan memintanya untuk menemaniku, dan membicarakan banyak hal berdua. Banyak hal yang mesti kuungkap dengannya, baik manis atau pahit sekalipun tetap saja akan melegakan jika tahu langsung. Dimas ternyata semakin lucu ya, aku tak menyesal pernah suka dengannya. Seleraku masih baik bukan?

 

Ren hanya memilih beberapa topi dan sesekali mengajak Bona tertawa karena memang lucu. Aku hanya tertawa kecil dan sesekali memperhatikan tingkahnya. "tak mungkin kalau dia memang..... ah sudahlah, lupakan." Gumamku sambil sesekali melahap sesendok es krim yang kubeli didepan sana. Karena ada diskon sesuai usia, baiklah, usiaku sudah 20 tahun. Lumayan kan beli eskrim dengan potongan 20%?

Hari ini aneh, dia tak mengajakku berbicara, dia kenapa? Kupikir dia sedang tak suka berteman denganku, tapi sejak kapan dia berpikir seperti itu?