Senin, 06 Oktober 2014

History of Angel - ff Kai EXO (Chapter 6 END! - Episode 5)



SUB JUDUL V
Masa Lalu dan Hingga Kini
 (과거 지하고 지금)

Hahee tetap menangisi hal yang seharusnya tak ia tangisi. Entah apa yang ia sedang pikirkan, tapi hatinya tetap meringis. Kesakitan, terlalu pedih menurutnya. Tapi apa? Suho masuk ke dalam kamar Hahee,
“Hahee, kau kenapa?” ia mendapati adiknya menangis,
“Entahlah oppa, aku merasa hatiku ini sakit. Aku tak tahu karena apa,” jawab Hahee,
“Gak mungkin kau sedih tanpa alasan, apa yang sebenarnya dipikiranmu?” tanya Suho,
“Aku merasa ada yang aneh saat aku mendengar kabar Kai. Kata oppa dia dirumah sakit? Ia bersama Sohee eonnie sekarang, tapi aku merasa pernah bertemu dengannya. Tapi entah dimana tempatnya,” ujar Hahee sambil menatap Suho yang berada dihadapannya,
“Haha sudah, lupakan itu dulu. Lebih baik kau mengatur dirimu dulu. Kau masih butuh pemulihan loh,” jelas Suho,
“Iya, oppa”  ujar Hahee, “Hyuna eonnie dimana?” tanyanya,
“Dia sedang pulang ke rumah ibunya. Kau main saja dibawah bersama D.O,” ujar Suho, lalu Hahee turun dari lantai dua hendak menghampiri kakaknya D.O oppa. Karena hari itu hari minggu, jadi semua penghuni rumah berkumpul dirumah. D.O oppa yang sibuk main games karena kampusnya masih libur musim panas. D.O oppa yang menyadari adiknya dan kakaknya turun dari lantai atas, langsung menengok ke belakang. Seperti biasa, kakaknya yang satu itu kalau ngga ngegodain dongsaeng tersayangnya itu mungkin hidupnya kurang lengkap.
“Eh Hahee, sini main games, jangan sedih melulu dong.” Lalu Hahee menghampiri kakaknya itu, lalu ikut bermain games bersama. Ditengah permainan, oppa-nya melihat salah satu tokoh gamesnya berpenampilan seperti Kai.
“Mirip Kai yaa, na bogosipeoyo.” kali ini D.O oppa memang kangen, tapi mungkin dia lupa kalau sedang bersama adiknya. Dia baru sadar saat Hahee game over, Hahee diam terpaku menatap ke layar televisinya. Suho oppa memukul kepala D.O dari belakang,
“ssstttsst!” telunjuk Suho oppa menempel dibibirnya memberi tahu kalau jangan mengingat Kai lagi.
“Ngga apa - apa, oppa. Aku udah lupain dia, aku cuma memastikan saja. Memang benar kata oppa, dia seperti Kai.” Hahee menatap lagi, “aahh sudahlah oppa, ayo main lagi” Hahee sambil menepuk bahu kakaknya itu. Hahee sudah terlihat melupakan Kai, dengan asyiknya dia tertawa, bercanda dengan kakaknya. Tapi sesaat setelah selesai bermain, Hahee dipanggil oleh kakaknya, Suho oppa.
            “Hahee..” kata Suho oppa, tetapi Hahee ngga mendengar panggilan itu, berulang kali oppa-nya memanggil dan akhirnya,
            “Hahee, kau dipanggil hyung.” ujar D.O oppa, sesegera mungkin dia beranjak ke tempat Suho oppa berada.
           “Ada apa, oppa? Kau memanggilku?” sahut Hahee mengintip ke kamarnya, dan disana Hahee dan Suho membicarakan beberapa hal penting.
Kembali ke kamarnya, Hahee membaringkan tubuhnya ditempat tidur. Mengingat kembali Kai, hanyalah hal bodoh yang dapat menyiksa dia. Kai pun sepertinya ngga mau membuat Hahee terus bersedih karenanya. Ada satu hal yang membuatnya terpikir kembali, Hahee dibingungkan dengan pilihan oppa sulungnya. Dia diberi pilihan,
“Kalau oppa kasih pilihan buat kamu, oppa punya saran bagaimana kalau kamu mengambil studi di luar negeri saja. Atau kalau kamu masih mau di Korea, kamu ambil asrama saja. Bagaimana? Terserah kamu, Hahee. Itu pilihan kamu, kamu yang menjalankan nantinya, coba pikirkan saran oppa ya, oppa mau yang terbaik buat kamu. Bareng sama D.O oppa juga boleh. Rumah ini tak akan kosong, nanti aku dan Hyuna akan tinggal disini juga.”- pembahasan tentang itu dan kata - kata oppa-nya membuat Hahee bingung. Mungkin dia akan ikut D.O oppa yang kuliah dan tinggal diasrama. Tetap di Korea adalah pilihan yang tepat buat Hahee, menjauhi lingkungan yang menuai kenangan tentang Kai adalah cara paling ampuh menurut Hahee. Lalu Hahee jalan keluar kamar dan pergi ke ruang tengah yang disana sudah ada kedua kakaknya sedang main catur. Ketika mereka berdua serius, Hahee memanggil mereka berdua.
“Oppa,” kata Hahee, yang membuat kedua oppa-nya kaget, soalnya diantara mereka sudah mau skak mat.
“AAH!! Hahee, kenapa ngagetin sih. Aku mau menang nih,” ujar D.O oppa,
“Maaf oppa, aku ngga tahu kalau oppa mau menang,” ujar Hahee dengan nada lemas, kemudian dia duduk di sofa ruang keluarga. D.O oppa yang merasa bersalah langsung berminta maaf karena sudah bercanda. Lalu Hahee dan mereka berdua diam sejenak, dan Hahee berbicara tentang keputusannya.
“Oppa, aku mau bicara.” Kedua oppa-nya menatapnya serius,
“Apa?” jawab Suho oppa.
“Aku mau kuliah saja di universitas D.O oppa, aku akan asrama ya diasrama putrinya,” ujar Hahee lemah,
“Jangan dipaksakan, Hahee. Kamu akan merasa kurang pas nantinya kalau dipaksakan.”
“Aduh, oppa. Aku gak merasa terpaksa, hanya saja memang ini jadi keputusan finalku,” jawab Hahee yakin.
“Baik, kalau begitu. Oppa akan secepatnya mendaftarkanmu, dan D.O akan mengantarmu untuk melihat asrama putrinya.” ujar Suho oppa, menyusul anggukan dari D.O oppa.
            “Iya kak, baiklah. Tapi aku berfikir sebaiknya aku mengambil pendidikan guru saja. Aku ingin ada praktek,” ujar Hahee,
            “Baiklah kalau begitu. Aku dan Kyungsoo akan mengurus semuanya, nanti kau juga ikut sekalian melihat kamar asrama putrinya.”
“Oke oppa. Makasih ya atas rekomendasinya,” ujar Hahee merangkul kedua kakaknya.
“EH apa benar kau kemarin kerja part time?” tanya D.O oppa,
            “Ne, memangnya kenapa kak? Aku hebat ya?” wajah Hahee angkuh,
            “Sama sekali tidak, haha” jawab Kyungsoo tertawa,
            “Haha, kau selalu meledek adikmu.” Suho menempeleng kepala Kyungsoo,
Akhirnya kami pun menghabiskan waktu bersama, tapi kemana Hyuna oennie? Hari ini aku tak melihatnya disisi Suho oppa,
            “Oppa, Hyuna eonnie mana?” tanya Hahee,
            “Oh, dia pulang ke rumah orang tuanya. Nanti dia kesini katanya, kan tadi sudah oppa beri tahu,” jawab Suho oppa,
            “Oh ya,” Hahee lupa. Haha biarkanlah Hahee seperti itu.
Hari itu memang Hahee belum bertemu dengan yang lain. Semuanya sedang menyibuki dirinya masing - masing. Hahee masih bekerja di kantor redaksi itu, ia masih sering memposting beberapa cerita. Hahee hendak memutuskan kontrak kerjanya karena ingin melanjutkan kuliah. Mengikuti keinginan kakaknya untuk mendapat pendidikan strata. Setidaknya, Hahee sudah berpengalaman kerja. Ia akan mudah nantinya untuk mencari kerja.
            “Pak, saya akan mengajukan resign. Apa boleh pak?” ujar Hahee didepan kepala redaksi,
            “Boleh saja, tapi apa tidak disayangkan itu Hahee? Apa memang gaji yang kamu terima kurang? Atau ada yang kurang menyenangkan disini?” ujar Pak Lee,
            “Pak Lee, bukan seperti itu. Kerja disini nyaman, pak. Tapi saya takut tidak bisa membagi waktu kerja dengan kuliah yang jadwalnya sering tak jelas.” Hahee mencoba meyakinkan kepala redaksi.
            “Baiklah. Kalau memang itu keputusanmu, saya akan berikan pesangon bulan ini. Jika kamu mau bergabung lagi, silakan. Pintu kantor ini terbuka luas untuk kamu, Hahee.” Kepala redaksi seraya memberikan sebuah cek yang akan dicairkan oleh Hahee nanti di bank.
            “Kalau begitu, saya pamit Pak Lee. Tak menghilangkan rasa hormat saya kepada Pak Lee,” ujar Hahee sambil menundukkan badannya dihadapan Pak Kepala Redaksi tersebut.
Hahee meninggalkan ruangan tersebut, tapi ada sesuatu yang mengganggu setiap langkahnya. Sesuatu yang ia lihat di ekor matanya dan ia dengar tak sengaja dari rekan kerja yang lainnya.
            “Park Hoon, ada berita apa itu?” tanya Hahee,
            “Oo, Hahee kau disini. Ini, aku baru saja dapat berita dari kawan dilapangan, berita yang akan aku edit. Memangnya kenapa?” ujar Park Hoon,
            “Aniyo, aku hanya ingin lihat. Ini sepertinya aku kenal, namanya siapa sih? Susah sekali mencarinya, artikelnya terlalu panjang Hoon-ah,” Hahee merasa bosan saat men-scroll up scroll down artikel. Tapi tangannya terhenti ketika melihat nama Kai disana.
            “Kim Jong In? Busan? Hoon-ah, ini siapa? Jelaskan garis besar berita ini, tolong.”
            “Ah, kau. Merajuk padaku terus, iya iya baiklah,” Park Hoon paling tak bisa menolak rajukan Hahee, dia segera mencari semuanya.
            “Hahee, berita ini berisi korban yang bernama Kim Jong In ini jatuh ke dalam jurang. Setelah mobil yang ia kendarai hilang kendali dan menewaskan seluruh pengendara. Termasuk Kim Jong In yang ditemukan memakai pakaian rumah sakit. Diketahui, mobil ini dari arah Seoul menuju Busan. Kurasa begitu,” ujar Park Hoon yang fokus ke monitor PC nya.
            “Apa?! Kau tidak salah, Hoon-ah?” ujar Hahee,
            “Ya begitu adanya,”
            “Dia temanku, Hoon-ah.”
            “Hah, demi apa kau? Yang memakai baju rumah sakit itu?”
            “Iya, dia menghilang dari kamar rumah sakitnya. Apa kau sudah pastikan itu pengendara yang lain adalah keluarganya?” tanya Hahee,
            “Sudah, tapi sepertinya itu bukan keluarganya. Semuanya laki - laki dan satu wanita yang duduk didepan. Omona! Hanya dia yang kritis, temanmu itu meninggal didalam perjalanan ke rumah sakit.” Park Hoon baru saja menerima telepon dari temannya itu,
            “Meninggal? Hoo..baiklah. Kai bagaimana? Jasadnya di mana sekarang?” Hahee lemas,    
            “Dirumah sakit Busan, tapi kami belum dapat mengidentifikasi ia sekarang dimana,” ujar Park Hoon.
            “Arasseo, gomawo.” Hahee menatap Park Hoon, dan menundukkan kepalanya,
            “Maafkan aku ya membuatmu sedih di siang hari ini,” ujar Park Hoon,
            “Aku tidak apa - apa. Santai saja Hoon-ah, terima kasih ya semua informasinya,” ujar Hahee sambil meninggalkan meja kerja Park Hoon.
Hahee memikirkan siapa lelaki lain yang ada dimobil yang Kai kendarai. Dan terutama pada satu wanita tersebut yang katanya duduk didepan. Yang sedang kritis! Hahee mencoba menghubungi Park Hoon lewat telepon,
            “Hoon-ah, wanita itu dirawat dimana?”
            “Sebentar ya,” Park Hoon mencari informasi dan akhirnya dapat!
            “Dirumah sakit terdekat sekitar Busan, rumah sakit 62 km Jalan Tol ke arah timur Busan.”
            “Baiklah. Terima kasih, Hoon-ah” Hahee menutup telepon itu,
Hahee segera meluncur kesana sendiri, sebelum Hahee ke asrama putri ada baiknya dia kesana dulu. Memastikan semuanya.
Disana, suasana seperti biasa layaknya rumah sakit di Seoul umumnya. Tapi disini, Hahee masih harus mencari seorang wanita yang menjadi korban juga. Ada telepon masuk, itu Suho oppa,
            “Kau dimana Hahee?”
            “Aku ada dirumah teman, aku di Busan.”
            “Apa? Di Busan? Kapan kau kesana?”
            “Aku berangkat kemarin malam, dan sampai disini tadi pagi. Aku ke kantor redaksiku, sepertinya aku akan melihat asramanya besok saja ya. Hoam, sepertinya aku pulang besok kak.”
            “Aku dan Kyung-ah akan menyusul kesana, kau dimananya?”
            “Aniyo. Tak usah menjemputku, aku bisa pulang sendiri.”
            “Kau bawa mobil?” tanya Suho,
            “Bawa kak. Aku menginap dalam mobil saja,” ujar Hahee,
Hahee sudah berhasil meyakinkan kedua kakaknya. Semoga saja memang tak akan ada yang terjadi pada mereka berdua karena khawatir pada Hahee. Beralih dari masalah kedua kakaknya yang masih di Seoul, dia masih terfokus wanita yang dicari. Ia segera menghampiri bagian informasi,
            “Sust, saya mencari korban kecelakaan kemarin. Di jalan alternatif Seoul - Busan, seorang wanita, dan korban satu lagi bernama Kim Jong In,”
            “Emm, tunggu sebentar,” Suster itu kemudian menghampiri dan mulai mengendalikan komputernya untuk mencari data.
            “Nona, korban wanita masih kritis di ruang ICU. Dan korban bernama Kim Jong In sepertinya sudah meninggal dan telah dibawa keluarganya hari itu juga,” ujar suster tersebut.
            “Oh, korban wanita itu siapa namanya?” tanya Hahee lanjut,
            “Kim Yoo Ra, umurnya 23 tahun.” Hahee terkejut, dia heran. Siapa lagi Kim Yoo Ra ini? Apa hubungannya dengan Kim Jong In? Hahee masih butuh berita selanjutnya tentang wanita itu. Juga hubungannya dengan Kai, lalu siapa yang membawa jasad Kai? keluarganya? Apa maksudnya itu kak Sohee eonnie?
Keesokan harinya, Hahee sudah pulang ke Seoul lagi. Ia berbohong kalau akan menginap, ia semalaman mengendarai mobil sendiri.
            “Suho oppa, kita jadi ke asrama hari ini?” tanya Hahee,
            “Bukan kunjungan lagi, Hahee. Tapi kamu memang sudah harus tinggal disana,” ujar Suho oppa,
            “Apa? Kok secepat itu?” heran Hahee,
            “Iya, oppa rasa kamu memang harus secepatnya masuk. Lebih baik untukmu,” jawabnya,
            “Baiklah, oppa. Bagaimana kau saja,” jawab Hahee lemah,
            “Kau mau kemana?” tanya D.O oppa,
            “Aku mau membereskan barang - barangku dilemari kak, memangnya ada apa?”
            “Sudah dibereskan olehku, semua sudah ada dimobil.”
            “Aku mau mengambil sisa barang yang aku butuhkan,” ujar Hahee,
            “Baiklah,” ujar D.O berlalu dari hadapan Hahee,
            “Oh ya, oppa. Aku akan menyusul kesana, lebih baik oppa berangkat saja duluan.”
            “Untuk apa? Biar Suho hyung saja yang kesana lebih dulu, kau dan aku bersama.” D.O oppa menyarankan,
            “Baik, oppa bersamaku,” Hahee berlalu ke kamarnya. Ia mengambil barang Kai yang terakhir ia ketahui. ‘...jam kalung ini,' lirih hatinya.
Hahee sudah tak mau lagi mengingatnya, dan hendak menghancurkan jam kalung ini. Hadiah untuknya di hari sebelum kami semua ujian nasional.
            “Ayo,”
Hahee pun berangkat bersama D.O oppa, menyusul Suho yang lebih dulu berangkat. Akhirnya Hahee menceritakan semuanya, seluruh cerita yang ia dapati dan ia tentu pertanyakan. Kai, masih jadi bayangan Hahee. Seharusnya tidak!
            “Lupakan dia!” D.O oppa kesal,
            “Waeyo? Apa karena aku yang terpuruk karenanya? Aku merindukannya karena aku jelas sudah mengetahui bahwa Kai sudah meninggal!” jawab Hahee,
            “Mwo! Meninggal? Kau tahu darimana?”
            “Iya, dan aku masih berpikiran ada yang janggal atas kematiannya,”
Hahee menceritakan tentang berita yang ia dapat dari Park Hoon, tentang kecelakaan mobil yang berpenumpang Kai dan 5 orang lainnya.
            “1 wanita? Kim Yoo Ra?” tanya dia,
            “Iya, kak. Kau mengenalnya?” tanya Hahee,
            “Iya, aku sama sekali tak mengenalnya, Kim Yoo Ra? Teman di SMA ku juga tak ada.” D.O bingung,
            “Itu yang aku ingin bicarakan, aku minta tolong padamu oppa. Kau akan selesai kuliah, kau akan secepatnya lulus kuliah. Kau akan lebih lama di Seoul dan aku di Gyeonggi,” mohon Hahee,
            “Baiklah,”
            “Tapi aku ingin ke Busan, hanya sebentar.”
            “Baik, tapi untuk apa?”
            “Untuk menuruti pintamu. Sesegera mungkin melupakannya, Kai,” ujar Hahee,
Entah mengapa, hatinya pedih saat melihat sekeliling. Persawahan ini terlalu familiar untuk ingatannya. ‘apa aku pernah ke tempat ini?' keluh hatinya terus. Hahee melihat anak kecil dari kejauhan. Anak itu diam mematung disana saat melihat Hahee berdiri dipinggir jalan. Hahee pun kembali memandangnya, ia terus mencoba menegaskan pandangannya. Tetap saja, tak terlalu terlihat jelas. Ia kemudian melambaikan tangannya dari jauh. Anak itu malah berlari masuk ke sebuah rumah sederhana dekat dengan tempat ia bermain tadi.
Ia turun dengan membawa palu yang ada didalam mobil, dan berdiri dibelakang mobil. Dengan menitihkan airmata, ia mencabut jam kalung yang menemani lehernya dari Seoul tadi.
            “Maafkan aku,” lirih Hahee, “...Kai...” sambungnya.
            “Krrtak!” hancur sudah jam itu setelah mendapat pukulan dari palu yang dipegang Hahee.
            “Kau memang harus benar - benar mati. Karena kalau tidak, aku yang akan terus kau siksa,” Hahee segera melempar jamnya ke tengah lahan sawah. Melupakan dan akan terus lupa. Hahee membiarkan ini berjalan, dan untuk kenangan ia biarkan terbuang. Dan entahlah sampai kapan ini bergelayut dalam bayang semu langkah hidupnya. Dan akhirnya lambat laun, ia mampu melupakannya. Tentu setiap kenangan indah maupun buruk bersamanya. Tak terasa ia pun hampir menyelesaikan kuliahnya.


NEW SEASON

Gelapnya malam tak membuat Hahee takut untuk diluar rumah. Hahee yang sekarang tinggal sendiri disebuah pedesaan kecil di Korea. Dimalam itu, ia hanya bisa memandang langit yang gelap. Namun dia menyadari ia tak sendiri ketika ada setitik cahaya dilangit, itu bintang. Ketika ia terus memandangi langit, tiba-tiba ada suara langkah kecil berlarian menghampirinya. Itu adalah anak didiknya, sejak dia selesai studi sastra Korea dia pun memutuskan untuk mengambil praktek mengajar ke pelosok kota terpencil yang belum terjamah dunia pendidikan yang formal. Salah satu anak memberikan sebungkus makanan,
“Kakak guru, ini dari orang tuaku.” katanya, sambil memberikan rantang kecil kepadanya. Ia tersenyum lalu kemudian mencium keningnya. Banyak anak-anak yang membawa makanan, kebetulan malam ini adalah malam minggu,
“Kak, aku bawa makanan untuk kakak. Ini dari ibu aku, katanya salam untuk kakak guru,” ramai dengan celoteh anak kecil dirumah Hahee malam itu dan mereka semua tidak ada datang dengan tangan kosong. Lalu Hahee mengajak mereka ke dalam rumah, tapi mereka ingin tetap berada diluar rumah sambil menatap langit malam yang indah. Maklum saja mereka mengunjungi Hahee bersama-sama, besok mereka libur untuk mempersiapkan ulangan kenaikan kelas. Lalu Hahee mengajak mereka ke halaman belakang rumah yang tampaknya lebih nyaman untuk mereka duduk dibawahnya. Sesampainya dibelakang rumah,
Hahee dan anak didiknya itu berbaring diatas rumput segar. Mereka bersama-sama menatap langit, dan semuanya terkejut saat melihat bintang jatuh. Hahee langsung berbicara,
“Ayo, pejamkan mata kalian lalu ungkapkan keinginan kalian didalam hati, setelah itu bukalah mata kalian dan letakkan tangan kirimu ke dada kanan kalian. Dan katakan dalam pikiran kalian, kalian pasti bisa.” ujar Hahee sambil tersenyum riang, dan anak-anak yang lain pun membalas senyuman Hahee. Dua jam sudah Hahee menemani anak-anak dan bercerita, dan tak sadar mereka semua telah tertidur pulas. Kemudian Hahee mengambil selimut dari kamarnya dan menyelimuti anak-anak yang telah tertidur diruang tengah. Saat
Hahee kedalam kamar, ia mendapati foto Kai jatuh dari tumpukan selimut dilemarinya. Lalu Hahee duduk sejenak ditempat sambil menatap foto Kai. Dia merasa bersalah lagi atas kematian Kai waktu itu.
“Andai saja aku tak memintamu terlalu jauh. Kau ini orangnya seriusan, waktu itu aku hanya bercanda, Kai” ujarnya sambil mengusap foto Kai. Merasa sedih itu datang kembali, Hahee segera bangun dan meletakkan kembali foto itu, lalu ke ruang tengah. Hahee melewati hari itu sangat sulit, karena ia sempat mengingat Kai lagi yang telah ia lupakan dari dulu.
Pagi harinya, anak muridnya nengajak ia untuk berlari bersama menelusuri desa. Dan Hahee segera pergi meminta izin kepada setiap orang tua muridnya, setelah mendapat izin barulah ia berani pergi. Mereka sangat riang, bahagia, dan ceria saat perjalanan. Ditengah perjalanan, Hahee merasa lelah dan anak muridnya pun merasa lelah jadi mereka memutuskan untuk beristirahat. Salah seorang dari mereka mendekati Hahee,
“Kak, kenapa diem terus ka? Ngga seperti biasanya..” tanya anak itu,
“Bukan apa-apa Dongsu, kakak hanya lelah tadi,” jawabnya sambil tersenyum manis ke anak yang bernama Dongsu itu.
“Yaudah, kak. Kak aku mau tanya, kemarin aku baca diperpustakaan keliling didesa seberang, apa maksud dari kata - kata 'jangan kau melupakan hal yang telah terkubur, karena jiwa mereka masih berada disini. Jika kau melupakannya maka ia akan benar-benar mati' ini yah kak?” tanya anak itu, tetapi Hahee merasa perkataan itu untuknya. Lalu Hahee mengartikannya dengan perlahan agar anak itu dan dirinya dapat mengerti.
“Itu artinya kepada siapa saja yang sudah pergi dari sisi kita, walaupun kita tidak melihatnya tetapi mereka melihat kita. Jangan kita melupakan mereka, nanti mereka bisa benar - benar pergi dari kita.” setelah menjelaskan, hati Hahee merasa sedih, ketika ada yang membicarakan tentang seseorang yang telah pergi, hatinya masih sangat terluka. Tetapi karena ini di depan anak muridnya, ia mencoba untuk tetap tegar. Matahari sudah tepat diatas kepala, berarti hari sudah makin siang. Hahee pun bergegas mengajak anak-anak untuk segera melanjutkan perjalanannya. Sepanjang perjalanan, mereka bernyanyi riang sambil melewati sawah-sawah, dan menyapa para petani. Mencari tempat teduh untuk sekedar singgah makan siang. Ketika sampai di sawah berikutnya, Hahee terkejut mendengar anak muridnya yang sudah lebih dulu berjalan memanggil seseorang,
“Ahjussi! Ahjussi!!” dan seorang peladang itu pun mengangkat wajahnya dan melambaikan tangannya kepada anak-anak itu. Detak jantung Hahee mulai tak menentu, setiap detakannya mengatakan dia orang yang kusayang. Hahee pun langsung menyusul mereka, dan disana dia tidak mendapati seorang peladang pun disitu.
“Hyejin, tadi Dongsu panggil siapa ? Bukannya tidak ada orang yang kalian kenal disini?” tanya Hahee,
“Oh itu, ka. Tadi ada ahjussi disini, tapi dia mungkin sudah pergi, ka.” ujar Hyejin, salah satu dari anak  muridnya.
“Memang dia siapa? Kok kalian sudah tahu dia, kakak yang juga sering kesini kok tidak tahu ya?” ujar Hahee,
“Ya mungkin kakak terlalu sibuk kali. Dia kan pernah gantiin kakak mengajar waktu kakak jatuh sakit. Dia juga punya perpustakaan keliling disana. Kak, lain kali kita main ke perpustakaan itu ya..” ujar Hyejin,
“Iya, tapi nanti ya. Kalau kita pulang terlalu sore, nanti ngga ada bus buat kita. Jadi nanti saja ya, emm bukannya besok ada tes? Kalian lupa ya?” kata Hahee tersenyum melihat ke arah anak-anak yang saling menatap satu sama lain, seakan-akan respon mereka mengatakan tidak setuju dengan adanya tes besok.
“Ahh kakak, kita kan baru saja jalan-jalan. Masa kakak ngga kasihan sama kita?” ujar Dongsu,
“Hehe, kakak bercanda. Maaf ya, untuk kalian yang sudah baik dalam pelajaran bahasa. Besok ada tugas menulis dan membaca. Jangan lupa buat dirumah ya.” ujar Hahee sambil mengusap kepala Dongsu, dan mereka pun segera pulang.
“Ada hadiahnya?” sahut Dongsu,
“Pasti ada untuk kalian yang terbaik,” goda Hahee ke anak - anak yang lain. Sedangkan Dongsu, salah satu muridnya, tetap penasaran hadiah apa yang akan kakak gurunya kasih besok.
“Sudah, jangan dipikirkan, yang pasti bukan sandal warna pink kok kalau untukmu,” Semua anak yang lain sontak tertawa terbahak - bahak melihat Dongsu yang senyum malu.
Saat mencari bus, mereka nenunggu disisi jalan sambil memakan bekal mereka. Lalu salah satu anak ada yang mau makan es krim. Hahee bingung mencarinya, lalu ia mencari kedai kecil disekitar halte. Ternyata ada yang menjual, Hahee segera membelinya dan semuanya kembali riang saat bus terlihat melintas mendekati halte. Saat hendak menaiki bus, Hahee melihat bayangan orang, ‘Siapa ya?' pikir Hahee sambil menuntun satu persatu anak - anak naik ke bus. Lalu bayangan itu lebih jelas, saat semakin jelas, itu tampak siluet wajah yang pernah Hahee kenal.
“Kai?” ucap Hahee sambil menatap ke siluet wajah dibalik sinar matahari yang terbenam. Hyejin menarik tangan Hahee agar segera menaiki bus,
“Ayo, kak, nanti kita sampai terlalu malam.” Hahee yang sadar langsung menaiki bus,
“Maaf ya, kakak sedikit kurang konsentrasi.” ujarnya. Dan akhirnya petualangan Hahee dan anak - anak itu berakhir, dan mereka pulang ke rumah masing - masing. Sampai dirumah, Hahee langsung membaringkan badannya ke alas tidur sederhana. Sekitar lima menit Hahee membaringkan badannya, tak lama ada panggilan dari kedua kakaknya.
“Yeobseyo?” Hahee mengangkat teleponnya,
“Hahee!! Annyeong yeodongsaeng tercinta! Lupa dengan suaraku, yeodongsaeng?” sapa D.O oppa, yang pasti Hahee masih mengingat jelas suara oppa-nya yang satu ini.
“Masa aku lupa? Aku kan masih muda, oppa. Lagipula aku yang harusnya heran, tumben kau ingat aku?” sahutnya ditelepon,
“Aduh, kau masih belum bisa jadi adik yang manis ya :/ Aku harap kamu memang menginginkan telepon dariku ini. Kalau begitu aku tu...”
“Iya, aku merindukanmu. Bahkan saat aku sendiri, aku juga mengingatmu.” jawab Hahee menghibur. Mereka membicarakan beberapa hal, dan sampai di suatu pembahasan yang disana cukup membuat Hahee tersentak.
“..Kai? Ini ada masalahnya dengan Hyuna noona,” sahut Hahee terkejut, iya jelas ia terkejut karena sebenarnya Kai masih tertolong dalam peristiwa itu. Kali ini keluarganya tidak tahu sama sekali, berita ini D.O oppa dapat dari Suho oppa yang meminta hasil investigasi dari pihak kepolisian. Dan hasilnya, yang tidak berhasil selamat bukan pria bernama Kim Jongin.
“Lalu, siapa yang meninggal itu?”
“Memang benar Kim Jongin namanya, tapi umurnya 31 tahun. Salah satu penumpang mobil itu juga. Dan, Kai tak setua itu kan?” jelas D.O oppa, kabar gembira untuk Hahee.
“Lalu, ada apa lagi yang kau tahu kak?” tanya Hahee,
“Ya paling yang aku tahu, katanya itu kamuflase dari kelompok itu agar keluarganya mengira Kai yang mati. Dengan pakaian rumah sakit yang sepertinya masih ia gunakan sejak dia menghilang. Ah sudah nanti lanjut setelah kau dirumah,” ujar kakaknya, Hahee hanya bisa tertawa dan meng-iyakan apa yang kakaknya inginkan. Dia segera mengingat jadwalnya praktek mengajar disini, sudah mendekati libur semester. Anak - anak muridnya butuh liburan kan? Lagipula, semester ini semester terakhir mengajar mereka.
“Baiklah, kapan kakak mau jemput aku kesini?” ujar Hahee,
“Memangnya sudah libur?” ujar kakaknya,
“Eh, tidak jadi. Biar aku saja yang kerumah, aku harus naik kereta atau bus ya?” tanya Hahee,
Kereta saja, biar aku yang menjemputmu di stasiun.” ujar D.O. Mereka menyetujui itu, dan akhirnya percakapan itu selesai.
Hahee kemudian merebahkan tubuhnya lagi, dan ia mencoba untuk menidurkan matanya. Ia lelah sekali hari ini. Besok ia harus menyiapkan latihan untuk anak - anak muridnya. Tapi ia teringat siluet itu, itu wajah Kai sangat jelas. Ia masih hafal dengan bentuk wajahnya,
            “Hahee,” suara Kai menyapanya,
            “Kai? Apa itu kau, benarkah?” ujar Hahee menghampiri suara itu,
            “Iya, mengapa kau tak pernah mencariku?” ujar Kai tak terlihat oleh Hahee,
            “Aku bukan tak mencarimu, tapi benar - benar aku tak tahu,” jawab Hahee sedih, ia semakin sedih dan ia terbangun karena terkejut. Ternyata itu hanyalah mimpi. Hahee bangun dan segera membasuh wajahnya.
            “Mimpi tentang dia lagi, entah kenapa akhir - akhir ini sering terjadi,” ujar Hahee didepan cermin. Lalu ia segera kembali pergi ke kamarnya untuk tidur lagi. Malam itu memang terlalu berat untuknya.
Pagi hari menjelang, Hahee datang ke dalam kelas. Ia disambut oleh para murid tersayangnya itu. Mereka siap untuk diperiksa tugas yang ia titipkan minggu lalu. Dongsu menunjuk dirinya sendiri untuk maju ke depan kelas. Ia ingin bercerita tentang sesuatu yang menjadi pengalaman hidupnya.
“....aku menjadikan kakak itu kakak kelas yang aku selalu sayangi. Ia sangat baik, apalagi kalau aku telat mengembalikan buku pinjamanku. Ia tak pernah marah, hanya sesekali member peringatan. Aku sayang padanya,” cerita Dongsu.
Hahee teringat apa yang anak - anak ceritakan tentang seseorang, penjaga perpustakaan. Ia berniat sebelum libur semester ini, ia mejinta anak - anak untuk mengantarnya ke perpustakaan itu. Mereka antusias mendengar rencana setelah ujian nanti.
“Kakak akan menyudahi masa mengajar kakak disini, tepatnya setelah ujian semester ini. Dan kakak akan mengajak kalian ke perpustakaan yang kemarin kalian bahas,” ujar Hahee didepan kelas sebelum keluar dari kelas.
“Berarti kau tidak akan mengajar kami lagi?” ujar Dongsu,
“Iya, Dongsu. Maafkan kakak ya kalau kakak pernah jahat atau bertingkah kurang baik terhadap kalian semua. Kakak akan selalu menyayangi kalian,” ujar Hahee, dan merrka semua segera memeluk Hahee.
Belajar seperti biasa, menuntut ilmu, dan bermain saat jam istirahat. Begitu seterusnya disekolah sampai akhirnya ulangan semester pun hendak usai. Hahee mengawas kelas mereka hari ini untuk terakhir kalinya mengajar disekolah sederhana itu. Dongsu berlari ke kantor guru dan menghampirinya,
“Ada apa, Dongsu?” tanya Hahee,
“Kak, aku kemarin ke rumah, tapi kata nenek itu kakak sedang keluar. Ada yang ingin aku ceritakan, kak. Kemarin kakak penjaga perpustakaan pergi kak. Aku hanya melambaikan tangan padanya, ia dijemput oleh satu wanita.” Dongsu menjelaskan itu sambil terengah - engah.
“Tenang,  Dongsu. Ceritakan itu sambil duduk, sini.” Hahee menyediakan satu kursi untuknya.
“Aku kemarin kesana, lalu aku menabrak satu lelaki dewasa. Tinggi, berkulit putih, lebih putih dariku, dia terlihat tampan dengan memakai penutup mata disebelah kiri. Aku meminta maaf tapi aku malah disuruh secepatnya menjauh dan pergi. Aku takut, kak.” Dongsu menarik tangan Hahee untuk menutupi wajahnya. Hahee bingung, kenapa perasaannya mengatakan kalau pernah tahu cerita ini. Sudah cukup tergambar jelas sebuah kejadian, tapi apa?
“Lupakan tentang pria itu dan kau silakan ke kelas untuk mempersiapkan ujian hari ini. Kau tak perlu takut. Ada kakak disini,” ujar Hahee menenangkannya,
“Baiklah, kak.” ujar Dongsu turun dari kursi tetapi belum beranjak dari hadapan Hahee. Dia merundukkan kepalanya, dan kemudian berkata, “kak, aku khawatir denganmu.”
Ada apa lagi Dongsu?” tanya Hahee menghadap Dongsu yang tertunduk,
“Kemarin kan Hwang, temanku kesini. Dia keliatan takut saat melihat kakak. Dan berbisik untuk tetap menjaga kakak,”
“Lalu?” tanyanya kembali,
“Pas aku tanyai, dia menjawab dan menceritakan. Katanya, ‘didaerah rumahku sudah ada beberapa orang yang berjaga. Hwang ditanyai seseorang dengan membawa foto. Dan itu ia terkejut saat melihatmu. Karena yang difoto itu wajah kau, kak.” ujar Dongsu yang mengangkat wajahnya menghadap Hahee, “Jaga dirimu, kak.” ujar Dongsu,
“Iya, terima kasih ya. Aku akan menjaga diriku. Kau juga, jangan nakal kalau kakak sudah tidak mengajar lagi disini,” ujar Hahee menyubit pipi Dongsu, dan anak itu pun pergi berlari menuju kelasnya. Hahee pun menyusul dan memulai ulangan sekiranya semua murid sudah berkumpul semua.

***

Pagi ini, Hahee berencana mengajak semua muridnya ke perpustakaan yang mereka bicarakan dari kemarin. Tapi rencana itu digagalkan karena Hahee diminta pulang secepatnya. Proposal yang harus dikumpulkan diminta deadline oleh dosennya.
“Kakak harap kalian memakluminya,” ujar Hahee kepada mereka semua,
“Gak apa - apa, kak. Aku sudah cukup bahagia kakak sudah mengajar kami disini. Terima kasih ya kakak,” ujar Dongsu memeluk Hahee dan menyusul yang lainnya.
“Maaf ya,” Hahee pergi meninggalkan mereka semua. Dia sudah memanggil taksi untuk mengantarnya pergi ke stasiun Busan. Di Seoul sudah ada D.O yang menunggu disana.
“Stasiun Busan ya, pak.” ujar Hahee kepada pak sopir taksi,
“Baik,” Taksi itu pun mulai melaju dengan tenang. Suasana disana masih sangat asri dan sepertinya berat untuk Hahee meninggalkan tempat senyaman itu. Meninggalkan anak - anak muridnya juga yang selama ini sudah menemaninya dan cukup membantu Hahee untuk melupakan Kai. Cukup menyakitkan untuk Hahee mengingat semua kenangan manis dan kelakuan buruk yang Kai berikan untuknya. Seorang pria sedang berjalan di tengah sawah, Hahee melihatnya dibalik jendela taksi.
“Pak sebentar, tunggu. Berhenti sebentar disini,” ujar Hahee,
“Ya, baik.” taksi pun diparkirkan disisi jalan. Ia keluar dari taksi, dan saat ia melihat lagi kearah sawah. Ia tak mendapatkan seorang pun disana. “..salah orang mungkin,” ujar Hahee. Perjalanan pun ia lanjutkan, dan ia merasa sedang diikuti, sesekali menatap ke spion. Mobil taksi Hahee dicegat oleh sebuah mobil yang menyalip dari belakang. Hahee bingung, dan mencoba mengintip keadaan diluar dari kaca jendela taksi yang tampak gelap dari luar. Dia dijemput ditengah jalan itu oleh sahabatnya, Sehun. Ia pun memutuskan untuk memindahkan barangnya ke bagasi mobil yang tadi mencegatnya.
“Sehun, kamu tahu aku disini?” tanya Hahee,
“Aku tau dari Hyuna noona, aku kemarin bertemu dengannya.” jawab Sehun,
“Kau memangnya dekat dengan Hyuna eonnie? Ah, aku baru tau itu,” jawab Hahee tersenyum dibalik rasa herannya,
“Hahaha, aku kemarin ketemu dia. Saat aku bertanya tentangmu, aku diberitahu kalau kau tugas disini.” jawab Sehun yang terlihat gagap menjelaskannya.
“Oh begitu ya,” jawab Hahee ragu. Sehun mengantar Hahee saja sampai stasiun Busan dan tak ikut pulang ke Seoul.
“Kau tidak ikut?” tanya Hahee bingung, sambil mengeluarkan koper Hahee, Sehun hanya tersenyum. Dan ia menutup bagasi mobilnya,
“Kau duluan saja, aku dapat tiket pulang besok. Lagipula mungkin aku akan menggunakan mobil saja.” jelas Sehun,
“Sehun, apa tak sebaiknya aku temani saja kau. Dan pulang bersama?” tawar Hahee, tapi wajah Sehun saat itu tak enak. Hahee yang sadar jika temannya itu tak butuh dirinya, dia langsung berlalu. Dan sebelumnya dia mengucapkan salam selamat tinggal. Sehun pun tersenyum, tapi ada sesuatu yang ia sembunyikan dari Hahee. Rasa aneh.
Setelah membeli tiket, ia pergi ke ruang tunggu dan dengan penuh kebosanan ia menunggu. Keberangkatan ditunda karena cuaca hujan yang cukup lebat di Busan. Hahee memutuskan untuk menelepon kakaknya dulu agar tak menunggu terlalu lama dan tak khawatir tentunya.
            “Oh ya, Hyuna eonnie mana?” tanya Hahee,
            “Aku juga tidak pernah mendengarnya. Aku kan tinggal dirumah sendiri, Hahee. Makanya aku mau kau pulang, hyung di apartemennya. Sepertinya mereka sedang berdua, biarlah seperti itu. Setelah pernikahan, mereka belum berbulan madu kan? Biarlah masa indah itu mereka miliki. Sekarang, kau cepat pulang,” ujar D.O meninggikan nadanya. Hahee yang terganggu sedikit menjauhkan telepon genggamnya itu dari telinganya. Ia tertawa sendiri membayangkan bagaimana tingkahnya sekarang sendiri dirumah.
            “Mianhaeyo, oppa! Aku kan tak berniat pulang terlambat, tapi cuaca di Busan sedang buruk. Tapi tak terlalu sih, hanya saja mengganggu perjalanan. Oppa tak usah menunggu di stasiun ya, aku bisa sendiri. Oke?” ujar Hahee,
            “Yee, pede sekali kau. Aku memang akan dirumah, lebih enak menunggu dirumah. Bisa santai, daripada disana? Gak jelas. Belum lagi kalau bertemu dengan anak - anak SMA dulu, berisik mereka. Heboh,” cerita D.O, Hahee hanya tertawa kecil mendengarnya.
            “Baiklah. Kau tunggu saja dirumah, oppa. Aku tak mau melihatmu distasiun,” ujar Hahee merajuk,
            “Merajuk nih judulnya? Tak usah berlebihan, wanita centil. Nanti kau digodai anak kampus loh seperti kemarin,” Hahee paling tak suka diingatkan dengan kejadian itu. Saat ia sedang asyik berbicara dengan kakaknya ditelepon, suatu kejadian menggemparkan keadaan mendung yang menyelimuti langit Busan. Beberapa petugas keamanan nampaknya segera berlari ke arah kejadian. Hahee yang penasaran segera menutup telepon kakaknya dan menghampiri sedikit lebih dekat ke arah dimana petugas keamanan berkumpul. Ia melihat seorang pria yang memiliki bekas pukulan diwajahnya, orang itu menutupi wajahnya. Sepertinya Hahee pernah melihat orang ini. Ia juga melihat beberapa orang pria berpakaian rapi berlari menjauh dari petugas. Mereka ada yang menggunakan kemeja putih dan ada pula yang memakai jas hitam, dengan kacamata hitam yang seakan menutupi identitasnya. Kemudian Hahee kembali duduk dan melamun,
            “Orang tadi mirip siapa ya?” bisik Hahee pada pikirannya, ia termenung kembali. Mencoba membuka arsip memori diotaknya, mencari orang yang kira - kira mirip dengan pria tadi. “Haa! Chanyeol!” teriak Hahee dalam hatinya, memberitahu pada otaknya dan ingatannya. Dan seseorang yang duduk disebelahnya meng-iya-kan, seakan tahu apa yang Hahee bicarakan dalam hatinya.
            “Chanyeol? Sejak kapan kau disini?” tanya Hahee masih mengelus dadanya karena kaget,
           “Aku ada perlu di Busan. Lama tak jumpa denganmu, Hahee. Kau habis darimana?” tanya Chanyeol kembali.
            “Iya, lama kita tak bertemu ya. Aku merindukan tingkah gilamu. Aku memang baru saja menyelesaikan praktek mengajarku, kebetulan aku ditugaskan di Busan. Channie-ah, wajahmu kenapa?” tanya Hahee, ia segera mengingat apa yang ia bingungkan tadi. Ia berusaha menyambungkan semuanya, semua pemikirannya tadi.
            “Kau pasti tahu wajahku kenapa. Kau melihatku dari atas kan tadi? Ayo, ngaku?” Chanyeol sudah mengetahui apa yang Hahee lakukan tadi. Ia hanya mengangguk dan merunduk, kemudian ia pun memukul tangan Chanyeol karena malu.
            “Aww! Pukulanmu masih sesakit ini, Hahee? Aduh, kau wonderwoman sekali. Sedang malu saja masih sempat melukai orang lain,” ujar Chanyeol meledek,
            “Biar, biar kau tau rasa sakitnya rindu. Merindukan kalian itu menyiksaku,” ujar Hahee memukul beberapa kali ke tangan Chanyeol. Chanyeol merangkul dan membiarkan Hahee bersandar di dadanya.
            “Kalau kau tahu semua yang sebenarnya, kita itu tak seperti dulu lagi. Aku selalu berharap seperti apa yang kau harapkan. Tapi semua terlalu berubah, cukup berbanding terbalik.” Chanyeol mulai membuat Hahee bingung, ia hanya bertanya dalam pikirannya saja. Percuma, dia tidak akan menjelaskannya sekarang. Seorang sales salah satu jasa tour guide bulan madu menghampiri mereka beruda. Ia mengira Hahee dan Chanyeol pasangan kekasih, memang mereka berdua duduk terlalu dekat.
            “Pe-permisi,” ujar sales itu,
“Ya? Ada apa?” tanya Chanyeol,
“Kami dari perusahaan ABC mengadakan promo untuk para pasangan muda yang baru menikah. Kami mengadakan harga promo penawaran tour wisata ke Hongkong Disney Land.” Hahee dan Chanyeol hanya bisa membuka mulutnya, heran. Suasana di stasiun Busan semakin mencekam karena tawaran sales itu.
“Kami bukan sepasang kekasih apalagi sepasang suami istri,” jawab Chanyeol tersenyum kepada sales tadi, menyusul anggukan dari Hahee. Setelah itu sales tersebut meminta maaf dan pergi dari hadapan mereka. Tindakan mereka berdua pun adalah sesegera mungkin memisahkan diri masing - masing. Pandangan orang lain akan berbeda ya, tingkah SMA yang dibawa ke umur yang sudah beranjak dewasa. Kebanyakan dari mereka pasti salah paham, dan salah menerka. Chanyeol dan Hahee tertidur menunggu kesiapan kereta untuk berangkat. Waktu tundanya lumayan membuat mereka berdua kelelahan. Sebagian orang yang terpaksa ikut menunggu cuaca sedikit membaik, ada yang terpulas, ada yang membaca koran, ada yang memainkan gadgetnya, dan masih banyak aktivitas lainnya.
Chanyeol terbangun dari tidurnya karena terdengar sebuah pemberitahuan dari pengeras suara. Kereta yang akan mengantar mereka ke Seoul sudah berada dijalurnya. Chanyeol mengguncangkan badan Hahee pelan - pelan, dan menepuk bahunya sesekali. Ketika itu, Hahee terbangun, dan mengucek matanya,
“Ada apa Chanyeol?” tanya Hahee,
Keretanya sudah mau berangkat, sebaiknya kita segera ke sana. Tiketnya mana?” tanya Chanyeol, kemudian Hahee memberikan tiketnya. Chanyeol yang mengurusi semuanya dan Hahee membawa kopernya. Setelah duduk di kursi penumpang, Hahee merasa lega, dan menghela napas panjang. Chanyeol tersenyum dan mengucek rambutnya, ia pun mengambil tangan Hahee.
“Maafkan aku ya, maafkan aku.” ujar Chanyeol tanpa menatap wajah Hahee dan tetap fokus pada tangannya yang ia pegang.
“Untuk apa, Channie-ah? Kau tak punya salah apa - apa padaku, selain kau yang jahat tak mengundangku juga untuk makan dikedai, beberapa tahun yang lalu. Haha,” ujar Hahee bercanda,
“Hahaha, kalau masalah itu. Tolong maafkan aku, aku juga sampai sekarang merasa tak enak,” ujar Chanyeol, ia kembali merahasiakan sesuatu dari Hahee, menurutnya ini penting. Apa yang sebenarnya ia sembunyikan dari Hahee? Biarlah ia menjelaskan secara berurutan, rapih. Kemudian, perjalanan itu ia isi dengan melanjutkan tidurnya.
            Sesampainya di Stasiun Kota Seoul, Hahee dan Chanyeol berpisah. Karena ia sudah pindah rumah. Hahee baru mengetahui itu tadi di dalam perjalanan. Taksi, kendaraan yang sedang ia cari. Ya tentunya untuk mengantarnya pulang, salah dirinya menolak tawaran kakaknya yang mau menjemputnya di stasiun. Tapi sebelum menaiki salah satu taksi yang terparkir, dari kejauhan Hahee melihat seorang wanita yang mirip dengan kakak iparnya. Suho memang benar - benar sudah menikah dengannya, tapi memang tak ada pesta meriah. Hanya teman terdekat saja yang hadir. Karena waktu itu Hahee sibuk dengan proposal pengajuan praktek mengajar, ia sengaja tak diberitahu agar konsentrasi. Ia hendak mendekati, tapi ia takut taksi yang ia panggil ditumpangi oleh orang lain.
Sesampainya dirumah,
            “Oppa! Oppa! Bukain pintu dong!” teriak Hahee dari balik pagar rumahnya,
            “Ya, siapa?” tanya D.O pura - pura tak tahu,
            “Tukang pos!” sahut Hahee kesal,
          “Hehe, jangan merajuk gitu dong. Ayo, silakan masuk tuan putri. Sudah ada hidangan yang harus anda coba,” D.O membungkukan badannya, Hahee tersenyum manis.
            “Koperku masih diluar, oppa.” Hahee tersenyum dan berlalu masuk ke dalam rumah,
            “Kau, Hahee. Dasar!” dumel D.O oppa. Mereka menikmati makan malamnya berdua, dan sempat terpikir oleh Hahee untuk menanyakan sesuatu kepada kakaknya. Tapi ini masih suasana makan malam, Hahee tak enak untuk menanyakan diwaktu seperti ini. Saat itu sepertinya D.O hanya ingat membayar rasa rindunya dengan adiknya yang satu itu. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama hari itu.

Pagi hari menjelang, Hahee tampaknya malas bangun tidur. Apa sebabnya, entahlah yang pasti ia sangat malas dengan hari ini. D.O mencoba mengguncangkan tubuh Hahee agar bangun, ia sudah menyediakan sarapan spesial untuknya. Dengan rasa malas yang merajai tubuhnya, ia berjalan menuju ruang makan. Ternyata disana sudah ada Suho, Hahee berlari dan memeluknya. Sudah begitu lama sejak ia asrama, tak pernah pulang menemui pria yang ia sayangi itu.
            “Oppa, kau pulang kapan?” tanya Hahee,
            “Aku sampai tadi pagi, haha. Aku datang untuk menemuimu, sepertinya aku masih merasa bersalah karena tak mengundangmu,” ujar Suho,
            “Lupakan itu, oppa. Sekarang kau kan sudah disini, aku juga sudah senang. Oh ya, Hyuna eonnie mana?” tanya Hahee menelaah keadaan disekelilingnya.
            “Entahlah. Kemarin dia bilang ia akan mampir ke rumah orang tuanya. Tapi sampai sekarang masih susah di hubungi. Tapi biarlah, aku sudah menitipkan pesan pada tetanggaku jika ia pulang nanti. Aku pergi ke rumah menemui kau,” ujar Suho tersenyum,
            “Oh begitu. Eh oppa, rumah orang tuanya eonnie dimana?” tanya Hahee, akhirnya dia menanyakan hal tersebut kepada suaminya Hyuna langsung yaitu kakaknya.
            “Aniyo. Tak jauh sih, rumah orang tuanya di Daegu. Memangnya kenapa?” tanya Suho,   
            “Begitu ya. Kemarin kalau tidak salah aku melihat orang mirip dengannya di stasiun saat aku menyetop taksi. Tapi sepertinya itu bukan dia,” ujar Hahee, Suho hanya termenung saja. Tampak biasa saja tapi matanya penuh curiga, entah apa yang ia pikirkan yang pasti itu tentang yang baru ia dengar dari Hahee. Yang pasti Hahee semakin yakin kalau itu dia, kakak iparnya sendiri. Apalagi ia ingat yang diceritakan D.O oppa waktu ia masih di Busan.
            Oh iya, Kai sampai sekarang belum ditemukan,” ujar D.O berbisik pada Hahee didapur,
            “Oh, terus bagaimana perkembangannya? Apa ada berita baru, lebih membuat hatiku tenang, ada tidak?” tanya Hahee sambil mengocek minuman teh dan sedikit gula untuknya dan Suho oppa.
            “Iya. Tapi akhir – akhir ini, Suho seperti menutupi sesuatu. Ia langsung aneh setelah menikah, selang tiga hari ia segera pindah dari rumah ini ke apartemen. Padahal kan apartemen itu mau dijual,” ujar D.O oppa,
            “Iya, terus sepertinya Suho oppa mengetahui sesuatu tentang istrinya itu.” Hahee semakin serius,
            “Aku kan kemarin bilang kalau ada hubungannya Kai dengan Hyuna noona. Tapi entahlah apa yang mereka ketahui dan yang kita tidak ketahui.” D.O mengajak Hahee kembali ke ruang tamu. Hahee hanya menganggukan kepala sesekali menolehkan wajahnya ke wajah kakaknya. Suho yang melihat layar handphonenya, ia hanya termenung. Sesekali mengusap wajahnya seakan kebingungan melanda pikirannya. D.O menghampirinya dan merangkul dengan ramah.
            “Hyung, ada apa?” tanya D.O memberikan teh hangat untuk kakaknya,
            “Aniyo, terima kasih ya kyung-ah. Aku sedang mengurusi beberapa kerjaan yang sedikit membuatku pusing. Hanya sedikit, tak apa. Oh iya, bagaimana kabar praktek mengajarmu?” tanya Suho mengalihkan pembicaraan,
            “Ah, semua berjalan dengan lancar. Aku juga bertemu dengan anak murid yang menyenangkan. Aku kemarin melihat orang seperti Kai,” ujar Hahee, kali ini Suho dan D.O hanya diam saja merunduk. Mereka tak akan mau mengingatkan Hahee lagi tentang semua itu. Terlalu buruk untuk pengalaman yang sudah ia lupakan.
            “Ohh, anak – anak itu nakal tidak? Setahuku kau tidak begitu suka anak kecil, ternyata kau berhasil mengajari mereka. Salut,” sahut D.O meledek adiknya,
            “Dan kau, tak pernah berubah menjadi semakin lebih baik. Kau terus meledek adikmu,” jawab Suho meminum tehnya, Hahee menertawakan kakaknya yang dimarahi. Mereka melewati hari – hari seperti ini, bersama. Hujan juga akhir – akhir ini membasahi aspal jalan didepan rumah mereka. Juga aspal seluruh jalan di Seoul. Teh, dan bubur ayam yang menjadi sajian setiap paginya. Masakan D.O selalu menghibur kebosanan Suho dan Hahee yang tinggal dirumah itu. Sejak Hahee menyelesaikan studinya dan berhasil wisuda bulan lalu, ia menetap terus dirumah bersama kedua kakaknya.
            Hahee berpikir untuk sebaiknya setelah wisuda, ia ingin kembali bekerja dikantor redaksi. Sebelum melamar kerja ke berbagai sekolah menengah di Seoul atau dikota lainnya.
            “Kak, aku bekerja lagi ya disana,” ujar Hahee merajuk pada Suho,
            “Kau tidak lelah terus pulang – pergi, Seoul ke Busan?” tanya Suho tak menatap Hahee karena sibuk menatap layar laptopnya.
            “Tidak. Aku akan tinggal dirumah kecilku. Waktu itu aku menyewanya, tapi pemiliknya memberikannya padaku. Katanya sudah ada yang membayar rumah itu. Jadi aku tetap tinggal disana. Nanti D.O oppa yang akan menemaniku. Ya kak?” Hahee semakin merajuk pada kakaknya. Ia melepaskan kacamatanya, dan menatap Hahee yang ada disebelahnya.
            “Itu yang kamu inginkan? Ya sudah, biar D.O menemanimu. Aku akan tinggal disini, sesekali menengok Hyuna diapartemen. Aku akan menginap juga diapartemen. Rumah ini biar bibi yang jaga. Aku sudah bicara padanya, besok akan datang kesini.” Suho menjelaskan pada adiknya,
            “Oh baiklah kalau begitu. Aku jadi sedikit lega meninggalkan rumah ini,” ujar Hahee tersenyum,
            “Oh iya, kapan kau pindah?” tanya kakaknya itu,
            “Aku akan kesana mungkin lusa. Kau kapan pulang ke apartemen? Hyuna eonnie sudah pulang?” tanya Hahee, Suho tersenyum menatapnya. Aneh.
            “Aku akan pulang ke apartemen besok. Kau tunggu saja setidaknya sampai bibi datang ke rumah. Baru habis itu, kau pergi bersama kyung-ah. Oke?” jawab Suho oppa,
            “Oke. Baiklah. Aku akan lekas berbenah seluruh pakaianku untuk kesana. Aku beritahu dia dulu ya,” ujar Hahee sambil beranjak dari sana, tetapi tangannya ditahan oleh Suho,
            “Tunggu dulu,” ujar Suho,
            “Ya ada apa lagi, kak?” tanya Hahee menoleh melihat kakaknya,
            “Apa benar yang kau lihat distasiun mirip istriku?” tanya Suho,
            “Aniyo. Aku tak tahu jelas, yang pasti itu lebih mirip dengan Hyuna, kak. Tapi, tak usah dipikirkan. Kau tahu jelaskan bagaimana aku? Aku selalu salah orang. Hahaha,” Hahee berusaha agar kakaknya tak memikirkan sesuatu,
            “Tidak, Hahee. Aku sedikit yakin dengan perkataanmu. Kau tahu? Saat kau masih praktek mengajar, dia menanyakanmu. Aku bilang, kau sekarang sedang di Busan. Lalu keesokkan harinya dia meminta izin padaku untuk pergi ke rumah ibu di Daegu. Tapi dia bilang akan menginap disana, makanya setelah pekerjaanku selesai dikantor aku langsung kesini. Karena diapartemen aku akan sendiri, juga aku tahu kau akan pulang. Lagipula D.O mengundangku untuk menginap.” Suho menjelaskan apa yang ia alami,
            “Oh begitu. Apa dia pernah mengeluh kalau dia punya riwayat penyakit selama bersama oppa?” tanya Hahee,
            “Em, dia memang memiliki sakit jantung. Dokter yang menanganinya adalah kakaknya Kai, Sohee. Beberapa tahun yang lalu sebelum kau masuk asrama, dia juga melakukan operasi jantung, tapi aku sampai sekarang tak pernah tahu lagi siapa dokter yang menangani operasinya. Sejak Sohee pindah rumah sakit, aku tak pernah dengar banyak cerita dari Hyuna. Karena dia sekarang lebih sering berada diluar rumah dibanding menetap diapartemen,” ujar Suho. Hahee sedikit mengingat berbagai kejadian yang hampir terlupakan.
            “Lalu? Kau tak pernah bertanya soal semuanya? Apa kau tak curiga ada sesuatu yang ia sembunyikan?” tanya Hahee penuh rasa curiga.
           “Hahee, jujur saja. Aku curiga padanya, tapi sayangnya aku tak pernah berburuk sangka seperti ini. Dia istriku, aku tak berhak mencurigakannya terlalu berlebihan. Biarkan dia menjalani kehidupannya sendiri. Toh dia masih ingat aku sebagai suaminya. Lebih baik kau membereskan pakaian yang akan dibawa. Aku akan pergi besok pagi, kamu tunggu sampai bibi datang ya,” ujar Suho kembali menatap layar laptopnya,
            “Baiklah, selamat malam.” Hahee meninggalkan Suho yang sibuk dengan pekerjaannya. Tentunya tanpa istri yang ia cintai berada di sisinya, ia berada di suatu tempat yang sampai sekarang entah dimana itu. Yang Suhoa tahu, dia sekarang mungkin sudah kembali ke apartemen dari rumah orang tuanya. Lupakan itu, sekarang Hahee harus membereskan semua pakaiannya untuk dibawa dan tinggal di Busan lagi. Akan dekat dengan kantor juga tempat ia praktek waktu itu. Jauh dilubuk hatinya, melihat keadaan di Busan ia akan selalu terus mengingat Kai. Itu yang ia benci, dan akan selalu membenci perasaan itu.

Keesokan harinya, Suho pergi lebih dulu dari rumah. Sedangkan Hahee dan D.O menunggu bibi yang tak kunjung datang pagi ini. Sempat sebal, jelas. Menunggu itu hanya membuat seseorang jengkel terhadap waktu itu. Jam 10 pagi, seharusnya mereka sudah berangkat ke Busan. Ini jam keberangkatan bus ke Busan, agar tak terlalu sore untuk sampai kesananya. Karena Hahee juga perlu ke kantornya untuk membicarakan pekerjaannya lagi.
            “Kak, bibi kemana?” tanya Hahee kesal menatap layar gadgetnya,
            “Aku gak tau, Hahee. Coba kau telepon dia dulu, barangkali dia lupa rumah ayah. Dia kan sudah lama tidak kemari,” ujar D.O yang sibuk merapikan beberapa kebutuhan mandi yang sepertinya akan ia perlukan selagi tinggal sementara disana. Hahee terus menggumam sendiri menatap gadget yang ada digenggamannya dan melawan rasa bosan. Tak lama sebuah bunyi klakson mobil terdengar cukup menyindir Hahee dan D.O yang sedang bermalas – malasan menunggu waktu.
            “Hahee! Kyungsoo! Ini bibi, tolong bukakan pintunya,” teriak bibi dari luar rumah,
            “Kak, bukakan pintu untuk bibi dong,” ujar Hahee malas,
            “Kau kan yang lebih muda. Lagipula aku sedang sibuk,” jawab D.O membuatnya sedikit geram sepanjang jalan ke depan rumah. Keramaian menyambut pertemuan Hahee dan bibinya yang tak lain adik dari ayah mereka.
            “Kau sudah besar, Hahee. Kau begitu cantik, Suho mana?”
            “Kakak sudah lebih dulu ke apartemennya. Ia tinggal dekat rumah sakit di Jaeju,” ujar Hahee sambil menemani bibinya ke dalam rumah. D.O segera memberi salam pada bibinya yang sudah berada didalam rumah.
            “Hahee, kenapa kau harus pindah?” tanya bibi,
            “Aku harus pindah, bi. Soalnya jauh kalau aku harus pulang pergi Seoul – Busan, itu akan jauh sekali. Aku pasti kelelahan dalam perjalanan,” ujar Hahee meletakkan teh hangat diatas meja.
            “Oh begitu. Ya sudah, setiap dua minggu sekali kalau bisa kau kembali kesini. Bibi akan kembali ke rumah untuk mengurus pamanmu. Kau mengerti?” ujar bibinya,
            “Baik, bi. Aku akan kembali kesini. Tapi kalau aku tidak ada dirumah, bibi tanyakan kunci rumah pada tetangga ya. Aku akan menitipkannya,” ujar Hahee mengerti. Lalu sore harinya, mereka berdua pergi ke halte bus untuk pergi ke Busan. Dan meninggalkan bibinya sendiri dengan seorang supir untuk membantu menjaga rumah keluarga Suho. Malam hari, tepatnya pukul 10, mereka sampai di sebuah rumah yang akan mereka tempati untuk hari – hari berikutnya. Hahee juga sudah menghubungi direkturnya untuk meminta untuk bekerja disana lagi. Karena keadaan yang sudah malam, mereka membicarakannya di telepon saja. Hahee sudah bisa bekerja mulai besok, tentu akan mejadi kejutan bagi temannya dikantor. Terutama untuk kawan baiknya, Park Hoon. Dari kejauhan nampak Kai menatap mereka, menyunggingkan sebuah senyuman nyaman dari kejauhan. Rasa aman pada diri Hahee, membuat Kai sedikit puas untuk sebuah pengorbanannya. Yang mahal.

***

Pagi itu dirumahnya yang sudah lama tak ia tempati, sejak mulai kuliah dan praktek kuliahnya. Setelah menyelesaikan semua kewajiban studinya, ia segera menemui direkturnya untuk melamar kerja lagi. Tentunya dengan bertatap muka dengan direkturnya. Disana masih ada baju Hahee yang masih bagus untuk bekerja. Ia bangun dari tidurnya dan segera mandi. Disana ada D.O oppa yang masih tertidur,
            “Oppa! Bangun! Aku akan berangkat kerja,” teriak Hahee didepan telinganya,
            “Hmm, ini masih pagi Hahee. Bisakah kau biarkan aku tidur sebentar lagi dan tak usah membangunkanku jam segini?” ujarnya malas,
            “Bisa, tapi aku akan berangkat ke kantor kak! Bangun,” Hahee terus mengguncangkan tubuh kakaknya itu,
            “Iya iya, aku bangun. Tapi berangkatnya kau saja yang menyetir ya, aku mau tidur dulu. Aku janji nanti pulang aku yang menyetir,” ujarnya memohon pada Hahee, dia tak bisa menolak permintaan kakaknya. Tampaknya wajah lelah masih menyelimuti sebagian dari wajahnya.
            “Ne, arasseo. Nah sekarang cepat kau bangun dan segera berangkat,” ujar Hahee,
            “Aku belum mandi, Hahee. Sebentar,”
            “Ya sudah, cepetan kak! Jangan lama - lama, ini handuknya.” Hahee melemparkan handuk ke kakaknya. Mereka segera berangkat ke kantor Hahee, sejak Suho oppa menikah dengan Hyuna, D.O tinggal dirumah Hahee dan menemaninya. Menemani adiknya, itu adalah pesan sang kakak tertua, Suho.
            Dari kejauhan, tepatnya dari pintu masuk kantor, Park Hoon sahabatnya itu menyapanya. Ia sudah lumayan lama tak melihat Hahee lagi. Setelah sebelumnya, Hahee berhenti bekerja untuk kuliah.
            “Kau kemana saja, bodoh. Menghilang begitu saja, teman macam apa kau?” ujar Hoon menyikut lengan Hahee,
            “Haha, kau fikir aku diam saja saat tak bekerja disini? Aku kuliah, Hoon-ah,” ujar Hahee,
            “Oh kau kuliah. Hahaha, aku kira kau liburan ke Jepang. Nyatanya kau belajar juga ya,” ledek Hoon,
            “KAU!” Hahee mengejar Hoon yang berlari masuk lift. Didalam lift, mereka membicarakan sesuatu. Hanya sekedar me-review cerita dulu, tak ada yang dilebih – lebihkan. Hoon yang tak mengetahui tentang keadaan Hahee waktu itu, kejadian malam itu, ia membicarakan Xcone. Kemudian Hahee mengingat sesuatu saat mendengarkan cerita itu, Kai, Sehun juga Grinda. Hoon melangkah lebih dahulu ke luar lift menuju mejanya ditahan oleh Hahee,
            “Apa itu Xcone? Aku sedikit lupa sejak aku tak pernah meneliti kasus itu lagi,” tanya Hahee,
            “Oh, akhir - akhir ini aku menemukan berita. Teman kau, Kim Jong In? Terlibat pada kasus mafia itu,” tampaknya Hahee terkejut dengannya. Kecelakaan yang D.O ceritakan berbeda dengan kasus kecelakaan yang ia ketahui dari Hoon beberapa tahun yang lalu.
            “Oh, katamu kecelakaan?” tanya hahee,
            “Iya, dan yang bersama dengan Jongin itu adalah mafia itu. Yoo Ra? Kau tahu wanita itu, dia memiliki nama samaran yaitu Grinda. Aku tahu dari temanku yang menangani kasus ini, dia anggota kepolisian.” Hoon menjelaskan itu,
            “Sudah lama ya berarti aku tak bekerja disini,” ujar Hahee,
            “Iya,” jawab Hoon. Hahee tiba - tiba lemah mengingat sesuatu dalam cerita Hoon,
            “Grinda, aku seperti pernah mendengar nama itu.  Aku pernah, Hoon-ah.” Hahee memegang kepalanya yang hampir pusing,
            “Kau tak apa?” tanya Hoon,
            “Tidak. Aku tidak apa - apa. Hanya saja namanya familiar diingatanku,” ujar Hahee,
“Sudahlah. Tak usah membahas itu lagi. Nanti aku akan cari tahu tentang temanmu itu. Oh ya, ia seorang dokter pribadi di kelompok itu. Apa benar ia adalah seorang dokter?” tanya Hoon, Hahee diam tanpa kata. Seperti ia mengingat sesuatu yang penting, sesuatu yang pernah ada dan terlupakan.
            “Aku ingat!” ujar Hahee, “..Hoon-ah, antarkan aku ke rumah ibu itu.” Hahee menarik tangan Park Hoon yang sedang menatap komputernya,
            “Ibu yang mana Hahee?” tanya Hoon,
            “Kau pernah dengar dimana kelompok itu membuat kerusuhan untuk mencari sesuatu? Rumah gubuk, yang ada dipinggir persawahan. Kau pasti pernah dengar dan kau pasti mengingatnya?” ujar Hahee,
            “Aku ingat itu. Ada wanita yang dilukai menurut saksi mata, belum ada media yang memberitakan siapa dia dan disini ciri - ciri wanita itu seperti yang pernah aku lihat. Dari ciri – cirinya wanita itu seperti...” Hoon menahan bicaranya sambil membaca artikel itu, “iitu kau?” Hoon menatap Hahee yang khawatir,
            “Iya, itu aku. Dan pria dokter itu, Kai. Lelaki yang selalu kucari dan selalu kucintai. Dan ia sedang terjebak didalamnya, sekarang jasadnya pun tak ada kan? Kemana sebenarnya?” jelas Hahee,
            “Iya. Kau yang sabar ya, aku akan membantumu mengungkap ini. Aku pasti membantumu. Apa kau masih ingat siapa orang yang kau kenal diantara kelompok itu?” tanya Hoon,       
            “Aku ingat. Dia salah satu teman SMA ku dulu. Oh Sehun,” ujar Hahee mengerutkan dahinya dan mencoba mengingat persis kejadian malam itu.
            “Oh Sehun? Baik, lalu apa yang kau ingat?”
            “Aku ingat semuanya, tapi satu syarat Hoon-ah.”
            “Apa Hahee?” tanyanya,
            “Jangan disini. Jangan kau sebut namaku dalam laporanmu, aku akan buat seakan aku hadir untuk menghantui mereka. Buat seakan aku memberikan surat kaleng dan kau tak pernah tahu siapa pelapor itu. Aku akan melindungimu jika kau dapat ancaman.” Hahee menjelaskan itu,
            “Kau tak usah khawatirkanku, aku sudah bisa diteror oleh mereka. Aku tahu sekarang, ayo kita ke rumah gubuk itu.” Hoon mengajak Hahee keluar, tanpa sepengetahuan kakaknya yang sedang parkir di halaman kantor.

Sesampainya disana, Hahee mengetuk pelan pintu rumahnya.
            “tok, tok, tok...” pintu pun terbuka. Seorang anak kecil menyambutnya penuh suka cita. Memeluknya, sangat erat.
            “Kakak, kau kesini. Aku rindu,” ujar anak itu,
            “Ibu kemana?” tanya Hahee, ia menggelengkan kepalanya. Lalu ia mencari ke sekeliling rumah tapi tak menemukan dia.
            “Kakak, kemarin ibu hilang. Ibu mencari hyung, tapi tak ada. Ibu ketahuan mereka, dan membawanya. Aku melihat ibu ditembak, dan ia membawa tubuh ibu ke dalam mobil. Aku cuman pegang telepon genggam yang hyung titipkan untuk menelepon kakak. Tapi kehabisan baterai, kak.” Yunho nampak ketakutan saat menjelaskan kejadian itu kepada Hoon. Hahee yang baru kembali dari dapur, langsung mengajak Yunho untuk tidur siang.
            “Lebih baik dia tidur dulu, Hoon-ah. Jangan tanya apapun lagi, ia butuh istirahat. Sebaiknya kita harus menginap disini. Kau telepon ke kantor ya, izinkan kita berdua. Ada perlu,” ujar Hahee,
            “Kenapa?” tanya Hoon,
            “Kau tega meninggalkan dia yang masih anak kecil tinggal disini sendiri?” Hahee yang sedang mengipaskan Yunho.
            “Baiklah. Ia juga sudah tertidur. Kau tidur saja, Hahee. Biar aku berjaga,” kata Hoon yang melangkah mendekati dapur untuk menelepon pihak kantor. Setelah itu ia kembali lagi. Hahee dan Park Hoon menginap semalam disana. D.O oppa juga sudah dihubungi untuk pulang lebih dulu ke rumah.
            Suasana malam itu sepi, seperti tanpa penghuni. Hahee, Hoon dan Yunho berjaga didalam rumah. Hoon memasak makan malam dengan bahan yang masih tersisa dalam rumah. Yunho bercerita banyak tentang apa yang terjadi saat Hahee tak ada disekitar mereka.
            “Ibu bilang, aku segera cari kakak. Tapi, karena aku tak tahu rumah kakak, selama ini aku menunggu didalam rumah dan sesekali mengumpat didalam lemari jika aku dengar ada seseorang lewat depan rumah. Rumah ini juga pernah diperiksa sekitar tiga orang lelaki dewasa kak. Dia bilang - Cari Hahee! Dia masih disini. Karena dia pasti masih ada, aku yakin dia masih ingat kasus malam itu. Dia pasti masih hidup! - begitu kak.” Yunho tampak ketakutan mengingat itu. Hahee memeluk Yunho agar ia tenang.
            “Hoon, kita jangan membiarkan Yunho tetap tinggal disini. Tak aman untuk anak kecil,” ujar Hahee pada Hoon yang baru kembali dari dapur.
“Baik, besok pagi kita pergi dari sini. Dan Yunho akan tinggal bersamaku,” ujar Hoon,
            “Tak usah. Untuk sementara, kau tetap bersamaku.” pinta Hahee,
            “Apa aku boleh tinggal bersamamu?” tanya Hoon dengan pipi yang memerah,
            “Boleh. Kan aku tinggal bersama kakakku sekarang. Kau tidur bersama kakakku, dan Yunho bersamaku,” jelas Hahee. Hoon yang salah sangka langsung salah tingkah karena malu. Hahee dan Yunho tertawa bersama. Seseorang mengetuk pintu rumah, Hoon yang membuka pintu dan mereka berdua masuk ke dalam kamar dan mematikan lampu kamar. Hahee terkejut mendengar teriakan Hoon dan hentakan ke pintu. Lalu Hahee menyuruh Yunho untuk tetap dikamar, tak diduga dan tak disangka. Dia Kai.
            Kai segera menghampiri Hahee, dan memeluknya. Hahee melepaskan pelukan itu,
            “Kenapa Hahee?” tanya Kai,
            “Ini jebakan untuk menjemputku. Atau ini tulus kau datang untukku? Bukankah kau mengalami kecelakaan?” tanya Hahee curiga,
            “K - kau kenapa begini? Apa karena orang itu?” ujar Kai sambil menunjuk Hoon yang berdiri dekat pintu. Hahee membela Hoon, karena ia sedang tak mau diganggu. Kai mengajak Hoon dan Hahee berbicara di dalam.
            “Yunho mana?” tanya Kai, tak lama Yunho keluar dari kamarnya, “hyung!” panggilnya. Ia segera menjelaskan semuanya, dan segera membawa semuanya pergi dari perkampungan itu. Mereka melangkah mengendap – endap ditengah sunyinya malam. Kai memilih waktu itu, agar tak ketahuan dengan Sehun. Yang sejak itu berjaga disekitar desa itu. Seseorang dari kelompok itu melihat Yunho yang teriak kaget.
            “Siapa disana?” tanya salah satu dari mereka, dan berjalan mendekat. Kai membekap mulut Yunho, dan Hoon membekap mulut Hahee. Sial! Mereka mengenali Hahee dan Kai.
           “Disini ada Kai dan Hahee!” teriak lelaki itu, dan mereka segera berlari sejauh mungkin menuju rumah Hahee. Tak disangka, harus Hahee yang terjatuh. Hahee terus menatap Yunho yang berlari didepannya.
            “Yunho! Lari!” teriak Hahee yang dibelakangnya ada beberapa orang yang mengejarnya,
            “Hoon, kau bawa Yunho pergi! Lari ke rumah Hahee, beritahu D.O hyung. Dan aku akan menelepon ponsel yang ada ditangan Yunho,” ujar Kai,
            “Baiklah.” Hoon membawa Yunho berlari, sedangkan Kai kembali menghampiri Hahee. Lagi dan lagi ia bertemu dengan Sehun. Karena tak bisa berbuat apa - apa, Kai dan Hahee menyerahkan diri. Ia dibawa ke sebuah tempat dimana disana sudah ada banyak orang. Dan Grinda ada disana,
            “Kau! Kau yang menyelidikiku dulu? Dirumah sakit 62 km timur Busan? Punya nyali tinggi juga kau, berani menyelidikiku. Kau mau apa?” tanya Grinda pada Hahee yang matanya ditutup kain hitam.
            “Memang iya. Apa masalahmu..., Grinda?” tanya Hahee dengan nada angkuh,
            “Oh kau sudah tahu namaku?” tanya ia. Hahee semakin penasaran siapa sebenarnya Grinda itu. Hahee di lempar ke kursi yang berhadapan dengan Kai. Dan Sehun sudah berdiri disamping Hahee. Ia menggampar Hahee cukup keras, darah dari mulutnya pun keluar. Sungguh lelaki yang tak punya perasaan.
            “Apa lagi yang kalian mau dariku? Jangan siksa dia,” tanya Kai geram,
            “Aku? Aku hanya ingin kau itu mati didepan Hahee. Atau sebaliknya, kau mau Hahee yang mati dihadapanmu?” ujar Grinda,
            “Kau yang akan mati, wanita jalang!” teriak Kai, dan ia mendapat hajaran dari anak buahnya.      
            “Hahee, kau dengar itu? Lelakimu ini sangat menyayangimu sampai aku dibilang wanita jalang. Kau mau mendengar sesuatu yang lebih seru lagi?” tanya Grinda, “..atau kau yang mau mendengar juga melihat wanitamu itu menjadi korban karena kau?” sambungnya. Sehun mencoba membawa stick baseball, dan memukul kepala Hahee. Kai semakin geram melihatnya. Ia mengingat kejadian malam itu, hampir sama dan juga ia dipaksa melihat itu.
            “BAIK! AKU AKAN TETAP DISINI! AKU MEMANG MASIH HIDUP SELAMA INI, DAN AKU YANG MEMBONGKARKAN KASUS INI! BUKAN DIA!” teriak Kai,
            “Hhhh,” Grinda disusul tepuk tangannya, menyelamati pengakuan Kai. “Hahaha, kau memang harusnya mengaku dari kemarin. Dan Hahee? Kau akan melihat lelakimu, untuk terakhir kalinya.” Grinda menyuruh Sehun membuka penutup matanya. Hahee tak sadarkan diri, lalu Sehun mencoba membangunkan Hahee. Suasana hening, mencekam, menyelimuti pandangan Hahee kedepan saat dia mulai sadar.
“Izinkan aku mengobatinya dulu. Lalu kau bunuh aku,” ujar Kai menarik kerah Sehun,
            “Bagaimana kak? Dia ingin menyembuhkan tuan putrinya,” ujar Sehun,
            “Silakan saja. Sehun, biarkan dia memiliki kesempatan untuk mengobati putrinya. Agar Kai tak seburuk kakaknya yang membiarkan dokter Sohee sekarat. Dan pergi begitu saja,” ujar Grinda,
            “A-apa? Apa yang ia katakan, Kai?” tanya Hahee lemah,
            “Sudah, tak usah dengar perkataannya. Sudah cukup muak mendengar suaranya,” ujar Kai, lalu ia mengobati Hahee ditempat. Tanpa melepaskan ikatan ditangan Hahee, dalam posisi duduk, Kai harus menjahit luka dikepala Hahee. Dan membiarkan Hahee tertidur hingga ia sadarkan diri dengan sendirinya.
            “Kau tahu? Seberapa rasa sakit dihatiku, hidup bersama seseorang yang aku cintai. Tapi ternyata, aku hanya sebagai pelampiasan cintanya yang kandas. Aku tak semudah itu sebagai wanita. Kau dengar itu?” ujar Grinda pada Hahee,
Hahee yang berusaha menatapnya dibalik samar pandangannya, ia melihat wajah Hyuna dihadapannya.
            “Hyuna, eonni.” Hahee lirih,
            “Hmm, kau sadar? Bisa melihatku? Kau sudah siap melihat kekasihmu yang akan mati didepanmu,” ujar Hyuna memegang pipi Hahee dan mengarahkannya pada Kai yang duduk disana. Tersenyum. Wajah Kai sangat tenang saat itu, Hahee pun tersenyum tenang menatapnya.
            Kai mulai ditutup matanya dengan kain berwarna hitam. Pandangannya pada Hahee tak terputus, sampai akhirnya terputus juga pandangannya dari Hahee. Dua orang sudah mendekati Kai dari kedua sisinya, mengarahkan pistol yang mereka pegang. Ke arah kepala Kai dan satu lagi tepat letak jantungnya. Tembakan pertama, lengan kanan Kai, bahu kiri Kai. Hahee pun menjatuhkan airmatanya, “i-ibu..i-ibu..” lirih Hahee dalam hati.
            “Hahee tak u-ss khhk..tak usah melihat ini. Ba..khmm..bawa dia ke ruangan,” ujar Kai menahan sakitnya.
            “Kai!” teriakan Hahee pun pecah, dia memberontak saat digiring ke sebuah ruangan atas permintaan Kai. Dia tak mau Hahee melihat ia dalam keadaan seperti ini. Saat Hahee keluar dari ruangan itu, suara senapan terakhir terdengar. Dengan sekuat tenaga yang ia miliki, ia mencoba melepaskan dirinya. Berlari sekencang mungkin, menghampiri Kai yang sudah lemah. Tembakan tadi meleset, Kai belum mati. Pintu diatas didobrak oleh orang tak dikenal, dan masuk menerobos beberapa orang.

“Yoo Ra! Kim Yoo Ra! Kau tak bisa terus seperti ini pada mereka berdua. Sudah cukup kau mengganggu keluargaku dan keluarga Kai,” ujar D.O oppa,
            “Kyungsoo!” teriak wanita itu,
            “Kau Grinda ataupun Yoo Ra, keluar kau!” ujar Suho oppa, “atau harus kupanggil namamu, Hyuna?” sambungnya,
            “Maafkan aku, aku harus membawamu ke penjara.” ujar Suho menyesal. Dan beberapa polisi masuk ke dalam ruangan tersebut. Hyuna mencoba kabur dan ditembak ke arah paru – paru kanannya dari belakang. Suho yang melihat itu segera menghampiri Hyuna yang jatuh tersungkur.
            “Maafkan aku. Aku banyak membuatmu menyesal. Aku selalu tampak buruk dihadapanmu. Maaf - kan, aku. Suamiku....” Hyuna menghembuskan napas terakhirnya dipelukan Suho. Sesegera mungkin tim medis mengangkat Hahee dan Kai keluar dari lokasi itu. Keadaan Kai terlalu parah untuk dibiarkan menunggu lagi disini. Dia akan kehabisan darah.
“Bawa dia ke rumah sakit terdekat. Setelah ditangani, dan kondisinya stabil. Pindahkan ia ke rumah sakit Seoul, tapi sebelumnya hubungiku,” ujar D.O kepada salah satu temannya yang polisi. Ditempat lain, Sehun menghajar Chanyeol yang berdiri dihadapannya dihalangi oleh Kyungsoo,
            “Sudahlah. Hentikan itu!” ujar Kyungsoo,
            “Hmm, maafkan aku, Sehun. Aku juga sudah memberitahu pada Baekhyun. Dan kakakmu sesegera mungkin pulang ke Seoul. Aku membocorkan ini demi hidupmu. Kau tak sadar? Mereka berdua, Hahee dan Kai, aku dan saudaramu, Baekhyun, kita semua bersahabat. Kau tak menyadarkan itu?” tanya Chanyeol menarik kerah Sehun,
            “Sudah Chanyeol. Kau jangan samanya,” ujar Kyungsoo hyung.
“Aku melepaskanmu waktu itu karena kau sahabatku. Dan Kai bukan sahabatku lagi, sejak ia mengambil Hahee lagi. Setelah ia meninggalkan dan menyakiti hati Hahee.” Sehun mendorong Chanyeol hingga tersungkur,
“Kau, bukan Kai yang menyakiti Hahee. Kau mencoba menjebak Hahee disebuah perasaan yang sama sekali tak Hahee inginkan. Kau halangi pertemuan mereka, dan itu jelas menyakitinya,” ujar Chanyeol.
Tak lama Baekhyun dan kakaknya Sehun pun datang. Sehun dan semuanya dibawa ke kantor polisi untuk ditindak lanjuti. Setelah semua lokasi sudah dinyatakan aman, mereka semua meninggalkan tempat itu. Sesegera mungkin menghampiri Kai dan Hahee yang ada dirumah sakit. Yunho terus menangis sepanjang jalan, Hoon terus mencoba menenangkannya. Sesampainya disana, operasi sedang berjalan. Dan Hahee masih ada di ruang instalasi gawat darurat. Ia masih diobati lagi luka jahitan di kepalanya, tak terlalu parah keadaannya. Suho langsung menghampiri Hahee yang sedang tersenyum diatas tempat tidurnya.
“Kau tidak apa – apa?” tanya Suho melihat perban dikepalanya,
“Tidak apa – apa, kak. Aku sebelumnya sudah diobati oleh Kai, oh ya Kai dimana?” tanya Hahee,
“Dia sedang menjalani operasi, aku yakin dia akan selamat. Sehat, dan bisa berkumpul dengan kita lagi. Sekarang kau istirahat saja, kau akan dipindahkan ke kamar,” ujar Suho yang langsung pergi mengurus administrasinya. Kai sudah berhasil dioperasi peangkatan beberapa peluru. Memakan waktu cukup lama, 14 jam. Setelah dipindahkan ke ruang ICU untuk 5 hari, ia pun pindah ke kamar inap. Sebelah Hahee, ia tertidur pulas tanpa ada kabar bagaimana keadaan yang ia rasakan saat ini. Sakit, sehat, atau sudah hambar, tak terasa apa – apa lagi. Hahee menoleh dan menatap Kai dalam – dalam, beberapa selang masih tersambung pada tubuhnya.
Hahee menghampiri tempat tidurnya, membisiki bercerita beberapa cerita untuk mencoba membangunkan Kai.
“Aku sudah sehat. Aku tak merasa sakit lagi, kelak aku harus membalas kebaikanmu. Kau juga harus membalas rasa rinduku, ya.” Hahee menahan airmatanya. Kai menangis,
“Kai jangan menangis, kau masih bisa membantuku setidaknya dengan kau tersenyum. Aku selalu menyayangimu,” bisik Hahee mengusap airmatanya. Tiba – tiba, monitor menunjukkan aktivitas Kai yang tak normal, ia kejang. Segera Hahee menekan tombol darurat untuk memanggil perawat.
“Ada apa?” ujar dokter yang menangani Kai,
“Dia menangis dan kemudian saat aku menyeka airmatanya, ia langsung seperti ini,” jelas Hahee kepada sang dokter. Dokterpun segera memindahkan Kai ke ruangan intensif lagi. Sharon yang baru kembali dari Inggris langsung mengunjungi Hahee yang sedang dirawat.
“Hahee kau kenapa? Bisa seperti ini,” ujar Sharon khawatir melihat perban dikepalanya,
“Aku tidak apa – apa. Kau kemana saja,” Hahee lemah,
“Aku baru saja sampai Seoul, dan mendengar berita dari D.O, kalau kau dirumah sakit. Aku langsung kesini. Kau benar tak apa – apa?” ujar Sharon,
“Kai yang apa – apa, aku baik – baik saja,” ujar Hahee,
“Sudah, sabarlah Hahee. Tuhan tak akan tinggal diam, dia akan menyelamatkanmu dan menyelamatkannya. Tenang Hahee, teruslah berdoa,” ujar Sharon memeluk tangan Hahee. Hahee kembali meneteskan air matanya, dan tersenyum. Dan menutup matanya untuk beristirahat sejenak.
Kai yang berjuang untuk melawan rasa sakit dalam tubuhnya itu, terus koma hingga akhirnya tenang. Kai menjumpai Hahee, melihatnya sedang tidur manis dengan bibir yang terus tersenyum. Indah melihatnya lagi.
“Lekas pergi lagi pada ragamu, aku tak mau kehilanganmu,” bisik suara asing yang ia kenal. Suara Hahee. Ia pun berlari mencari raganya yang sedang koma itu. Ia pun berpikir, apa lebih baik tak membuat Hahee tersakiti karena ia tak bisa menjanjikan kebahagiaan untuk Hahee seutuhnya? Saat menemukan raganya, Kai pun akhirnya masuk kembali kesana. Menangis lagi, dan tersenyum. Ia pun ingin beristirahat sejenak beberapa waktu, seperti Hahee tadi. Hanya beberapa waktu, tak lama. Tak akan.

***



Semuanya berkumpul di Seoul, Yunho dan Hoon-ah akhirnya tinggal bersama di Busan. Hahee tinggal bersama dengan kakaknya damai, sementara ia titipkan dulu rumahnya di Busan kepada Yunho dan Park Hoon temannya. Chanyeol pun datang menghampiri rumah Hahee, karena disana ia mendengar sudah ada Sharon yang baru pulang dari Inggris. Ia memberanikan diri untuk menjadikan Sharon sebagai teman hidupnya. Hahee sedikit iri dengan Chanyeol dan Sharon, tak semestinya kisahnya usai begitu saja. Tak bertemu lagi dengan Kai, membuatnya semakin sekarat seperti waktu itu. Tapi tidak untuk saat ini teman – temannya masih membuat ia kuat, Baekhyun pun datang diacara itu. Chanyeol berani menikahi seorang gadis yang juga sempat menjadi sahabatnya.
“Aku malu, bagaimana kalau dia menolakku?” tanya Chanyeol mengatur napas, sebelum ia ke rumah Sharon.
“Kau bisa, kau memang harus bisa. Sampai kapan kau menggantungkannya, bodoh.” Baekhyun menempeleng kepala Chanyeol,
“Ya!!!!!!” teriak Chanyeol, Hahee pun tertawa,
“Kalian mau bertengkar atau mau apa sekarang?” tanya Hahee serius,
“Aku mau melamarnya,” ujar Chanyeol dengan gayanya yang maskulin,
“Ya sudah. Aku akan kerumahnya, mengajaknya berbicara disana. Nanti Baekhyun dan kau datang kerumah seakan kalian rindu lagi berkumpul seperti ini.” Hahee menerangkan rencananya, dan mereka berdua mengerti.
“Bagaimana dengan Kyungsoo hyung?” tanya Chanyeol,
“Abaikan dia. Dia sudah memilih calon istri dari teman kampusnya, dia juga kakak kelasku. Hahaha, semangat!” ujar Hahee,
“Baiklah. Semangat!” ujar Chanyeol, dan mereka pun menjalankan rencananya. Hahee lebih dulu berjalan ke rumah Sharon dan berbincang seakan biasa saja. Takkan ada peristiwa istimewa yang akan terjadi. Chanyeol dan Baekhyun pun datang ke rumah dan membaur dengan keadaan.
“Channie, apa kabarmu? Kau baik – baik saja,” sapa Sharon dengan senyumannya yang membuat dia sedikit tertegun,
“Chanyeol, kau ditanya, apa kabarmu?” tegas Baekhyun terkekeh – kekeh,
“Ba-baik, Sharon. Kau bagaimana?” ujar Chanyeol,
“Aku baik – baik saja. Aku ingin segera pulang ke Seoul untuk menemuimu. Juga kalian, aku merindukan kalian. Sangat!” ujar Sharon, disusul wajah memerah Chanyeol, “kau kenapa, channie?” tanya Sharon,
“Tidak. Hanya saja...” ujar Chanyeol,
“Apa? Ada apa denganmu,” heran Sharon,
“Maukah kau menikah denganku?” tanya Chanyeol menunjukkan sebuah cincin dikotak berbentuk hati, bening seperti cintanya.
“Apa secepat itu? Kau tak takut aku menolakmu karena aku menyayangi orang lain?” tanya Sharon, wajah Chanyeol kecewa, sungguh kecewa.
“Tak apa kalau kau menolak,” kata Chanyeol mau menutup kotak tersebut.
“Secepat itukah kau menyerah? Aku mencintai satu orang, ia bernama Park Chanyeol. Kau kenal dia tidak?” ujar Sharon tersenyum,
“Hah?”
“Aku mencintaimu. Aku mau menikah denganmu, Chanyeol oppa.” Sharon pun menatap wajah Chanyeol dengan bahagia, “Aku ambil cincinnya ya. Kau tak berniat untuk mengambilnya lagi kan?” tanya Sharon bercanda, tanpa kata Chanyeol langsung memeluk Sharon erat. Senyum yang merekah diantara mereka, juga senyum dari bibir Baekhyun dan Hahee.

Tanpa Hahee ketahui, Kai sudah sadarkan diri setelah seminggu kritis waktu itu. Dia pun sekarang akan datang dan berusaha membahagiakan Hahee. Dan berjanji akan terus berada disisinya. Sohee eonnie kembali ke kehidupan Suho oppa, dia datang bersama adiknya, kisah cinta pertama Hahee, Kai.
            “Sepertinya, kita harus keluar. Biarkan mereka berdua, mengenang masa indah lalunya.” Hahee mengajak Kai keluar rumah.
            “Iya. Dah kakak. Kalau Suho hyung mengajakmu kembali, ikutilah. Ia mencintaimu dari dulu hingga saat ini mungkin,” Sohee memukul tangan Kai, ia tersenyum malu ke arah Suho. Mereka membiarkan kakak mereka mengulang indahnya lalu. Di jalan, Kai dan Hahee juga sibuk mengulang indahnya waktu yang telah berlalu.
            “Hey, apa benar Chanyeol melamar Sharon waktu itu?” tanya Kai,
            “Iya, waktu itu dia tampak gugup sekali. Aku dan Baekhyun terus berusaha membuatnya yakin,” ujar Hahee tertawa kecil,
            “Oh begitu. Kalau Baekhyun, dimana sekarang dia?” tanya Kai. Hahee pun tertawa karena tak tahan untuk menceritakan Baekhyun.
            “Dia kan bilang padaku, kalau dia mau kuliah. Katanya agar bisa meneruskan perusahaan orangtuanya,”
            “Lalu?”
            “Dia hanya kuliah dua tahun, tak dilanjutkan. Kemudian..”
            “Kemudian apa?”
            “Dia sudah menikah, dengan seseorang. Kau kenal Chaerin kan? Baekhyun dijodohkan oleh mamanya. Orang tua mereka saling mengenal satu sama lain, mereka bertemu di salah satu acara perusahaan orang tua mereka. Haha, maaf aku hampir tak bisa menahan tawaku,” ujar Hahee terus tertawa membayangkan mereka,
            “Oh ya? Hahaha, mereka melangkah lebih jauh dariku. Lalu dia tinggal dimana sekarang?” tanya Kai,
            “Dia tinggal di Jaeju. Tapi sekarang dia sedang berlibur dengan keluarganya ke Gangnam, dia meneleponku kemarin malam,”
            “Keluarganya? Orang tua dan kakaknya ada di Seoul?” tanya Kai heran,
            “Bukan, ini keluarganya. Dia sudah mempunyai anak kembar, aku baru melihat anaknya saja di foto. Sudah ingin melihat mereka langsung, ah lucu sekali.” Hahee menggemaskan wajahnya,
            “Ya iya. Kau mau menyusul mereka?” tanya Kai,
            “Apa? Tak secepat itu, aku mau bekerja dulu. Kau kenapa seperti itu?” ujar Hahee malu, sambil menatap Kai sesekali. Serba salah,
            “Ah tak apa,” jawab Kai bersikap acuh dibalik tawanya untuk Hahee,
            “Ya sudah,” mereka melanjutkan jalan di sekitar taman,
            “Hahee..”
            “Ya?” tanya Hahee,
            “Maaf ya aku banyak berbohong selama ini,” ujar Kai,
            “Biarlah. Kau kuminta sejak saat ini, jujur padaku.” Hahee meminta pada Kai,
            “Baik aku akan jujur padamu. Aku mencintaimu, dari dulu, kemarin hingga saat ini.” Kai mencium pipi Hahee, “...sudah cukup kejujuranku?” sambungnya,
            “Aku cukup percaya dari dulu, kemarin hingga kini.” Hahee tersenyum lebar,
“Jadi kita mengulang masa indah kita lagi? Mari kita perbaiki dari awal lagi, cerita kita.” Kai menggenggam tangan Hahee,
“Baiklah, Kai oppa.” ujar Hahee,
“Eoh, oppa? Kau menyebutku oppa? Wahaha, kemajuan. Kau mau berarti menikah denganku?” ujar Kai dihadapan Hahee,
“Mwo? Aku akan memikirkan itu matang – matang. Aku sudah mencintai lelaki lain, bagaimana ini?” canda Hahee,
“Ah tak usah berbohong. Aku tahu, kau hanya mencintaiku.”
“Berlebihan sekali kau? Terlalu percaya diri,” ujar Hahee,
“Kalau tak mencintaiku, kau tidak akan berusaha menungguku sampai selama ini,”
“Mwo?”
“Saat aku tak sadarkan diri dirumah sakit? Kau kan bilang mencintaiku, ingin aku cepat sadar. Kau kan berjanji selalu cinta aku,” ujar Kai,
“Kau mendengarnya? Kau sudah sadar?”
“Apa aku harus sadar untuk mendengar suaramu? Haha, aku sudah sadar waktu itu,” jawab Kai menahan tawanya,
“Ya!!! Kai!!!!” Hahee memukul tangan Kai, dan dia berlari kearah taman. Hahee mengejar Hahee disiang hari yang sangat indah itu. Matahari saat itu juga cukup membuat mereka berdua berbahagia. Semoga selalu indah hingga saatnya ditentukan. Selesai.

Gomawo (^,^)v

***

 Gomawo, Chingudeul...
Nae, Toshiro Yagami, Saranghaeyo...
Selaku tim ekspedisi dua alam
(Alam Sadar dan Tidak Sadar) ^^*