SUB JUDUL V
Masa Lalu dan Hingga Kini
(과거 까
지하고 지금)
Hahee tetap menangisi hal
yang seharusnya tak ia tangisi. Entah apa yang ia sedang pikirkan, tapi hatinya
tetap meringis. Kesakitan, terlalu pedih menurutnya. Tapi apa? Suho masuk ke
dalam kamar Hahee,
“Hahee, kau kenapa?” ia
mendapati adiknya menangis,
“Entahlah oppa, aku merasa
hatiku ini sakit. Aku tak tahu karena apa,” jawab Hahee,
“Gak mungkin kau sedih tanpa
alasan, apa yang sebenarnya dipikiranmu?” tanya Suho,
“Aku merasa ada yang aneh
saat aku mendengar kabar Kai. Kata oppa dia dirumah sakit? Ia bersama Sohee
eonnie sekarang, tapi aku merasa pernah bertemu dengannya. Tapi entah dimana
tempatnya,” ujar Hahee sambil menatap Suho yang berada dihadapannya,
“Haha sudah, lupakan itu
dulu. Lebih baik kau mengatur dirimu dulu. Kau masih butuh pemulihan loh,”
jelas Suho,
“Iya, oppa” ujar Hahee, “Hyuna eonnie dimana?” tanyanya,
“Dia sedang pulang ke rumah
ibunya. Kau main saja dibawah bersama D.O,” ujar Suho, lalu Hahee turun dari
lantai dua hendak menghampiri kakaknya D.O oppa. Karena hari itu hari minggu,
jadi semua penghuni rumah berkumpul dirumah. D.O oppa yang sibuk main games
karena kampusnya masih libur musim panas. D.O oppa yang menyadari adiknya dan
kakaknya turun dari lantai atas, langsung menengok ke belakang. Seperti biasa,
kakaknya yang satu itu kalau ngga ngegodain dongsaeng tersayangnya itu mungkin
hidupnya kurang lengkap.
“Eh Hahee, sini main games,
jangan sedih melulu dong.” Lalu Hahee menghampiri kakaknya itu, lalu ikut
bermain games bersama. Ditengah permainan, oppa-nya melihat salah satu tokoh
gamesnya berpenampilan seperti Kai.
“Mirip Kai yaa, na
bogosipeoyo.” kali ini D.O oppa memang kangen, tapi mungkin dia lupa kalau
sedang bersama adiknya. Dia baru sadar saat Hahee game over, Hahee diam terpaku
menatap ke layar televisinya. Suho oppa memukul kepala D.O dari belakang,
“ssstttsst!” telunjuk Suho
oppa menempel dibibirnya memberi tahu kalau jangan mengingat Kai lagi.
“Ngga apa - apa, oppa. Aku
udah lupain dia, aku cuma memastikan saja. Memang benar kata oppa, dia seperti
Kai.” Hahee menatap lagi, “aahh sudahlah oppa, ayo main lagi” Hahee sambil
menepuk bahu kakaknya itu. Hahee sudah terlihat melupakan Kai, dengan asyiknya
dia tertawa, bercanda dengan kakaknya. Tapi sesaat setelah selesai bermain,
Hahee dipanggil oleh kakaknya, Suho oppa.
“Hahee..”
kata Suho oppa, tetapi Hahee ngga mendengar panggilan itu, berulang kali
oppa-nya memanggil dan akhirnya,
“Hahee,
kau dipanggil hyung.” ujar D.O oppa, sesegera mungkin dia beranjak ke tempat
Suho oppa berada.
“Ada apa, oppa? Kau memanggilku?”
sahut Hahee mengintip ke kamarnya, dan disana Hahee dan Suho membicarakan
beberapa hal penting.
Kembali ke kamarnya, Hahee membaringkan
tubuhnya ditempat tidur. Mengingat kembali Kai, hanyalah hal bodoh yang dapat
menyiksa dia. Kai pun sepertinya ngga mau membuat Hahee terus bersedih
karenanya. Ada satu hal yang membuatnya terpikir kembali, Hahee dibingungkan
dengan pilihan oppa sulungnya. Dia diberi pilihan,
“Kalau oppa kasih pilihan buat kamu, oppa punya saran bagaimana
kalau kamu mengambil studi di luar negeri saja. Atau kalau kamu masih mau di
Korea, kamu ambil asrama saja. Bagaimana? Terserah kamu, Hahee. Itu pilihan
kamu, kamu yang menjalankan nantinya, coba pikirkan saran oppa ya, oppa mau
yang terbaik buat kamu. Bareng sama D.O oppa juga boleh. Rumah ini tak akan
kosong, nanti aku dan Hyuna akan tinggal disini juga.”- pembahasan tentang itu dan
kata - kata oppa-nya membuat Hahee bingung. Mungkin dia akan ikut D.O oppa yang
kuliah dan tinggal diasrama. Tetap di Korea adalah pilihan yang tepat buat
Hahee, menjauhi lingkungan yang menuai kenangan tentang Kai adalah cara paling
ampuh menurut Hahee. Lalu Hahee jalan keluar kamar dan pergi ke ruang tengah
yang disana sudah ada kedua kakaknya sedang main catur. Ketika mereka berdua serius,
Hahee memanggil mereka berdua.
“Oppa,” kata Hahee, yang
membuat kedua oppa-nya kaget, soalnya diantara mereka sudah mau skak mat.
“AAH!! Hahee, kenapa
ngagetin sih. Aku mau menang nih,” ujar D.O oppa,
“Maaf oppa, aku ngga tahu
kalau oppa mau menang,” ujar Hahee dengan nada lemas, kemudian dia duduk di
sofa ruang keluarga. D.O oppa yang merasa bersalah langsung berminta maaf
karena sudah bercanda. Lalu Hahee dan mereka berdua diam sejenak, dan Hahee
berbicara tentang keputusannya.
“Oppa, aku mau bicara.”
Kedua oppa-nya menatapnya serius,
“Apa?” jawab Suho oppa.
“Aku mau kuliah saja di universitas
D.O oppa, aku akan asrama ya
diasrama putrinya,”
ujar Hahee lemah,
“Jangan dipaksakan, Hahee.
Kamu akan merasa kurang pas nantinya kalau dipaksakan.”
“Aduh, oppa. Aku gak merasa
terpaksa, hanya saja memang ini jadi keputusan finalku,” jawab Hahee yakin.
“Baik, kalau begitu. Oppa
akan secepatnya mendaftarkanmu, dan D.O akan mengantarmu untuk melihat asrama
putrinya.” ujar Suho oppa, menyusul anggukan dari D.O oppa.
“Iya kak, baiklah. Tapi aku berfikir
sebaiknya aku mengambil pendidikan guru saja. Aku ingin ada praktek,” ujar Hahee,
“Baiklah kalau begitu. Aku dan
Kyungsoo akan mengurus semuanya, nanti kau juga ikut sekalian melihat kamar
asrama putrinya.”
“Oke oppa. Makasih ya atas rekomendasinya,” ujar Hahee merangkul
kedua kakaknya.
“EH apa benar kau kemarin kerja part time?” tanya D.O oppa,
“Ne, memangnya kenapa kak? Aku hebat ya?” wajah Hahee angkuh,
“Sama sekali tidak, haha” jawab
Kyungsoo tertawa,
“Haha, kau selalu meledek adikmu.”
Suho menempeleng kepala Kyungsoo,
Akhirnya
kami pun menghabiskan waktu bersama, tapi kemana Hyuna oennie? Hari ini aku tak
melihatnya disisi Suho oppa,
“Oppa, Hyuna eonnie mana?” tanya
Hahee,
“Oh, dia pulang ke rumah orang tuanya.
Nanti dia kesini katanya, kan tadi sudah oppa beri tahu,” jawab Suho oppa,
“Oh ya,” Hahee lupa. Haha biarkanlah
Hahee seperti itu.
Hari itu memang Hahee belum bertemu
dengan yang lain. Semuanya sedang menyibuki dirinya masing - masing. Hahee masih
bekerja di kantor redaksi itu, ia masih sering memposting beberapa cerita.
Hahee hendak memutuskan kontrak kerjanya karena ingin melanjutkan kuliah.
Mengikuti keinginan kakaknya untuk mendapat pendidikan strata. Setidaknya,
Hahee sudah berpengalaman kerja. Ia akan mudah nantinya untuk mencari kerja.
“Pak,
saya akan mengajukan resign. Apa boleh pak?” ujar Hahee didepan kepala redaksi,
“Boleh
saja, tapi apa tidak disayangkan itu Hahee? Apa memang gaji yang kamu terima
kurang? Atau ada yang kurang menyenangkan disini?” ujar Pak Lee,
“Pak
Lee, bukan seperti itu. Kerja disini nyaman, pak. Tapi saya takut tidak bisa
membagi waktu kerja dengan kuliah yang jadwalnya sering tak jelas.” Hahee
mencoba meyakinkan kepala redaksi.
“Baiklah.
Kalau memang itu keputusanmu, saya akan berikan pesangon bulan ini. Jika kamu
mau bergabung lagi, silakan. Pintu kantor ini terbuka luas untuk kamu, Hahee.”
Kepala redaksi seraya memberikan sebuah cek yang akan dicairkan oleh Hahee
nanti di bank.
“Kalau
begitu, saya pamit Pak Lee. Tak menghilangkan rasa hormat saya kepada Pak Lee,”
ujar Hahee sambil menundukkan badannya dihadapan Pak Kepala Redaksi tersebut.
Hahee meninggalkan ruangan tersebut,
tapi ada sesuatu yang mengganggu setiap langkahnya. Sesuatu yang ia lihat di
ekor matanya dan ia dengar tak sengaja dari rekan kerja yang lainnya.
“Park
Hoon, ada berita apa itu?” tanya Hahee,
“Oo,
Hahee kau disini. Ini, aku baru saja dapat berita dari kawan dilapangan, berita
yang akan aku edit. Memangnya kenapa?” ujar Park Hoon,
“Aniyo,
aku hanya ingin lihat. Ini sepertinya aku kenal, namanya siapa sih? Susah
sekali mencarinya, artikelnya terlalu panjang Hoon-ah,” Hahee merasa bosan saat
men-scroll up scroll down artikel. Tapi tangannya terhenti ketika melihat nama
Kai disana.
“Kim
Jong In? Busan? Hoon-ah, ini siapa? Jelaskan garis besar berita ini, tolong.”
“Ah,
kau. Merajuk padaku terus, iya iya baiklah,” Park Hoon paling tak bisa menolak
rajukan Hahee, dia segera mencari semuanya.
“Hahee,
berita ini berisi korban yang bernama Kim Jong In ini jatuh ke dalam jurang.
Setelah mobil yang ia kendarai hilang kendali dan menewaskan seluruh
pengendara. Termasuk Kim Jong In yang ditemukan memakai pakaian rumah sakit.
Diketahui, mobil ini dari arah Seoul menuju Busan. Kurasa begitu,” ujar Park
Hoon yang fokus ke monitor PC nya.
“Apa?!
Kau tidak salah, Hoon-ah?” ujar Hahee,
“Ya
begitu adanya,”
“Dia
temanku, Hoon-ah.”
“Hah,
demi apa kau? Yang memakai baju rumah sakit itu?”
“Iya,
dia menghilang dari kamar rumah sakitnya. Apa kau sudah pastikan itu pengendara
yang lain adalah keluarganya?” tanya Hahee,
“Sudah,
tapi sepertinya itu bukan keluarganya. Semuanya laki - laki dan satu wanita
yang duduk didepan. Omona! Hanya dia yang kritis, temanmu itu meninggal didalam
perjalanan ke rumah sakit.” Park Hoon baru saja menerima telepon dari temannya
itu,
“Meninggal?
Hoo..baiklah. Kai bagaimana? Jasadnya di mana sekarang?” Hahee lemas,
“Dirumah
sakit Busan, tapi kami belum dapat mengidentifikasi ia sekarang dimana,” ujar
Park Hoon.
“Arasseo,
gomawo.” Hahee menatap Park Hoon, dan menundukkan kepalanya,
“Maafkan
aku ya membuatmu sedih di siang hari ini,” ujar Park Hoon,
“Aku
tidak apa - apa. Santai saja Hoon-ah, terima kasih ya semua informasinya,” ujar
Hahee sambil meninggalkan meja kerja Park Hoon.
Hahee memikirkan siapa lelaki lain yang
ada dimobil yang Kai kendarai. Dan terutama pada satu wanita tersebut yang
katanya duduk didepan. Yang sedang kritis! Hahee mencoba menghubungi Park Hoon
lewat telepon,
“Hoon-ah,
wanita itu dirawat dimana?”
“Sebentar
ya,” Park Hoon mencari informasi dan akhirnya dapat!
“Dirumah
sakit terdekat sekitar Busan, rumah sakit 62 km Jalan Tol ke arah timur Busan.”
“Baiklah.
Terima kasih, Hoon-ah” Hahee menutup telepon itu,
Hahee segera meluncur kesana sendiri, sebelum
Hahee ke asrama putri ada baiknya dia kesana dulu. Memastikan semuanya.
Disana, suasana seperti biasa layaknya
rumah sakit di Seoul umumnya. Tapi disini, Hahee masih harus mencari seorang
wanita yang menjadi korban juga. Ada telepon masuk, itu Suho oppa,
“Kau
dimana Hahee?”
“Aku
ada dirumah teman, aku di Busan.”
“Apa?
Di Busan? Kapan kau kesana?”
“Aku
berangkat kemarin malam, dan sampai disini tadi pagi. Aku ke kantor redaksiku,
sepertinya aku akan melihat asramanya besok saja ya. Hoam, sepertinya aku
pulang besok kak.”
“Aku
dan Kyung-ah akan menyusul kesana, kau dimananya?”
“Aniyo.
Tak usah menjemputku, aku bisa pulang sendiri.”
“Kau
bawa mobil?” tanya Suho,
“Bawa
kak. Aku menginap dalam mobil saja,” ujar Hahee,
Hahee sudah berhasil meyakinkan kedua
kakaknya. Semoga saja memang tak akan ada yang terjadi pada mereka berdua
karena khawatir pada Hahee. Beralih dari masalah kedua kakaknya yang masih di
Seoul, dia masih terfokus wanita yang dicari. Ia segera menghampiri bagian
informasi,
“Sust,
saya mencari korban kecelakaan kemarin. Di jalan alternatif Seoul - Busan,
seorang wanita, dan korban satu lagi bernama Kim Jong In,”
“Emm,
tunggu sebentar,” Suster itu kemudian menghampiri dan mulai mengendalikan
komputernya untuk mencari data.
“Nona,
korban wanita masih kritis di ruang ICU. Dan korban bernama Kim Jong In
sepertinya sudah meninggal dan telah dibawa keluarganya hari itu juga,” ujar
suster tersebut.
“Oh,
korban wanita itu siapa namanya?” tanya Hahee lanjut,
“Kim
Yoo Ra, umurnya 23 tahun.” Hahee terkejut, dia heran. Siapa lagi Kim Yoo Ra
ini? Apa hubungannya dengan Kim Jong In? Hahee masih butuh berita selanjutnya
tentang wanita itu. Juga hubungannya dengan Kai, lalu siapa yang membawa jasad
Kai? keluarganya? Apa maksudnya itu kak Sohee eonnie?
Keesokan harinya, Hahee sudah pulang ke
Seoul lagi. Ia berbohong kalau akan menginap, ia semalaman mengendarai mobil
sendiri.
“Suho
oppa, kita jadi ke asrama hari ini?” tanya Hahee,
“Bukan
kunjungan lagi, Hahee. Tapi kamu memang sudah harus tinggal disana,” ujar Suho
oppa,
“Apa?
Kok secepat itu?” heran Hahee,
“Iya,
oppa rasa kamu memang harus secepatnya masuk. Lebih baik untukmu,” jawabnya,
“Baiklah,
oppa. Bagaimana kau saja,” jawab Hahee lemah,
“Kau
mau kemana?” tanya D.O oppa,
“Aku
mau membereskan barang - barangku dilemari kak, memangnya ada apa?”
“Sudah
dibereskan olehku, semua sudah ada dimobil.”
“Aku
mau mengambil sisa barang yang aku butuhkan,” ujar Hahee,
“Baiklah,”
ujar D.O berlalu dari hadapan Hahee,
“Oh
ya, oppa. Aku akan menyusul kesana, lebih baik oppa berangkat saja duluan.”
“Untuk
apa? Biar Suho hyung saja yang kesana lebih dulu, kau dan aku bersama.” D.O
oppa menyarankan,
“Baik,
oppa bersamaku,” Hahee berlalu ke kamarnya. Ia mengambil barang Kai yang
terakhir ia ketahui. ‘...jam kalung ini,' lirih hatinya.
Hahee sudah tak mau lagi mengingatnya,
dan hendak menghancurkan jam kalung ini. Hadiah untuknya di hari sebelum kami
semua ujian nasional.
“Ayo,”
Hahee pun berangkat bersama D.O oppa,
menyusul Suho yang lebih dulu berangkat. Akhirnya Hahee menceritakan semuanya,
seluruh cerita yang ia dapati dan ia tentu pertanyakan. Kai, masih jadi
bayangan Hahee. Seharusnya tidak!
“Lupakan
dia!” D.O oppa kesal,
“Waeyo?
Apa karena aku yang terpuruk karenanya? Aku merindukannya karena aku jelas
sudah mengetahui bahwa Kai sudah meninggal!” jawab Hahee,
“Mwo!
Meninggal? Kau tahu darimana?”
“Iya,
dan aku masih berpikiran ada yang janggal atas kematiannya,”
Hahee menceritakan tentang berita yang
ia dapat dari Park Hoon, tentang kecelakaan mobil yang berpenumpang Kai dan 5
orang lainnya.
“1
wanita? Kim Yoo Ra?” tanya dia,
“Iya,
kak. Kau mengenalnya?” tanya Hahee,
“Iya,
aku sama sekali tak mengenalnya, Kim Yoo Ra? Teman di SMA ku juga tak ada.” D.O
bingung,
“Itu
yang aku ingin bicarakan, aku minta tolong padamu oppa. Kau akan selesai
kuliah, kau akan secepatnya lulus kuliah. Kau akan lebih lama di Seoul dan aku
di Gyeonggi,” mohon Hahee,
“Baiklah,”
“Tapi
aku ingin ke Busan, hanya sebentar.”
“Baik,
tapi untuk apa?”
“Untuk
menuruti pintamu. Sesegera mungkin melupakannya, Kai,” ujar Hahee,
Entah mengapa, hatinya pedih saat
melihat sekeliling. Persawahan ini terlalu familiar untuk ingatannya. ‘apa aku
pernah ke tempat ini?' keluh hatinya terus. Hahee melihat anak kecil dari kejauhan. Anak itu diam mematung
disana saat melihat Hahee berdiri dipinggir jalan. Hahee pun kembali
memandangnya, ia terus mencoba menegaskan pandangannya. Tetap saja, tak terlalu
terlihat jelas. Ia kemudian melambaikan tangannya dari jauh. Anak itu malah
berlari masuk ke sebuah rumah sederhana dekat dengan tempat ia bermain tadi.
Ia turun dengan membawa palu
yang ada didalam mobil, dan berdiri dibelakang mobil. Dengan menitihkan
airmata, ia mencabut jam kalung yang menemani lehernya dari Seoul tadi.
“Maafkan
aku,” lirih Hahee, “...Kai...” sambungnya.
“Krrtak!”
hancur sudah jam itu setelah mendapat pukulan dari palu yang dipegang Hahee.
“Kau
memang harus benar - benar mati. Karena kalau tidak, aku yang akan terus kau
siksa,” Hahee segera melempar jamnya ke tengah lahan sawah. Melupakan dan akan
terus lupa. Hahee membiarkan ini berjalan, dan untuk kenangan ia biarkan
terbuang. Dan entahlah sampai kapan ini bergelayut dalam bayang semu langkah
hidupnya. Dan akhirnya lambat laun, ia mampu melupakannya. Tentu setiap kenangan
indah maupun buruk bersamanya. Tak terasa ia pun hampir menyelesaikan
kuliahnya.
NEW SEASON
Gelapnya malam tak membuat
Hahee takut untuk diluar rumah. Hahee yang sekarang tinggal sendiri disebuah
pedesaan kecil di Korea. Dimalam itu, ia hanya bisa memandang langit yang gelap.
Namun dia menyadari ia tak sendiri ketika ada setitik cahaya dilangit, itu bintang. Ketika ia terus
memandangi langit, tiba-tiba ada suara langkah kecil berlarian menghampirinya.
Itu adalah anak didiknya, sejak dia selesai studi sastra Korea dia pun
memutuskan untuk mengambil praktek mengajar ke pelosok kota terpencil yang
belum terjamah dunia pendidikan yang formal. Salah satu anak memberikan
sebungkus makanan,
“Kakak guru, ini dari orang
tuaku.” katanya, sambil memberikan rantang kecil kepadanya. Ia tersenyum lalu
kemudian mencium keningnya. Banyak anak-anak yang membawa makanan, kebetulan
malam ini adalah malam minggu,
“Kak, aku bawa makanan untuk
kakak. Ini dari ibu aku, katanya salam untuk kakak guru,” ramai dengan celoteh
anak kecil dirumah Hahee malam itu dan mereka semua tidak ada datang dengan
tangan kosong. Lalu Hahee mengajak mereka ke dalam rumah, tapi mereka ingin
tetap berada diluar rumah sambil menatap langit malam yang indah. Maklum saja
mereka mengunjungi Hahee bersama-sama, besok mereka libur untuk mempersiapkan
ulangan kenaikan kelas. Lalu Hahee mengajak mereka ke halaman belakang rumah
yang tampaknya lebih nyaman untuk mereka duduk dibawahnya. Sesampainya
dibelakang rumah,
Hahee dan anak didiknya itu
berbaring diatas rumput segar. Mereka bersama-sama menatap langit, dan semuanya
terkejut saat melihat bintang jatuh. Hahee langsung berbicara,
“Ayo, pejamkan mata kalian
lalu ungkapkan keinginan kalian didalam hati, setelah itu bukalah mata kalian
dan letakkan tangan kirimu ke dada kanan kalian. Dan katakan dalam pikiran
kalian, kalian pasti bisa.” ujar Hahee sambil tersenyum riang, dan anak-anak
yang lain pun membalas senyuman Hahee. Dua jam sudah Hahee menemani anak-anak
dan bercerita, dan tak sadar mereka semua telah tertidur pulas. Kemudian Hahee
mengambil selimut dari kamarnya dan menyelimuti anak-anak yang telah tertidur
diruang tengah. Saat
Hahee kedalam kamar, ia mendapati foto
Kai jatuh dari tumpukan selimut dilemarinya. Lalu Hahee duduk sejenak ditempat sambil
menatap foto Kai. Dia merasa bersalah lagi atas kematian Kai waktu itu.
“Andai saja aku tak
memintamu terlalu jauh. Kau ini orangnya seriusan, waktu itu aku hanya
bercanda, Kai” ujarnya sambil mengusap foto Kai. Merasa sedih itu datang
kembali, Hahee segera bangun dan meletakkan kembali foto itu, lalu ke ruang
tengah. Hahee melewati hari itu sangat sulit, karena ia sempat mengingat Kai
lagi yang telah ia lupakan dari dulu.
Pagi harinya, anak muridnya
nengajak ia untuk berlari bersama menelusuri desa. Dan Hahee segera pergi
meminta izin kepada setiap orang tua muridnya, setelah mendapat izin barulah ia
berani pergi. Mereka sangat riang, bahagia, dan ceria saat perjalanan. Ditengah
perjalanan, Hahee merasa lelah dan anak muridnya pun merasa lelah jadi mereka
memutuskan untuk beristirahat. Salah seorang dari mereka mendekati Hahee,
“Kak, kenapa diem terus ka?
Ngga seperti biasanya..” tanya anak itu,
“Bukan apa-apa Dongsu, kakak
hanya lelah tadi,” jawabnya sambil tersenyum manis ke anak yang bernama Dongsu
itu.
“Yaudah, kak. Kak aku mau
tanya, kemarin aku baca diperpustakaan keliling didesa seberang, apa maksud
dari kata - kata 'jangan kau melupakan hal yang telah terkubur, karena jiwa
mereka masih berada disini. Jika kau melupakannya maka ia akan benar-benar
mati' ini yah kak?” tanya anak itu, tetapi Hahee merasa perkataan itu untuknya.
Lalu Hahee mengartikannya dengan perlahan agar anak itu dan dirinya dapat
mengerti.
“Itu artinya kepada siapa
saja yang sudah pergi dari sisi kita, walaupun kita tidak melihatnya tetapi
mereka melihat kita. Jangan kita melupakan mereka, nanti mereka bisa benar -
benar pergi dari kita.” setelah menjelaskan, hati Hahee merasa sedih, ketika
ada yang membicarakan tentang seseorang yang telah pergi, hatinya masih sangat
terluka. Tetapi karena ini di depan anak muridnya, ia mencoba untuk tetap
tegar. Matahari sudah tepat diatas kepala, berarti hari sudah makin siang.
Hahee pun bergegas mengajak anak-anak untuk segera melanjutkan perjalanannya.
Sepanjang perjalanan, mereka bernyanyi riang sambil melewati sawah-sawah, dan
menyapa para petani. Mencari tempat teduh untuk sekedar singgah makan siang.
Ketika sampai di sawah berikutnya, Hahee terkejut mendengar anak muridnya yang
sudah lebih dulu berjalan memanggil seseorang,
“Ahjussi! Ahjussi!!” dan
seorang peladang itu pun mengangkat wajahnya dan melambaikan tangannya kepada
anak-anak itu. Detak jantung Hahee mulai tak menentu, setiap detakannya
mengatakan dia orang yang kusayang. Hahee pun langsung menyusul mereka, dan
disana dia tidak mendapati seorang peladang pun disitu.
“Hyejin, tadi Dongsu panggil
siapa ? Bukannya tidak ada orang yang kalian kenal disini?” tanya Hahee,
“Oh itu, ka. Tadi ada
ahjussi disini, tapi dia mungkin sudah pergi, ka.” ujar Hyejin, salah satu dari
anak muridnya.
“Memang dia siapa? Kok
kalian sudah tahu dia, kakak yang juga sering kesini kok tidak tahu ya?” ujar
Hahee,
“Ya mungkin kakak terlalu
sibuk kali. Dia kan pernah gantiin kakak mengajar waktu kakak jatuh sakit. Dia
juga punya perpustakaan keliling disana. Kak, lain kali kita main ke
perpustakaan itu ya..” ujar Hyejin,
“Iya, tapi nanti ya. Kalau
kita pulang terlalu sore, nanti ngga ada bus buat kita. Jadi nanti saja ya, emm
bukannya besok ada tes? Kalian lupa ya?” kata Hahee tersenyum melihat ke arah
anak-anak yang saling menatap satu sama lain, seakan-akan respon mereka
mengatakan tidak setuju dengan adanya tes besok.
“Ahh kakak, kita kan baru
saja jalan-jalan. Masa kakak ngga kasihan sama kita?” ujar Dongsu,
“Hehe, kakak bercanda. Maaf
ya, untuk kalian yang sudah baik dalam pelajaran bahasa. Besok ada tugas
menulis dan membaca. Jangan lupa buat dirumah ya.” ujar Hahee sambil mengusap
kepala Dongsu, dan mereka pun segera pulang.
“Ada hadiahnya?” sahut
Dongsu,
“Pasti ada untuk kalian yang
terbaik,” goda Hahee ke anak - anak yang lain. Sedangkan Dongsu, salah satu
muridnya, tetap penasaran hadiah apa yang akan kakak gurunya kasih besok.
“Sudah, jangan dipikirkan,
yang pasti bukan sandal warna pink kok kalau untukmu,” Semua anak yang lain
sontak tertawa terbahak - bahak melihat Dongsu yang senyum malu.
Saat mencari bus, mereka nenunggu disisi
jalan sambil memakan bekal mereka. Lalu salah satu anak ada yang mau makan es
krim. Hahee bingung mencarinya, lalu ia mencari kedai kecil disekitar halte.
Ternyata ada yang menjual, Hahee segera membelinya dan semuanya kembali riang
saat bus terlihat melintas mendekati halte. Saat hendak menaiki bus, Hahee
melihat bayangan orang, ‘Siapa ya?' pikir Hahee sambil menuntun satu persatu
anak - anak naik ke bus. Lalu bayangan itu lebih jelas, saat semakin jelas, itu
tampak siluet wajah yang pernah Hahee kenal.
“Kai?” ucap Hahee sambil
menatap ke siluet wajah dibalik sinar matahari yang terbenam. Hyejin menarik
tangan Hahee agar segera menaiki bus,
“Ayo, kak, nanti kita sampai
terlalu malam.” Hahee yang sadar langsung menaiki bus,
“Maaf ya, kakak sedikit
kurang konsentrasi.” ujarnya. Dan akhirnya petualangan Hahee dan anak - anak
itu berakhir, dan mereka pulang ke rumah masing - masing. Sampai dirumah, Hahee
langsung membaringkan badannya ke alas tidur sederhana. Sekitar lima menit
Hahee membaringkan badannya, tak lama ada panggilan dari kedua kakaknya.
“Yeobseyo?” Hahee mengangkat
teleponnya,
“Hahee!! Annyeong
yeodongsaeng tercinta! Lupa dengan suaraku, yeodongsaeng?” sapa D.O oppa, yang
pasti Hahee masih mengingat jelas suara oppa-nya yang satu ini.
“Masa aku lupa? Aku kan
masih muda, oppa. Lagipula aku yang harusnya heran, tumben kau ingat aku?” sahutnya ditelepon,
“Aduh, kau masih belum bisa
jadi adik yang manis ya :/ Aku harap kamu memang menginginkan telepon dariku ini. Kalau begitu aku tu...”
“Iya, aku merindukanmu.
Bahkan saat aku sendiri, aku juga mengingatmu.” jawab Hahee menghibur. Mereka membicarakan beberapa
hal, dan sampai di suatu pembahasan yang disana cukup membuat Hahee tersentak.
“..Kai? Ini ada masalahnya
dengan Hyuna noona,” sahut Hahee terkejut, iya jelas ia terkejut karena
sebenarnya Kai masih tertolong dalam peristiwa itu. Kali ini keluarganya tidak
tahu sama sekali, berita ini D.O oppa dapat dari Suho oppa yang meminta hasil
investigasi dari pihak kepolisian. Dan hasilnya, yang tidak berhasil selamat
bukan pria bernama Kim Jongin.
“Lalu, siapa yang meninggal
itu?”
“Memang benar Kim Jongin
namanya, tapi umurnya 31 tahun. Salah satu penumpang mobil itu juga. Dan, Kai tak setua itu kan?”
jelas D.O oppa, kabar gembira untuk Hahee.
“Lalu, ada apa lagi
yang kau tahu kak?” tanya Hahee,
“Ya paling yang aku
tahu, katanya itu kamuflase dari kelompok itu agar keluarganya mengira Kai yang
mati. Dengan pakaian rumah sakit yang sepertinya masih ia gunakan sejak dia
menghilang. Ah sudah nanti lanjut setelah kau dirumah,” ujar kakaknya, Hahee
hanya bisa tertawa dan meng-iyakan apa yang kakaknya inginkan. Dia segera mengingat
jadwalnya praktek mengajar disini, sudah mendekati libur semester. Anak - anak
muridnya butuh liburan kan? Lagipula, semester ini semester terakhir mengajar
mereka.
“Baiklah, kapan kakak mau
jemput aku kesini?” ujar Hahee,
“Memangnya sudah libur?”
ujar kakaknya,
“Eh, tidak jadi. Biar aku
saja yang kerumah, aku harus naik kereta atau bus ya?” tanya Hahee,
“Kereta saja, biar aku yang
menjemputmu di stasiun.”
ujar D.O. Mereka menyetujui itu, dan akhirnya percakapan itu selesai.
Hahee kemudian merebahkan tubuhnya lagi,
dan ia mencoba untuk menidurkan matanya. Ia lelah sekali hari ini. Besok ia
harus menyiapkan latihan untuk anak - anak muridnya. Tapi ia teringat siluet
itu, itu wajah Kai sangat jelas. Ia masih hafal dengan bentuk wajahnya,
“Hahee,”
suara Kai menyapanya,
“Kai?
Apa itu kau, benarkah?” ujar Hahee menghampiri suara itu,
“Iya,
mengapa kau tak pernah mencariku?” ujar Kai tak terlihat oleh Hahee,
“Aku
bukan tak mencarimu, tapi benar - benar aku tak tahu,” jawab Hahee sedih, ia
semakin sedih dan ia terbangun karena terkejut. Ternyata itu hanyalah mimpi.
Hahee bangun dan segera membasuh wajahnya.
“Mimpi
tentang dia lagi, entah kenapa akhir - akhir ini sering terjadi,” ujar Hahee
didepan cermin. Lalu ia segera kembali pergi ke kamarnya untuk tidur lagi.
Malam itu memang terlalu berat untuknya.
Pagi hari menjelang, Hahee
datang ke dalam kelas. Ia disambut oleh para murid tersayangnya itu. Mereka
siap untuk diperiksa tugas yang ia titipkan minggu lalu. Dongsu menunjuk
dirinya sendiri untuk maju ke depan kelas. Ia ingin bercerita tentang sesuatu
yang menjadi pengalaman hidupnya.
“....aku menjadikan kakak
itu kakak kelas yang aku selalu sayangi. Ia sangat baik, apalagi kalau aku
telat mengembalikan buku pinjamanku. Ia tak pernah marah, hanya sesekali member
peringatan. Aku sayang padanya,” cerita Dongsu.
Hahee teringat apa yang anak
- anak ceritakan tentang seseorang, penjaga perpustakaan. Ia berniat sebelum
libur semester ini, ia mejinta anak - anak untuk mengantarnya ke perpustakaan
itu. Mereka antusias mendengar rencana setelah ujian nanti.
“Kakak akan menyudahi masa
mengajar kakak disini, tepatnya setelah ujian semester ini. Dan kakak akan
mengajak kalian ke perpustakaan yang kemarin kalian bahas,” ujar Hahee didepan
kelas sebelum keluar dari kelas.
“Berarti kau tidak akan
mengajar kami lagi?” ujar Dongsu,
“Iya, Dongsu. Maafkan kakak
ya kalau kakak pernah jahat atau bertingkah kurang baik terhadap kalian semua.
Kakak akan selalu menyayangi kalian,” ujar Hahee, dan merrka semua segera
memeluk Hahee.
Belajar seperti biasa, menuntut ilmu,
dan bermain saat jam istirahat. Begitu seterusnya disekolah sampai akhirnya
ulangan semester pun hendak usai. Hahee mengawas kelas mereka hari ini untuk terakhir
kalinya mengajar disekolah sederhana itu. Dongsu berlari ke kantor guru dan
menghampirinya,
“Ada apa, Dongsu?” tanya
Hahee,
“Kak, aku kemarin ke rumah,
tapi kata nenek itu kakak sedang keluar. Ada yang ingin aku ceritakan, kak. Kemarin kakak penjaga perpustakaan pergi
kak. Aku hanya melambaikan tangan padanya, ia dijemput oleh satu wanita.”
Dongsu menjelaskan itu sambil terengah - engah.
“Tenang, Dongsu. Ceritakan itu sambil duduk, sini.”
Hahee menyediakan satu kursi untuknya.
“Aku kemarin kesana, lalu
aku menabrak satu lelaki dewasa. Tinggi, berkulit putih, lebih putih dariku,
dia terlihat tampan dengan memakai penutup mata disebelah kiri. Aku meminta
maaf tapi aku malah disuruh secepatnya menjauh dan pergi. Aku takut, kak.”
Dongsu menarik tangan Hahee untuk menutupi wajahnya. Hahee bingung, kenapa
perasaannya mengatakan kalau pernah tahu cerita ini. Sudah cukup tergambar jelas
sebuah kejadian, tapi apa?
“Lupakan tentang pria itu
dan kau silakan ke kelas untuk mempersiapkan ujian hari ini. Kau tak perlu
takut. Ada kakak disini,” ujar Hahee menenangkannya,
“Baiklah, kak.” ujar Dongsu
turun dari kursi tetapi belum beranjak dari hadapan Hahee. Dia merundukkan
kepalanya, dan kemudian berkata, “kak, aku khawatir denganmu.”
“Ada apa lagi Dongsu?” tanya Hahee
menghadap Dongsu yang tertunduk,
“Kemarin kan Hwang, temanku kesini. Dia
keliatan takut saat melihat kakak. Dan berbisik untuk tetap menjaga kakak,”
“Lalu?” tanyanya kembali,
“Pas aku tanyai, dia menjawab dan
menceritakan. Katanya, ‘didaerah rumahku sudah ada beberapa orang yang berjaga.’ Hwang ditanyai seseorang
dengan membawa foto. Dan itu ia terkejut saat melihatmu. Karena yang difoto itu wajah kau, kak.” ujar Dongsu
yang mengangkat wajahnya menghadap Hahee, “Jaga dirimu, kak.” ujar Dongsu,
“Iya, terima kasih ya. Aku
akan menjaga diriku. Kau juga, jangan nakal kalau kakak sudah tidak mengajar
lagi disini,” ujar Hahee menyubit pipi Dongsu, dan anak itu pun pergi berlari
menuju kelasnya. Hahee pun menyusul dan memulai ulangan sekiranya semua murid
sudah berkumpul semua.
***
Pagi ini, Hahee berencana
mengajak semua muridnya ke perpustakaan yang mereka bicarakan dari kemarin.
Tapi rencana itu digagalkan karena Hahee diminta pulang secepatnya. Proposal
yang harus dikumpulkan diminta deadline oleh dosennya.
“Kakak harap kalian
memakluminya,” ujar Hahee kepada mereka semua,
“Gak apa - apa, kak. Aku
sudah cukup bahagia kakak sudah mengajar kami disini. Terima kasih ya kakak,”
ujar Dongsu memeluk Hahee dan menyusul yang lainnya.
“Maaf ya,” Hahee pergi
meninggalkan mereka semua. Dia sudah memanggil taksi untuk mengantarnya pergi
ke stasiun Busan. Di Seoul sudah ada D.O yang menunggu disana.
“Stasiun Busan ya, pak.”
ujar Hahee kepada pak sopir taksi,
“Baik,” Taksi itu pun mulai
melaju dengan tenang. Suasana disana masih sangat asri dan sepertinya berat
untuk Hahee meninggalkan tempat senyaman itu. Meninggalkan anak - anak muridnya
juga yang selama ini sudah menemaninya dan cukup membantu Hahee untuk melupakan
Kai. Cukup menyakitkan untuk Hahee mengingat semua kenangan manis dan kelakuan
buruk yang Kai berikan untuknya. Seorang pria sedang berjalan di tengah sawah,
Hahee melihatnya dibalik jendela taksi.
“Pak sebentar, tunggu.
Berhenti sebentar disini,” ujar Hahee,
“Ya, baik.” taksi pun
diparkirkan disisi jalan. Ia keluar dari taksi, dan saat ia melihat lagi kearah
sawah. Ia tak mendapatkan seorang pun disana. “..salah orang mungkin,” ujar
Hahee. Perjalanan pun ia lanjutkan, dan ia merasa sedang diikuti, sesekali
menatap ke spion. Mobil taksi Hahee dicegat oleh sebuah mobil yang menyalip
dari belakang. Hahee bingung, dan mencoba mengintip keadaan diluar dari kaca
jendela taksi yang tampak gelap dari luar. Dia dijemput ditengah jalan itu oleh
sahabatnya, Sehun. Ia pun memutuskan untuk memindahkan barangnya ke bagasi
mobil yang tadi mencegatnya.
“Sehun, kamu tahu aku
disini?” tanya Hahee,
“Aku tau dari Hyuna noona,
aku kemarin bertemu dengannya.” jawab Sehun,
“Kau memangnya dekat dengan
Hyuna eonnie? Ah, aku baru tau itu,” jawab Hahee tersenyum dibalik rasa
herannya,
“Hahaha, aku kemarin ketemu
dia. Saat aku bertanya tentangmu, aku diberitahu kalau kau tugas disini.” jawab
Sehun yang terlihat gagap menjelaskannya.
“Oh begitu ya,” jawab Hahee
ragu. Sehun mengantar Hahee saja sampai stasiun Busan dan tak ikut pulang ke
Seoul.
“Kau tidak ikut?” tanya
Hahee bingung, sambil mengeluarkan koper Hahee, Sehun hanya tersenyum. Dan ia
menutup bagasi mobilnya,
“Kau duluan saja, aku dapat
tiket pulang besok. Lagipula mungkin aku akan menggunakan mobil saja.” jelas
Sehun,
“Sehun, apa tak sebaiknya
aku temani saja kau. Dan pulang bersama?” tawar Hahee, tapi wajah Sehun saat
itu tak enak. Hahee yang sadar jika temannya itu tak butuh dirinya, dia
langsung berlalu. Dan sebelumnya dia mengucapkan salam selamat tinggal. Sehun
pun tersenyum, tapi ada sesuatu yang ia sembunyikan dari Hahee. Rasa aneh.
Setelah membeli tiket, ia pergi ke ruang
tunggu dan dengan penuh kebosanan ia menunggu. Keberangkatan ditunda karena
cuaca hujan yang cukup lebat di Busan. Hahee memutuskan untuk menelepon
kakaknya dulu agar tak menunggu terlalu lama dan tak khawatir tentunya.
“Oh
ya, Hyuna eonnie mana?” tanya Hahee,
“Aku
juga tidak pernah mendengarnya. Aku kan tinggal dirumah sendiri, Hahee. Makanya
aku mau kau pulang, hyung di apartemennya. Sepertinya mereka sedang berdua,
biarlah seperti itu. Setelah pernikahan, mereka belum berbulan madu kan?
Biarlah masa indah itu mereka miliki. Sekarang, kau cepat pulang,” ujar D.O
meninggikan nadanya. Hahee yang terganggu sedikit menjauhkan telepon genggamnya
itu dari telinganya. Ia tertawa sendiri membayangkan bagaimana tingkahnya
sekarang sendiri dirumah.
“Mianhaeyo,
oppa! Aku kan tak berniat pulang terlambat, tapi cuaca di Busan sedang buruk.
Tapi tak terlalu sih, hanya saja mengganggu perjalanan. Oppa tak usah menunggu di stasiun ya, aku bisa sendiri. Oke?”
ujar Hahee,
“Yee,
pede sekali kau. Aku memang akan dirumah, lebih enak menunggu dirumah. Bisa
santai, daripada disana? Gak jelas. Belum lagi kalau bertemu dengan anak - anak
SMA dulu, berisik mereka. Heboh,” cerita D.O, Hahee hanya tertawa kecil
mendengarnya.
“Baiklah.
Kau tunggu saja dirumah, oppa. Aku tak mau melihatmu distasiun,” ujar Hahee merajuk,
“Merajuk
nih judulnya? Tak usah berlebihan, wanita centil. Nanti kau digodai anak kampus
loh seperti kemarin,” Hahee paling tak suka diingatkan dengan kejadian itu.
Saat ia sedang asyik berbicara dengan kakaknya ditelepon, suatu kejadian
menggemparkan keadaan mendung yang menyelimuti langit Busan. Beberapa petugas
keamanan nampaknya segera berlari ke arah kejadian. Hahee yang penasaran segera
menutup telepon kakaknya dan menghampiri sedikit lebih dekat ke arah dimana
petugas keamanan berkumpul. Ia melihat seorang pria yang memiliki bekas pukulan
diwajahnya, orang itu menutupi wajahnya. Sepertinya Hahee pernah melihat orang
ini. Ia juga melihat beberapa orang pria berpakaian rapi berlari menjauh dari
petugas. Mereka ada yang menggunakan kemeja putih dan ada pula yang memakai jas
hitam, dengan kacamata hitam yang seakan menutupi identitasnya. Kemudian Hahee
kembali duduk dan melamun,
“Orang
tadi mirip siapa ya?” bisik Hahee pada pikirannya, ia termenung kembali.
Mencoba membuka arsip memori diotaknya, mencari orang yang kira - kira mirip
dengan pria tadi. “Haa! Chanyeol!” teriak Hahee dalam hatinya, memberitahu pada
otaknya dan ingatannya. Dan seseorang yang duduk disebelahnya meng-iya-kan,
seakan tahu apa yang Hahee bicarakan dalam hatinya.
“Chanyeol?
Sejak kapan kau disini?” tanya Hahee masih mengelus dadanya karena kaget,
“Aku
ada perlu di Busan. Lama tak jumpa denganmu, Hahee. Kau habis darimana?” tanya
Chanyeol kembali.
“Iya,
lama kita tak bertemu ya. Aku merindukan tingkah gilamu. Aku memang baru saja
menyelesaikan praktek mengajarku, kebetulan aku ditugaskan di Busan.
Channie-ah, wajahmu kenapa?” tanya Hahee, ia segera mengingat apa yang ia
bingungkan tadi. Ia berusaha menyambungkan semuanya, semua pemikirannya tadi.
“Kau
pasti tahu wajahku kenapa. Kau melihatku dari atas kan tadi? Ayo, ngaku?”
Chanyeol sudah mengetahui apa yang Hahee lakukan tadi. Ia hanya mengangguk dan
merunduk, kemudian ia pun memukul tangan Chanyeol karena malu.
“Aww!
Pukulanmu masih sesakit ini, Hahee? Aduh, kau wonderwoman sekali. Sedang malu saja masih sempat
melukai orang lain,” ujar Chanyeol meledek,
“Biar,
biar kau tau rasa sakitnya rindu. Merindukan kalian itu menyiksaku,” ujar Hahee
memukul beberapa kali ke tangan Chanyeol. Chanyeol merangkul dan membiarkan
Hahee bersandar di dadanya.
“Kalau
kau tahu semua yang
sebenarnya,
kita
itu tak
seperti dulu lagi. Aku selalu berharap seperti apa yang kau harapkan. Tapi
semua terlalu berubah, cukup berbanding terbalik.” Chanyeol mulai membuat Hahee
bingung, ia hanya bertanya dalam pikirannya saja. Percuma, dia tidak akan
menjelaskannya sekarang. Seorang sales salah satu jasa tour guide
bulan madu menghampiri mereka beruda. Ia mengira Hahee dan Chanyeol pasangan kekasih, memang mereka
berdua duduk terlalu dekat.
“Pe-permisi,”
ujar sales itu,
“Ya? Ada apa?” tanya
Chanyeol,
“Kami dari perusahaan ABC
mengadakan promo untuk para pasangan muda yang baru menikah. Kami mengadakan
harga promo penawaran tour wisata ke Hongkong Disney Land.” Hahee dan Chanyeol hanya
bisa membuka mulutnya, heran. Suasana di stasiun Busan semakin mencekam karena tawaran
sales itu.
“Kami bukan sepasang kekasih
apalagi sepasang suami istri,” jawab Chanyeol tersenyum kepada sales tadi,
menyusul anggukan dari Hahee. Setelah itu sales tersebut meminta maaf dan pergi
dari hadapan mereka. Tindakan mereka berdua pun adalah sesegera mungkin
memisahkan diri masing - masing. Pandangan orang lain akan berbeda ya, tingkah
SMA yang dibawa ke umur yang sudah beranjak dewasa. Kebanyakan dari mereka
pasti salah paham, dan salah menerka. Chanyeol dan Hahee tertidur menunggu
kesiapan kereta
untuk berangkat. Waktu tundanya lumayan membuat mereka berdua kelelahan.
Sebagian orang yang terpaksa ikut menunggu cuaca sedikit membaik, ada yang
terpulas, ada yang membaca koran, ada yang memainkan gadgetnya, dan masih
banyak aktivitas lainnya.
Chanyeol terbangun dari
tidurnya karena terdengar sebuah pemberitahuan dari pengeras suara. Kereta yang
akan mengantar mereka ke Seoul sudah berada dijalurnya. Chanyeol mengguncangkan badan Hahee
pelan - pelan, dan menepuk bahunya sesekali. Ketika itu, Hahee terbangun, dan
mengucek matanya,
“Ada apa Chanyeol?” tanya
Hahee,
“Keretanya sudah mau berangkat, sebaiknya kita segera ke
sana. Tiketnya mana?” tanya Chanyeol, kemudian Hahee memberikan tiketnya.
Chanyeol yang mengurusi semuanya dan Hahee membawa kopernya. Setelah duduk di
kursi penumpang, Hahee merasa lega, dan menghela napas panjang. Chanyeol
tersenyum dan mengucek
rambutnya, ia pun mengambil tangan Hahee.
“Maafkan aku ya, maafkan
aku.” ujar Chanyeol tanpa menatap wajah Hahee dan tetap fokus pada tangannya
yang ia pegang.
“Untuk apa, Channie-ah? Kau
tak punya salah apa - apa padaku, selain kau yang jahat tak mengundangku juga
untuk makan dikedai, beberapa tahun yang lalu. Haha,” ujar Hahee bercanda,
“Hahaha, kalau masalah itu.
Tolong maafkan aku, aku juga sampai sekarang merasa tak enak,” ujar Chanyeol,
ia kembali merahasiakan sesuatu dari Hahee, menurutnya ini penting. Apa yang
sebenarnya ia sembunyikan dari Hahee? Biarlah ia menjelaskan secara berurutan,
rapih. Kemudian, perjalanan itu ia isi dengan melanjutkan tidurnya.
Sesampainya
di Stasiun
Kota Seoul,
Hahee dan Chanyeol berpisah. Karena ia sudah pindah rumah. Hahee baru mengetahui itu
tadi di dalam perjalanan. Taksi, kendaraan yang sedang ia cari. Ya tentunya
untuk mengantarnya pulang, salah dirinya menolak tawaran kakaknya yang mau
menjemputnya di stasiun.
Tapi sebelum menaiki salah satu taksi yang terparkir, dari kejauhan Hahee
melihat seorang wanita yang mirip dengan kakak iparnya. Suho memang benar -
benar sudah menikah dengannya, tapi memang tak ada pesta meriah. Hanya
teman terdekat saja yang hadir. Karena waktu itu Hahee sibuk dengan proposal
pengajuan praktek mengajar, ia sengaja tak diberitahu agar konsentrasi. Ia
hendak mendekati, tapi ia takut taksi yang ia panggil ditumpangi oleh orang
lain.
Sesampainya dirumah,
“Oppa!
Oppa! Bukain pintu dong!” teriak Hahee dari balik pagar rumahnya,
“Ya,
siapa?” tanya D.O pura - pura tak tahu,
“Tukang
pos!” sahut Hahee kesal,
“Hehe,
jangan merajuk gitu dong. Ayo, silakan masuk tuan putri. Sudah ada hidangan
yang harus anda coba,” D.O membungkukan badannya, Hahee tersenyum manis.
“Koperku
masih diluar, oppa.” Hahee tersenyum dan berlalu masuk ke dalam rumah,
“Kau,
Hahee. Dasar!” dumel D.O oppa. Mereka menikmati makan malamnya berdua, dan
sempat terpikir oleh Hahee untuk menanyakan sesuatu kepada kakaknya. Tapi ini
masih suasana makan malam, Hahee tak enak untuk menanyakan diwaktu seperti ini.
Saat itu sepertinya D.O hanya ingat membayar rasa rindunya dengan adiknya yang
satu itu. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama hari itu.
Pagi hari menjelang, Hahee tampaknya
malas bangun tidur. Apa sebabnya, entahlah yang pasti ia sangat malas dengan
hari ini. D.O mencoba mengguncangkan tubuh Hahee agar bangun, ia sudah
menyediakan sarapan spesial untuknya. Dengan rasa malas yang merajai tubuhnya,
ia berjalan menuju ruang makan. Ternyata disana sudah ada Suho, Hahee berlari
dan memeluknya. Sudah begitu lama sejak ia asrama, tak pernah pulang menemui
pria yang ia sayangi itu.
“Oppa,
kau pulang kapan?” tanya Hahee,
“Aku
sampai tadi pagi, haha. Aku datang untuk menemuimu, sepertinya aku masih merasa
bersalah karena tak mengundangmu,” ujar Suho,
“Lupakan
itu, oppa. Sekarang kau kan sudah disini, aku juga sudah senang. Oh ya, Hyuna
eonnie mana?” tanya Hahee menelaah keadaan disekelilingnya.
“Entahlah.
Kemarin dia bilang ia akan mampir ke rumah orang tuanya. Tapi sampai sekarang
masih susah di hubungi. Tapi biarlah, aku sudah menitipkan pesan pada tetanggaku
jika ia pulang nanti. Aku pergi ke rumah menemui kau,” ujar Suho tersenyum,
“Oh
begitu. Eh oppa, rumah orang tuanya eonnie dimana?” tanya Hahee, akhirnya dia
menanyakan hal tersebut kepada suaminya Hyuna langsung yaitu kakaknya.
“Aniyo.
Tak jauh sih, rumah orang tuanya di Daegu. Memangnya kenapa?” tanya Suho,
“Begitu
ya. Kemarin kalau tidak salah aku melihat orang mirip dengannya di stasiun saat aku menyetop taksi.
Tapi sepertinya itu bukan dia,” ujar Hahee, Suho hanya termenung saja. Tampak
biasa saja tapi matanya penuh curiga, entah apa yang ia pikirkan yang pasti itu
tentang yang baru ia dengar dari Hahee. Yang pasti Hahee semakin yakin kalau itu dia,
kakak iparnya sendiri. Apalagi ia ingat yang diceritakan D.O oppa waktu ia
masih di Busan.
“Oh iya, Kai sampai
sekarang belum ditemukan,” ujar D.O berbisik pada Hahee didapur,
“Oh, terus bagaimana
perkembangannya? Apa ada berita baru, lebih membuat hatiku tenang, ada tidak?”
tanya Hahee sambil mengocek minuman teh dan sedikit gula untuknya dan Suho
oppa.
“Iya. Tapi akhir – akhir ini, Suho
seperti menutupi sesuatu. Ia langsung aneh setelah menikah, selang tiga hari ia
segera pindah dari rumah ini ke apartemen. Padahal kan apartemen itu mau
dijual,” ujar D.O oppa,
“Iya, terus sepertinya Suho oppa
mengetahui sesuatu tentang istrinya itu.” Hahee semakin serius,
“Aku kan kemarin bilang kalau ada
hubungannya Kai dengan Hyuna noona. Tapi entahlah apa yang mereka ketahui dan
yang kita tidak ketahui.” D.O mengajak Hahee kembali ke ruang tamu. Hahee hanya
menganggukan kepala sesekali menolehkan wajahnya ke wajah kakaknya. Suho yang
melihat layar handphonenya, ia hanya termenung. Sesekali mengusap wajahnya
seakan kebingungan melanda pikirannya. D.O menghampirinya dan merangkul dengan
ramah.
“Hyung, ada apa?” tanya D.O
memberikan teh hangat untuk kakaknya,
“Aniyo, terima kasih ya kyung-ah.
Aku sedang mengurusi beberapa kerjaan yang sedikit membuatku pusing. Hanya
sedikit, tak apa. Oh iya, bagaimana kabar praktek mengajarmu?” tanya Suho
mengalihkan pembicaraan,
“Ah, semua berjalan dengan lancar.
Aku juga bertemu dengan anak murid yang menyenangkan. Aku kemarin melihat orang
seperti Kai,” ujar Hahee, kali ini Suho dan D.O hanya diam saja merunduk.
Mereka tak akan mau mengingatkan Hahee lagi tentang semua itu. Terlalu buruk
untuk pengalaman yang sudah ia lupakan.
“Ohh, anak – anak itu nakal tidak?
Setahuku kau tidak begitu suka anak kecil, ternyata kau berhasil mengajari
mereka. Salut,” sahut D.O meledek adiknya,
“Dan kau, tak pernah berubah menjadi
semakin lebih baik. Kau terus meledek adikmu,” jawab Suho meminum tehnya, Hahee
menertawakan kakaknya yang dimarahi. Mereka melewati hari – hari seperti ini,
bersama. Hujan juga akhir – akhir ini membasahi aspal jalan didepan rumah
mereka. Juga aspal seluruh jalan di Seoul. Teh, dan bubur ayam yang menjadi
sajian setiap paginya. Masakan D.O selalu menghibur kebosanan Suho dan Hahee
yang tinggal dirumah itu. Sejak Hahee menyelesaikan studinya dan berhasil
wisuda bulan lalu, ia menetap terus dirumah bersama kedua kakaknya.
Hahee berpikir untuk sebaiknya
setelah wisuda, ia ingin kembali bekerja dikantor redaksi. Sebelum melamar
kerja ke berbagai sekolah menengah di Seoul atau dikota lainnya.
“Kak, aku bekerja lagi ya disana,”
ujar Hahee merajuk pada Suho,
“Kau tidak lelah terus pulang –
pergi, Seoul ke Busan?” tanya Suho tak menatap Hahee karena sibuk menatap layar
laptopnya.
“Tidak. Aku akan tinggal dirumah
kecilku. Waktu itu aku menyewanya, tapi pemiliknya memberikannya padaku.
Katanya sudah ada yang membayar rumah itu. Jadi aku tetap tinggal disana. Nanti
D.O oppa yang akan menemaniku. Ya kak?” Hahee semakin merajuk pada kakaknya. Ia
melepaskan kacamatanya, dan menatap Hahee yang ada disebelahnya.
“Itu yang kamu inginkan? Ya sudah,
biar D.O menemanimu. Aku akan tinggal disini, sesekali menengok Hyuna
diapartemen. Aku akan menginap juga diapartemen. Rumah ini biar bibi yang jaga.
Aku sudah bicara padanya, besok akan datang kesini.” Suho menjelaskan pada
adiknya,
“Oh baiklah kalau begitu. Aku jadi
sedikit lega meninggalkan rumah ini,” ujar Hahee tersenyum,
“Oh iya, kapan kau pindah?” tanya
kakaknya itu,
“Aku akan kesana mungkin lusa. Kau
kapan pulang ke apartemen? Hyuna eonnie sudah pulang?” tanya Hahee, Suho
tersenyum menatapnya. Aneh.
“Aku akan pulang ke apartemen besok.
Kau tunggu saja setidaknya sampai bibi datang ke rumah. Baru habis itu, kau
pergi bersama kyung-ah. Oke?” jawab Suho oppa,
“Oke. Baiklah. Aku akan lekas
berbenah seluruh pakaianku untuk kesana. Aku beritahu dia dulu ya,” ujar Hahee
sambil beranjak dari sana, tetapi tangannya ditahan oleh Suho,
“Tunggu dulu,” ujar Suho,
“Ya ada apa lagi, kak?” tanya Hahee
menoleh melihat kakaknya,
“Apa benar yang kau lihat distasiun
mirip istriku?” tanya Suho,
“Aniyo. Aku tak tahu jelas, yang
pasti itu lebih mirip dengan Hyuna, kak. Tapi, tak usah dipikirkan. Kau tahu
jelaskan bagaimana aku? Aku selalu salah orang. Hahaha,” Hahee berusaha agar
kakaknya tak memikirkan sesuatu,
“Tidak, Hahee. Aku sedikit yakin
dengan perkataanmu. Kau tahu? Saat kau masih praktek mengajar, dia
menanyakanmu. Aku bilang, kau sekarang sedang di Busan. Lalu keesokkan harinya
dia meminta izin padaku untuk pergi ke rumah ibu di Daegu. Tapi dia bilang akan
menginap disana, makanya setelah pekerjaanku selesai dikantor aku langsung
kesini. Karena diapartemen aku akan sendiri, juga aku tahu kau akan pulang.
Lagipula D.O mengundangku untuk menginap.” Suho menjelaskan apa yang ia alami,
“Oh begitu. Apa dia pernah mengeluh
kalau dia punya riwayat penyakit selama bersama oppa?” tanya Hahee,
“Em, dia memang memiliki sakit
jantung. Dokter yang menanganinya adalah kakaknya Kai, Sohee. Beberapa tahun
yang lalu sebelum kau masuk asrama, dia juga melakukan operasi jantung, tapi
aku sampai sekarang tak pernah tahu lagi siapa dokter yang menangani
operasinya. Sejak Sohee pindah rumah sakit, aku tak pernah dengar banyak cerita
dari Hyuna. Karena dia sekarang lebih sering berada diluar rumah dibanding
menetap diapartemen,” ujar Suho. Hahee sedikit mengingat berbagai kejadian yang
hampir terlupakan.
“Lalu? Kau tak pernah bertanya soal
semuanya? Apa kau tak curiga ada sesuatu yang ia sembunyikan?” tanya Hahee
penuh rasa curiga.
“Hahee, jujur saja. Aku curiga
padanya, tapi sayangnya aku tak pernah berburuk sangka seperti ini. Dia
istriku, aku tak berhak mencurigakannya terlalu berlebihan. Biarkan dia
menjalani kehidupannya sendiri. Toh dia masih ingat aku sebagai suaminya. Lebih
baik kau membereskan pakaian yang akan dibawa. Aku akan pergi besok pagi, kamu
tunggu sampai bibi datang ya,” ujar Suho kembali menatap layar laptopnya,
“Baiklah, selamat malam.” Hahee
meninggalkan Suho yang sibuk dengan pekerjaannya. Tentunya tanpa istri yang ia
cintai berada di sisinya, ia berada di suatu tempat yang sampai sekarang entah
dimana itu. Yang Suhoa tahu, dia sekarang mungkin sudah kembali ke apartemen
dari rumah orang tuanya. Lupakan itu, sekarang Hahee harus membereskan semua
pakaiannya untuk dibawa dan tinggal di Busan lagi. Akan dekat dengan kantor
juga tempat ia praktek waktu itu. Jauh dilubuk hatinya, melihat keadaan di
Busan ia akan selalu terus mengingat Kai. Itu yang ia benci, dan akan selalu
membenci perasaan itu.
Keesokan harinya,
Suho pergi lebih dulu dari rumah. Sedangkan Hahee dan D.O menunggu bibi yang
tak kunjung datang pagi ini. Sempat sebal, jelas. Menunggu itu hanya membuat
seseorang jengkel terhadap waktu itu. Jam 10 pagi, seharusnya mereka sudah
berangkat ke Busan. Ini jam keberangkatan bus ke Busan, agar tak terlalu sore
untuk sampai kesananya. Karena Hahee juga perlu ke kantornya untuk membicarakan
pekerjaannya lagi.
“Kak, bibi kemana?” tanya Hahee
kesal menatap layar gadgetnya,
“Aku gak tau, Hahee. Coba kau
telepon dia dulu, barangkali dia lupa rumah ayah. Dia kan sudah lama tidak
kemari,” ujar D.O yang sibuk merapikan beberapa kebutuhan mandi yang sepertinya
akan ia perlukan selagi tinggal sementara disana. Hahee terus menggumam sendiri
menatap gadget yang ada digenggamannya dan melawan rasa bosan. Tak lama sebuah
bunyi klakson mobil terdengar cukup menyindir Hahee dan D.O yang sedang
bermalas – malasan menunggu waktu.
“Hahee! Kyungsoo! Ini bibi, tolong
bukakan pintunya,” teriak bibi dari luar rumah,
“Kak, bukakan pintu untuk bibi
dong,” ujar Hahee malas,
“Kau kan yang lebih muda. Lagipula
aku sedang sibuk,” jawab D.O membuatnya sedikit geram sepanjang jalan ke depan
rumah. Keramaian menyambut pertemuan Hahee dan bibinya yang tak lain adik dari
ayah mereka.
“Kau sudah besar, Hahee. Kau begitu
cantik, Suho mana?”
“Kakak sudah lebih dulu ke apartemennya.
Ia tinggal dekat rumah sakit di Jaeju,” ujar Hahee sambil menemani bibinya ke
dalam rumah. D.O segera memberi salam pada bibinya yang sudah berada didalam
rumah.
“Hahee, kenapa kau harus pindah?”
tanya bibi,
“Aku harus pindah, bi. Soalnya jauh
kalau aku harus pulang pergi Seoul – Busan, itu akan jauh sekali. Aku pasti
kelelahan dalam perjalanan,” ujar Hahee meletakkan teh hangat diatas meja.
“Oh begitu. Ya sudah, setiap dua
minggu sekali kalau bisa kau kembali kesini. Bibi akan kembali ke rumah untuk
mengurus pamanmu. Kau mengerti?” ujar bibinya,
“Baik, bi. Aku akan kembali kesini.
Tapi kalau aku tidak ada dirumah, bibi tanyakan kunci rumah pada tetangga ya.
Aku akan menitipkannya,” ujar Hahee mengerti. Lalu sore harinya, mereka berdua
pergi ke halte bus untuk pergi ke Busan. Dan meninggalkan bibinya sendiri
dengan seorang supir untuk membantu menjaga rumah keluarga Suho. Malam hari,
tepatnya pukul 10, mereka sampai di sebuah rumah yang akan mereka tempati untuk
hari – hari berikutnya. Hahee juga sudah menghubungi direkturnya untuk meminta
untuk bekerja disana lagi. Karena keadaan yang sudah malam, mereka
membicarakannya di telepon saja. Hahee sudah bisa bekerja mulai besok, tentu
akan mejadi kejutan bagi temannya dikantor. Terutama untuk kawan baiknya, Park
Hoon. Dari kejauhan nampak Kai menatap mereka, menyunggingkan sebuah senyuman nyaman
dari kejauhan. Rasa aman pada diri Hahee, membuat Kai sedikit puas untuk sebuah
pengorbanannya. Yang mahal.
***
Pagi itu dirumahnya yang
sudah lama tak ia tempati, sejak mulai kuliah dan praktek kuliahnya. Setelah
menyelesaikan semua kewajiban studinya, ia segera menemui direkturnya untuk melamar
kerja lagi. Tentunya dengan bertatap muka dengan direkturnya. Disana masih ada baju Hahee
yang masih bagus untuk bekerja. Ia
bangun dari tidurnya dan segera mandi. Disana ada D.O oppa yang masih tertidur,
“Oppa!
Bangun! Aku akan berangkat kerja,” teriak Hahee didepan telinganya,
“Hmm,
ini masih pagi Hahee. Bisakah kau biarkan aku tidur sebentar lagi dan tak usah
membangunkanku jam segini?” ujarnya malas,
“Bisa,
tapi aku akan berangkat ke kantor kak! Bangun,” Hahee terus mengguncangkan
tubuh kakaknya itu,
“Iya
iya, aku bangun. Tapi berangkatnya kau saja yang menyetir ya, aku mau tidur
dulu. Aku janji nanti pulang aku yang menyetir,” ujarnya memohon pada Hahee,
dia tak bisa menolak permintaan kakaknya. Tampaknya wajah lelah masih
menyelimuti sebagian dari wajahnya.
“Ne,
arasseo. Nah sekarang cepat kau bangun dan segera berangkat,” ujar Hahee,
“Aku
belum mandi, Hahee. Sebentar,”
“Ya
sudah, cepetan kak! Jangan lama - lama, ini handuknya.” Hahee melemparkan
handuk ke kakaknya. Mereka segera berangkat ke kantor Hahee, sejak Suho oppa
menikah dengan Hyuna, D.O tinggal dirumah Hahee dan menemaninya. Menemani
adiknya, itu adalah pesan sang kakak tertua, Suho.
Dari
kejauhan, tepatnya dari pintu masuk kantor, Park Hoon sahabatnya itu
menyapanya. Ia sudah lumayan lama tak melihat Hahee lagi. Setelah sebelumnya,
Hahee berhenti bekerja untuk kuliah.
“Kau
kemana saja, bodoh. Menghilang begitu saja, teman macam apa kau?” ujar Hoon
menyikut lengan Hahee,
“Haha,
kau fikir aku diam saja saat tak bekerja disini? Aku kuliah, Hoon-ah,” ujar
Hahee,
“Oh
kau kuliah. Hahaha,
aku kira kau liburan ke Jepang. Nyatanya kau belajar juga ya,” ledek Hoon,
“KAU!”
Hahee mengejar Hoon yang berlari masuk lift. Didalam lift, mereka membicarakan
sesuatu. Hanya sekedar me-review cerita dulu, tak ada yang dilebih – lebihkan. Hoon yang tak mengetahui
tentang keadaan Hahee waktu itu, kejadian malam itu, ia membicarakan Xcone. Kemudian Hahee mengingat sesuatu saat mendengarkan
cerita itu, Kai, Sehun juga Grinda. Hoon melangkah lebih dahulu ke luar lift menuju mejanya ditahan oleh Hahee,
“Apa
itu Xcone? Aku sedikit lupa sejak aku tak pernah meneliti kasus itu lagi,”
tanya Hahee,
“Oh,
akhir - akhir ini aku menemukan berita. Teman kau, Kim Jong In? Terlibat pada kasus mafia itu,” tampaknya Hahee
terkejut dengannya. Kecelakaan yang D.O ceritakan berbeda dengan kasus
kecelakaan yang ia ketahui dari Hoon beberapa tahun yang lalu.
“Oh,
katamu kecelakaan?” tanya hahee,
“Iya,
dan yang bersama dengan Jongin itu adalah mafia itu. Yoo Ra? Kau tahu wanita
itu, dia memiliki nama samaran yaitu Grinda. Aku tahu dari temanku yang menangani kasus
ini, dia anggota kepolisian.” Hoon menjelaskan itu,
“Sudah
lama ya berarti aku tak bekerja disini,” ujar Hahee,
“Iya,”
jawab Hoon. Hahee tiba - tiba lemah mengingat sesuatu dalam cerita Hoon,
“Grinda,
aku seperti pernah mendengar nama itu.
Aku pernah, Hoon-ah.” Hahee memegang kepalanya yang hampir pusing,
“Kau
tak apa?” tanya Hoon,
“Tidak.
Aku tidak apa - apa. Hanya saja namanya familiar diingatanku,” ujar Hahee,
“Sudahlah. Tak usah membahas
itu lagi. Nanti aku akan cari tahu tentang temanmu itu. Oh ya, ia seorang
dokter pribadi di kelompok itu. Apa benar ia adalah seorang dokter?” tanya
Hoon, Hahee diam tanpa kata. Seperti ia mengingat sesuatu yang penting, sesuatu
yang pernah ada dan terlupakan.
“Aku
ingat!” ujar Hahee, “..Hoon-ah, antarkan aku ke rumah ibu itu.” Hahee menarik
tangan Park Hoon yang sedang menatap komputernya,
“Ibu
yang mana Hahee?” tanya Hoon,
“Kau
pernah dengar dimana kelompok itu membuat kerusuhan untuk mencari sesuatu?
Rumah gubuk, yang ada dipinggir persawahan. Kau pasti pernah dengar dan kau
pasti mengingatnya?” ujar Hahee,
“Aku
ingat itu. Ada wanita yang dilukai menurut saksi mata, belum ada media yang
memberitakan siapa dia dan disini ciri - ciri wanita itu seperti yang pernah
aku lihat. Dari ciri – cirinya wanita itu seperti...” Hoon menahan bicaranya sambil membaca artikel itu, “i – itu kau?” Hoon menatap Hahee
yang khawatir,
“Iya,
itu aku. Dan pria dokter itu, Kai. Lelaki yang selalu kucari dan selalu
kucintai. Dan ia sedang terjebak didalamnya, sekarang jasadnya pun tak ada kan?
Kemana sebenarnya?” jelas Hahee,
“Iya.
Kau yang sabar ya, aku akan membantumu mengungkap ini. Aku pasti membantumu.
Apa kau masih ingat siapa orang yang kau kenal diantara kelompok itu?” tanya
Hoon,
“Aku
ingat. Dia salah satu teman SMA ku dulu. Oh Sehun,” ujar Hahee mengerutkan
dahinya dan mencoba mengingat persis kejadian malam itu.
“Oh
Sehun? Baik, lalu apa yang kau ingat?”
“Aku
ingat semuanya, tapi satu syarat Hoon-ah.”
“Apa
Hahee?” tanyanya,
“Jangan
disini. Jangan kau sebut namaku dalam laporanmu, aku akan buat seakan aku hadir
untuk menghantui mereka. Buat seakan aku memberikan surat kaleng dan kau tak pernah tahu
siapa pelapor itu. Aku akan melindungimu jika kau dapat ancaman.” Hahee
menjelaskan itu,
“Kau
tak usah khawatirkanku, aku sudah bisa diteror oleh mereka. Aku tahu sekarang,
ayo kita ke rumah gubuk itu.” Hoon mengajak Hahee keluar, tanpa sepengetahuan
kakaknya yang sedang parkir di halaman kantor.
Sesampainya disana, Hahee mengetuk pelan
pintu rumahnya.
“tok,
tok, tok...” pintu pun terbuka. Seorang anak kecil menyambutnya penuh suka
cita. Memeluknya, sangat erat.
“Kakak,
kau kesini. Aku rindu,” ujar anak itu,
“Ibu
kemana?” tanya Hahee, ia menggelengkan kepalanya. Lalu ia mencari ke sekeliling
rumah tapi tak menemukan dia.
“Kakak,
kemarin ibu hilang. Ibu mencari hyung, tapi tak ada. Ibu ketahuan mereka, dan
membawanya. Aku melihat ibu ditembak, dan ia membawa tubuh ibu ke dalam mobil.
Aku cuman pegang telepon genggam yang hyung titipkan untuk menelepon kakak.
Tapi kehabisan baterai, kak.” Yunho nampak ketakutan saat menjelaskan kejadian
itu kepada Hoon. Hahee yang baru kembali dari dapur, langsung mengajak Yunho
untuk tidur siang.
“Lebih
baik dia tidur dulu, Hoon-ah. Jangan tanya apapun lagi, ia butuh istirahat.
Sebaiknya kita harus menginap disini. Kau telepon ke kantor ya, izinkan kita
berdua. Ada perlu,” ujar Hahee,
“Kenapa?”
tanya Hoon,
“Kau
tega meninggalkan dia yang masih anak kecil tinggal disini sendiri?” Hahee yang
sedang mengipaskan Yunho.
“Baiklah.
Ia juga sudah tertidur. Kau tidur saja, Hahee. Biar aku berjaga,” kata Hoon
yang melangkah mendekati dapur untuk menelepon pihak kantor. Setelah itu ia
kembali lagi. Hahee dan Park Hoon menginap semalam disana. D.O oppa juga sudah
dihubungi untuk pulang lebih dulu ke rumah.
Suasana
malam itu sepi, seperti tanpa penghuni. Hahee, Hoon dan Yunho berjaga didalam
rumah. Hoon memasak makan malam dengan bahan yang masih tersisa dalam rumah.
Yunho bercerita banyak tentang apa yang terjadi saat Hahee tak ada disekitar
mereka.
“Ibu
bilang, aku segera cari kakak. Tapi, karena aku tak tahu rumah kakak, selama
ini aku menunggu didalam rumah dan sesekali mengumpat didalam lemari jika aku
dengar ada seseorang lewat depan rumah. Rumah ini juga pernah diperiksa sekitar
tiga orang lelaki dewasa kak. Dia bilang - Cari Hahee! Dia masih disini. Karena
dia pasti masih ada, aku yakin dia masih ingat kasus malam itu. Dia pasti masih
hidup! - begitu
kak.” Yunho tampak ketakutan mengingat itu. Hahee memeluk Yunho agar ia tenang.
“Hoon,
kita jangan membiarkan Yunho tetap tinggal disini. Tak aman untuk anak kecil,”
ujar Hahee pada Hoon yang baru kembali dari dapur.
“Baik, besok pagi kita pergi
dari sini. Dan Yunho akan tinggal bersamaku,” ujar Hoon,
“Tak
usah. Untuk sementara, kau tetap bersamaku.” pinta Hahee,
“Apa
aku boleh tinggal bersamamu?” tanya Hoon dengan pipi yang memerah,
“Boleh.
Kan aku tinggal bersama kakakku sekarang. Kau tidur bersama kakakku, dan Yunho
bersamaku,” jelas Hahee. Hoon yang salah sangka langsung salah tingkah karena
malu. Hahee dan Yunho tertawa bersama. Seseorang mengetuk pintu rumah, Hoon
yang membuka pintu dan mereka berdua masuk ke dalam kamar dan mematikan lampu
kamar. Hahee terkejut mendengar teriakan Hoon dan hentakan ke pintu. Lalu Hahee
menyuruh Yunho untuk tetap dikamar, tak diduga dan tak disangka. Dia Kai.
Kai
segera menghampiri Hahee, dan memeluknya. Hahee melepaskan pelukan itu,
“Kenapa
Hahee?” tanya Kai,
“Ini
jebakan untuk
menjemputku. Atau ini tulus kau datang untukku? Bukankah kau mengalami
kecelakaan?” tanya Hahee curiga,
“K
- kau kenapa begini? Apa karena orang itu?” ujar Kai sambil menunjuk Hoon yang
berdiri dekat pintu. Hahee membela Hoon, karena ia sedang tak mau diganggu. Kai
mengajak Hoon dan Hahee berbicara di dalam.
“Yunho
mana?” tanya Kai, tak lama Yunho keluar dari kamarnya, “hyung!” panggilnya. Ia
segera menjelaskan semuanya, dan segera membawa semuanya pergi dari perkampungan
itu. Mereka
melangkah mengendap – endap ditengah sunyinya malam. Kai memilih waktu itu,
agar tak ketahuan dengan Sehun. Yang sejak itu berjaga disekitar desa itu.
Seseorang dari kelompok itu melihat Yunho yang teriak kaget.
“Siapa disana?” tanya salah satu
dari mereka, dan berjalan mendekat. Kai membekap mulut Yunho, dan Hoon membekap
mulut Hahee. Sial! Mereka mengenali Hahee dan Kai.
“Disini ada Kai dan Hahee!” teriak
lelaki itu, dan mereka segera berlari sejauh mungkin menuju rumah Hahee. Tak
disangka, harus Hahee yang terjatuh. Hahee terus menatap Yunho yang berlari
didepannya.
“Yunho!
Lari!” teriak Hahee yang dibelakangnya ada beberapa orang yang mengejarnya,
“Hoon,
kau bawa Yunho pergi! Lari ke rumah Hahee, beritahu D.O hyung. Dan aku akan
menelepon ponsel yang ada ditangan Yunho,” ujar Kai,
“Baiklah.”
Hoon membawa Yunho berlari, sedangkan Kai kembali menghampiri Hahee. Lagi dan
lagi ia bertemu dengan Sehun. Karena tak bisa berbuat apa - apa, Kai dan Hahee
menyerahkan diri. Ia dibawa ke sebuah tempat dimana disana sudah ada banyak
orang. Dan Grinda ada disana,
“Kau!
Kau yang menyelidikiku dulu? Dirumah sakit 62 km timur Busan? Punya nyali tinggi
juga kau, berani menyelidikiku. Kau mau apa?” tanya Grinda pada Hahee yang matanya
ditutup kain hitam.
“Memang
iya. Apa masalahmu..., Grinda?” tanya Hahee dengan nada angkuh,
“Oh
kau sudah tahu namaku?” tanya ia. Hahee semakin penasaran siapa sebenarnya
Grinda itu. Hahee di lempar ke kursi yang berhadapan dengan Kai. Dan Sehun
sudah berdiri disamping Hahee. Ia menggampar Hahee cukup keras, darah dari
mulutnya pun keluar. Sungguh lelaki yang tak punya perasaan.
“Apa
lagi yang kalian mau dariku? Jangan siksa dia,” tanya Kai geram,
“Aku?
Aku hanya ingin kau itu mati didepan Hahee. Atau sebaliknya, kau mau Hahee yang mati dihadapanmu?” ujar Grinda,
“Kau
yang akan mati, wanita jalang!” teriak Kai, dan ia mendapat hajaran dari anak
buahnya.
“Hahee,
kau dengar itu? Lelakimu ini sangat menyayangimu sampai aku dibilang wanita
jalang. Kau mau mendengar sesuatu yang lebih seru lagi?” tanya Grinda, “..atau
kau yang mau mendengar juga melihat wanitamu itu menjadi korban karena kau?”
sambungnya. Sehun mencoba membawa stick baseball, dan memukul kepala Hahee. Kai semakin geram
melihatnya. Ia mengingat kejadian malam itu, hampir sama dan juga ia dipaksa
melihat itu.
“BAIK!
AKU AKAN TETAP DISINI! AKU MEMANG MASIH HIDUP SELAMA INI, DAN AKU YANG
MEMBONGKARKAN KASUS INI! BUKAN DIA!” teriak Kai,
“Hhhh,”
Grinda disusul tepuk
tangannya, menyelamati pengakuan Kai. “Hahaha, kau memang harusnya mengaku dari
kemarin. Dan Hahee? Kau akan melihat lelakimu, untuk terakhir kalinya.” Grinda
menyuruh Sehun membuka penutup matanya. Hahee tak sadarkan diri, lalu
Sehun mencoba membangunkan Hahee. Suasana hening, mencekam, menyelimuti pandangan Hahee kedepan saat dia
mulai sadar.
“Izinkan aku
mengobatinya dulu. Lalu kau bunuh aku,” ujar Kai menarik kerah Sehun,
“Bagaimana kak? Dia ingin
menyembuhkan tuan putrinya,” ujar Sehun,
“Silakan saja. Sehun, biarkan dia
memiliki kesempatan untuk mengobati putrinya. Agar Kai tak seburuk kakaknya
yang membiarkan dokter Sohee sekarat. Dan pergi begitu saja,” ujar Grinda,
“A-apa? Apa yang ia katakan, Kai?”
tanya Hahee lemah,
“Sudah, tak usah dengar
perkataannya. Sudah cukup muak mendengar suaranya,” ujar Kai, lalu ia mengobati
Hahee ditempat. Tanpa melepaskan ikatan ditangan Hahee, dalam posisi duduk, Kai
harus menjahit luka dikepala Hahee. Dan membiarkan Hahee tertidur hingga ia
sadarkan diri dengan sendirinya.
“Kau tahu? Seberapa rasa sakit
dihatiku, hidup bersama seseorang yang aku cintai. Tapi ternyata, aku hanya
sebagai pelampiasan cintanya yang kandas. Aku tak semudah itu sebagai wanita.
Kau dengar itu?” ujar Grinda pada Hahee,
Hahee yang berusaha
menatapnya dibalik samar pandangannya, ia melihat wajah Hyuna dihadapannya.
“Hyuna, eonni.” Hahee lirih,
“Hmm, kau sadar? Bisa melihatku? Kau
sudah siap melihat kekasihmu yang akan mati didepanmu,” ujar Hyuna memegang
pipi Hahee dan mengarahkannya pada Kai yang duduk disana. Tersenyum. Wajah Kai
sangat tenang saat itu, Hahee pun tersenyum tenang menatapnya.
Kai mulai ditutup matanya dengan
kain berwarna hitam. Pandangannya pada Hahee tak terputus, sampai akhirnya
terputus juga pandangannya dari Hahee. Dua orang sudah mendekati Kai dari kedua
sisinya, mengarahkan pistol yang mereka pegang. Ke arah kepala Kai dan satu
lagi tepat letak jantungnya. Tembakan pertama, lengan kanan Kai, bahu kiri Kai.
Hahee pun menjatuhkan airmatanya, “i-ibu..i-ibu..” lirih Hahee dalam hati.
“Hahee tak u-ss khhk..tak usah
melihat ini. Ba..khmm..bawa dia ke ruangan,” ujar Kai menahan sakitnya.
“Kai!” teriakan Hahee pun pecah, dia
memberontak saat digiring ke sebuah ruangan atas permintaan Kai. Dia tak mau
Hahee melihat ia dalam keadaan seperti ini. Saat Hahee keluar dari ruangan itu,
suara senapan terakhir terdengar. Dengan sekuat tenaga yang ia miliki, ia
mencoba melepaskan dirinya. Berlari sekencang mungkin, menghampiri Kai yang
sudah lemah. Tembakan tadi meleset, Kai belum mati. Pintu diatas didobrak oleh
orang tak dikenal, dan masuk menerobos beberapa orang.
“Yoo Ra! Kim Yoo Ra! Kau tak
bisa terus seperti ini pada
mereka berdua. Sudah cukup kau mengganggu keluargaku dan keluarga Kai,” ujar
D.O oppa,
“Kyungsoo!”
teriak wanita itu,
“Kau
Grinda
ataupun Yoo Ra, keluar kau!” ujar Suho oppa, “atau harus kupanggil namamu, Hyuna?” sambungnya,
“Maafkan
aku,
aku harus membawamu ke penjara.” ujar Suho menyesal. Dan beberapa polisi masuk ke dalam ruangan
tersebut. Hyuna mencoba kabur dan ditembak ke arah paru – paru kanannya dari belakang. Suho yang melihat itu
segera menghampiri Hyuna yang jatuh tersungkur.
“Maafkan
aku. Aku banyak membuatmu menyesal. Aku selalu tampak buruk dihadapanmu. Maaf -
kan, aku. Suamiku....”
Hyuna menghembuskan napas terakhirnya dipelukan Suho. Sesegera mungkin
tim medis mengangkat Hahee dan Kai keluar dari lokasi itu. Keadaan Kai terlalu
parah untuk dibiarkan menunggu lagi disini. Dia akan kehabisan darah.
“Bawa dia ke rumah
sakit terdekat. Setelah ditangani, dan kondisinya stabil. Pindahkan ia ke rumah
sakit Seoul, tapi sebelumnya hubungiku,” ujar D.O kepada salah satu temannya
yang polisi. Ditempat
lain, Sehun menghajar Chanyeol yang berdiri dihadapannya dihalangi oleh
Kyungsoo,
“Sudahlah.
Hentikan itu!” ujar Kyungsoo,
“Hmm,
maafkan aku, Sehun. Aku juga sudah memberitahu pada Baekhyun. Dan kakakmu sesegera mungkin pulang ke Seoul. Aku
membocorkan ini demi hidupmu. Kau tak sadar? Mereka berdua, Hahee dan Kai, aku dan saudaramu, Baekhyun, kita semua bersahabat.
Kau tak menyadarkan itu?” tanya Chanyeol menarik kerah Sehun,
“Sudah
Chanyeol. Kau jangan samanya,” ujar Kyungsoo hyung.
“Aku melepaskanmu
waktu itu karena kau sahabatku. Dan Kai bukan sahabatku lagi, sejak ia
mengambil Hahee lagi. Setelah ia meninggalkan dan menyakiti hati Hahee.” Sehun
mendorong Chanyeol hingga tersungkur,
“Kau, bukan Kai
yang menyakiti Hahee. Kau mencoba menjebak Hahee disebuah perasaan yang sama
sekali tak Hahee inginkan. Kau halangi pertemuan mereka, dan itu jelas
menyakitinya,” ujar Chanyeol.
Tak lama Baekhyun dan
kakaknya Sehun pun datang.
Sehun dan semuanya dibawa ke kantor polisi untuk ditindak lanjuti. Setelah semua
lokasi sudah dinyatakan aman, mereka semua meninggalkan tempat itu. Sesegera
mungkin menghampiri Kai dan Hahee yang ada dirumah sakit. Yunho terus menangis
sepanjang jalan, Hoon terus mencoba menenangkannya. Sesampainya disana, operasi
sedang berjalan. Dan Hahee masih ada di ruang instalasi gawat darurat. Ia masih
diobati lagi luka jahitan di kepalanya, tak terlalu parah keadaannya. Suho
langsung menghampiri Hahee yang sedang tersenyum diatas tempat tidurnya.
“Kau tidak apa –
apa?” tanya Suho melihat perban dikepalanya,
“Tidak apa – apa,
kak. Aku sebelumnya sudah diobati oleh Kai, oh ya Kai dimana?” tanya Hahee,
“Dia sedang
menjalani operasi, aku yakin dia akan selamat. Sehat, dan bisa berkumpul dengan
kita lagi. Sekarang kau istirahat saja, kau akan dipindahkan ke kamar,” ujar
Suho yang langsung pergi mengurus administrasinya. Kai sudah berhasil dioperasi
peangkatan beberapa peluru. Memakan waktu cukup lama, 14 jam. Setelah
dipindahkan ke ruang ICU untuk 5 hari, ia pun pindah ke kamar inap. Sebelah
Hahee, ia tertidur pulas tanpa ada kabar bagaimana keadaan yang ia rasakan saat
ini. Sakit, sehat, atau sudah hambar, tak terasa apa – apa lagi. Hahee menoleh
dan menatap Kai dalam – dalam, beberapa selang masih tersambung pada tubuhnya.
Hahee menghampiri
tempat tidurnya, membisiki bercerita beberapa cerita untuk mencoba membangunkan
Kai.
“Aku sudah sehat.
Aku tak merasa sakit lagi, kelak aku harus membalas kebaikanmu. Kau juga harus
membalas rasa rinduku, ya.” Hahee menahan airmatanya. Kai menangis,
“Kai jangan
menangis, kau masih bisa membantuku setidaknya dengan kau tersenyum. Aku selalu
menyayangimu,” bisik Hahee mengusap airmatanya. Tiba – tiba, monitor
menunjukkan aktivitas Kai yang tak normal, ia kejang. Segera Hahee menekan
tombol darurat untuk memanggil perawat.
“Ada apa?” ujar
dokter yang menangani Kai,
“Dia menangis dan
kemudian saat aku menyeka airmatanya, ia langsung seperti ini,” jelas Hahee
kepada sang dokter. Dokterpun segera memindahkan Kai ke ruangan intensif lagi.
Sharon yang baru kembali dari Inggris langsung mengunjungi Hahee yang sedang
dirawat.
“Hahee kau kenapa?
Bisa seperti ini,” ujar Sharon khawatir melihat perban dikepalanya,
“Aku tidak apa –
apa. Kau kemana saja,” Hahee lemah,
“Aku baru saja
sampai Seoul, dan mendengar berita dari D.O, kalau kau dirumah sakit. Aku
langsung kesini. Kau benar tak apa – apa?” ujar Sharon,
“Kai yang apa –
apa, aku baik – baik saja,” ujar Hahee,
“Sudah, sabarlah
Hahee. Tuhan tak akan tinggal diam, dia akan menyelamatkanmu dan
menyelamatkannya. Tenang Hahee, teruslah berdoa,” ujar Sharon memeluk tangan
Hahee. Hahee kembali meneteskan air matanya, dan tersenyum. Dan menutup matanya
untuk beristirahat sejenak.
Kai yang berjuang
untuk melawan rasa sakit dalam tubuhnya itu, terus koma hingga akhirnya tenang.
Kai menjumpai Hahee, melihatnya sedang tidur manis dengan bibir yang terus
tersenyum. Indah melihatnya lagi.
“Lekas pergi lagi
pada ragamu, aku tak mau kehilanganmu,” bisik suara asing yang ia kenal. Suara
Hahee. Ia pun berlari mencari raganya yang sedang koma itu. Ia pun berpikir,
apa lebih baik tak membuat Hahee tersakiti karena ia tak bisa menjanjikan
kebahagiaan untuk Hahee seutuhnya? Saat menemukan raganya, Kai pun akhirnya
masuk kembali kesana. Menangis lagi, dan tersenyum. Ia pun ingin beristirahat
sejenak beberapa waktu, seperti Hahee tadi. Hanya beberapa waktu, tak lama. Tak
akan.
***
Semuanya
berkumpul di Seoul, Yunho dan Hoon-ah akhirnya tinggal bersama di Busan. Hahee tinggal bersama
dengan kakaknya damai, sementara ia titipkan dulu rumahnya di Busan kepada
Yunho dan Park Hoon temannya. Chanyeol pun datang menghampiri rumah Hahee, karena disana ia mendengar
sudah ada Sharon yang baru pulang dari Inggris. Ia memberanikan diri untuk
menjadikan Sharon sebagai teman hidupnya. Hahee sedikit iri dengan Chanyeol dan
Sharon, tak semestinya kisahnya usai begitu saja. Tak bertemu lagi dengan Kai,
membuatnya semakin sekarat seperti waktu itu. Tapi tidak untuk saat ini teman –
temannya masih membuat ia kuat, Baekhyun pun datang diacara itu. Chanyeol
berani menikahi seorang gadis yang juga sempat menjadi sahabatnya.
“Aku malu, bagaimana kalau dia menolakku?” tanya Chanyeol mengatur napas,
sebelum ia ke rumah Sharon.
“Kau bisa, kau memang harus bisa. Sampai kapan kau menggantungkannya,
bodoh.” Baekhyun menempeleng kepala Chanyeol,
“Ya!!!!!!” teriak Chanyeol, Hahee pun tertawa,
“Kalian mau bertengkar atau mau apa sekarang?” tanya Hahee serius,
“Aku mau melamarnya,” ujar Chanyeol dengan gayanya yang maskulin,
“Ya sudah. Aku akan kerumahnya, mengajaknya berbicara disana. Nanti
Baekhyun dan kau datang kerumah seakan kalian rindu lagi berkumpul seperti
ini.” Hahee menerangkan rencananya, dan mereka berdua mengerti.
“Bagaimana dengan Kyungsoo hyung?” tanya Chanyeol,
“Abaikan dia. Dia sudah memilih calon istri dari teman kampusnya, dia juga
kakak kelasku. Hahaha, semangat!” ujar Hahee,
“Baiklah. Semangat!” ujar Chanyeol, dan mereka pun menjalankan rencananya.
Hahee lebih dulu berjalan ke rumah Sharon dan berbincang seakan biasa saja.
Takkan ada peristiwa istimewa yang akan terjadi. Chanyeol dan Baekhyun pun
datang ke rumah dan membaur dengan keadaan.
“Channie, apa kabarmu? Kau baik – baik saja,” sapa Sharon dengan
senyumannya yang membuat dia sedikit tertegun,
“Chanyeol, kau ditanya, apa kabarmu?” tegas Baekhyun terkekeh – kekeh,
“Ba-baik, Sharon. Kau bagaimana?” ujar Chanyeol,
“Aku baik – baik saja. Aku ingin segera pulang ke Seoul untuk menemuimu.
Juga kalian, aku merindukan kalian. Sangat!” ujar Sharon, disusul wajah memerah
Chanyeol, “kau kenapa, channie?” tanya Sharon,
“Tidak. Hanya saja...” ujar Chanyeol,
“Apa? Ada apa denganmu,” heran Sharon,
“Maukah kau menikah denganku?” tanya Chanyeol menunjukkan sebuah cincin
dikotak berbentuk hati, bening seperti cintanya.
“Apa secepat itu? Kau tak takut aku menolakmu karena aku menyayangi orang
lain?” tanya Sharon, wajah Chanyeol kecewa, sungguh kecewa.
“Tak apa kalau kau menolak,” kata Chanyeol mau menutup kotak tersebut.
“Secepat itukah kau menyerah? Aku mencintai satu orang, ia bernama Park
Chanyeol. Kau kenal dia tidak?” ujar Sharon tersenyum,
“Hah?”
“Aku mencintaimu. Aku mau menikah denganmu, Chanyeol oppa.” Sharon pun
menatap wajah Chanyeol dengan bahagia, “Aku ambil cincinnya ya. Kau tak berniat
untuk mengambilnya lagi kan?” tanya Sharon bercanda, tanpa kata Chanyeol
langsung memeluk Sharon erat. Senyum yang merekah diantara mereka, juga senyum
dari bibir Baekhyun dan Hahee.
Tanpa Hahee
ketahui, Kai sudah sadarkan diri setelah seminggu kritis waktu itu. Dia pun
sekarang akan datang dan berusaha membahagiakan Hahee. Dan berjanji akan terus
berada disisinya. Sohee
eonnie kembali ke kehidupan Suho oppa, dia datang bersama adiknya, kisah cinta pertama
Hahee, Kai.
“Sepertinya,
kita harus keluar. Biarkan mereka berdua, mengenang masa indah lalunya.” Hahee
mengajak Kai keluar rumah.
“Iya.
Dah kakak. Kalau Suho hyung mengajakmu kembali, ikutilah. Ia mencintaimu dari dulu hingga saat ini
mungkin,”
Sohee memukul tangan Kai, ia tersenyum malu ke arah Suho. Mereka membiarkan
kakak mereka mengulang indahnya lalu. Di jalan, Kai dan Hahee juga sibuk
mengulang indahnya waktu yang telah berlalu.
“Hey, apa benar Chanyeol melamar
Sharon waktu itu?” tanya Kai,
“Iya, waktu itu dia tampak gugup
sekali. Aku dan Baekhyun terus berusaha membuatnya yakin,” ujar Hahee tertawa
kecil,
“Oh begitu. Kalau Baekhyun, dimana
sekarang dia?” tanya Kai. Hahee pun tertawa karena tak tahan untuk menceritakan
Baekhyun.
“Dia kan bilang padaku, kalau dia
mau kuliah. Katanya agar bisa meneruskan perusahaan orangtuanya,”
“Lalu?”
“Dia hanya kuliah dua tahun, tak dilanjutkan.
Kemudian..”
“Kemudian apa?”
“Dia sudah menikah, dengan seseorang.
Kau kenal Chaerin kan? Baekhyun dijodohkan oleh mamanya. Orang tua mereka
saling mengenal satu sama lain, mereka bertemu di salah satu acara perusahaan
orang tua mereka. Haha, maaf aku hampir tak bisa menahan tawaku,” ujar Hahee
terus tertawa membayangkan mereka,
“Oh ya? Hahaha, mereka melangkah
lebih jauh dariku. Lalu dia tinggal dimana sekarang?” tanya Kai,
“Dia tinggal di Jaeju. Tapi sekarang
dia sedang berlibur dengan keluarganya ke Gangnam, dia meneleponku kemarin
malam,”
“Keluarganya? Orang tua dan kakaknya
ada di Seoul?” tanya Kai heran,
“Bukan, ini keluarganya. Dia sudah
mempunyai anak kembar, aku baru melihat anaknya saja di foto. Sudah ingin
melihat mereka langsung, ah lucu sekali.” Hahee menggemaskan wajahnya,
“Ya iya. Kau mau menyusul mereka?” tanya
Kai,
“Apa? Tak secepat itu, aku mau
bekerja dulu. Kau kenapa seperti itu?” ujar Hahee malu, sambil menatap Kai
sesekali. Serba salah,
“Ah tak apa,” jawab Kai bersikap
acuh dibalik tawanya untuk Hahee,
“Ya sudah,” mereka melanjutkan jalan
di sekitar taman,
“Hahee..”
“Ya?”
tanya Hahee,
“Maaf
ya aku banyak berbohong selama ini,” ujar Kai,
“Biarlah.
Kau kuminta sejak saat ini, jujur padaku.” Hahee meminta pada Kai,
“Baik
aku akan jujur padamu. Aku mencintaimu, dari dulu, kemarin hingga saat ini.”
Kai mencium pipi Hahee, “...sudah cukup kejujuranku?” sambungnya,
“Aku
cukup percaya dari dulu, kemarin hingga kini.” Hahee tersenyum lebar,
“Jadi kita
mengulang masa indah kita lagi? Mari kita perbaiki dari awal lagi, cerita
kita.” Kai menggenggam tangan Hahee,
“Baiklah, Kai oppa.” ujar Hahee,
“Eoh, oppa? Kau
menyebutku oppa? Wahaha, kemajuan. Kau mau berarti menikah denganku?” ujar Kai
dihadapan Hahee,
“Mwo? Aku akan
memikirkan itu matang – matang. Aku sudah mencintai lelaki lain, bagaimana
ini?” canda Hahee,
“Ah tak usah
berbohong. Aku tahu, kau hanya mencintaiku.”
“Berlebihan sekali
kau? Terlalu percaya diri,” ujar Hahee,
“Kalau tak mencintaiku,
kau tidak akan berusaha menungguku sampai selama ini,”
“Mwo?”
“Saat aku tak
sadarkan diri dirumah sakit? Kau kan bilang mencintaiku, ingin aku cepat sadar.
Kau kan berjanji selalu cinta aku,” ujar Kai,
“Kau mendengarnya?
Kau sudah sadar?”
“Apa aku harus
sadar untuk mendengar suaramu? Haha, aku sudah sadar waktu itu,” jawab Kai
menahan tawanya,
“Ya!!! Kai!!!!”
Hahee memukul tangan Kai, dan dia berlari kearah taman. Hahee mengejar
Hahee disiang
hari
yang sangat
indah
itu. Matahari saat itu juga cukup membuat mereka
berdua berbahagia. Semoga selalu indah hingga saatnya ditentukan. Selesai.
Gomawo (^,^)v
***
Gomawo, Chingudeul...
Nae, Toshiro Yagami, Saranghaeyo...
Selaku tim ekspedisi dua alam
(Alam Sadar dan Tidak Sadar) ^^*