Selasa, 19 April 2016

Terobsesi (Part 3)

(Review)
Setelah ikatanku lepas, perlahan aku berjalan hingga pintu keluar. Sial, saat kubuka pintu itu malah menghasilkan bunyi yang membuat dia sadar kalau aku kabur.
"Berhenti! Sinta!" teriaknya. Aku sadar sesuatu sambil berlari, siapa itu Sinta?
.
.
.
Raihan terus mengejarku, dan aku hanya bisa mengumpat dibalik kotak usang yang ada dirumahnya. Dan ruangan ini kosong, cocok buatku yang sedang dikejarnya. Tak terdengar suaranya lagi, kuintip keadaan ternyata memang semuanya hening. Terdengar suara mobil Raihan, dan segera menginjak pedal gas, lalu pergi entah kemana. Kubangunkan tubuhku, dan mengendap-endap keluar ruangan yang kurasa tak cukup untukku mengandalkan kadar oksigennya. Pertukaran udara disini tak baik, perasaanku juga tak baik. Apa yang sedang dilakukan Adam disana? Aku sedih melihatnya mengorbankan diri untukku. Kulihat, di sebelah sana ada jendela yang terbuka. Baiklah, aku akan menggunakan itu untuk keluar, memanggil polisi dan menyelamatkan pangeran Adam yang baik hati itu. Kulihat jendela itu tak jauh dari ruang penyekapanku tadi.
.
.
Kusapa Adam yang duduk terikat didalam ruangan itu,
"Adam, are you ok?" tanyaku memastikan dirinya baik-baik saja.
"Kamu ngapain kesini lagi?"
"Mau bebasin kamu, ayo kita pergi sama-sama."
"Don't waste your time, Win. Aku itu lelaki, aku akan baik-baik saja tanpamu. Yang penting kau selamat, itu saja."
"Adam, aku itu perempuan. Aku akan selalu mengkhawatirkan lelaki yang kucintai. Tetaplah bersamaku, itu cukup bagiku." ujarku seusai merampungkan tugasku, melepas ikatan Adam. Ia berjalan mengendap-endap, tangannya tetap menggenggamku erat. Aku ikut tegang disitu, aku tak mau bertemu Raihan lagi. Aku benci dia mulai saat ini.
.
.
BRAK!
.
.
Pintu ruangan itu ditendang oleh Raihan, dan ia sangat marah pada kami. Adam menarikku ke belakangnya, dan memintaku berlindung dibalik tubuhnya.
"Rai, kamu udah gila?" tanya Adam,
"Urusan apa kamu, hah!"
"Dia ini Dwina, calon istriku. She's my precious one!" tegas Adam kali ini. Ia juga akan sama sepertiku, mulai membenci Raihan mulai detik ini.
"Dia itu Sinta. Jangan ambil Sinta gue!" teriak Raihan dan melayangkan tendangannya ke tubuh Adam. Tapi sayang, Adamku sudah seperti Van Damme idolaku, ia terlalu pandai untuk beladiri. Ia membalas pukulan Raihan tadi, dan terus menghujaminya pukulan. Aku hanya bisa histeris ketakutan, berdiri diantara orang yang bertengkar.
"Adam!" teriakku saat lelakiku jatuh tersungkur karena balasan pukulan dari Raihan. Terbesit dikepalaku, untuk menanyakan satu hal saja. Siapa sebenarnya orang yang ia disebut Sinta itu? Tak lama saat aku merenungkan sesuaty, bunyi hantaman keras terdengar, walau hanya sekali tapi itu mengecohkan.
"Ayo kita pergi," ujar Adam. Kulihat dilantai sudah tergeletak Raihan tak berdaya.
Adam turun lebih dulu dari aku, ia akan menjagaku saat turun nanti. Kulepas sepatuku, dan memilih untuk telanjang kaki saja. Tinggal selangkah lagi aku turun dari jendela, Raihan menarikku lagi.
"Adam! Adaaaam!" teriakku semakin histeris karena panik. Adam juga meneriaki namaku, dan memohon pada Raihan untuk tidak menyekapnya lagi.
"Aku hanya ingin mengambil Sinta, jadi aku tak butuh negosiasi murahan ini." ujar Raihan ke arah lantai satu, dimana Adam berdiri. Ia sudah turun lebih dulu untuk menjagaku.
"Adam, aku akan baik-baik saja." ujarku sambil tersedu menahan tangisan ketakutanku. Ia pun berlari ke arah pintu masuk, dan menggedor pintu terus menerus.
"What the hell you are, Rai!" ujar Adam kesal didepan pintu.
"Bisa gak? Gak bisa kan? You're so stupido, man! Aku tak sebodoh itu. Dan tali ini, kulepas ya. Nanti Sinta-ku pergi memilih dirimu daripada aku," ujar Raihan yang membuatku jijik mendengarnya.
"Jatuhkan aku saja, Rai. Aku gak mau disekap lagi,"
"Apa aku tega mendorong orang yang kusayang jatuh?" ujarnya. Dan ia menarikku untuk masuk ke jendela dan diam saja di rumah itu untuk beberapa waktu ke depan. Ia menarikku masuk ke ruangan tadi, tapi hanya mengambil kursi. Ia menyuruhku untuk duduk dan bersikap manis didepannya. Seperti saat seseorang bernama Sinta itu ada dihadapannya. Ia mendekatiku, dan menatapku dari dekat. Saat sampai ke dekat mataku, ia seperti melihat keanehan.
.
.
"Kau bukan Sinta milikku," ujar Raihan yang kemudian menamparku cukup keras. Aku sangat merasakan hantaman tangannya itu membuat pipiku merah untuk beberapa menit ke depan. Ia kemudian menarik rambutku, dan ia kembali kesal.
.
"Plakk!" Tamparan itu menyapa pipiku sebelah kiri.
"Kau berbeda dari Sinta, tapi kau benar-benar persis dengannya. Sinta, kau sedang berpura-pura denganku? Kamu sekarang memakai tahi lalat baru dan rambutmu agak cokelat?" ujarnya. Aku enggan menatapnya dan memilih memejamkan mataku saja. Ia menarik daguku, menyuruhku untuk membuka mata dan menatap lurus ke matanya.
"Adam," ujarku dalam hati. Terus memanggil namanya agar aku diselamatkan secepat mungkin. Aku sekarang sudah muak, dan akhirnya kuludahi saja ia karena semakin jijik dengan tingkahnya.
"Sinta? Kau sudah kasar seperti ini? Secepat itu kau berubah?"
"Aku itu Dwina, bukan Sinta!"
"Kau itu Sinta!" bentaknya didepan mataku, dan menempeleng kepalaku hingga membentur lemari yang ada disebelahku. Aku dapat ide untuk pura-pura pingsan, kumanfaatkan darah yang berasal dari keningku yang terluka. Secepat mungkin ia menggugahkanku, mencoba untuk menyadarkannya dan kudengar ia mulai panik. Kurasa ia berlari ke lantai satu mengambil kotak P3K di dalam mobilnya. Adam tak ada, kenapa dia tak menyelinap menolongku? Saat inilah kesempatanku untuk memotong tali dengan pecahan kaca di dekat tempatku duduk.
Aku bersembunyi sejauh mungkin, aku berpikir untuk mendekat ke lantai satu. Dengan linggis yang kubawa, kuturun dari lantai "menakutkan" itu. Pintu rumah terbuka, segera kulari ke arah dapur dan bersembunyi di lemari tempat gas, tepat di bawah kompor gas. Linggis masih kupegang, kuintip dari celah sepertinya dia akan naik. Usahaku sejauh ini lancar, tapi sayang tetesan darah dari keningku menghentikannya naik tangga. Aku terus membodohi diriku sendiri, kenapa bisa tak ingat dengan darah yang menetes dari keningku.
.
.
.
“Sinta? Kamu dimana?” tanya Raihan,
.
Aku hening, enggan menjawab, dan terus membekap mulutku sendiri karena ketakutan. Kulihat sepatu cats warna biru kesukaannya mendekat ke tempat persembunyianku. Aku membiarkan keringatku menetes terus di pelipis. Darah dikeningku saja sudah agak mengering, tertiup kencangnya deruan nafasku kala gugup dalam persembunyian. Tak sengaja, linggis yg kupegang terjatuh.
"I got ya!" Dia melangkahkan kakinya ke arah persembunyianku, lalu dia langsung membuka pintu tersebut. Tanganku ditarik, lalu aku diseret ke ruang tengah lantai 1.
"Wanita keras kepala! Aku bilang tetap dilantai dua!" Bentaknya. Aku hanya bisa menangis dan mencoba terus tegar disaat seperti ini.
.
Adam mendobrak pintu rumah dan masuk bersama beberapa polisi yang datang bersamanya. Dia membantuku bangun dan memelukku dengan erat, kutangiskan seluruh ketakutanku pada pelukannya.
"it's okay, Dwina. I'm here," ujarnya. Aku pun hanya bisa menganggukkan kepala, kulihat Raihan sedang ditangani oleh beberapa polisi. Adam melepas pelukannya dan kali ini ia menatapku lurus. Ia tersenyum hangat padaku,
"DARRR!" suara senapan itu membungkam keadaan.
Kini kusadari ada darah di dadaku, pandanganku juga tertuju pada darah ini.
Adam ambruk seketika, dan ramai polisi menenangkan Raihan yang merebut senapan yang ada di sabuk polisi.
"GAK AKAN ADA YANG BOLEH MEGANG SINTA KECUALI GUE!!!!" teriak Raihan disusul tawa yang kencang kemudian menangis histeris. Beberapa polisi segera meminta ambulance menjemput, karena kurasa tanganku sudah berlumuran darah.
"Kamu yakin gak mau menikah sama aku?" ujarnya memecah keheningan di ambulance. Aku mengabaikannya, dan dia memegang tanganku erat memintaku untuk menjawabnya.
"Are you kidding me? Aku yakinlah sama kamu," ujarku.
"Tapi kalau aku.." ucapannya terpotong oleh batuknya menahan sakit. "meninggal disini masih setia?" tanyanya.
"Masih, udah ah jangan bahas lagi,"
"Jangan, kamu harus tetap melanjutkan hidup. Kamu butuh teman hidup,"
"Iya. Dan aku maunya sama kamu! Udah jangan bicara tentang itu lagi. Aku butuh kamu sehat," ujarku. Ia segera menarik tanganku dan membiarkan tanganku tetap dalam dekapannya. Ia memejamkan mata sambil tersenyum, aku pun tersenyum. Namun masih saja rasa sedih menguasai pikiranku, tapi sayang, aku sudah terlanjur yakin dengan janjinya.
.
.
.
.
.
2 minggu kemudian, Aku menjenguk Adam yang asyik berbaring di tempat tidur rumah sakit ruang VIP yang nyaman ini.
"Enak ya disini, tidur terus. Aku malah panas, menyetir, izin ke bosku pulang lebih cepat agar bisa datang kesini untukmu."
"Iya enaklah. Aku kan jadi bisa cuti sebulan."
"Dan aku tetap berdiri disini? Melihatmu yang berbaring dan ditemani suster-suster cantik?"
"Iya disini susternya cantik-cantik," sahutnya sambil mengunyah apel yang sudah kukupas.
"Well, aku makin yakin untuk pergi pulang, Dam."
"Dwina, kau merajuk?" tanyanya. Aku bangun dari dudukku dan hendak pulang saja ke kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan lagi. Tapi dia malah menarikku dan mengajakku ikut berbaring dipelukannya. Ia mendekapku, aku panik takut ada suster yang tiba-tiba masuk.
"I have bodyguards, Honey. Don't worry," ujarnya menelepon bodyguardnya dan meminta menjaga pintu rumah sakit. Ia mencium keningku dan aku? Haha, tentunya nyaman dalam pelukannya.
.
.
.
selesai.

Terobsesi (Part 2)

Aku melanjutkan makan, kukira akan sia-sia jika aku meninggalkan makanan ini masih dibilang tersisa banyak. Kucoba habiskan semampuku, tapi aku tahu pasti Adam akan memarahiku kalau makan sebanyak ini. Apalagi cumi, ia khawatir alergiku kambuh. Akan terasa panas dikulit, jika makan cumi berlebihan. Seperti waktu pertama kali kami pergi kencan, baru menghabiskan sepiring cumi saja badanku sudah terasa panas dan wajahku memerah. Kenapa kuhabiskan sepiring cumi itu sendiri? Ya itu karena aku suka seafood. Hanya saja, aku memang diperingatkan untuk tidak berlebihan dengan cumi. Tapi entah kenapa, setiap kali makan cumi, aku selalu jatuh cinta. Sama, seperti saat aku memutuskan untuk saling kenal dengannya, langsung jatuh cinta.

Tak lama ada notifikasi diponselku, ini dari Adam.
"Sudah kubayar semuanya tadi, aku malas ke table lagi. Uang tipnya sudah kuberikan pada pelayan yang menghampirimu tadi. Kutunggu diparkiran," --- begitu isi pesan Adam.

Tahu darimana kalau aku bertanya pada pelayan itu? Oh, mungkin dia melihatku saat memanggil dan berbicara pada pelayan tadi.
Segera kuambil tas dan menyusulnya ke parkiran. Kusenyumi pelayan tadi dan penjaga meja resepsionis yang mengucapkan rasa terima kasih sudah singgah di restoran mereka. Aku sudah berada di parkiran, seketika aku lupa dimana dia memarkirkan mobil. Kupikir tak akan kenapa-kenapa kalau aku meminta dia menjemputku di depan pintu masuk saja. Tapi aku langsung ingat, dia sedang malas kalau harus kembali kesini. Kutelepon saja dia dimana, tak lama lampu mobil berkedip. Segera kuhampiri dia yang berada dimobil, saat aku duduk di mobil kulihat wajahnya berbeda.
"Adam? Are you ok?" tanyaku menatapnya.
"Just--go," bisiknya, kurasa ia begitu tegang, "now." sambungnya. Kini ia terus mengarahkan wajahnya ke depan tak menoleh, dengan keringat dingin yang menetes dari pelipisnya. Ada apa sebenarnya ini?
.
"BUUG!"
.
.
Tak lama, kurasakan sakit yang sangat di pundukku. Sepertinya sepersekian detik yang lalu, benda tumpul itu menghujamku dari arah belakang. Pada saat itulah aku hilang kesadaran dan tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Adam? Aku tak sempat memikirkannya, yang pasti sebelum aku memejamkan mata, dia berteriak namaku. Dan kemudian suara rintihannya menjadi suara terakhir yang menuntunku untuk tidur sejenak. Pindah ke alam bawah sadar.
.
.
Aku bercanda dengan Adam di tidurku, tetap dalam mimpiku, dibawah kesadaranku. Kami berdua sedang bermain ke sebuah taman yang kupikir sayang untuk dilewatkan tanpa berfoto. Adam segera menggunakan smartphonenya untuk mengabadikan kami berdua. Aku pun berlari, menggoda Adam agar ia mengejarku juga. Tapi, kali ini ia tampak pucat dan tak sama sekali ceria seperti tadi. Adam? Ada apa dengannya? Pertanyaan itu kulontarkan saat memandang Adam yang berdiri kaku dihadapanku. Tak lama, tubuhnya ambruk seketika dengan tubuh bersimbah darah.
"ADAM!!!!" aku hanya bisa berteriak, dan kakiku terasa terikat kencang, tak bisa menyusulnya. Seseorang tengah berdiri dibelakangnya, dengan pisau yang ia cabut dari belakang Adam.
ADAAAAM!!!!
.
.
"Adam!!!!" Teriakku membangunkan diriku sendiri yang sedang tidur entah sejak kapan. Aku mulai lupa. Kulihat sekeliling, tak seperti kantorku, tak seperti rumahku, kamar Adam atau... kutemukan Adam masih tertunduk dengan tubuh yang diikat ke kursi. Aku juga seperti itu. Aku dimana?
Kuseret kursiku hingga mendekati kursi Adam, dan berusaha menyadarkannya.
"Bangun, dam. Please wake up for me, dam. Come on," kucoba membenturkan kursiku dengan kursinya. Ia pun bangun, dan sedikit demi sedikit dia membuka matanya dan menyesuaikan cahaya yang remang dalam ruangan itu. Ia terkejut saat mengetahui aku dan dia berada dalam satu ruangan yang kosong. Dia langsung berusaha menolongku, membukakan tali yang mengikat tanganku. Tapi tak lama, pintu terbuka dan seseorang langsung berdiri dihadapan kami. Dibalik kegelapan.

Dia Raihan, orang yang kuanggap baik ternyata penyebab semua ini. Ia mendekatiku dan menarik kursiku sampai menjauh untuk beberapa meter. Menghadapkan kursiku pada Adam yang berada diujung sana. Raihan berjalan mendekati Adam dan meninggalkanku yang sedang kebingungan. Ia menghajar Adam sampai ia sempat hilang kesadarana, tapi kucoba panggil terus namanya. Agar ia terus sadar dan tak meninggalkanku sendiri diruangan ini bersama psikopat itu.
Tak lama, Raihan mengambil stick baseball besi yang ada di sudut rongsokan itu.
"Teng...teng" suara stick yang diadu ke lantai. Sekarang dia mendekati Adam yang sudah lemah karena pukulannya Raihan tadi.
"Rai? Kau kah itu?" tanya Adam. Ia berusaha nemberiku waktu agar Raihan terfokus padanya dan membiarkanku kabur dari sana. Setelah ikatanku lepas, perlahan aku berjalan hingga pintu keluar. Sial, saat kubuka pintu itu malah menghasilkan bunyi yang membuat dia sadar kalau aku kabur.
"Berhenti! Sinta!" teriaknya. Aku sadar sesuatu sambil berlari, siapa itu Sinta?
.
.
.
.
bersambung~

Selasa, 12 April 2016

Maaf Sahabat

L.Gurman
Genre: bukan horor bukan thriller, middle diantaranya haha.

Kami berdua benar-benar bersahabat, aku dan Hyuna itu bagai kancing dan benang. Iya, takkan berguna satu sama lain jika tak bersama. Kurang lebih seperti itu, sudah terbayang bagaimana kami menjalankannya?
Suatu hari aku akan pergi ke Gangnam, sepertinya paman Taekyung menyuruhku untuk menjenguknya yang sedang sakit. Hyuna ingin dekat denganku terus, tapi kujelaskan kalau aku tak bisa mengajaknya pergi kali ini. Ini bukan tamasya, ini dalam rangka bakti sosial ke rumah paman. Namun ia memaksa, untuk saat ini kubiarkan dia pulang dan aku tetap di Daegu. Kuputuskan tengah malam untuk pergi, dan tanpa memberitahu Hyuna.
"Tak akan, Hyuna. Aku disini,"
Aku merasa persahabatan ini terlalu berlebihan. Hyuna terlalu mengekangku untuk melakukan sesuatu. Hubunganku dengan Dae Young juga kandas, karena Hyuna mengabarkanku kalau kekasihku itu berselingkuh. Kuturuti saja, karena aku percaya pada sahabatku sendiri. Tapi, Daeyoung memberikanku keyakinan yang cukup imbang, bahkan dia nekat menikahiku akhir bulan ini. Setelah berkunjung ke Paman Taekyung, kusempatkan berbicara langsung dengan Daeyoung. Di tengah perjalanan kupikir ada lampu sign mobil yang menyorotiku. Tunggu, mobil itu mengarah padaku!

****CRASH****

Hyuna sudah berdiri dipinggir jurang dengan wajah bangganya. Ia pun menceritakan semuanya sambil tertawa lega karena telah menyingkirkanku. Samar kudengar,
"Daeyoung itu milikmu, kau itu milikku. Tak mungkin aku melepaskanmu untuk Daeyoung kan? Hahaha.. Dan kali ini aku harus menyingkirkanmu, karena aku sudah menyayangi Daeyoung. Biarkan aku yang menikah dengannya. Pamanmu, si Taekyung itu? Sudah kuberi obat tidur dosis tinggi, kubiarkan dia tertidur 'agak' lama dari biasanya. Tapi tak sampai mati, hanya sedikit sesak nantinya. Tekanan jantungnya akan cepat dan dia takkan membelamu lagi untuk bersama Daeyoung." suaranya terdengar jelas ditelingaku.
.
.
.
.
Aku pun naik ke atas tebing, berusaha bertahan dari bongkahan batu yang rapuh. Kupegang kaki Hyuna, ia pun terkejut. Aku menunjukkan wajah kesal dan marah dengannya. Karena semua kebanggaannya, aku akan membalaskan perbuatannya.
"OMO! Kau mau apa?" Tanya Hyuna seperti tak bersalah. Tak main-main, kutarik kakinya ke jurang seperti yang ia inginkan terjadi padaku.
"Maaf sahabat, cara busukmu itu terlalu membuatku menjadi iblis!" Ujarku sambil berdiri memandangi tubuhnya yang terkapar tak berdaya. .
.
.
.

Selesai.

Selasa, 05 April 2016

Terobsesi

Part (1)
Sebaiknya aku segera pergi, sebelum Raihan melihatku mengendap-endap bersembunyi disini. Aku akan berusaha lari dan menjauh darinya, aku harus menemukan tempat yang sama sekali belum terpikir olehku saat itu. Raihan mendekat, suara langkahnya sangat jelas. Sepertinya posisiku terancam, sebaiknya aku pergi kemana? Langkah ke berapa aku akan berpapasan dengannya? Langkah ke berapa pula aku akan melewati dia tanpa bekas jejak, bahkan napasku yang masih menderu karena ketakutan.

“Sinta? Kamu dimana?” tanya Raihan,

Aku hening, enggan menjawab, dan terus membekap mulutku sendiri karena ketakutan. Kulihat sepatu cats warna biru kesukaannya mendekat ke tempat persembunyianku. Aku membiarkan keringatku menetes terus di pelipis, haruskah aku menyerah padanya lagi?

***

Semilir angin pantai membuatku jatuh cinta dan akan terus memuja keindahannya. Apalagi di dua waktu yang terus menggodaku untuk mengucap rasa syukur, ya benar, waktu matahari terbit dan terbenam. Entah mengapa, cahaya mereka membuatku tertegun lalu beberapa detik memejamkan mata. Agar apa, aku kurang paham, yang pasti itu mengalir saja, cukup natural. Dekapan hangat yang kurasakan kali ini, Adam, dia memelukku dari belakang. Ini hari pertama kami memutuskan untuk berlibur bersama setelah pertunangan kami. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku, kupegang erat tangannya yang memeluk perutku. Aku, Dwina, sudah wisuda sekitar tiga bulan yang lalu, setelah akhirnya memutuskan untuk menambatkan hatiku pada pria yang bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan dan gas. Adam Legine Santoso, pria keturunan Indonesia-Inggris ini sering melafalkan Bahasa Indonesia dengan logat yang kebule-bulean. Sering menjadi candaan teman-temanku saat kuputuskan untuk mengajak Adam saat berkumpul dengan mereka.

“Si Pitung ada dimana?” ujar Udan, temanku di kampus, sesama anak UKM Seni Budaya.

“Ishhh, Udan. Iseng banget,” kulempar dia pakai tisu bekas mengeringkan tangan setelah mencucinya. Aku sedikit membantu Adam menerjemahkan apa yang Udan katakan tadi. Lalu Adam menyusul ketawa dengan menjawab “it’s ok. We’re friend, right?” ujarnya. Adam memang begini, selalu menganggap semuanya teman, tak terkecuali dengan Raihan anak kelasku yang kurang suka dengan keberadaan Adam yang mulai akrab. Sudah kupastikan dia memang tak suka dengan Adam, terlihat saat aku pertama kali mengajaknya dinner bersama. Saat ulang tahun pacarnya Udan, Gina, yang diadakan disebuah cafe yang cukup elite dibanding warkop dekat kampus. Yang harum kopinya tak pernah membuatku absen untuk meminumnya. Ya, aku maniak kopi meski sudah diperingatkan oleh Adam untuk tidak meminum kopi terus. Kafein-nya membuat keadaan tubuhku yang notabene adalah seorang wanita menjadi kurang baik, khususnya jantung. Dia selalu bilang, “kalau kamu ga bisa jaga jantung kamu sendiri. How can you gimmi your love? Carrying your heart for me, please."

Adam selalu bisa mencuri hatiku setiap kali kami berkencan. Maklum, kami hanya bertemu 7 hari dan menjauh kembali selama 3 – 6 bulan. Itu karena tugasnya yang selalu berada di tengah laut. Anak minyak, ini panggilanku pertama kali padanya saat datang ke undangan anak teman ayahku. Ya, dia adik dari sang mempelai pria pada acara megah ini.

“Are you kidding? Apa kamu sedang mencoba mempermainkanku?” ujar Adam sambil memegang gelas yang berisi wine yang harganya cukup mahal. Maklum, wine ini hasil fermentasi sejak tahun 1985. Ini memang pesta malam yang megah, tidakkah kau merasakannya juga? Terbayang pula bukan legitnya anggur merah itu, yang kuminum bersama anak bungsu dari pasangan aunty Clara dan om Heru Santoso. Untuk yang belum pernah mencoba minuman ini, maka jauhi sebelum kau mulai mual dan muntah karena tak terbiasa. Dari malam itu, cukup mampu ditebak bagaimana caranya mengejarku? Sampai akhirnya aku tertunduk pada cintanya, tapi dia tetap menghargaiku sebagai wanita yang dicintainya.
Kami sudah belajar untuk tidak melakukan hal berlebihan walau sudah bertunangan. Tapi seperti hal pelukan dan cium pipinya saat kami berpisah, sudah sering kami lakukan. Setidaknya, kami berdua tahu batasan itu dan menghargai satu sama lain. Sore ini, kuputuskan untuk pergi nonton film, mini bioskop. Hanya untuk 25 orang saja, film yang diputar ya film yang rilis hanya di bioskop luar negeri. Untuk dalam negeri, sepertinya jangan. Khawatir tak bisa terkontrol masa mudanya, terlalu liar soal cinta. Banyak adegan yang menurutku hanya untuk 18 tahun ke atas, tapi bukan beradegan syur. Hanya saja, kissing scene itu terlalu "panas" untuk remaja. Sepanjang film, aku sesekali menatap ke arah kekasihku dan bertanya, "apa kau begitu di UK?" disusul dengan senyumku yang menggodanya. Adam terlalu serius, dan terus membisikiku untuk tidak berpikir macam-macam tentangnya saat menonton. Ia khawatir aku terbawa perasaan dan malah cemburu.
"Aku bercanda, mas Adam Legine. Lanjutkan nontonnya," ujarku tertawa sedikit.
Adam sudah menjelaskan semuanya, ya seluruhnya. Tentang pekerjaannya, tentang kebiasaannya yang cuek, dan tentang mantannya selama berada di UK. Dan dia sangat khawatir aku berpikiran sesuatu, ia segera memastikanku tentang satu hal, bahwa dia lelaki yang beda dari pria bule yang sering kutonton di film. Yang sudah biasa dengan seks bebas, tak aneh dengan hal seperti ciuman dan sebagainya didepan umum.
"Trust me? Ayolah, Dwina, aku gak pernah sama sekali melakukan hal seperti yang di film tadi."
"Are you sure? Gadis UK lebih menarik bukan daripada aku?"
"Entah kenapa, hanya kau yang membuatku buta. Ingin kubuktikan?" ujarnya sambil mengarahkan garpu ke depan matanya. Tapi ini bercanda, jelas aku tahu itu.
"Jangan! Aku enggan melihatmu terluka, apalagi buta. Tidak." jawabku. Ia pun tertawa bangga dan kembali melanjutkan mengunyah steak yang daritadi menguping percakapan kami. Aku senang melihatnya yang berjalan meninggalkan table dinner kami. Dia hanya ingin ke kamar kecil, bukan untuk pergi ke UK lagi. Kulihat seseorang mengendap-endap di meja sana, kupanggil pelayan yang sejak tadi berdiri menunggu pelayanannya dibutuhkan.
"Meja itu reservasi atas nama siapa?" tanyaku. Dia pun segera kembali ke meja resepsionis dan membawakanku informasi yang kubutuhkan.
"Atas nama Raihan. Raihan Prayoga,"
"Oh terima kasih."
"Sama-sama," pelayan itupun kembali ke tempatnya berdiri tadi. Raihan? Sedang apa dia disini? Apa hanya kebetulan kami berada di restoran yang sama?
.
.
.
bersambung~

Sabtu, 02 April 2016

Destiny - part 2

Author POV

Chanyeol pun segera menemani Ahra di dalam ambulans, ia takkan melepaskan dia begitu saja. Ia mau tahu seperti apa kondisi Ahra sekarang menurut dokter disana. Darahnya terus mengotori seragam sekolahnya, lalu manajer menariknya untuk turun segera dari ambulans saat mobil berhenti di rumah sakit.
"Andwae, angayo!" Chanyeol enggan naik ke mobil van. Hyung terpaksa mendorongnya dan dia segera menyusul ke dalam mobil.
Ia membenturkan kepalanya ke jok mobil yang ada dihadapannya. Hyung tak bisa bisa membiarkannya terus begini, ia mengambil inisiatif untuk memarkirkan mobil dulu.
"Aku akan ke dalam, memastikan apa yang terjadi oleh Ahra. Kau tunggu disini!"
"Aku ikut!"
"Andwae, kau disini dulu! Kau mau membuat Ahra semakin begini? Aku akan memberimu informasi yang kudapat tadi. Kau tunggu disini, nanti akan kuberitahu," ujar Daehan hyung, kebetulan Chanyeol segera menuruti apa katanya. Sampailah kepada kekecewaan Chanyeol yang memuncak, ia akhirnya turun setelah mendengar kabar dari hyung. Kalau Ahra sudah sadar tapi akan dilakukan operasi untuknya. Ia pun berlari secepat yang ia bisa, mengejar cintanya yang akan menjalani operasi.
"Kenapa kau kesini!" ujar hyung menghalangi Chanyeol,
"Hyung, Ahra dimana?"
"Dia sedang di ruang tunggu, ia akan masuk ke ruang operasi sebentar lagi." Chanyeol tak menyia-nyiakan waktu, ia pun mendorong Daehan hyung dan segera mengejar Ahra. Beberapa pasang mata yang melihatnya, dengan balutan seragam yang penuh darah, ia berlari sambil menangis.
Ia menghentikan langkahnya saat menemukan Ahra ada dihadapannya. Ia menghampiri dengan langkah yang hati-hati, dan segera meraih tangan Ahra yang sedang berbaring. Ada suster didekatnya, sedang sibuk memegang oksigen untuknya. Membantunya agar tetap bernapas, terima kasih untuk suster itu.
"Ahra," panggilnya dengan nada lembut, siapa yang menyangka Ahra membuka matanya. Ahra juga memegang erat tangan Chanyeol, dan meneteskan air mata. Ia terlihat ingin berbicara, lalu chanyeol mendekatkan telinganya agar bisa mendengar apa yang dikatakan.
"Nado saranghae," bisiknya dan mempererat genggamannya, kemudian menangis lagi. Setelah itu tangan mereka akhirnya berpisah juga. Chanyeol tersungkur mengingat peristiwa ini, ia memastikan ini takkan terjadi lagi.

Chanyeol POV

Aku pun mengusap air mata yang ada, dan kembali duduk manis di dalam mobil. Hyung segera menanyakan bagaimana keadaannya, bagaimana kabar perasaanku. Dan aku datang untuk menagih janji hyung yang akan menceritakan informasi yang di dapat tadi.
"Kau harus tenang dulu kalau mau mendengarkan ini," ujarnya. Aku pun menarik napas beberapa kali agar tenang.
"Apa hyung?" tanyaku mengatur nada bicaraku agar tetap tenang. Hyung mendapatkan info dari ibu pemilik kedai, ada wanita yang membeli kursi di kedainya meski tidak di jual. Saat ahjumma itu hendak menjemur kain sehabis dicuci, ia melihat ada anak SMA lebih dari tiga memukul satu orang. Karena tak mungkin menghadang sendiri, lalu ia segera menyalakan sirine motor milik suaminya yang kebetulan seorang polisi untuk mengusir anak-anak itu pergi.
"Apa ada cctv di kedai itu?" tanyaku,
"Entahlah. Ayo kita bahas ini lain kali saja di asrama. Sebaiknya kau bersihkan bajumu sebelum ketahuan banyak orang dan mendapatkan fotomu dengan keadaan seperti ini.

Sesampainya di asrama, aku mengeringkan rambut dengan handuk sambil melamunkan cerita Daehan hyung tadi. Sepertinya ada yang bisa kuandalkan, dan kutuntut orang yang membuat  Ahra seperti itu.
"Brugg" tabrak Kai yang baru datang, mencoba mengejutkanku tapi malah bahunya yang sakit. Aku dapat ide bagus saat melihatnya yang baru datang, juga kehadiran baekhyun, sehun dan Daehan hyung. Akan kurekonstruksi ulang kejadian itu.
Aku mengambil kursi makan dan tali skipping yang biasanya kami pakai untuk olahraga pagi. Kuikat Kai pada kursi itu,
"Hyung, apa-apaan ini? Aku sesak, hyung ughh," ujar Kai menggeliat berusaha melonggarkan ikatannya.
"Diam dulu," kemudian aku kembali konsentrasi. Aku menyuruh Baekhyun dan Sehun berdiri di sebelah Kai. Tapi aneh, seharusnya tak ada jejak sepatu di belakang seragamnya Ahra kan? Tapi jelas kata kim ahjussi, polisi di TKP, dibaju Ahra ada jejak sepatu. Kucoba menendang Kai dari belakang, tapi punggung terhalang sandaran kursi itu kan? Kusuruh Daehan hyung berdiri didepanku dulu, berjalan membelakangiku. Kutendang dia,
"Aisssh appo!! Ya!! Augggh jinjja-ish," ujarnya berusaha mengusap punggungnya yang terasa sakit dan bangun berusaha memukulku kembali.
"diam hyung. Seriuslah." Aku berpikir sejenak, "hyung ambilkan gitarku yang sudah false,"
"Eodisseo?" tanyanya kesal sambil mengusap punggungnya yang sakit.
"di belakang pintu gudang," ujarku  memerintah. "Dan sehun, ambilkan stick baseball mu,"
"Ya hyung, buat apa sih?" tanyanya sambil tiduran dengan ponselnya. Ingin kutendang wajahnya waktu itu, lalu ia langsung berjalan ke kamarnya mengambil stick baseball. Lalu aku duduk santai sambil menunggu Daehan hyung dan Sehun mengambil barang yang kusuruh. Aku hanya tersenyum melihat Baekhyun dan Kai mencibir membicarakan sikapku yang aneh.
"Mwohae? Eo? Mwo?" sapaku kepada mereka sambil menggambar kejadian yang dipikiranku. Terpikir olehku untuk menelepon Kim ahjussi untuk menanyakan hasil olah TKP nya. Tapi tak kunjung di angkat, kubiarkan dia bekerja semaksimal mungkin, baru kutagig hasilnya nanti. Aku kembali dengan gelaran rekonstruksi yang kubuat sendiri.
"Sudah?"
"Eo!" ujar mereka bersamaan dengan wajah yang malas. Kuabaikan perilaku mereka terhadapku seperti itu, kusuruh mereka berdiri sesuai yang ku gambar.

Sehun menjadi shadow 1, baekhyun menjadi shadow 2, Daehan hyung menjadi shadow 3, Kai menjadi Main Target dan aku menjadi investigator.
Kusuruh mereka melakukan apa yang kukatakan, tentunya tanpa memukul secara keras.
"Eo? Eo, wae hyung?!" ujar Kai menundukkan kepalanya.
"Wae?" sahutku menahan tangan.
"Stick baseball itu, jangan sungguhan ya." ujarnya tersenyum ketakutan padaku. Aku bercanda hendak memukulnya, tapi aku tetaplah hyung-nya yang mesti menyayanginya. Aku segera melakukan beberapa pukulan yang kuduga penyebab luka yang cukup besar itu ada di kepala dan di pelipis. Telinganya masih bekerja dengan baik, tak ada kerusakan yang fatal. Hanya dengan beberapa kali memeriksakan ke dokter, itu tidak jadi hal yang serius.
Stick baseball, dan gitar seperti tidak membuat dia benar-benar kritis saat itu. Sebuah paku yang tertancap di punggungnya dan sebagian serpihan yang lebih kecil yang menempel di rambutnya kurasa bukan dari gitar.

"dia membeli kursiku, tapi aku tak menjualnya. Tak lama kudengar suara hantaman keras dari kursi," aku ingat apa kata ahjumma itu. Kursi? Apa Ahra dipukul kursi juga? Segera kugambarkan kejadian yang ada dikepalaku.
"Hyung?"
"Uhhm,"
"Kita punya kursi kayu?"
"Untuk apa lagi?"
"Ada? Dimana?" Aku langsung menuju kamar Baekhyun, aku ingat tempat ia meletakkan kotak-kotak berisi sepatunya adalah kursi kayu. Aku sudah memegang itu, dan kusuruh Baekhyun memukul Kai dari belakang dengan tenaga yang cukup keras. Aku akan meletakkan bantal yang tebal dan mengikatnya di seluruh bagian belakang tubuh Kai.
"Aku tak sebodoh itu, aku juga memikirkan keselamatanmu," ujarku sambil mengikatkan bantal milikku, milik Sehun, milik Daehan hyung yang tadi diambilkan oleh Sehun. Kukira semua sudah siap, ready..ACTION! Baekhyun punya tenaga yang kuat untuk melempar benda seperti ini hingga pecah.

"Prakk!!!" Hancur sudah kursi kayu yang tadi kugunakan untuk memukul Kai. Saat kulihat, aku cukup terkejut melihatnya. Sudah kuduga kenapa dia memilih kursi kayu yang tak dijual daripada kursi besi dan plastik yang jelas dijual di toko kursi tak jauh dari kedai ahjumma.
"Hyung!" Sehun berteriak,
"Eoh, wae?!" Kuhampiri dia yang ramai sendiri. Aku tak kalah terkejut dengan Sehun tadi, Kai terluka. Paku yang menancap itu sudah melukai permukaan kulitnya. Aku pun segera menjauhkan bantal penghalang tadi dari punggungnya dan segera mengobatinya sambil meminta maaf karena perbuatanku ia terluka.
"Gwaenchana hyung, hehe. Aku hanya sedikit kaget, ternyata aku tau bagaimana rasanya paku menancap ditubuh," Kai bercanda, kupukul lukanya yang sedang ku obati.
"Appo!" Kai meringis. Aku hanya tersenyum dan mengingat kejadian Ahra tadi. Kursi? Di TKP sudah tak ada kursi, kemana barang bukti itu? Apa mereka hanya membutuhkan pakunya, bukan kayunya? Lalu siapa Ahra, kenapa dia jadi target mereka?