Selasa, 19 April 2016

Terobsesi (Part 3)

(Review)
Setelah ikatanku lepas, perlahan aku berjalan hingga pintu keluar. Sial, saat kubuka pintu itu malah menghasilkan bunyi yang membuat dia sadar kalau aku kabur.
"Berhenti! Sinta!" teriaknya. Aku sadar sesuatu sambil berlari, siapa itu Sinta?
.
.
.
Raihan terus mengejarku, dan aku hanya bisa mengumpat dibalik kotak usang yang ada dirumahnya. Dan ruangan ini kosong, cocok buatku yang sedang dikejarnya. Tak terdengar suaranya lagi, kuintip keadaan ternyata memang semuanya hening. Terdengar suara mobil Raihan, dan segera menginjak pedal gas, lalu pergi entah kemana. Kubangunkan tubuhku, dan mengendap-endap keluar ruangan yang kurasa tak cukup untukku mengandalkan kadar oksigennya. Pertukaran udara disini tak baik, perasaanku juga tak baik. Apa yang sedang dilakukan Adam disana? Aku sedih melihatnya mengorbankan diri untukku. Kulihat, di sebelah sana ada jendela yang terbuka. Baiklah, aku akan menggunakan itu untuk keluar, memanggil polisi dan menyelamatkan pangeran Adam yang baik hati itu. Kulihat jendela itu tak jauh dari ruang penyekapanku tadi.
.
.
Kusapa Adam yang duduk terikat didalam ruangan itu,
"Adam, are you ok?" tanyaku memastikan dirinya baik-baik saja.
"Kamu ngapain kesini lagi?"
"Mau bebasin kamu, ayo kita pergi sama-sama."
"Don't waste your time, Win. Aku itu lelaki, aku akan baik-baik saja tanpamu. Yang penting kau selamat, itu saja."
"Adam, aku itu perempuan. Aku akan selalu mengkhawatirkan lelaki yang kucintai. Tetaplah bersamaku, itu cukup bagiku." ujarku seusai merampungkan tugasku, melepas ikatan Adam. Ia berjalan mengendap-endap, tangannya tetap menggenggamku erat. Aku ikut tegang disitu, aku tak mau bertemu Raihan lagi. Aku benci dia mulai saat ini.
.
.
BRAK!
.
.
Pintu ruangan itu ditendang oleh Raihan, dan ia sangat marah pada kami. Adam menarikku ke belakangnya, dan memintaku berlindung dibalik tubuhnya.
"Rai, kamu udah gila?" tanya Adam,
"Urusan apa kamu, hah!"
"Dia ini Dwina, calon istriku. She's my precious one!" tegas Adam kali ini. Ia juga akan sama sepertiku, mulai membenci Raihan mulai detik ini.
"Dia itu Sinta. Jangan ambil Sinta gue!" teriak Raihan dan melayangkan tendangannya ke tubuh Adam. Tapi sayang, Adamku sudah seperti Van Damme idolaku, ia terlalu pandai untuk beladiri. Ia membalas pukulan Raihan tadi, dan terus menghujaminya pukulan. Aku hanya bisa histeris ketakutan, berdiri diantara orang yang bertengkar.
"Adam!" teriakku saat lelakiku jatuh tersungkur karena balasan pukulan dari Raihan. Terbesit dikepalaku, untuk menanyakan satu hal saja. Siapa sebenarnya orang yang ia disebut Sinta itu? Tak lama saat aku merenungkan sesuaty, bunyi hantaman keras terdengar, walau hanya sekali tapi itu mengecohkan.
"Ayo kita pergi," ujar Adam. Kulihat dilantai sudah tergeletak Raihan tak berdaya.
Adam turun lebih dulu dari aku, ia akan menjagaku saat turun nanti. Kulepas sepatuku, dan memilih untuk telanjang kaki saja. Tinggal selangkah lagi aku turun dari jendela, Raihan menarikku lagi.
"Adam! Adaaaam!" teriakku semakin histeris karena panik. Adam juga meneriaki namaku, dan memohon pada Raihan untuk tidak menyekapnya lagi.
"Aku hanya ingin mengambil Sinta, jadi aku tak butuh negosiasi murahan ini." ujar Raihan ke arah lantai satu, dimana Adam berdiri. Ia sudah turun lebih dulu untuk menjagaku.
"Adam, aku akan baik-baik saja." ujarku sambil tersedu menahan tangisan ketakutanku. Ia pun berlari ke arah pintu masuk, dan menggedor pintu terus menerus.
"What the hell you are, Rai!" ujar Adam kesal didepan pintu.
"Bisa gak? Gak bisa kan? You're so stupido, man! Aku tak sebodoh itu. Dan tali ini, kulepas ya. Nanti Sinta-ku pergi memilih dirimu daripada aku," ujar Raihan yang membuatku jijik mendengarnya.
"Jatuhkan aku saja, Rai. Aku gak mau disekap lagi,"
"Apa aku tega mendorong orang yang kusayang jatuh?" ujarnya. Dan ia menarikku untuk masuk ke jendela dan diam saja di rumah itu untuk beberapa waktu ke depan. Ia menarikku masuk ke ruangan tadi, tapi hanya mengambil kursi. Ia menyuruhku untuk duduk dan bersikap manis didepannya. Seperti saat seseorang bernama Sinta itu ada dihadapannya. Ia mendekatiku, dan menatapku dari dekat. Saat sampai ke dekat mataku, ia seperti melihat keanehan.
.
.
"Kau bukan Sinta milikku," ujar Raihan yang kemudian menamparku cukup keras. Aku sangat merasakan hantaman tangannya itu membuat pipiku merah untuk beberapa menit ke depan. Ia kemudian menarik rambutku, dan ia kembali kesal.
.
"Plakk!" Tamparan itu menyapa pipiku sebelah kiri.
"Kau berbeda dari Sinta, tapi kau benar-benar persis dengannya. Sinta, kau sedang berpura-pura denganku? Kamu sekarang memakai tahi lalat baru dan rambutmu agak cokelat?" ujarnya. Aku enggan menatapnya dan memilih memejamkan mataku saja. Ia menarik daguku, menyuruhku untuk membuka mata dan menatap lurus ke matanya.
"Adam," ujarku dalam hati. Terus memanggil namanya agar aku diselamatkan secepat mungkin. Aku sekarang sudah muak, dan akhirnya kuludahi saja ia karena semakin jijik dengan tingkahnya.
"Sinta? Kau sudah kasar seperti ini? Secepat itu kau berubah?"
"Aku itu Dwina, bukan Sinta!"
"Kau itu Sinta!" bentaknya didepan mataku, dan menempeleng kepalaku hingga membentur lemari yang ada disebelahku. Aku dapat ide untuk pura-pura pingsan, kumanfaatkan darah yang berasal dari keningku yang terluka. Secepat mungkin ia menggugahkanku, mencoba untuk menyadarkannya dan kudengar ia mulai panik. Kurasa ia berlari ke lantai satu mengambil kotak P3K di dalam mobilnya. Adam tak ada, kenapa dia tak menyelinap menolongku? Saat inilah kesempatanku untuk memotong tali dengan pecahan kaca di dekat tempatku duduk.
Aku bersembunyi sejauh mungkin, aku berpikir untuk mendekat ke lantai satu. Dengan linggis yang kubawa, kuturun dari lantai "menakutkan" itu. Pintu rumah terbuka, segera kulari ke arah dapur dan bersembunyi di lemari tempat gas, tepat di bawah kompor gas. Linggis masih kupegang, kuintip dari celah sepertinya dia akan naik. Usahaku sejauh ini lancar, tapi sayang tetesan darah dari keningku menghentikannya naik tangga. Aku terus membodohi diriku sendiri, kenapa bisa tak ingat dengan darah yang menetes dari keningku.
.
.
.
“Sinta? Kamu dimana?” tanya Raihan,
.
Aku hening, enggan menjawab, dan terus membekap mulutku sendiri karena ketakutan. Kulihat sepatu cats warna biru kesukaannya mendekat ke tempat persembunyianku. Aku membiarkan keringatku menetes terus di pelipis. Darah dikeningku saja sudah agak mengering, tertiup kencangnya deruan nafasku kala gugup dalam persembunyian. Tak sengaja, linggis yg kupegang terjatuh.
"I got ya!" Dia melangkahkan kakinya ke arah persembunyianku, lalu dia langsung membuka pintu tersebut. Tanganku ditarik, lalu aku diseret ke ruang tengah lantai 1.
"Wanita keras kepala! Aku bilang tetap dilantai dua!" Bentaknya. Aku hanya bisa menangis dan mencoba terus tegar disaat seperti ini.
.
Adam mendobrak pintu rumah dan masuk bersama beberapa polisi yang datang bersamanya. Dia membantuku bangun dan memelukku dengan erat, kutangiskan seluruh ketakutanku pada pelukannya.
"it's okay, Dwina. I'm here," ujarnya. Aku pun hanya bisa menganggukkan kepala, kulihat Raihan sedang ditangani oleh beberapa polisi. Adam melepas pelukannya dan kali ini ia menatapku lurus. Ia tersenyum hangat padaku,
"DARRR!" suara senapan itu membungkam keadaan.
Kini kusadari ada darah di dadaku, pandanganku juga tertuju pada darah ini.
Adam ambruk seketika, dan ramai polisi menenangkan Raihan yang merebut senapan yang ada di sabuk polisi.
"GAK AKAN ADA YANG BOLEH MEGANG SINTA KECUALI GUE!!!!" teriak Raihan disusul tawa yang kencang kemudian menangis histeris. Beberapa polisi segera meminta ambulance menjemput, karena kurasa tanganku sudah berlumuran darah.
"Kamu yakin gak mau menikah sama aku?" ujarnya memecah keheningan di ambulance. Aku mengabaikannya, dan dia memegang tanganku erat memintaku untuk menjawabnya.
"Are you kidding me? Aku yakinlah sama kamu," ujarku.
"Tapi kalau aku.." ucapannya terpotong oleh batuknya menahan sakit. "meninggal disini masih setia?" tanyanya.
"Masih, udah ah jangan bahas lagi,"
"Jangan, kamu harus tetap melanjutkan hidup. Kamu butuh teman hidup,"
"Iya. Dan aku maunya sama kamu! Udah jangan bicara tentang itu lagi. Aku butuh kamu sehat," ujarku. Ia segera menarik tanganku dan membiarkan tanganku tetap dalam dekapannya. Ia memejamkan mata sambil tersenyum, aku pun tersenyum. Namun masih saja rasa sedih menguasai pikiranku, tapi sayang, aku sudah terlanjur yakin dengan janjinya.
.
.
.
.
.
2 minggu kemudian, Aku menjenguk Adam yang asyik berbaring di tempat tidur rumah sakit ruang VIP yang nyaman ini.
"Enak ya disini, tidur terus. Aku malah panas, menyetir, izin ke bosku pulang lebih cepat agar bisa datang kesini untukmu."
"Iya enaklah. Aku kan jadi bisa cuti sebulan."
"Dan aku tetap berdiri disini? Melihatmu yang berbaring dan ditemani suster-suster cantik?"
"Iya disini susternya cantik-cantik," sahutnya sambil mengunyah apel yang sudah kukupas.
"Well, aku makin yakin untuk pergi pulang, Dam."
"Dwina, kau merajuk?" tanyanya. Aku bangun dari dudukku dan hendak pulang saja ke kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan lagi. Tapi dia malah menarikku dan mengajakku ikut berbaring dipelukannya. Ia mendekapku, aku panik takut ada suster yang tiba-tiba masuk.
"I have bodyguards, Honey. Don't worry," ujarnya menelepon bodyguardnya dan meminta menjaga pintu rumah sakit. Ia mencium keningku dan aku? Haha, tentunya nyaman dalam pelukannya.
.
.
.
selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar