Selasa, 19 April 2016

Terobsesi (Part 2)

Aku melanjutkan makan, kukira akan sia-sia jika aku meninggalkan makanan ini masih dibilang tersisa banyak. Kucoba habiskan semampuku, tapi aku tahu pasti Adam akan memarahiku kalau makan sebanyak ini. Apalagi cumi, ia khawatir alergiku kambuh. Akan terasa panas dikulit, jika makan cumi berlebihan. Seperti waktu pertama kali kami pergi kencan, baru menghabiskan sepiring cumi saja badanku sudah terasa panas dan wajahku memerah. Kenapa kuhabiskan sepiring cumi itu sendiri? Ya itu karena aku suka seafood. Hanya saja, aku memang diperingatkan untuk tidak berlebihan dengan cumi. Tapi entah kenapa, setiap kali makan cumi, aku selalu jatuh cinta. Sama, seperti saat aku memutuskan untuk saling kenal dengannya, langsung jatuh cinta.

Tak lama ada notifikasi diponselku, ini dari Adam.
"Sudah kubayar semuanya tadi, aku malas ke table lagi. Uang tipnya sudah kuberikan pada pelayan yang menghampirimu tadi. Kutunggu diparkiran," --- begitu isi pesan Adam.

Tahu darimana kalau aku bertanya pada pelayan itu? Oh, mungkin dia melihatku saat memanggil dan berbicara pada pelayan tadi.
Segera kuambil tas dan menyusulnya ke parkiran. Kusenyumi pelayan tadi dan penjaga meja resepsionis yang mengucapkan rasa terima kasih sudah singgah di restoran mereka. Aku sudah berada di parkiran, seketika aku lupa dimana dia memarkirkan mobil. Kupikir tak akan kenapa-kenapa kalau aku meminta dia menjemputku di depan pintu masuk saja. Tapi aku langsung ingat, dia sedang malas kalau harus kembali kesini. Kutelepon saja dia dimana, tak lama lampu mobil berkedip. Segera kuhampiri dia yang berada dimobil, saat aku duduk di mobil kulihat wajahnya berbeda.
"Adam? Are you ok?" tanyaku menatapnya.
"Just--go," bisiknya, kurasa ia begitu tegang, "now." sambungnya. Kini ia terus mengarahkan wajahnya ke depan tak menoleh, dengan keringat dingin yang menetes dari pelipisnya. Ada apa sebenarnya ini?
.
"BUUG!"
.
.
Tak lama, kurasakan sakit yang sangat di pundukku. Sepertinya sepersekian detik yang lalu, benda tumpul itu menghujamku dari arah belakang. Pada saat itulah aku hilang kesadaran dan tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Adam? Aku tak sempat memikirkannya, yang pasti sebelum aku memejamkan mata, dia berteriak namaku. Dan kemudian suara rintihannya menjadi suara terakhir yang menuntunku untuk tidur sejenak. Pindah ke alam bawah sadar.
.
.
Aku bercanda dengan Adam di tidurku, tetap dalam mimpiku, dibawah kesadaranku. Kami berdua sedang bermain ke sebuah taman yang kupikir sayang untuk dilewatkan tanpa berfoto. Adam segera menggunakan smartphonenya untuk mengabadikan kami berdua. Aku pun berlari, menggoda Adam agar ia mengejarku juga. Tapi, kali ini ia tampak pucat dan tak sama sekali ceria seperti tadi. Adam? Ada apa dengannya? Pertanyaan itu kulontarkan saat memandang Adam yang berdiri kaku dihadapanku. Tak lama, tubuhnya ambruk seketika dengan tubuh bersimbah darah.
"ADAM!!!!" aku hanya bisa berteriak, dan kakiku terasa terikat kencang, tak bisa menyusulnya. Seseorang tengah berdiri dibelakangnya, dengan pisau yang ia cabut dari belakang Adam.
ADAAAAM!!!!
.
.
"Adam!!!!" Teriakku membangunkan diriku sendiri yang sedang tidur entah sejak kapan. Aku mulai lupa. Kulihat sekeliling, tak seperti kantorku, tak seperti rumahku, kamar Adam atau... kutemukan Adam masih tertunduk dengan tubuh yang diikat ke kursi. Aku juga seperti itu. Aku dimana?
Kuseret kursiku hingga mendekati kursi Adam, dan berusaha menyadarkannya.
"Bangun, dam. Please wake up for me, dam. Come on," kucoba membenturkan kursiku dengan kursinya. Ia pun bangun, dan sedikit demi sedikit dia membuka matanya dan menyesuaikan cahaya yang remang dalam ruangan itu. Ia terkejut saat mengetahui aku dan dia berada dalam satu ruangan yang kosong. Dia langsung berusaha menolongku, membukakan tali yang mengikat tanganku. Tapi tak lama, pintu terbuka dan seseorang langsung berdiri dihadapan kami. Dibalik kegelapan.

Dia Raihan, orang yang kuanggap baik ternyata penyebab semua ini. Ia mendekatiku dan menarik kursiku sampai menjauh untuk beberapa meter. Menghadapkan kursiku pada Adam yang berada diujung sana. Raihan berjalan mendekati Adam dan meninggalkanku yang sedang kebingungan. Ia menghajar Adam sampai ia sempat hilang kesadarana, tapi kucoba panggil terus namanya. Agar ia terus sadar dan tak meninggalkanku sendiri diruangan ini bersama psikopat itu.
Tak lama, Raihan mengambil stick baseball besi yang ada di sudut rongsokan itu.
"Teng...teng" suara stick yang diadu ke lantai. Sekarang dia mendekati Adam yang sudah lemah karena pukulannya Raihan tadi.
"Rai? Kau kah itu?" tanya Adam. Ia berusaha nemberiku waktu agar Raihan terfokus padanya dan membiarkanku kabur dari sana. Setelah ikatanku lepas, perlahan aku berjalan hingga pintu keluar. Sial, saat kubuka pintu itu malah menghasilkan bunyi yang membuat dia sadar kalau aku kabur.
"Berhenti! Sinta!" teriaknya. Aku sadar sesuatu sambil berlari, siapa itu Sinta?
.
.
.
.
bersambung~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar