Selasa, 29 Desember 2015

Milikmu bukan milikku

Dina mencoba untuk mencari uang disaat kedua orang tuanya pergi karena tugas ayahnya. Ia enggan ikut, dengan alasan kuliahnya yang tinggal 7 bulan lagi rampung. Ia diam saat memikirkan itu, saat semuanya sepi dia terpikir suatu hal. Mengapa tak mencoba menjadi pengasuh bayi saja? Barangkali ada yang minat dengan jasa itu? Selagi ada libur panjang sebelum sibuk dengan sidang. Ia mulai menyiarkan jasanya ke setiap penjuru ruang, mencari peluang baik. Siapa yang menyangka, usahanya memang diminati saat liburan panjang seperti ini. Dina akan pergi ke rumah seorang ibu dan juga suaminya, cukup jauh dari depan gang yang ia masuki tadi.
"Selamat siang, bu." Ia mengetuk pintu rumah yang sudah sedikit terkelupas kayunya. Warna cokelatnya agak pudar termakan zaman, sudahlah itu bukan alasan yang baik untuk menolak tawaran emas ini.
"Iya, selamat siang. Kau Dina Meswana, yang ada di ruang chat tadi?"
"Iya, benar bu. Kapan saya mulai bekerja?"
"Sekarang saja. Karena ibu dan bapak ada urusan ke kantor."
"Oh baik, hati-hati dijalan," ujar Dina, melambaikan tangan ke mobil orang tua itu yang lama kelamaan menjauh.
Dina menyadari bahwa rumah ini akan tak ramah dengan hatinya. Sepertinya pula, ia akan lebih sering meringkuk dipojokan jika seluruh pekerjaan usai sampai orang tuanya kembali.
Saat ia mengintip ke kamar, benar saja, anak si ibu tadi sedang tertidur manis. Baiklah, kubiarkan saja dan menonton FTV yang ada pada jam itu. Sudah hampir jam 6 sore, bayinya sama sekali tak menangis. Bulu kudukku mendadak merinding, saat kucoba memastikan bayi itu didalam kamar. Here it is! Seperti film horror, aku membayangkan sesuatu mengejutkanku saat pintu itu terbuka. Namun hening, tak ada sama sekali jejak apapun. Bayi si ibu menggeliat, sepertinya dia merasa dirinya lengket, kurang mandi, atau kurang makan alias lapar. Dia belum minum susu seharian ini kan? Kuracik segera susu yang kata si ibu ada di lemari makan. Kubersihkan botol minum dengan air hangat, dan setelah itu ya kubuat susu yang hangatnya pas. Aku tahu takarannya, maklum dulu aku juga sempat mengurus keponakanku. Sebentar, siapa yang menyalakan lagu tidur ini? Sepertinya suara ini berasal dari kamar bayi itu, akan kupastikan setelah mencabut kabel dispenser yang tadi kubutuhkan panasnya untuk menyeduh susu. Kudapati sebuah radio jadul, tapi dia sedang memutar kaset. Disitu aku mulai merasakan kejanggalan, aku merasa ini semua tak wajar. Sudah kurasakan sejak tadi siang, tapi daritadi kuanggap biasa saja.
"Apa-apaan rumah ini?" ujarku sedikit geram. Kuletakkan botol susu itu di dekat bayi untuk sementara. Sebelum kupastikan kaset tadi mati dan jendela kututup rapat. Takut bayi ini masuk angin karena hembusan dari luar cukup keras.
Saat kuberniat untuk membalikkan badan dan mendekati bayi. Kudapati semua berubah, semua terlihat usang. Tak seperti tadi yang kulihat, bercat putih dipadukan warna pink, dan sedikit tempelan dinding menambah kesan lucu dikamar bayi. Sekarang tidak, sudah kupastikan ini seperti rumah yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan.
Sudut kamar dipenuhi debu dan sedikit lumpur bercampur dengan dua bangkai tikus yang "mungkin" mati keracunan. Dinding menjadi kusam, warnanya sudah agak kecoklatan, namun tidak untuk tempelan dinding. Masih sama seperti yang tadi pagi kulihat. Aku melangkah mundur tak percaya, sampai akhirnya menabrak meja tadi. Botol diatas meja jatuh, dan saat itu pula tangisan bayi pecah. Aku terkejut, karena daritadi tak kudengar tangisannya. Kucoba untuk mendekati tempat tidur yang sekarang sudah seperti kasur reot yang habis dimakan rayap disudut kanannya. Tirai kelambunya juga sudah ada yang sobek, untuk ini aku tak tahu siapa yang merobeknya.
Benar saja, saat kulihat dengan jelas, kudapati bayi yang tengah menggeliat mengucek matanya. Aku sedikit lega, namun tetap tegang seperti awal saja. Kalau bisa setelah kuminumkan susu untuknya, aku akan segera keluar dari rumah ini.
Bayi itu kembali tidur, dan saat itu juga aku akan melarikan diri dari keadaan ini.
Namun, setelah kuletakkan botol susu dimeja bersama radio usang tadi, derap langkah seseorang terdengar. Ada di ruangan ini! Aku tak salah dengar! Suaranya seperti berlari dalam kamar, sekarang kudengar langkah anak kecil juga. Ikut berlari bersama langkah yang entah milik siapa tadi. Mereka berlari kearahku dan aku merasa terdorong ke dinding. Dan suara anak kecil mengatakan,
"Maukah kau ikut bermain?"
click clak! Sakelar lampu bermain, hanya sekali saja.
"Ayo main!" Anak kecil itu jelas didepan wajahku, menampakkan diri. Tak bisa kujelaskan bagaimana, yang pasti itu membuatku ketakutan luar biasa. Aku terduduk di pojokan, aku tak percaya ini terjadi. Saat ada kesempatan, kuputuskan untuk berlari sekencang mungkin keluar dari rumah.
"Aaarrrrghh!" Aku kesal dan berlari. Kubuka pintu rumah dan terjatuh tepat didepan pagar rumah. Seorang bapak dan pemuda menghampiriku.
"Ada apa dek?"
"Didalam pak, didalam ada setan."
"Jangan mengarang," ujar pemuda itu.
"Benar, pak! Kau harus percaya padaku,"
"Jangan mengatakan hal itu, sebaiknya kau pulang dan lupakan apa yang kau lihat." Bapak itu melihat serius padaku, lalu melempar pandangan ke arah rumah tadi.
"Biar kubantu bangun," ujar pemuda itu.
"Terima kasih," kataku yang masih tergopoh untuk bangun.
"Sebaiknya jangan kau ganggu anak ini, pulang sana. Pulang," ujar bapak tadi tenang, menatap lurus ke arah pintu rumah. Aku yang bingung, segera menanyakan ke pemuda tadi.
"Eh, memangnya bapak itu sedang apa?"
"Memisahkanmu dari anak dan ibu yang ada didalam rumah itu."
"Hahh!?" Aku yang terkejut hanya bisa pingsan. Dan aku tak menyadari sesuatu yang terjadi saat mataku terpejam. Namun, sesuatu membangunkanku, klakson mobil membuatku membuka mata.
"Sudah selesai, aku pulang."
"Tak bisa,"
"Kenapa?"
"Kembalikan anak kami yang kau bawa, dia milikku bukan milikmu" ujar bapak yang ada disitu.
Saat ku lihat ke belakangku, anak tadi mengejutkanku dengan senyumannya yang ngeri.

"Haaaaaaaa!!!!!!!!!!" Teriakanku memecah suasana tahlil malam itu. Pemuda yang tadi membantuku bangun, ada disisiku.
"Sudah bangun?"
"Ada apa ini?"
"Sedang tahlil,"
"Tahlil siapa?"
"Kau sudah menemukan bayi dan juga ibunya yang ternyata terkubur dalam kamar dirumah itu. Dan tadi, ibu dan bapak yang menjadi tersangka, sudah ditangkap polisi."
"Oh. Iya." Jawabku singkat, masih sedikit kurang percaya dengan keadaan.
Ternyata, orang yang membayarku untuk mengurus bayi itu hanyalah sepasang psikopat. Dan ingin menjebakku, dan dijadikan pelaku palsu untuk menutupi kasus dengan alibinya. Ibu dan bayi itu akhirnya bisa tenang. Tinggal anak kecil itu yang tak kuketahui asal usulnya.  Anak kecil? Dia siapa ya?

Shalat berjamaah terakhir bunda.

Seringkali aku berpikir sejenak, apa alasan ibu selalu mengeraskanku saat menyuruh sholat. Seperti biasa, aku akan menuruti semua perkataannya. Kutinggalkan seluruh gadget yang pada saat itu sedang ku pegang erat-erat, itu karena beberapa temanku menanyakan tentang pemeriksaan auditor atas laporan keuangan besok pagi. Aku belum menikah, karena memang usiaku masih muda, 22 tahun. Meski dibiarkan, diam-diam ibu selalu mulai membicarakan hal itu. Aku sibuk dengan pekerjaan kantor, inilah alasan yang sering kupakai untuk menutupi kejengkelanku atas pertanyaannya yang mengarah ke itu-itu saja setiap hari.
Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ibuku keluar dari kamarnya dan berjalan mengarah ke kamarku. Aku melihat samar-samar, karena sibuk dengan laptopku.
"Disa, sudah sholat isya?"
"Sebentar bu, Disa belum selesai buat laporang keuangan bulan ini."
"Sudah malam, nanti kamu ketiduran. Ayo sholat," ujar ibu terus-menerus, agak membuatku kesal sedikit.
"Sedikit lagi ini, bu. Sebentar yah, Disa matikan laptopnya," ujarku. Lalu kubangunkan badan ini dan berjalan lurus ke arah kamar mandi. Kutunaikan shalat isya, namun tetap menyalakan lagi laptopku, masih ada pendataan di neraca yang kurang tepat. Aku sesak akan hal ini, membuat aku hendak mati berdiri. Aku lelah, sejenak tertidur beberapa menit di atas laptopku, hari itu benar-benar membuatku tertekan. Ibu membangunkanku, dan menyuruhku pindah ke tempat tidur. Saat itu aku benar-benar enggan menolak melihat kasur, tapi aku ingat bagaimana wajah manajer jika besok belum semua selesai. Tapi kupastikan jam 3 nanti aku bangun dan meneruskannya.
Aku setiap hari berangkat pukul 7 pagi, dan pulang pukul 4 sore. Dan sudah terbayang apa yang akan selalu ada pada setiap notifikasi dan log panggilan ponselku?
Ya, ibu, dia akan selalu mengingatkanku untuk sholat wajib. Sesekali dia menyarankanku untuk sholat dhuha, namun kujawab dengan kata "iya","sdh bu." dan yang lainnya yang biasa orang lakukan saat kesal kepada seseorang. Tapi di waktu istirahat, saat kubaca lagi ruang obrolan aku dengan ibu, sempat terpikir betapa jahatnya aku menjawab seperti ini. Andai dia tahu, saat itu aku sedang sangat sibuk dikantor.
"Mah sudah masak?" tanyaku di whatsapp,
"Sudah, Disa. Kamu sudah makan siang?"
"Belum bu, aku masih harus mengerjakan tender baru."
"Jangan terlalu memforsir semuanya."
"Iya bu,"
"Sekalian ibu kasih tahu, jangan lupa sholat!" ketikan ibu cukup membuatku membayangkan bagaimana suara ibu kali ini dibenakku. Lupakan hari ini, aku akan bersikap biasa saat pulang nanti.
Tak lama bos memberitahu para karyawan bahwa ada cuti selama 5 hari. Dan selanjutnya, aku akan diam dirumah, sekalian aku akan temani ibu. Abangku pulang, dia memang sedang menjalani tugas di medan, kebetulan liburan menghampirinya pula.
Hari pertama libur, aku segera menjemput abang ke bandara, tentu ibu ikut. Wajah ibu sangat bahagia bertemu dengan abang yang sudah 5 bulan tak datang ke Jakarta. Kami akhirnya bersama-sama ziarah ke makam ayah, sekalian memberitahu bahwa abang datang disini. Heru Prakoso, seorang Lettu marinir yang baru menyelesaikan pendidikan 6 tahun silam.
"Bang, ibu minta kita jangan kemana-mana,"
"Jadi ke bandung gak jadi nih? Kita ajak ibu lah, Dis."
"Ibu gak mau, bang. Lain kali aja, ibu mau kita dirumah nemenin dia."
"Tapi besok abang ada temu reuni di SMA,"
"Sebaiknya, emang kita tetap dirumah bang. Dari pulang abis jemput abang, ibu keliatan pucat. Sudah 3 hari seperti itu."
"Yaudah, besok abang antar ibu ke dokter ya,"
"Iya bang." Kami pun menggagalkan seluruh rencana yang sudah tersusun sejak sebulan yang lalu. Biarkan kami berbakti sepenuhnya pada ibu diliburan ini. Dari arah dapur, kulihat ibu termenung di meja makan, sesekali tersenyum merespon abang yang tengah menceritakan tugasnya. Aku ikut ramai dan segera duduk diantara mereka. Sambil menyiuk nasi untuk ibu, aku merasa ada hal yang buatku sedih sekali. Apalagi saat memberikan piringnya, lalu kuabaikan perasaan itu dan kembali mengambilkan nasi untuk abangku. Doa dipimpin abang, kemudian kami makan dan mensyukuri rezeki hari ini. Seusai makan, ibu akhirnya membuka mulut dan mulai berbicara. Kala itu, aku merasa senang dan lebih lega.
"Kita harus sholat tepat pada waktunya. Jangan pernah melalaikan sholat sedikitpun," ujar ibu. "Berjamaah, itu kebiasaan ayahmu yang sangat ibu rindukan. Setiap kali pulang tugas, kami selalu sholat berjamaah dan mengajak heru yang berumur 4 tahun untuk sholat agar terbiasa nantinya." Sambung ibu. Aku tersenyum, dan abang menghampiri ibu, duduk disisinya, merangkulnya untuk menguatkan. Tiba-tiba ibu batuk keras, aku dan abang terkejut akan hal ini. Kugopoh ibu ke dalam kamar, dan membaringkannya di kasur. Abang menjaga ibu, dan aku pergi ke dapur untuk mengambil teh hangat. Sesampainya dikamar, ibu meminta abang untuk membantunya pergi ke mushola di belakang untuk sholat berjamaah.
"Tidak bu. Biar Disa dan aku yang sholat disini. Ibu berbaring saja," ujar abang membantu ibu duduk dikasur untuk minum teh hangat yang tadi kubawakan.
"Iya bu, biar Disa antar ibu ambil air wudhu. Ayo bang bantu," aku mengajak abang mengantar ibu ke kamar mandi. Lalu abang membaringkan ibu dikasur, aku yang bertugas memakaikan mukena ibu.
"Ushalli fardhu....." abang melafalkan niat sholat maghrib, dan aku merapihkan sedikit rambut ibu yang masih terlihat. Rakaat pertama sampai ketiga kami selesaikan dengan lancar, alhamdulillah. Aku sedang berdoa setelah sholat, dan abang masih keliatan berzikir. Ketika suasana sedang khusyuk, hening, suara batuk ibu cukup membuat kami terkejut. Abang menyadarkan ibu ke bahunya, dan aku segera membantu ibu untuk minum.
"Ibu, ayo bu. Ke dokter saja ya," ujarku sedih, karena keras kepala ibu yang membuatku menaikkan nada bicaraku. Aku tak mau sesuatu terjadi dengannya, kehilangan ayah cukup membuatku hilang pegangan hidup.
"Ibu, Heru antar ibu ke rumah sakit ya. Ayo, Dis, bantu abang."
"Jam berapa sekarang?"
"Jam setengah delapan, bu."
"Ayo kita sholat isya dulu,"
"Kita harus ke dokter bu, kali ini saja dengarkan aku bu,"
"Iya bu, sebaiknya ibu ke dokter sekarang," abang mendukungku, dan aku mencari baju hangat untuk ibu. Tapi ibu segera menolaknya, ia bicara sambil lemas terduduk.
"Ibu mau sholat isya berjamaah, nak." ujar ibu padaku. "Heru, pimpinlah sholat isya ini, ibu mau berjamaah. Bantu ibu duduk dikursi,"
"Ibu berbaring saja, kaya tadi bu."
"Ibu mau duduk, satu shaf dengan Disa." Akhirnya abangku membantu ibu bangun dan mendudukannya di kursi tepak disebelahku. Aku sedih melihat keadaan ibu saat ini, tapi aku tetap menahan tangisan. Aku bodohnya sedang membayangkan jika ibu... ah sudahlah.
Saat rakaat terakhir, ekor mataku melihat tubuh ibu mulai goyah. Tak terjadi apa-apa, aku bersyukur atas itu.
"Semoga ibu selalu bersama.." tubuh ibu menimpaku, jatuh tepat dipangkuanku sekarang.
"Ya Allah, bu. Ibu, kenapa ini,"
"Abang panggil ambulan dulu, Dis." Abang segera mengambil handphonenya, namun tangan ibu meraih tangan abang.
"Kau harus jadi imam yang baik, tetaplah amanah. Jaga Disa ya. Heru, anak kebanggaan ibu."
"Ibu.." ujar abang.
"Disa, jangan lupakan sholat. Jadilah wanita yang tegar yah, ibu pulang dulu." ujar ibu padaku, sambil mengusap pipiku. Lalu ia pejamkan matanya, tinggallah ia tertidur manis di pangkuanku. Tangisanku pecah kala itu, abang pun segera memeluk ibu. Ia terus menciumi tangan ibu, aku terus mencium kening ibu. Aku tak pernah menduga, sholat isya berjamaah ini sholat berjamaah terakhir ibu...
.
.
Aku sudah tinggal bersama tanteku, itu keputusan abang. Untuk sementara tinggal selagi abang menyelesaikan tugas di Medan. Tinggal dua bulan lagi, selanjutnya aku akan tinggal bersama dia. Dekat dengan makam ibu, di Magelang, dimana ayah dimakamkan disana. Aku sekarang merasa lega, tetap berdekatan dengan ayah juga ibuku... tenanglah kalian, aku akan selalu membanggakan kalian.

Sabtu, 05 Desember 2015

Karunia Cinta Suci

Hujan di akhir Desember ini menghantarkanku pada kerinduan berkepanjangan. Tak bisa kuwakilkan dengan apapun, cukup airmata yang bergulir di pipi, senyuman hangat, dan wajahnya yang kurindukan. Dia, karunia terindah yang Tuhan berikan untukku dan anugerah disepanjang jalan hidupku.
Aku, Saras Andari Triatmojo, lebih sering dipanggil Saras oleh teman-teman, karena lebih mudah saja, tak ada yang lain. Aku besar dikalangan kelas atas, aku anak seorang Letnan Kolonel Heru S. Triatmojo dan seorang ibu tangguh bernama Hani Nafisa yang keturunan Jawa tulen. Aku tentu mengalami bagaimana di didik disiplin dirumah oleh papa, dan mama yang akan selalu membelaku. Tapi ujung-ujungnya, aku akan segera merasa bersalah atas semuanya. Usiaku sudah menginjak 22 tahun, sudah lulus dengan predikat sarjana ekonomi terbaik ke-5 di salah satu Universitas di Surabaya. Aku lebih senang berkumpul dengan semua temanku sampai tengah malam, dan baru pulang pagi harinya. Bukannya mencari kerja, aku malah terus menghamburkan uang saku yang masih terus dipasok oleh papa. Kadang kalau sudah papa yang memarahiku, mama lebih memilih menggantikanku dan malah bertengkar dengan papa. Aku, akan menjadi penengah diantara mereka dan pertengkaran itu diakhiri dengan papa yang lebih dulu masuk ke kamar. Mama juga meninggalkanku untuk menyusul ayah dengan kalimat penutup,
"Mama doakan kamu cepat dapat jodoh, biar kamu tahu rasanya sulit mengurus anak seperti kamu, Saras."
Aku diam terduduk sendiri di ruang tamu, tapi tak kesepian. Ada ponsel yang kupegang untuk tetap berkomunikasi dengan teman-temanku yang mengantarku pulang tadi. Mereka anak orang kaya, dan aku merasa pantas bergaul dengan mereka karena pangkat papaku. Suatu hari, aku mengulang kesalahan yang sama dan papa segera menyisir keberadaanku dengan menyuruh bawahannya. Salah seorang pria datang dari arah pintu masuk bar. Aku dan ketiga temanku masih dalam keadaan tertawa, bersenang-senang, dan hal apapun yang kami inginkan. Dia sekarang berdiri disampingku, kebetulan aku duduk disofa paling pinggir.
"Malam, izin bertanya. Anda mba Saras?"
"Iya, kenapa?" sahutku yang masih duduk dan membiarkannya berdiri.
"Yahaha dipanggil mba, haha!" Tawa teman-temanku pecah, dan aku segera bangun, menarik lelaki entah siapa namanya itu menjauh dari mereka.
"Saya dapat perintah Letkol Heru untuk membawa pulang mba,"
"Saras aja sih manggilnya. Yaudah tunggu disini, gue ambil tas dulu." Segera kutinggalkan mereka yang masih asyik dengan minumannya  sedangkan aku pergi bersama lelaki yang kutahu harum parfumnya merk Bvlgari. Enak, tapi aku tak suka pria seperti dia, bajunya bebas tapi tetap kaku. Segera kuputuskan untuk naik mobil dan meluncur ke rumah. Dan dia menurunkanku didepan rumah, sudah ada papa yang berdiri disana. "Masuk, Saras." ujarnya dengan nada dan wajah yang datar. Aku hanya tertunduk lemas masuk ke dalam rumah, disana sudah ada mama yang mulai mewawancaraiku.
"Terima kasih atas bantuannya, Satria."
"Siap, komandan."
"Segera kembali ke barak,"
"Siap,"
Suara derap langkah lelaki tadi terdengar menjauh dari rumah. Papa masuk ke dalam rumah, sejenak menatapku, lalu berjalan mondar-mandir, dan mengusap rambutnya sambil menghela napas kesal.
"Lama-lama papa pusing liat kamu begini terus, Saras. Mulai besok, uang dan semua fasilitas yang ada papa tahan. Ma, ambil semuanya," perintah tegas papa membuat mama segera bergerak mengambil tasku. Disana sudah ada kunci mobil yang memang selalu kubawa kemana-mana, ada smartphone, dan dompet berisi kartu kredit juga debit milik pribadi.
"Ma, jangan semuanya dong," bujukku pada mama,
"Itu keputusan papa, mama bisa apa? Udah nurut aja, Saras. Hanya sebulan kok, gak lama."
"Kamu dirumah bantu mama, jangan kerjaannya hambur-hambur uang,"
Aku mengangguk saja, dan melihat mama menjauh bersama semua barang berhargaku yang dibawanya masuk ke kamarnya. Baru kali ini, aku menangis tersedu diruang tamu. Aku pergi dari kehidupanku yang biasanya, aku merasa sunyi tanpa semuanya. Dan entah apa yang terjadi dalam hidupku dalam sebulan ke depan. Bagaimana hidupku tanpa semua yang berharga, dan apa kata teman-temanku tentang hal ini? Aku enggan membayangkannya saat ini, segera kulangkahkan kaki ke kamar dan segera tidur. Berharap, ketika bangun pagi, aku sudah melewati masa sebulan itu.
Dihari ke sebelas, papa menganggapku sudah membaik dan segera ia melepaskan satu persatu barang berhargaku. Saat ini masih smartphone dan uang tunai sebesar seratus ribu saja, tak lebih. Dan ini akan menjadi pelarianku untuk sebelas hari keterlambatanku untuk hang-out dengan semua temanku. Tapi sialnya, lelaki yang kuketahui bernama Satria itu hendak turun jaga. Dan ia memanggilku yang sedang sibuk berlagak tak kenal dengannya.
"Saras,"
"I-iya, ada apa ya mas?" sapaku,
"Mau kemana malam begini?"
"Mau beli pewangi di depan,"
"Oh, minimarket di depan sana?"
"Iya, hehe. Saya duluan, mas."
"Oh iya silakan."
Akhirnya, dia melepasku juga dan aku akan dengan bebas datang ke mobil Andre yang menunggu di parkiran minimarket itu. Saat aku hendak masuk ke dalam mobil Andre, ternyata sudah ada Satria yang berdiri di belakangku. Dengan seragam yang masih ia kenakan, dia meminta waktu untuk bicara padaku.
"Apa lagi sih?"
"Bapak menelepon saya untuk menjemput mba di minimarket,"
"Hah?" Aku bingung, kenapa ayah masih mencurigai tindak-tandukku diluar rumah.
"Pasti lu yang bilang ke papa kan kalo gue mau main sama temen-temen?"
"Ngga, mba. Saya memang dihubungi sama bapak tadi pas mba jalan ke luar gerbang."
"Halah, basi!" ujarku enggan bicara lagi padanya, kami berdua akhirnya berjalan kaki. Sudah kubilang, tak usah menemani sampai rumah, tapi dia selalu bilang ini perintah bapak. Aku kesal, kupikir dia hanya penjilat yang ingin dekat dengan papa saja, mencari pamor. Tak lama papa menyapaku dengan gelengan kepala dan decak kagum ayah terhadap tingkahku yang sudah keterlaluan.
"Duduk," ujar papa padaku,
"Satria, kau duduk juga. Silakan," sambungnya. Dia pun duduk di kursi satu lagi, dan letaknya tak jauh dari posisiku duduk.
"Sudah papa putuskan, kau dan Satria akan papa nikahkan! Papa akan urus semuanya, dan Satria, segera urus lampiran yang diperlukan. Ajukan besok ke kantor, paling lama sebulan kemudian, sidang akan dilakukan."
"Tapi pah, kenapa gini sih?"
"Kamu susah diatur sama papa selama ini,"
"Tapi pah,"
"Masuk ke kamarmu, ada mama disana,"
"Ish,"
Mulai saat itu, aku benci dia, segala sesuatu yang berhubungan dengan Satria, aku enggan peduli! Aku segera memeluk mama yang duduk dikasurku, dia mengusap rambutku. Dia menasihatiku untuk menuruti saja apa yang papa putuskan. Karena itu adalah pilihan yang terbaik untukku, dan mama, orang yang kupikir memihakku, malah menyetujui pernikahan itu. Jadilah aku yang menangis semakin keras, dibantu dengan hujan yang turun deras secara mendadak.
"Tidur, nak. Pikirkan semuanya, timbang baik dan buruknya. Semua akan baik-baik saja. Percaya,"
"Iya mah," jawabku lemah. Aku bingung harus berkata apa, sebulan setelah hari esok adalah sidang pengajuan pernikahan. Tuhan, bantu aku untuk ikhlas menjadi seorang istri prajurit. Aku tak mau sebenarnya mendapat calon suami yang seorang prajurit TNI.
Rasa panikku membuat waktu bergulir dengan cepat. Mama membawakanku baju stelan berwarna hijau muda yang sering disebut baju persit. Aku sebenarnya malas bertemu dengan lelaki yang bernama Satria itu. Tapi walau bagaimanapun, perintah papa adalah hal yang wajib ditaati. Mama mengantarku dengan motornya menuju ke kantor untuk melakukan sidang. Disana sudah ada Satria yang lengkap dengan Pakaian Dinas Harian (PDH) dan baret merah yang ia kenakan saat itu. Segera kuturun dari motor dan berjalan sedikit cepat ke arah Satria.

"Sini," kubisikkan dia,
"Ada apa?" sahutnya menghampiriku yang berbicara pelan.
"Ada perjanjian yang mesti kita buat. Kau dan aku hanya sebatas teman, dan kau hanya bertugas untuk mempercayaiku saja. Oke?"
"Baiklah. Terserah kamu, Sar."
"Baiklah, terima kasih Satria." Aku sekarang siap untuk sidang, aku mulai percaya padanya karena setiap senyumannya mengirimkan kode padaku untuk percaya pada setiap ucapannya. Aku menyukainya, aku memang suka dengan lelaki yang bisa dipegang setiap janjinya.
Urusan pernikahan kantor, sudah selesai dengan mudah. Dan saat keluar ruangan, entah apa yang kupikirkan. Saat Satria mendekatiku, jantungku mulai berdetak tak menentu. Aku memeluknya, dan kulihat dia menengok ke semua arah, entah apa yang ia pikirkan. Tak lama, satu kecupan dikeningku menghasilkan deheman dari mama yang baru datang entah dari mana.

"Ayo, jadwalmu masih banyak."
"Aku pergi dulu, mas."
"Iya, hati-hati," ujarnya, kujawab ia dengan senyuman hangat yang kusediakan dan kukeluarkan dengan maksud apa, aku tak tahu.
"Ibu pinjam Sarasnya dulu ya,"
"Oh, siap bu."
Dia masih berdiri disamping motor, aku masih melihatnya jelas sampai saat itu. Namun saat motor mulai beranjak, jarakku padanya mulai terbentang. Rasa enggan terputus pandangan pun sudah mulai terasa, aku belum bisa menyebut ini cinta. Mungkin rindu, untuk masalah ini akan kuhilangkan dengan sering bertemu dengannya. Tapi kata mama, aku dan dia mesti dipingit, biar "pangling" katanya. Biasa, mama dan papa ku masih menganut paham orang dulu yang hampir jarang ditemukan paham seperti ini di jaman sekarang.
Ibu dan aku segera pergi untuk melakukan kegiatan selanjutnya, tentu saja pengrekrutan anggota persit baru. Aku merasa bahagia saat ini, aku bingung dengan perasaanku sekarang. Semua berlalu dengan indah, dan bergulir dengan lancar sampai acara resepsi dan pedang pora usai. Aku dan Satria menempati sebuah rumah tinggal sementara, memang tak begitu besar tapi cukup besar untuk kami yang masih tinggal berdua. Sudah seminggu kami menempatinya, dengan rasa nyaman dan aman.
Malam harinya, mama dan papa mampir ke rumah baruku yang masih butuh sentuhan kreatif dari tangan kami. Kami berbicara akrab, tertawa sesekali karena Satria yang humoris. Mama dan aku menyediakan makanan ringan untuk di santap di ruang tamu.
"Kamu bahagia dengannya?"
"Iya, mah."
"Kamu sudah..."
"Aku belum siap untuk itu, mah. Aku bawa teh dulu ke depan ya, mah."
"Oh iya. Ayo bareng mama aja,"
"Iya,"
Aku tahu akan kemana pembicaraan mama menjurus, aku enggan membahas itu dulu. Aku dan Satria tak akan saling menyentuh satu sama lain. Paling tidak, hal seperti peluk, cium kening, dan mencium tangannya setiap dia bekerja, sudah kulakukan sejak kita resmi menjadi suami istri. Dia memegang teguh perjanjian yang kubuat waktu itu. Mama dan papa memutuskan untuk pulang, dan meninggalkan senyuman pada kami yang berdiri didepan pagar.
"Minum mas tehnya, aku udah buatin loh,"
"Iya, diminum ya tehnya," ujarnya sambil melempar senyuman padaku. Aku duduk dikursi, dan menatapnya yang memakan singkong goreng yang ku sediakan tadinya untuk tamu terhormat pertama yang singgah dirumah baru kami. Kami memutuskan untuk sholat isya berjamaah dan selanjutnya tidur karena waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB.
"Besok kamu ada kegiatan apa?" tanya Satria santai berbaring disebelahku. Tentu dengan kaus putih yang ia padukan dengan bawahan piyama berwarna biru.
"Mama bilang, kegiatan besok itu makan siang bersama ibu-ibu persit dan yang lainnya," jawabku sibuk merapikan meja yang berada di sisi tempat tidur. Disitu banyak novel yang sengaja kuletakkan disitu untuk membuatku mengantuk setiap malamnya. Aku menyusulnya berbaring disana, di sisi kanan Satria.
"Kau jangan macam-macam ya," ujarnya mematikan lampu meja di sisi kiri tempat tidur.
"Yang ada kau yang kuingatkan, jangan macam-macam." Kulempar bantal ke wajahnya dan mengambil novel untuk membantuku tidur.
"Mata kamu rusak kalau baca kaya gitu,"
"Biar aku ngantuk mas,"
"Yaudah, aku tidur duluan ya,"
"Iya," kusenyumi dia yang sekarang membelakangiku. Kantukku malam ini dua kali lipat, karena tadi siangnya kami mesti memindahkan posisi lemari sesuai apa yang kuinstruksikan, agar terlihat lebih luas kelihatannya.
Subuh sekitar jam 4 pagi, aku sudah menjauh dari novelku dan selimut sudah membalut ditubuhku. Satria sudah tak ada di sampingku, kudengar ada suara dari dapur. Dia ingin membuat makan untuk sahur.
"Kenapa gak bilang, mas." ujarku sambil mengikat rambutku dan berdiri disampingnya.
"Tidurmu nyenyak tadi. Aku gak enak bangunin kamu," katanya. Dia langsung menghentikan masaknya dan mengajakku ke kamar lagi. Dia menidurkanku di tempat tidur dan menyelimutiku seperti tadi.
"Kamu tidur ya," ujarnya mengecup keningku,
"Iya,"
Dia segera meninggalkanku dan aku hanya bingung dengan sikapnya. Aku bosan, tak bisa tidur, kuambil handphone milik Satria dan kucoba cari tahu tentangnya. Aku kan sekarang istrinya, bebas untukku mencari tahu tentang suamiku bukan?
Kulihat artikel yang baru ia baca, dan sedikit mengejutkanku. Disitu tertulis "8 cara melawan hawa nafsu syahwat." Dan poin ke 7 adalah dengan menunaikan puasa sunnah. Aku mengunci layar handphone-nya, karena kedengarannya dia melangkah ke kamar.
Sudah sebulan juga aku menjadi istrinya, kuputuskan meminta ijin untuk pergi berkumpul dengan teman-temanku. Aku teringat dengan Rio, aku menyukainya dari dulu. Tapi sayang, Satria yang diizinkan oleh orangtua untuk menjadi suamiku. Di cafe, saat Satria sedang ke toilet, Rio datang dan dia membawa dua wanita dalam pelukannya. Aku tak percaya menatap tingkahnya yang seperti itu.
"Eh ada istri komandan," sapa Rio tak ramah, terdengar seperti mengejekku.
"Apa maksudnya?"
"Iya, kan lu udah dapet penjagaan ketat dari apa tuh kesatuan baret merah?" tanya Rio pada kedua wanita yang masih dipeluknya.
"Kopassus, mas." ujar salah satu diantaranya.
"Ya itu dia. Ibu persit, mau minum apa, biar saya traktir. Atau mau aku saja yang melayani?"
"Kurang ajar!" Kutampar dia dengan kencang, kuluapkan emosiku pada tanganku, yang akhirnya berbicara. Aku berlari keluar cafe, meninggalkan Rio yang setengah mabuk dan mengatakan seperti itu. Seseorang mendekatiku, dia Satria yang datang mengenakan jaket kulit hitam dan membantuku berdiri.
"Bawa aku pulang,"
"Kau sudah sele.."
"Kita pulang, mas." Aku berjalan menuju mobil dan disusul dengan Satria yang sudah kuberitahu untuk tidak menghajar Rio yang berada didalam cafe. Sesampainya dirumah, Satria memelukku ketika tangisanku pecah dikamar. Aku mengata-ngatai Rio sampah, dan Satria terus memelukku dan membiarkan kaus berwarna merah dengan plat abu-abu itu basah terkena air mataku.

"Aku akan menuruti apa yang kamu mau, aku lepas perjanjian itu. Kupikir Rio akan lebih baik darimu, nyatanya tidak!" Kubentak Satria yang tak salah apa-apa, aku hanya meluapkan emosi bukan memarahinya.
"Sabar, maafkan aku ya yang memutuskan untuk menerima saran ayahmu,"
"Bukan salahmu!" Tangisanku makin keras dipelukannya.
"Saras? Ini Saras yang sering kabur itu bukan? Yang sering marah kalau kujemput karena disuruh ayahmu?" Ucapannya membuatku menghentikan tangisan sejenak.
"Memangnya dia sering menangis gini? Loh, kukira dia wanita kuat," sambungnya. Aku tersenyum melihatnya, dan dia menyeka air mataku.
"Aku ngantuk sekarang,"
"Tidur yuk, cuci muka dulu sana."
"Harus sendiri?"
"Ayo aku temani," dia menemaniku ke kamar mandi dan menjemputku saat akan ke kamar. Malam itu terlalu indah untukku, tak bisa kujelaskan dari mana atau yang mana. Sepertinya kalimat pun tertunduk tak mampu mewakilkan kebahagiaan malam itu, malamku dengannya. Satriaku.
Setahun terakhir, ku lalui dengan tenteram sebagai pengantin baru yang sesungguhnya. Apa dayaku yang harus sabar dengan keadaan, Satria mendapat surat perintah penugasan. Aku sudah seharusnya memahami dari awal, bahwa aku siap menerimanya dipindahtugaskan kemana saja.

"Sulawesi? Itu jauh, mas," kataku sambil menyeduh susu dan menyiapkan roti untuknya.
"Iya, aku dapat surat perintah itu tadi. Aku sudah bicara dengan ayahmu, menitipkanmu padanya,"
"Diminum susunya, mas. Oh iya, untuk berapa lama?"
"Enam bulan, dek. Maaf,"
"Untuk apa?"
"Aku minta maaf saja. Maafkan aku," dia memelukku erat. Entah apa yang akan dia sampaikan, tapi kali ini aku merasakan kehangatannya.
"Kumaafkan,"
"Aku berangkat dulu ya," kucium tangannya. Dan aku berjalan ke depan kantor bersama ibu persit lainnya untuk melepas para suaminya bertugas. Perasaanku mendadak tak enak, dadaku sesak, dan kutahan dengan senyuman saat truk yang membawanya mulai berjalan, dan menjauh dari pandangan.

Enam bulan bukan waktu yang sebentar, apalagi aku baru menikah dengannya setahun lebih. Apalagi aku sedang mengandung buah cinta kami yang berusia 7 bulan. Aku tak merasakan kerinduan, namun kesedihan terus datang. Tapi mama selalu bilang, mungkin itu bawaan bayi atau apapun itu. Dan itu sudah kubiarkan mengusik hidupku selama tiga bulan. Baiklah, tinggal tiga bulan lagi, dan dia akan datang memelukku dan bermesraan seperti setahun terakhir yang indah di hidupku. Seusai sholat ashar, kuputuskan untuk membuat makanan seadanya untuk makan. Kebetulan mama tadi pagi menemaniku berbelanja di pasar.  Saat didapur, kudengar pintu rumah terketuk, entah siapa yang ada dibaliknya. Dengan langkah yang berat, kubuka pintu. Serda Sapta ditemani oleh Bu Dwi, utusan persit, mengajakku untuk berbicara di teras.

"Dengan berat hati, saya sampaikan..." ujar Serda Sapta dan mulai memberitahuku tentang kabar Mas Satria disana. Dia tertembak di dalam hutan oleh orang tak dikenal. Namun sekarang sedang ditangani oleh tim medis.
"Ya Allah," Aku segera jatuh tersungkur, entah apa penyebabnya tapi tubuhku langsung lemah dan perutku mulai kontraksi. Bu Dwi membantuku bangun, dan menyuruh Serda Sapta untuk memanggil bantuan pada orang yang ada disitu. Aku tak peduli keadaan sekitarku saat itu, yang pasti saat kudengar kabarnya tadi, hatiku remuk seketika. Aku tak tahu keadaannya yang sebenarnya, tapi kupastikan ia mendengar bisikan hatiku.
"Bangun, Mas. Bantu aku bertahan disaat seperti ini. Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri! Aku belum bisa hidup tanpamu, mas." Kuteriakan suara hatiku, agar dia segera merasakan apa yang kusampaikan.
"Kau alasanku kuat sampai saat ini. Kumohon, jangan pergi lebih dulu," Aku sudah berbaring di rumah sakit, dan aku tak merasakan apapun saat itu. Aku hanya merasa, dunia hening, pandanganku samar, kuucapkan namanya sebelum kupejamkan mata dan hilang kesadaran.
Dua hari kemudian, aku baru sadar dari pingsanku. Disana sudah ada mama dan papa yang menemaniku di ruang ICU. Kulihat, pasien baru masuk ke dalam ruangan ini, dan disebelahku.
"Bayimu ada disini," kata mama menunjuk kotak mungil yang berada di dekat meja perawat. Aku tersenyum, kubangunkan tubuhku untuk memastikan bayiku ditempatkan ditempat yang nyaman.
"Satria, mah." Kutangisi dia yang kucinta, mama memelukku dengan nyaman. Papa juga kulihat menyeka air matanya yang tak sengaja mengalir. Perawat membawa bayiku dan Satria, dan meletakkannya pada dekapanku.
"Satria, anak kita." Aku menahan tangisan dan mengubahnya menjadi senyuman hangat untuk anakku tercinta.
"Itu dia," kata papa dan kutolehkan ke arah yang papa tunjukkan. Dia Satria! Segera ku bangkit dari pembaringan, dan menghampiri Satria yang masih tertidur manis dengan oksigen yang menempel. Kupanggil namanya, dan ku letakkan Rafa disebelahnya. Kuambil dan kupelukkan tangan Satria ke tubuh mungil Rafa, kubiarkan dia merasakan menjadi ayah meski keadaannya seperti ini. Aku menahan tangisan, dan membisikkan azan untuk Rafa dengan tangan Satria yang kuletakkan diatas kepalanya.
"Drrt deerrt," terdengar suara aneh dari alat yang menempel di tubuhnya. Segera kugendong Rafa, dan menjauh darinya. Lagi. Kulihat tim medis membantunya untuk tenang, tubuhnya kejang, dan tak tega melihat keadaannya seperti itu.
Aku memilih untuk tidak mengetahui kabar tentangnya dulu untuk saat ini.
.
.
.
Desember, bulan yang ku catat sebagai bulan pelepasanku atasnya. Rafa, hadiah terindah yang ia berikan untukku sebelum pergi semakin menjauh dariku. Sejak pendarahannya malam itu, kupikir dia akan kuat seperti biasa yang ia lakukan dilapangan. Makamnya di sirami bunga mawar segar, dan kusenyumi pusaranya dengan nisan berwarna putih.
Aku mengikhlaskannya pergi, dan kubiarkan dia bahagia dengan pahlawan lainnya dengan gugur dalam medan tugas.
Setahun sudah kepergiannya, aku sibuk mengurusi Rafa. Untuk masalah pengganti Satria, itu menjadi urusanku nanti. Aku belum berpikir untuk mengganti pemeran utama dari dramaku.
Terima kasih sudah menjaga kesucian cinta yang kita ikrarkan dulu. Terima kasih sudah menjadi karunia terindah yang kumiliki. Terima kasih sudah membawaku untuk melangkah menjadi wanita yang lebih berguna di bumi ini. Terima kasih juga sudah menjadi prajurit terbaik untuk negara, untuk keluarga, untuk Rafa juga untukku. Terima kasih banyak, Satria.
Dari aku, yang tak berhenti tuk selalu merindukanmu, Saras.

Kamis, 03 Desember 2015

Aku dan Kenangan Senja

Tiga tahun yang lalu, aku berdiri di sini dalam keadaan menggenggam tangan seseorang. Seseorang yang pergi lebih dulu dari sisiku ke sisi orang lain. Perjuanganku seakan dianggapnya sebagai sebuah perjuangan yang tak ada artinya. Padahal jujur saja, aku mengusahakannya dengan sepenuh hati ini mengharapkannya. Tapi biarlah, memang itu keinginannya, apa harus aku memaksakan kehendakku? Sedangkan keadaan telah menasihatiku untuk lekas pergi dan jangan berharap pada waktu untuk meminta bersamanya.

Aku, Mahesta Rahardi. Aku biasa di panggil Esta, dan di panggil abang dengan ketiga kakak perempuanku. Mereka sudah menikah semua dan sekarang posisiku adalah seorang om tunggal itu karena aku adalah anak lelaki satu – satunya. Sudah setahun yang lalu aku menjadi seorang mahasiswa di sini. Dan sudah cukup pula aku mengenal beberapa teman yang menemaniku saat ini. Mereka menghiburku dan membantu melupakan seseorang itu, seseorang yang kuharapkan tepat empat tahun yang lalu.

---

Siang itu, terik matahari sedang menyoroti bumi. Keringat terus membasahi baju olahraga ku sampai sempat terpikir apa matahari sedang menyorotiku saja? Waktu pertandingan semakin dekat, dan tim futsalku semakin sibuk pula melatih fisik. Walau hanya membawa nama kelas, rasa ingin tampil membela tim sendiri membara di dadaku. Break! Itu kata – kata pelatih yang kutunggu semenjak tadi. Botol minum dengan label yang masih menempel itu seakan melambaikan kesegarannya padaku. Sama dengan wanita yang daritadi menunjukkan pesonanya dihadapanku. Rambutnya terurai lepas dan mengikuti setiap kibasan tangannya untuk sesekali merapikan rambut. Aku baru melihatnya, wajahnya asing, juga senyumnya.

“Pir, dia anak kelas berapa?” tanyaku pada Firman, sahabat karibku.

“Dia? Dia yang mana? Rima maksudnya? Dia anak kelas kita,” jawabnya,

“Oh ya? Kenapa aku baru lihat dia? Wajahnya asing,”

“Memang. Dia kan baru saja masuk, dia baru selesai ikut persiapan lomba KIR tahun ini di Surabaya,”

“Ooooo...hebat ya,” jawabku tersenyum dan menyisakan senyuman itu pada pemandangan jauh disana. Ia mendekat dan tersenyum padaku. BODOH! Seharusnya jangan mengarahkan pandangan kesana lagi. Tapi tenang, aku berhasil menangkap senyumnya yang mencoba menggodaku untuk tetap menatapnya. Untung aku anak yang kuat, tapi tak janji akan tetap bertahan jika ada senyuman indah itu menari lagi dihadapanku.

Dikelas, dia tampak lucu dan menggemaskan kala ia tertawa ramah dengan Firman dibangku belakang. Aku menatap sesekali, ku telaah lagi dari sudut pandang lain dan sejenak lupakan senyuman indahnya. Gayanya tak terlalu feminim tapi masih terlihat kewanitaan, sepatu cats putih dengan kaus kaki berwarna abu membungkus kakinya yang terlihat tak terlalu kecil juga tak terlalu besar. Rok abu – abu yang panjangnya ideal yaitu dibawah lutut membuatku semakin kagum padanya. Dan satu lagi, ia akrab dengan anak – anak lelaki di sekolah, dan itu adalah celah yang akan kucoba untuk mendekatinya. Sore hari pun tiba, bel pulang sekolah juga nampaknya sudah seperti alunan merdu nan indah yang dirasakan oleh seorang siswa, itu aku. Firman menghampiriku selepas piket, sengaja ku tunggu karena Rima juga belum pulang. Nyatanya ia tak bersama Rima, wajahku kebingungan merasa waktuku terbuang percuma menunggu orang yang sudah pulang.

“Pir, Rima kemana? Mestinya kan dia bareng pulangnya sama kamu?” tanyaku sambil mencoba melihat ke arah kelas, siapa tahu dia masih ada di sana.

“Dia udah pulang bareng Juple, Endah, Rian sama siapa lagi ya? Lupa,” jawabnya,

“Emangnya kemana mereka?” tanyaku kembali sambil berjalan ke arah parkiran motor,

“Mereka mau nonton konser,” jawab Firman. Apa? Rima, orang yang aku suka itu doyan nonton konser. Tidak ada yang harus disalahkan, ini hanya sekedar respon terkejut saat mendengar sesuatu yang asing kulakukan.

“Oooh, futsal jadi kan?”

“Iya malem. Nanti aku jemput, sampai nanti.” Firman jalan lebih dulu sedangkan aku masih bingung dengan apa yang ku ketahui tentang Rima tadi. Aku pun segera pulang ke rumah, dan kejutan! Ayah pulang dari tugasnya di Padang, dan membawa beberapa oleh – oleh untukku dan tentunya sebagian untuk keempat keponakanku yang masih tampak lucu dan imut ini.

Kebetulan kedua kakakku juga mampir ke rumah, jadi aku tak usah repot mengantarnya. Ayah selalu begitu, ia selalu menjadikanku supir pribadinya sekaligus pengantar paket. Ya sudah, biarlah, ini tugasku dan aku suka ia masih perhatian padaku. Ibu sudah menyiapkan masakan spesial untuk menyambut kedatangan ayah, anak – anaknya dan juga cucu-cucunya. Kami pun menghabiskan makan sore bersama, suasana hangat terasa sampai ke semua sudut ruangan di rumah. Selepas makan sore, aku memutuskan untuk menemani kedua keponakanku. Kebetulan adik mereka sedang tidur pulas setelah meminum susu. Hanya sekedar bermain mainan mereka yang sengaja di bawa dari rumah mereka untuk mengisi waktu. Jadilah ruangan ini layaknya kapal pecah, berhamburan tak tahu arah. Sejam kemudian, Firman datang menjemputku untuk pergi futsal, tapi ia malah mendapat hadiah ceramah dari ayahku. Jadilah malam itu, kami tetap di rumah dan tak ada kegiatan futsal sesuai yang tadi siang sudah kami rencanakan. Lupakan tentang malamnya kami yang gagal keluar main, dan sekarang tentang caraku keesokkan harinya.

“Esta! Buruan sih, lama banget. Kalau bangun bisa gak pake kesiangan?” ujar Firman kesal di halaman rumah, aku masih terduduk sambil tertawa.

“Maaf maaf, kan aku baru selesai sarapan. Lagian bukannya ikut sarapan,” jawabku sambil mengikat tali sepatuku, tapi Firman masih berusaha mengacuhkanku. “Udah!” aku segera pergi ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, suasana masih terasa biasa sampai kedatangannya mengubah suasana pagiku. Rima datang membawa sejuta rasa yang sampai saat ini membuatku bingung menebaknya. Firman menyapa Rima dibangkunya, dan aku hanya melihat dari kejauhan. Siang harinya, kuputuskan untuk bergabung dengan Rima dan yang lainnya. Tampaknya dia biasa saja begitu mulai bicara denganku. Firman hanya tersenyum melihat tingkah bodohku yang terus mencoba mendekatinya dengan obrolan yang kurang penting. Tapi menurut ku inilah usahaku untuk mendapatkannya. Sepertinya dia masih biasa saja, aku mendadak kesal dan memilih beranjak dari sana. Firman mengikutiku ke kantin, dia merangkulku sambil berbicara beberapa hal.

"Kamu ngapain?" sahut Firman,

"Deketin dia. Emangnya kenapa?" tanyaku kembali, “lu suka juga sama dia?” sambungku sambil menyedot teh yang sudah ku pesankan,

"Bukan itu maksudku, tapi Esta.."

"Ssshht, udah jangan berisik. Mending makan aja baksonya," ujarku memotong pembicaraan Firman.
 
Aku malas mendengar ucapan Firman selanjutnya, takutnya itu membuatku mundur untuk mendekati Rima. Akhirnya kami berdua pun kembali ke kelas, di sana sudah ada Rima dan seorang pria dari kelas lain. Duduk di kursi Firman dan berbicara intim berdua saja, semoga tak lebih dari itu seperti apa yang kupikirkan.

"Firman, kamu duduk di sana sebentar ya. Aku mau bicara sebentar sama dia," ujar Rima dari kursinya sambil menunjuk ke arah lelaki itu.

Kesal? Jelas. Aku punya perasaan, tapi apa harus aku memberitahukan perasaanku dengan menghajar lelaki itu? Hah, terlalu jauh berpikiran seperti itu. Saat guru mulai masuk ke dalam kelas, lelaki itu keluar dan senyuman Rima padanya begitu spesial. Tak seperti senyuman yang ia berikan padaku, senyuman yang biasa ia bagikan pada semua teman - temannya. Sepulang sekolah, aku memberanikan diri untuk mengajak Rima pulang bersama.

"Rima, pulang bareng yuk!" sahutku pada Rima yang masih membereskan bukunya ke dalam tas. Ia menolehkan padangannya padaku,

"Oh, Esta. Iya, tapi aku mau ketemu sama orang," ujarnya,

"Yaudah sekalian aku antar. Ayo,"

"Iya," kami berdua pun pergi ke parkiran. Ia tak tahu perjuanganku mendapat pinjaman motor dari Firman. Kali ini aku memang terbantu dengan adanya pinjaman motor itu. Untuk pertama kalinya aku mengajaknya pulang bersama, dia memegang jaketku saja.

‘Hanya jaket? Dia pikir aku supir ojegnya apa?' pikirku, tapi mungkin ini tahap awal jadi aku harus banyak - banyak bersabar sedikit saja. Dari hari itu, aku dan dia sering pulang bersama. Dan aku mulai mendapatkan izin untuk setiap hari mengendarai motor ke sekolah. Aku semakin dekat dengannya, dan sepertinya ini akan mempermudahku untuk menyampaikan perasaanku terhadapnya. Rima, masih jadi wanita satu - satunya yang membuatku gila dan sering bertindak bodoh. Sampai akhirnya, waktu yang tepat pun datang. Aku mencoba membuat suasana seakan romantis dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan.

"Rima, kamu suka diam di taman?"

"Iya, udaranya segar. Aku sering di sini kalau di rumah sedang sendiri,"

"Emang ngapain aja?"

"Sekedar bermain dengan anak kecil yang tinggal bersebelahan denganku. Atau belajar juga lebih asyik disini," ujarnya tersenyum padaku. Wajahnya kenapa cantik begini?

"Oh, kamu tahu? Kenapa aku ada di sini, menemanimu?" tanyaku,

"Aku tahu. Memangnya kenapa?"

"Oh. Jadi kamu sudah tahu. Aku menyukaimu sejak kamu pulang dari Surabaya. Sejak sering lalu lalang di depan mataku. Sering berbicara dan saling balas senyum," ujarku memberanikan diri dan menyembunyikan rasa maluku. Wajahnya tak terlihat karena terhalang rambutnya, tapi ia tak mengangkat wajahnya sama sekali.

"Rim?" kucoba memanggilnya, dan akhirnya ia mengangkat wajahnya.

"Esta, bisa kita jalan - jalan. Jangan di sini," ujar Rima, permintaannya kukabulkan. Kami beranjak ke sebuah tempat makan yang biasa kami datangi. Sekarang aku menunggu jawabannya, aku memesan makanan untuk kami berdua. Ia mengajakku bicara dengan asyik, kami tertawa dan sejenak melupakan perkataanku tadi di taman. Selepas itu dia mengajakku pindah ke belakang tempat makan itu. Di sana memang ada pemandangan.

"Hahaha, Esta?" Rima memasang wajah serius kali ini dan baru kusadari barusan,

"Iya? Ada apa?"

"Jangan pergi," ujarnya, menggenggam tanganku. Aku berdiri tepat di sisinya,

"Ke-kenapa?"

"Sebenernya, aku suka sama kamu. Tapi aku saat ini gak bisa sama kamu, makasih juga buat semua perhatian kamu selama ini. Aku bingung ganti semua perhatian kamu," ujarnya, jelas mataku hanya bisa membulat.

Jantung berdegup kencang, seakan tak terima, tubuhku ingin beranjak darinya. Tapi ia semakin memeluk tanganku dan kini ia menyandarkan kepalanya. Aku hanya bisa diam dan memilih tak banyak bicara, sampai aku mengantarnya pulang ke rumah.

Waktu sedang mencoba menasihatiku untuk tidak melakukan apapun lagi untuknya. Perasaanku mulai pudar saat aku mendengarnya ingin pergi ke sebuah konser, dan kebetulan ia memang suka dengan itu. Suatu waktu, aku memberanikan diri untuk berbicara pelan padanya. Sedikit menasihati untuk tidak terlalu sering menghadiri konser musik. Pandanganku sudah diubahnya menjadi sekedar teman biasa, tak lebih.

"Rim, mau tanya dong," ujarku,

"Hmm?" sahutnya sambil merapikan bakso yang ia sudah masukkan ke dalam mulutnya,

"Kata Juple nanti ada konser di Senayan, kamu ikut?" ujarku memancingnya,

"Iya, aku udah beli tiketnya. Ada band yang aku suka, Esta. Kamu mau ikut juga?" tanyanya, nampaknya dia sangat antusias saat membicarakan itu,

"Sebaiknya sih, menurutku ya. Jangan terlalu sering pergi nonton gitu, apalagi kan kamu perempuan. Gak baik lah,"

"Oooh, masalah itu. Aku bisa jaga diri kok. Tenang aja Esta," jawabnya dengan santai, sedangkan aku serius menyampaikannya.

Berharap ia akan berubah, nyatanya dia tetap dengan kebiasaannya seperti itu. Aku tak bisa membuat peraturan dihidupnya, karena aku bukan siapa - siapanya. Dia bukan kriteriaku, aku sadar mungkin aku orang yang pemilih dan terlalu protektif dengan orang yang ku suka.

Kedua, ada juga hal yang membuatku benar - benar mengurungkan niatku untuk menyukainya. Sejak saat itu aku sudah sedikit menutup diri darinya dan berhenti mendekatinya lagi. Di tambah dengan mendengar berita tentang dia yang telah menjadi pacar lelaki yang kebetulan sering kulihat berbicara dengannya saat istirahat dan saat kelas tak ada guru. Aku tahu jelas berita itu dari Firman kemarin sore,

"Esta! Es! Esta, woy! Udah dengar berita ini?" teriak Firman dari belakang,

"Oy? Ada apaan emangnya?" jawabku menoleh padanya,

"Rengga, dia jadian sama Rima. Kemarin aku dengar waktu futsal, kamu gak ikut. Rima datang ke tempat futsal kita," ujar Firman.

Jujur saja sedikit kaget, tapi tak bisa bohongi diri, perasaanku sudah biasa saja sekarang. Perasaanku terlanjur datar dengannya, dan untuk menyukainya lagi itu hal yang sulit. Sudahlah, mulai sekarang aku memutuskan untuk tidak memikirkan hal percintaan selama belajar sampai akhirnya ujian akhir pun datang. Libur panjang menyambutku dan seluruh teman seangkatanku. Sudah 3 tahun pula aku melupakan hal bodoh yang pernah menyukainya.

Akhir - akhir ini Rima kembali menghubungiku, dia mengajakku bertemu. Tapi jelas aku tak bisa bertemu dia lagi, mungkin sudah malas.

"Esta, apa kita bisa ketemu?"

"Buat apa? Jadwal kuliahku mulai padat,"

"Ya kan kita udah satu tahun juga gak ketemu, apa kamu gak kangen?"

"Maaf, bukan aku gak kangen. Kamu temen aku, ya jelas aku kangen lah. Jangankan ke kamu, ke Firman, Ayu, Shinta juga Rengga. Aku juga kangen," kupertegas nama Rengga agar ia paham mengapa aku seperti ini sekarang. Tapi sudah dipastikan, tak ada sedikitpun perasaanku yang tertinggal di sana.

"Bukan itu Esta, apa kita gak bisa mengulang waktu? Mengingat masa kita dekat, waktu kita sering pulang bareng dan lain - lain,"

"Maaf Rima, aku gak bisa. Aku masih ada tugas lainnya, kalau memang hanya itu yang kamu mau tanyakan. Aku tutup dulu,"

"Yaudah iya. Semangat kuliahnya ya Esta," Rima tampaknya ingin membuatku mengingat semua tindakanku yang pernah aku lakukan untuknya. Apapun yang sudah kulakukan dulu padanya. Tapi hatiku terlampau mengeras untuk setiap permohonannya. Tak ada lagi yang mesti di ingat, walaupun hanya sedikit yang kurindukan dari cerita lalu. Hanya rindu, tak lebih dari itu. Sudah cukup suram cerita lalu dengan masalah percintaan. Tapi bukan berarti aku sudah tak ingin mencintai seseorang lagi dihidupku.

---

Jam ditanganku menunjukkan pukul enam sore, sudah cukup lama untukku berdiri di sini mengenang masa lalu. Yang menurutku tak begitu kuinginkan untuk terulang lagi. Pemandangan sore yang pernah kuingat dulu, hamburan cahaya senjanya mulai membaur pada tubuhku. Anginnya membuatku ingin memasukkan tanganku ke dalam saku jaket yang kukenakan. Tapi sebuah tangan memeluk tanganku dengan erat,

"Kau sedang apa?" tanyanya dengan senyumannya yang manis,

"Aku sedang menikmati semilir angin di sini."

"Oh begitu," ujarnya menggandeng tanganku dan menyandarkan kepalanya pada bahuku.

Aku sudah tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa, bukan remaja sekolah yang masih senang bermain dengan cinta. Satu hal lagi, aku sudah memiliki seseorang sekarang. Dia jauh lebih menginginkanku dan sudah cukup jelas aku juga menginginkannya. Namanya Dian, Mardiana Rahayu. Dia teman kuliah ku, dan dia wanita yang ku cintai saat ini, semoga aku bisa selalu membuatnya menjadi wanita yang paling beruntung. Sampai kapanpun.

"Kau sedang memikirkan apa sih?" tanya Dian,

"Ah tidak." Aku pun memberikan senyuman yang manis padanya, setidaknya inilah yang ku punya agar ia yakin denganku. Dia membalas senyumanku dan aku senang melihat senyumnya, dia lebih manis dari yang kubayangkan saat menatapnya dalam keadaan dekat seperti ini. Kenapa aku baru mengenalnya ya? Ah, sudahlah, sekarang ku syukuri saja apa yang kudapat. Jujur saja, aku benar - benar suka melihatnya.

"Kau sudah selesai?" tanyaku,

"Iya sudah. Ayo kita pulang," ujarnya memeluk tanganku dan mengajakku untuk pulang bersama.

Akhirnya aku dan Dian memilih pulang sekarang, sebelum malam tiba. Aku tak enak dengan kedua orang tuanya jika harus pulang sampai rumah tepat malam hari. Aku kembali terbawa hanyut suasana indah di bawah langit senja. Inilah sebuah cerita, aku dan kenangan senja. ~Selesai