Kamis, 03 Desember 2015

Aku dan Kenangan Senja

Tiga tahun yang lalu, aku berdiri di sini dalam keadaan menggenggam tangan seseorang. Seseorang yang pergi lebih dulu dari sisiku ke sisi orang lain. Perjuanganku seakan dianggapnya sebagai sebuah perjuangan yang tak ada artinya. Padahal jujur saja, aku mengusahakannya dengan sepenuh hati ini mengharapkannya. Tapi biarlah, memang itu keinginannya, apa harus aku memaksakan kehendakku? Sedangkan keadaan telah menasihatiku untuk lekas pergi dan jangan berharap pada waktu untuk meminta bersamanya.

Aku, Mahesta Rahardi. Aku biasa di panggil Esta, dan di panggil abang dengan ketiga kakak perempuanku. Mereka sudah menikah semua dan sekarang posisiku adalah seorang om tunggal itu karena aku adalah anak lelaki satu – satunya. Sudah setahun yang lalu aku menjadi seorang mahasiswa di sini. Dan sudah cukup pula aku mengenal beberapa teman yang menemaniku saat ini. Mereka menghiburku dan membantu melupakan seseorang itu, seseorang yang kuharapkan tepat empat tahun yang lalu.

---

Siang itu, terik matahari sedang menyoroti bumi. Keringat terus membasahi baju olahraga ku sampai sempat terpikir apa matahari sedang menyorotiku saja? Waktu pertandingan semakin dekat, dan tim futsalku semakin sibuk pula melatih fisik. Walau hanya membawa nama kelas, rasa ingin tampil membela tim sendiri membara di dadaku. Break! Itu kata – kata pelatih yang kutunggu semenjak tadi. Botol minum dengan label yang masih menempel itu seakan melambaikan kesegarannya padaku. Sama dengan wanita yang daritadi menunjukkan pesonanya dihadapanku. Rambutnya terurai lepas dan mengikuti setiap kibasan tangannya untuk sesekali merapikan rambut. Aku baru melihatnya, wajahnya asing, juga senyumnya.

“Pir, dia anak kelas berapa?” tanyaku pada Firman, sahabat karibku.

“Dia? Dia yang mana? Rima maksudnya? Dia anak kelas kita,” jawabnya,

“Oh ya? Kenapa aku baru lihat dia? Wajahnya asing,”

“Memang. Dia kan baru saja masuk, dia baru selesai ikut persiapan lomba KIR tahun ini di Surabaya,”

“Ooooo...hebat ya,” jawabku tersenyum dan menyisakan senyuman itu pada pemandangan jauh disana. Ia mendekat dan tersenyum padaku. BODOH! Seharusnya jangan mengarahkan pandangan kesana lagi. Tapi tenang, aku berhasil menangkap senyumnya yang mencoba menggodaku untuk tetap menatapnya. Untung aku anak yang kuat, tapi tak janji akan tetap bertahan jika ada senyuman indah itu menari lagi dihadapanku.

Dikelas, dia tampak lucu dan menggemaskan kala ia tertawa ramah dengan Firman dibangku belakang. Aku menatap sesekali, ku telaah lagi dari sudut pandang lain dan sejenak lupakan senyuman indahnya. Gayanya tak terlalu feminim tapi masih terlihat kewanitaan, sepatu cats putih dengan kaus kaki berwarna abu membungkus kakinya yang terlihat tak terlalu kecil juga tak terlalu besar. Rok abu – abu yang panjangnya ideal yaitu dibawah lutut membuatku semakin kagum padanya. Dan satu lagi, ia akrab dengan anak – anak lelaki di sekolah, dan itu adalah celah yang akan kucoba untuk mendekatinya. Sore hari pun tiba, bel pulang sekolah juga nampaknya sudah seperti alunan merdu nan indah yang dirasakan oleh seorang siswa, itu aku. Firman menghampiriku selepas piket, sengaja ku tunggu karena Rima juga belum pulang. Nyatanya ia tak bersama Rima, wajahku kebingungan merasa waktuku terbuang percuma menunggu orang yang sudah pulang.

“Pir, Rima kemana? Mestinya kan dia bareng pulangnya sama kamu?” tanyaku sambil mencoba melihat ke arah kelas, siapa tahu dia masih ada di sana.

“Dia udah pulang bareng Juple, Endah, Rian sama siapa lagi ya? Lupa,” jawabnya,

“Emangnya kemana mereka?” tanyaku kembali sambil berjalan ke arah parkiran motor,

“Mereka mau nonton konser,” jawab Firman. Apa? Rima, orang yang aku suka itu doyan nonton konser. Tidak ada yang harus disalahkan, ini hanya sekedar respon terkejut saat mendengar sesuatu yang asing kulakukan.

“Oooh, futsal jadi kan?”

“Iya malem. Nanti aku jemput, sampai nanti.” Firman jalan lebih dulu sedangkan aku masih bingung dengan apa yang ku ketahui tentang Rima tadi. Aku pun segera pulang ke rumah, dan kejutan! Ayah pulang dari tugasnya di Padang, dan membawa beberapa oleh – oleh untukku dan tentunya sebagian untuk keempat keponakanku yang masih tampak lucu dan imut ini.

Kebetulan kedua kakakku juga mampir ke rumah, jadi aku tak usah repot mengantarnya. Ayah selalu begitu, ia selalu menjadikanku supir pribadinya sekaligus pengantar paket. Ya sudah, biarlah, ini tugasku dan aku suka ia masih perhatian padaku. Ibu sudah menyiapkan masakan spesial untuk menyambut kedatangan ayah, anak – anaknya dan juga cucu-cucunya. Kami pun menghabiskan makan sore bersama, suasana hangat terasa sampai ke semua sudut ruangan di rumah. Selepas makan sore, aku memutuskan untuk menemani kedua keponakanku. Kebetulan adik mereka sedang tidur pulas setelah meminum susu. Hanya sekedar bermain mainan mereka yang sengaja di bawa dari rumah mereka untuk mengisi waktu. Jadilah ruangan ini layaknya kapal pecah, berhamburan tak tahu arah. Sejam kemudian, Firman datang menjemputku untuk pergi futsal, tapi ia malah mendapat hadiah ceramah dari ayahku. Jadilah malam itu, kami tetap di rumah dan tak ada kegiatan futsal sesuai yang tadi siang sudah kami rencanakan. Lupakan tentang malamnya kami yang gagal keluar main, dan sekarang tentang caraku keesokkan harinya.

“Esta! Buruan sih, lama banget. Kalau bangun bisa gak pake kesiangan?” ujar Firman kesal di halaman rumah, aku masih terduduk sambil tertawa.

“Maaf maaf, kan aku baru selesai sarapan. Lagian bukannya ikut sarapan,” jawabku sambil mengikat tali sepatuku, tapi Firman masih berusaha mengacuhkanku. “Udah!” aku segera pergi ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, suasana masih terasa biasa sampai kedatangannya mengubah suasana pagiku. Rima datang membawa sejuta rasa yang sampai saat ini membuatku bingung menebaknya. Firman menyapa Rima dibangkunya, dan aku hanya melihat dari kejauhan. Siang harinya, kuputuskan untuk bergabung dengan Rima dan yang lainnya. Tampaknya dia biasa saja begitu mulai bicara denganku. Firman hanya tersenyum melihat tingkah bodohku yang terus mencoba mendekatinya dengan obrolan yang kurang penting. Tapi menurut ku inilah usahaku untuk mendapatkannya. Sepertinya dia masih biasa saja, aku mendadak kesal dan memilih beranjak dari sana. Firman mengikutiku ke kantin, dia merangkulku sambil berbicara beberapa hal.

"Kamu ngapain?" sahut Firman,

"Deketin dia. Emangnya kenapa?" tanyaku kembali, “lu suka juga sama dia?” sambungku sambil menyedot teh yang sudah ku pesankan,

"Bukan itu maksudku, tapi Esta.."

"Ssshht, udah jangan berisik. Mending makan aja baksonya," ujarku memotong pembicaraan Firman.
 
Aku malas mendengar ucapan Firman selanjutnya, takutnya itu membuatku mundur untuk mendekati Rima. Akhirnya kami berdua pun kembali ke kelas, di sana sudah ada Rima dan seorang pria dari kelas lain. Duduk di kursi Firman dan berbicara intim berdua saja, semoga tak lebih dari itu seperti apa yang kupikirkan.

"Firman, kamu duduk di sana sebentar ya. Aku mau bicara sebentar sama dia," ujar Rima dari kursinya sambil menunjuk ke arah lelaki itu.

Kesal? Jelas. Aku punya perasaan, tapi apa harus aku memberitahukan perasaanku dengan menghajar lelaki itu? Hah, terlalu jauh berpikiran seperti itu. Saat guru mulai masuk ke dalam kelas, lelaki itu keluar dan senyuman Rima padanya begitu spesial. Tak seperti senyuman yang ia berikan padaku, senyuman yang biasa ia bagikan pada semua teman - temannya. Sepulang sekolah, aku memberanikan diri untuk mengajak Rima pulang bersama.

"Rima, pulang bareng yuk!" sahutku pada Rima yang masih membereskan bukunya ke dalam tas. Ia menolehkan padangannya padaku,

"Oh, Esta. Iya, tapi aku mau ketemu sama orang," ujarnya,

"Yaudah sekalian aku antar. Ayo,"

"Iya," kami berdua pun pergi ke parkiran. Ia tak tahu perjuanganku mendapat pinjaman motor dari Firman. Kali ini aku memang terbantu dengan adanya pinjaman motor itu. Untuk pertama kalinya aku mengajaknya pulang bersama, dia memegang jaketku saja.

‘Hanya jaket? Dia pikir aku supir ojegnya apa?' pikirku, tapi mungkin ini tahap awal jadi aku harus banyak - banyak bersabar sedikit saja. Dari hari itu, aku dan dia sering pulang bersama. Dan aku mulai mendapatkan izin untuk setiap hari mengendarai motor ke sekolah. Aku semakin dekat dengannya, dan sepertinya ini akan mempermudahku untuk menyampaikan perasaanku terhadapnya. Rima, masih jadi wanita satu - satunya yang membuatku gila dan sering bertindak bodoh. Sampai akhirnya, waktu yang tepat pun datang. Aku mencoba membuat suasana seakan romantis dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan.

"Rima, kamu suka diam di taman?"

"Iya, udaranya segar. Aku sering di sini kalau di rumah sedang sendiri,"

"Emang ngapain aja?"

"Sekedar bermain dengan anak kecil yang tinggal bersebelahan denganku. Atau belajar juga lebih asyik disini," ujarnya tersenyum padaku. Wajahnya kenapa cantik begini?

"Oh, kamu tahu? Kenapa aku ada di sini, menemanimu?" tanyaku,

"Aku tahu. Memangnya kenapa?"

"Oh. Jadi kamu sudah tahu. Aku menyukaimu sejak kamu pulang dari Surabaya. Sejak sering lalu lalang di depan mataku. Sering berbicara dan saling balas senyum," ujarku memberanikan diri dan menyembunyikan rasa maluku. Wajahnya tak terlihat karena terhalang rambutnya, tapi ia tak mengangkat wajahnya sama sekali.

"Rim?" kucoba memanggilnya, dan akhirnya ia mengangkat wajahnya.

"Esta, bisa kita jalan - jalan. Jangan di sini," ujar Rima, permintaannya kukabulkan. Kami beranjak ke sebuah tempat makan yang biasa kami datangi. Sekarang aku menunggu jawabannya, aku memesan makanan untuk kami berdua. Ia mengajakku bicara dengan asyik, kami tertawa dan sejenak melupakan perkataanku tadi di taman. Selepas itu dia mengajakku pindah ke belakang tempat makan itu. Di sana memang ada pemandangan.

"Hahaha, Esta?" Rima memasang wajah serius kali ini dan baru kusadari barusan,

"Iya? Ada apa?"

"Jangan pergi," ujarnya, menggenggam tanganku. Aku berdiri tepat di sisinya,

"Ke-kenapa?"

"Sebenernya, aku suka sama kamu. Tapi aku saat ini gak bisa sama kamu, makasih juga buat semua perhatian kamu selama ini. Aku bingung ganti semua perhatian kamu," ujarnya, jelas mataku hanya bisa membulat.

Jantung berdegup kencang, seakan tak terima, tubuhku ingin beranjak darinya. Tapi ia semakin memeluk tanganku dan kini ia menyandarkan kepalanya. Aku hanya bisa diam dan memilih tak banyak bicara, sampai aku mengantarnya pulang ke rumah.

Waktu sedang mencoba menasihatiku untuk tidak melakukan apapun lagi untuknya. Perasaanku mulai pudar saat aku mendengarnya ingin pergi ke sebuah konser, dan kebetulan ia memang suka dengan itu. Suatu waktu, aku memberanikan diri untuk berbicara pelan padanya. Sedikit menasihati untuk tidak terlalu sering menghadiri konser musik. Pandanganku sudah diubahnya menjadi sekedar teman biasa, tak lebih.

"Rim, mau tanya dong," ujarku,

"Hmm?" sahutnya sambil merapikan bakso yang ia sudah masukkan ke dalam mulutnya,

"Kata Juple nanti ada konser di Senayan, kamu ikut?" ujarku memancingnya,

"Iya, aku udah beli tiketnya. Ada band yang aku suka, Esta. Kamu mau ikut juga?" tanyanya, nampaknya dia sangat antusias saat membicarakan itu,

"Sebaiknya sih, menurutku ya. Jangan terlalu sering pergi nonton gitu, apalagi kan kamu perempuan. Gak baik lah,"

"Oooh, masalah itu. Aku bisa jaga diri kok. Tenang aja Esta," jawabnya dengan santai, sedangkan aku serius menyampaikannya.

Berharap ia akan berubah, nyatanya dia tetap dengan kebiasaannya seperti itu. Aku tak bisa membuat peraturan dihidupnya, karena aku bukan siapa - siapanya. Dia bukan kriteriaku, aku sadar mungkin aku orang yang pemilih dan terlalu protektif dengan orang yang ku suka.

Kedua, ada juga hal yang membuatku benar - benar mengurungkan niatku untuk menyukainya. Sejak saat itu aku sudah sedikit menutup diri darinya dan berhenti mendekatinya lagi. Di tambah dengan mendengar berita tentang dia yang telah menjadi pacar lelaki yang kebetulan sering kulihat berbicara dengannya saat istirahat dan saat kelas tak ada guru. Aku tahu jelas berita itu dari Firman kemarin sore,

"Esta! Es! Esta, woy! Udah dengar berita ini?" teriak Firman dari belakang,

"Oy? Ada apaan emangnya?" jawabku menoleh padanya,

"Rengga, dia jadian sama Rima. Kemarin aku dengar waktu futsal, kamu gak ikut. Rima datang ke tempat futsal kita," ujar Firman.

Jujur saja sedikit kaget, tapi tak bisa bohongi diri, perasaanku sudah biasa saja sekarang. Perasaanku terlanjur datar dengannya, dan untuk menyukainya lagi itu hal yang sulit. Sudahlah, mulai sekarang aku memutuskan untuk tidak memikirkan hal percintaan selama belajar sampai akhirnya ujian akhir pun datang. Libur panjang menyambutku dan seluruh teman seangkatanku. Sudah 3 tahun pula aku melupakan hal bodoh yang pernah menyukainya.

Akhir - akhir ini Rima kembali menghubungiku, dia mengajakku bertemu. Tapi jelas aku tak bisa bertemu dia lagi, mungkin sudah malas.

"Esta, apa kita bisa ketemu?"

"Buat apa? Jadwal kuliahku mulai padat,"

"Ya kan kita udah satu tahun juga gak ketemu, apa kamu gak kangen?"

"Maaf, bukan aku gak kangen. Kamu temen aku, ya jelas aku kangen lah. Jangankan ke kamu, ke Firman, Ayu, Shinta juga Rengga. Aku juga kangen," kupertegas nama Rengga agar ia paham mengapa aku seperti ini sekarang. Tapi sudah dipastikan, tak ada sedikitpun perasaanku yang tertinggal di sana.

"Bukan itu Esta, apa kita gak bisa mengulang waktu? Mengingat masa kita dekat, waktu kita sering pulang bareng dan lain - lain,"

"Maaf Rima, aku gak bisa. Aku masih ada tugas lainnya, kalau memang hanya itu yang kamu mau tanyakan. Aku tutup dulu,"

"Yaudah iya. Semangat kuliahnya ya Esta," Rima tampaknya ingin membuatku mengingat semua tindakanku yang pernah aku lakukan untuknya. Apapun yang sudah kulakukan dulu padanya. Tapi hatiku terlampau mengeras untuk setiap permohonannya. Tak ada lagi yang mesti di ingat, walaupun hanya sedikit yang kurindukan dari cerita lalu. Hanya rindu, tak lebih dari itu. Sudah cukup suram cerita lalu dengan masalah percintaan. Tapi bukan berarti aku sudah tak ingin mencintai seseorang lagi dihidupku.

---

Jam ditanganku menunjukkan pukul enam sore, sudah cukup lama untukku berdiri di sini mengenang masa lalu. Yang menurutku tak begitu kuinginkan untuk terulang lagi. Pemandangan sore yang pernah kuingat dulu, hamburan cahaya senjanya mulai membaur pada tubuhku. Anginnya membuatku ingin memasukkan tanganku ke dalam saku jaket yang kukenakan. Tapi sebuah tangan memeluk tanganku dengan erat,

"Kau sedang apa?" tanyanya dengan senyumannya yang manis,

"Aku sedang menikmati semilir angin di sini."

"Oh begitu," ujarnya menggandeng tanganku dan menyandarkan kepalanya pada bahuku.

Aku sudah tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa, bukan remaja sekolah yang masih senang bermain dengan cinta. Satu hal lagi, aku sudah memiliki seseorang sekarang. Dia jauh lebih menginginkanku dan sudah cukup jelas aku juga menginginkannya. Namanya Dian, Mardiana Rahayu. Dia teman kuliah ku, dan dia wanita yang ku cintai saat ini, semoga aku bisa selalu membuatnya menjadi wanita yang paling beruntung. Sampai kapanpun.

"Kau sedang memikirkan apa sih?" tanya Dian,

"Ah tidak." Aku pun memberikan senyuman yang manis padanya, setidaknya inilah yang ku punya agar ia yakin denganku. Dia membalas senyumanku dan aku senang melihat senyumnya, dia lebih manis dari yang kubayangkan saat menatapnya dalam keadaan dekat seperti ini. Kenapa aku baru mengenalnya ya? Ah, sudahlah, sekarang ku syukuri saja apa yang kudapat. Jujur saja, aku benar - benar suka melihatnya.

"Kau sudah selesai?" tanyaku,

"Iya sudah. Ayo kita pulang," ujarnya memeluk tanganku dan mengajakku untuk pulang bersama.

Akhirnya aku dan Dian memilih pulang sekarang, sebelum malam tiba. Aku tak enak dengan kedua orang tuanya jika harus pulang sampai rumah tepat malam hari. Aku kembali terbawa hanyut suasana indah di bawah langit senja. Inilah sebuah cerita, aku dan kenangan senja. ~Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar