Selasa, 29 Desember 2015

Shalat berjamaah terakhir bunda.

Seringkali aku berpikir sejenak, apa alasan ibu selalu mengeraskanku saat menyuruh sholat. Seperti biasa, aku akan menuruti semua perkataannya. Kutinggalkan seluruh gadget yang pada saat itu sedang ku pegang erat-erat, itu karena beberapa temanku menanyakan tentang pemeriksaan auditor atas laporan keuangan besok pagi. Aku belum menikah, karena memang usiaku masih muda, 22 tahun. Meski dibiarkan, diam-diam ibu selalu mulai membicarakan hal itu. Aku sibuk dengan pekerjaan kantor, inilah alasan yang sering kupakai untuk menutupi kejengkelanku atas pertanyaannya yang mengarah ke itu-itu saja setiap hari.
Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ibuku keluar dari kamarnya dan berjalan mengarah ke kamarku. Aku melihat samar-samar, karena sibuk dengan laptopku.
"Disa, sudah sholat isya?"
"Sebentar bu, Disa belum selesai buat laporang keuangan bulan ini."
"Sudah malam, nanti kamu ketiduran. Ayo sholat," ujar ibu terus-menerus, agak membuatku kesal sedikit.
"Sedikit lagi ini, bu. Sebentar yah, Disa matikan laptopnya," ujarku. Lalu kubangunkan badan ini dan berjalan lurus ke arah kamar mandi. Kutunaikan shalat isya, namun tetap menyalakan lagi laptopku, masih ada pendataan di neraca yang kurang tepat. Aku sesak akan hal ini, membuat aku hendak mati berdiri. Aku lelah, sejenak tertidur beberapa menit di atas laptopku, hari itu benar-benar membuatku tertekan. Ibu membangunkanku, dan menyuruhku pindah ke tempat tidur. Saat itu aku benar-benar enggan menolak melihat kasur, tapi aku ingat bagaimana wajah manajer jika besok belum semua selesai. Tapi kupastikan jam 3 nanti aku bangun dan meneruskannya.
Aku setiap hari berangkat pukul 7 pagi, dan pulang pukul 4 sore. Dan sudah terbayang apa yang akan selalu ada pada setiap notifikasi dan log panggilan ponselku?
Ya, ibu, dia akan selalu mengingatkanku untuk sholat wajib. Sesekali dia menyarankanku untuk sholat dhuha, namun kujawab dengan kata "iya","sdh bu." dan yang lainnya yang biasa orang lakukan saat kesal kepada seseorang. Tapi di waktu istirahat, saat kubaca lagi ruang obrolan aku dengan ibu, sempat terpikir betapa jahatnya aku menjawab seperti ini. Andai dia tahu, saat itu aku sedang sangat sibuk dikantor.
"Mah sudah masak?" tanyaku di whatsapp,
"Sudah, Disa. Kamu sudah makan siang?"
"Belum bu, aku masih harus mengerjakan tender baru."
"Jangan terlalu memforsir semuanya."
"Iya bu,"
"Sekalian ibu kasih tahu, jangan lupa sholat!" ketikan ibu cukup membuatku membayangkan bagaimana suara ibu kali ini dibenakku. Lupakan hari ini, aku akan bersikap biasa saat pulang nanti.
Tak lama bos memberitahu para karyawan bahwa ada cuti selama 5 hari. Dan selanjutnya, aku akan diam dirumah, sekalian aku akan temani ibu. Abangku pulang, dia memang sedang menjalani tugas di medan, kebetulan liburan menghampirinya pula.
Hari pertama libur, aku segera menjemput abang ke bandara, tentu ibu ikut. Wajah ibu sangat bahagia bertemu dengan abang yang sudah 5 bulan tak datang ke Jakarta. Kami akhirnya bersama-sama ziarah ke makam ayah, sekalian memberitahu bahwa abang datang disini. Heru Prakoso, seorang Lettu marinir yang baru menyelesaikan pendidikan 6 tahun silam.
"Bang, ibu minta kita jangan kemana-mana,"
"Jadi ke bandung gak jadi nih? Kita ajak ibu lah, Dis."
"Ibu gak mau, bang. Lain kali aja, ibu mau kita dirumah nemenin dia."
"Tapi besok abang ada temu reuni di SMA,"
"Sebaiknya, emang kita tetap dirumah bang. Dari pulang abis jemput abang, ibu keliatan pucat. Sudah 3 hari seperti itu."
"Yaudah, besok abang antar ibu ke dokter ya,"
"Iya bang." Kami pun menggagalkan seluruh rencana yang sudah tersusun sejak sebulan yang lalu. Biarkan kami berbakti sepenuhnya pada ibu diliburan ini. Dari arah dapur, kulihat ibu termenung di meja makan, sesekali tersenyum merespon abang yang tengah menceritakan tugasnya. Aku ikut ramai dan segera duduk diantara mereka. Sambil menyiuk nasi untuk ibu, aku merasa ada hal yang buatku sedih sekali. Apalagi saat memberikan piringnya, lalu kuabaikan perasaan itu dan kembali mengambilkan nasi untuk abangku. Doa dipimpin abang, kemudian kami makan dan mensyukuri rezeki hari ini. Seusai makan, ibu akhirnya membuka mulut dan mulai berbicara. Kala itu, aku merasa senang dan lebih lega.
"Kita harus sholat tepat pada waktunya. Jangan pernah melalaikan sholat sedikitpun," ujar ibu. "Berjamaah, itu kebiasaan ayahmu yang sangat ibu rindukan. Setiap kali pulang tugas, kami selalu sholat berjamaah dan mengajak heru yang berumur 4 tahun untuk sholat agar terbiasa nantinya." Sambung ibu. Aku tersenyum, dan abang menghampiri ibu, duduk disisinya, merangkulnya untuk menguatkan. Tiba-tiba ibu batuk keras, aku dan abang terkejut akan hal ini. Kugopoh ibu ke dalam kamar, dan membaringkannya di kasur. Abang menjaga ibu, dan aku pergi ke dapur untuk mengambil teh hangat. Sesampainya dikamar, ibu meminta abang untuk membantunya pergi ke mushola di belakang untuk sholat berjamaah.
"Tidak bu. Biar Disa dan aku yang sholat disini. Ibu berbaring saja," ujar abang membantu ibu duduk dikasur untuk minum teh hangat yang tadi kubawakan.
"Iya bu, biar Disa antar ibu ambil air wudhu. Ayo bang bantu," aku mengajak abang mengantar ibu ke kamar mandi. Lalu abang membaringkan ibu dikasur, aku yang bertugas memakaikan mukena ibu.
"Ushalli fardhu....." abang melafalkan niat sholat maghrib, dan aku merapihkan sedikit rambut ibu yang masih terlihat. Rakaat pertama sampai ketiga kami selesaikan dengan lancar, alhamdulillah. Aku sedang berdoa setelah sholat, dan abang masih keliatan berzikir. Ketika suasana sedang khusyuk, hening, suara batuk ibu cukup membuat kami terkejut. Abang menyadarkan ibu ke bahunya, dan aku segera membantu ibu untuk minum.
"Ibu, ayo bu. Ke dokter saja ya," ujarku sedih, karena keras kepala ibu yang membuatku menaikkan nada bicaraku. Aku tak mau sesuatu terjadi dengannya, kehilangan ayah cukup membuatku hilang pegangan hidup.
"Ibu, Heru antar ibu ke rumah sakit ya. Ayo, Dis, bantu abang."
"Jam berapa sekarang?"
"Jam setengah delapan, bu."
"Ayo kita sholat isya dulu,"
"Kita harus ke dokter bu, kali ini saja dengarkan aku bu,"
"Iya bu, sebaiknya ibu ke dokter sekarang," abang mendukungku, dan aku mencari baju hangat untuk ibu. Tapi ibu segera menolaknya, ia bicara sambil lemas terduduk.
"Ibu mau sholat isya berjamaah, nak." ujar ibu padaku. "Heru, pimpinlah sholat isya ini, ibu mau berjamaah. Bantu ibu duduk dikursi,"
"Ibu berbaring saja, kaya tadi bu."
"Ibu mau duduk, satu shaf dengan Disa." Akhirnya abangku membantu ibu bangun dan mendudukannya di kursi tepak disebelahku. Aku sedih melihat keadaan ibu saat ini, tapi aku tetap menahan tangisan. Aku bodohnya sedang membayangkan jika ibu... ah sudahlah.
Saat rakaat terakhir, ekor mataku melihat tubuh ibu mulai goyah. Tak terjadi apa-apa, aku bersyukur atas itu.
"Semoga ibu selalu bersama.." tubuh ibu menimpaku, jatuh tepat dipangkuanku sekarang.
"Ya Allah, bu. Ibu, kenapa ini,"
"Abang panggil ambulan dulu, Dis." Abang segera mengambil handphonenya, namun tangan ibu meraih tangan abang.
"Kau harus jadi imam yang baik, tetaplah amanah. Jaga Disa ya. Heru, anak kebanggaan ibu."
"Ibu.." ujar abang.
"Disa, jangan lupakan sholat. Jadilah wanita yang tegar yah, ibu pulang dulu." ujar ibu padaku, sambil mengusap pipiku. Lalu ia pejamkan matanya, tinggallah ia tertidur manis di pangkuanku. Tangisanku pecah kala itu, abang pun segera memeluk ibu. Ia terus menciumi tangan ibu, aku terus mencium kening ibu. Aku tak pernah menduga, sholat isya berjamaah ini sholat berjamaah terakhir ibu...
.
.
Aku sudah tinggal bersama tanteku, itu keputusan abang. Untuk sementara tinggal selagi abang menyelesaikan tugas di Medan. Tinggal dua bulan lagi, selanjutnya aku akan tinggal bersama dia. Dekat dengan makam ibu, di Magelang, dimana ayah dimakamkan disana. Aku sekarang merasa lega, tetap berdekatan dengan ayah juga ibuku... tenanglah kalian, aku akan selalu membanggakan kalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar