Sabtu, 05 Desember 2015

Karunia Cinta Suci

Hujan di akhir Desember ini menghantarkanku pada kerinduan berkepanjangan. Tak bisa kuwakilkan dengan apapun, cukup airmata yang bergulir di pipi, senyuman hangat, dan wajahnya yang kurindukan. Dia, karunia terindah yang Tuhan berikan untukku dan anugerah disepanjang jalan hidupku.
Aku, Saras Andari Triatmojo, lebih sering dipanggil Saras oleh teman-teman, karena lebih mudah saja, tak ada yang lain. Aku besar dikalangan kelas atas, aku anak seorang Letnan Kolonel Heru S. Triatmojo dan seorang ibu tangguh bernama Hani Nafisa yang keturunan Jawa tulen. Aku tentu mengalami bagaimana di didik disiplin dirumah oleh papa, dan mama yang akan selalu membelaku. Tapi ujung-ujungnya, aku akan segera merasa bersalah atas semuanya. Usiaku sudah menginjak 22 tahun, sudah lulus dengan predikat sarjana ekonomi terbaik ke-5 di salah satu Universitas di Surabaya. Aku lebih senang berkumpul dengan semua temanku sampai tengah malam, dan baru pulang pagi harinya. Bukannya mencari kerja, aku malah terus menghamburkan uang saku yang masih terus dipasok oleh papa. Kadang kalau sudah papa yang memarahiku, mama lebih memilih menggantikanku dan malah bertengkar dengan papa. Aku, akan menjadi penengah diantara mereka dan pertengkaran itu diakhiri dengan papa yang lebih dulu masuk ke kamar. Mama juga meninggalkanku untuk menyusul ayah dengan kalimat penutup,
"Mama doakan kamu cepat dapat jodoh, biar kamu tahu rasanya sulit mengurus anak seperti kamu, Saras."
Aku diam terduduk sendiri di ruang tamu, tapi tak kesepian. Ada ponsel yang kupegang untuk tetap berkomunikasi dengan teman-temanku yang mengantarku pulang tadi. Mereka anak orang kaya, dan aku merasa pantas bergaul dengan mereka karena pangkat papaku. Suatu hari, aku mengulang kesalahan yang sama dan papa segera menyisir keberadaanku dengan menyuruh bawahannya. Salah seorang pria datang dari arah pintu masuk bar. Aku dan ketiga temanku masih dalam keadaan tertawa, bersenang-senang, dan hal apapun yang kami inginkan. Dia sekarang berdiri disampingku, kebetulan aku duduk disofa paling pinggir.
"Malam, izin bertanya. Anda mba Saras?"
"Iya, kenapa?" sahutku yang masih duduk dan membiarkannya berdiri.
"Yahaha dipanggil mba, haha!" Tawa teman-temanku pecah, dan aku segera bangun, menarik lelaki entah siapa namanya itu menjauh dari mereka.
"Saya dapat perintah Letkol Heru untuk membawa pulang mba,"
"Saras aja sih manggilnya. Yaudah tunggu disini, gue ambil tas dulu." Segera kutinggalkan mereka yang masih asyik dengan minumannya  sedangkan aku pergi bersama lelaki yang kutahu harum parfumnya merk Bvlgari. Enak, tapi aku tak suka pria seperti dia, bajunya bebas tapi tetap kaku. Segera kuputuskan untuk naik mobil dan meluncur ke rumah. Dan dia menurunkanku didepan rumah, sudah ada papa yang berdiri disana. "Masuk, Saras." ujarnya dengan nada dan wajah yang datar. Aku hanya tertunduk lemas masuk ke dalam rumah, disana sudah ada mama yang mulai mewawancaraiku.
"Terima kasih atas bantuannya, Satria."
"Siap, komandan."
"Segera kembali ke barak,"
"Siap,"
Suara derap langkah lelaki tadi terdengar menjauh dari rumah. Papa masuk ke dalam rumah, sejenak menatapku, lalu berjalan mondar-mandir, dan mengusap rambutnya sambil menghela napas kesal.
"Lama-lama papa pusing liat kamu begini terus, Saras. Mulai besok, uang dan semua fasilitas yang ada papa tahan. Ma, ambil semuanya," perintah tegas papa membuat mama segera bergerak mengambil tasku. Disana sudah ada kunci mobil yang memang selalu kubawa kemana-mana, ada smartphone, dan dompet berisi kartu kredit juga debit milik pribadi.
"Ma, jangan semuanya dong," bujukku pada mama,
"Itu keputusan papa, mama bisa apa? Udah nurut aja, Saras. Hanya sebulan kok, gak lama."
"Kamu dirumah bantu mama, jangan kerjaannya hambur-hambur uang,"
Aku mengangguk saja, dan melihat mama menjauh bersama semua barang berhargaku yang dibawanya masuk ke kamarnya. Baru kali ini, aku menangis tersedu diruang tamu. Aku pergi dari kehidupanku yang biasanya, aku merasa sunyi tanpa semuanya. Dan entah apa yang terjadi dalam hidupku dalam sebulan ke depan. Bagaimana hidupku tanpa semua yang berharga, dan apa kata teman-temanku tentang hal ini? Aku enggan membayangkannya saat ini, segera kulangkahkan kaki ke kamar dan segera tidur. Berharap, ketika bangun pagi, aku sudah melewati masa sebulan itu.
Dihari ke sebelas, papa menganggapku sudah membaik dan segera ia melepaskan satu persatu barang berhargaku. Saat ini masih smartphone dan uang tunai sebesar seratus ribu saja, tak lebih. Dan ini akan menjadi pelarianku untuk sebelas hari keterlambatanku untuk hang-out dengan semua temanku. Tapi sialnya, lelaki yang kuketahui bernama Satria itu hendak turun jaga. Dan ia memanggilku yang sedang sibuk berlagak tak kenal dengannya.
"Saras,"
"I-iya, ada apa ya mas?" sapaku,
"Mau kemana malam begini?"
"Mau beli pewangi di depan,"
"Oh, minimarket di depan sana?"
"Iya, hehe. Saya duluan, mas."
"Oh iya silakan."
Akhirnya, dia melepasku juga dan aku akan dengan bebas datang ke mobil Andre yang menunggu di parkiran minimarket itu. Saat aku hendak masuk ke dalam mobil Andre, ternyata sudah ada Satria yang berdiri di belakangku. Dengan seragam yang masih ia kenakan, dia meminta waktu untuk bicara padaku.
"Apa lagi sih?"
"Bapak menelepon saya untuk menjemput mba di minimarket,"
"Hah?" Aku bingung, kenapa ayah masih mencurigai tindak-tandukku diluar rumah.
"Pasti lu yang bilang ke papa kan kalo gue mau main sama temen-temen?"
"Ngga, mba. Saya memang dihubungi sama bapak tadi pas mba jalan ke luar gerbang."
"Halah, basi!" ujarku enggan bicara lagi padanya, kami berdua akhirnya berjalan kaki. Sudah kubilang, tak usah menemani sampai rumah, tapi dia selalu bilang ini perintah bapak. Aku kesal, kupikir dia hanya penjilat yang ingin dekat dengan papa saja, mencari pamor. Tak lama papa menyapaku dengan gelengan kepala dan decak kagum ayah terhadap tingkahku yang sudah keterlaluan.
"Duduk," ujar papa padaku,
"Satria, kau duduk juga. Silakan," sambungnya. Dia pun duduk di kursi satu lagi, dan letaknya tak jauh dari posisiku duduk.
"Sudah papa putuskan, kau dan Satria akan papa nikahkan! Papa akan urus semuanya, dan Satria, segera urus lampiran yang diperlukan. Ajukan besok ke kantor, paling lama sebulan kemudian, sidang akan dilakukan."
"Tapi pah, kenapa gini sih?"
"Kamu susah diatur sama papa selama ini,"
"Tapi pah,"
"Masuk ke kamarmu, ada mama disana,"
"Ish,"
Mulai saat itu, aku benci dia, segala sesuatu yang berhubungan dengan Satria, aku enggan peduli! Aku segera memeluk mama yang duduk dikasurku, dia mengusap rambutku. Dia menasihatiku untuk menuruti saja apa yang papa putuskan. Karena itu adalah pilihan yang terbaik untukku, dan mama, orang yang kupikir memihakku, malah menyetujui pernikahan itu. Jadilah aku yang menangis semakin keras, dibantu dengan hujan yang turun deras secara mendadak.
"Tidur, nak. Pikirkan semuanya, timbang baik dan buruknya. Semua akan baik-baik saja. Percaya,"
"Iya mah," jawabku lemah. Aku bingung harus berkata apa, sebulan setelah hari esok adalah sidang pengajuan pernikahan. Tuhan, bantu aku untuk ikhlas menjadi seorang istri prajurit. Aku tak mau sebenarnya mendapat calon suami yang seorang prajurit TNI.
Rasa panikku membuat waktu bergulir dengan cepat. Mama membawakanku baju stelan berwarna hijau muda yang sering disebut baju persit. Aku sebenarnya malas bertemu dengan lelaki yang bernama Satria itu. Tapi walau bagaimanapun, perintah papa adalah hal yang wajib ditaati. Mama mengantarku dengan motornya menuju ke kantor untuk melakukan sidang. Disana sudah ada Satria yang lengkap dengan Pakaian Dinas Harian (PDH) dan baret merah yang ia kenakan saat itu. Segera kuturun dari motor dan berjalan sedikit cepat ke arah Satria.

"Sini," kubisikkan dia,
"Ada apa?" sahutnya menghampiriku yang berbicara pelan.
"Ada perjanjian yang mesti kita buat. Kau dan aku hanya sebatas teman, dan kau hanya bertugas untuk mempercayaiku saja. Oke?"
"Baiklah. Terserah kamu, Sar."
"Baiklah, terima kasih Satria." Aku sekarang siap untuk sidang, aku mulai percaya padanya karena setiap senyumannya mengirimkan kode padaku untuk percaya pada setiap ucapannya. Aku menyukainya, aku memang suka dengan lelaki yang bisa dipegang setiap janjinya.
Urusan pernikahan kantor, sudah selesai dengan mudah. Dan saat keluar ruangan, entah apa yang kupikirkan. Saat Satria mendekatiku, jantungku mulai berdetak tak menentu. Aku memeluknya, dan kulihat dia menengok ke semua arah, entah apa yang ia pikirkan. Tak lama, satu kecupan dikeningku menghasilkan deheman dari mama yang baru datang entah dari mana.

"Ayo, jadwalmu masih banyak."
"Aku pergi dulu, mas."
"Iya, hati-hati," ujarnya, kujawab ia dengan senyuman hangat yang kusediakan dan kukeluarkan dengan maksud apa, aku tak tahu.
"Ibu pinjam Sarasnya dulu ya,"
"Oh, siap bu."
Dia masih berdiri disamping motor, aku masih melihatnya jelas sampai saat itu. Namun saat motor mulai beranjak, jarakku padanya mulai terbentang. Rasa enggan terputus pandangan pun sudah mulai terasa, aku belum bisa menyebut ini cinta. Mungkin rindu, untuk masalah ini akan kuhilangkan dengan sering bertemu dengannya. Tapi kata mama, aku dan dia mesti dipingit, biar "pangling" katanya. Biasa, mama dan papa ku masih menganut paham orang dulu yang hampir jarang ditemukan paham seperti ini di jaman sekarang.
Ibu dan aku segera pergi untuk melakukan kegiatan selanjutnya, tentu saja pengrekrutan anggota persit baru. Aku merasa bahagia saat ini, aku bingung dengan perasaanku sekarang. Semua berlalu dengan indah, dan bergulir dengan lancar sampai acara resepsi dan pedang pora usai. Aku dan Satria menempati sebuah rumah tinggal sementara, memang tak begitu besar tapi cukup besar untuk kami yang masih tinggal berdua. Sudah seminggu kami menempatinya, dengan rasa nyaman dan aman.
Malam harinya, mama dan papa mampir ke rumah baruku yang masih butuh sentuhan kreatif dari tangan kami. Kami berbicara akrab, tertawa sesekali karena Satria yang humoris. Mama dan aku menyediakan makanan ringan untuk di santap di ruang tamu.
"Kamu bahagia dengannya?"
"Iya, mah."
"Kamu sudah..."
"Aku belum siap untuk itu, mah. Aku bawa teh dulu ke depan ya, mah."
"Oh iya. Ayo bareng mama aja,"
"Iya,"
Aku tahu akan kemana pembicaraan mama menjurus, aku enggan membahas itu dulu. Aku dan Satria tak akan saling menyentuh satu sama lain. Paling tidak, hal seperti peluk, cium kening, dan mencium tangannya setiap dia bekerja, sudah kulakukan sejak kita resmi menjadi suami istri. Dia memegang teguh perjanjian yang kubuat waktu itu. Mama dan papa memutuskan untuk pulang, dan meninggalkan senyuman pada kami yang berdiri didepan pagar.
"Minum mas tehnya, aku udah buatin loh,"
"Iya, diminum ya tehnya," ujarnya sambil melempar senyuman padaku. Aku duduk dikursi, dan menatapnya yang memakan singkong goreng yang ku sediakan tadinya untuk tamu terhormat pertama yang singgah dirumah baru kami. Kami memutuskan untuk sholat isya berjamaah dan selanjutnya tidur karena waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB.
"Besok kamu ada kegiatan apa?" tanya Satria santai berbaring disebelahku. Tentu dengan kaus putih yang ia padukan dengan bawahan piyama berwarna biru.
"Mama bilang, kegiatan besok itu makan siang bersama ibu-ibu persit dan yang lainnya," jawabku sibuk merapikan meja yang berada di sisi tempat tidur. Disitu banyak novel yang sengaja kuletakkan disitu untuk membuatku mengantuk setiap malamnya. Aku menyusulnya berbaring disana, di sisi kanan Satria.
"Kau jangan macam-macam ya," ujarnya mematikan lampu meja di sisi kiri tempat tidur.
"Yang ada kau yang kuingatkan, jangan macam-macam." Kulempar bantal ke wajahnya dan mengambil novel untuk membantuku tidur.
"Mata kamu rusak kalau baca kaya gitu,"
"Biar aku ngantuk mas,"
"Yaudah, aku tidur duluan ya,"
"Iya," kusenyumi dia yang sekarang membelakangiku. Kantukku malam ini dua kali lipat, karena tadi siangnya kami mesti memindahkan posisi lemari sesuai apa yang kuinstruksikan, agar terlihat lebih luas kelihatannya.
Subuh sekitar jam 4 pagi, aku sudah menjauh dari novelku dan selimut sudah membalut ditubuhku. Satria sudah tak ada di sampingku, kudengar ada suara dari dapur. Dia ingin membuat makan untuk sahur.
"Kenapa gak bilang, mas." ujarku sambil mengikat rambutku dan berdiri disampingnya.
"Tidurmu nyenyak tadi. Aku gak enak bangunin kamu," katanya. Dia langsung menghentikan masaknya dan mengajakku ke kamar lagi. Dia menidurkanku di tempat tidur dan menyelimutiku seperti tadi.
"Kamu tidur ya," ujarnya mengecup keningku,
"Iya,"
Dia segera meninggalkanku dan aku hanya bingung dengan sikapnya. Aku bosan, tak bisa tidur, kuambil handphone milik Satria dan kucoba cari tahu tentangnya. Aku kan sekarang istrinya, bebas untukku mencari tahu tentang suamiku bukan?
Kulihat artikel yang baru ia baca, dan sedikit mengejutkanku. Disitu tertulis "8 cara melawan hawa nafsu syahwat." Dan poin ke 7 adalah dengan menunaikan puasa sunnah. Aku mengunci layar handphone-nya, karena kedengarannya dia melangkah ke kamar.
Sudah sebulan juga aku menjadi istrinya, kuputuskan meminta ijin untuk pergi berkumpul dengan teman-temanku. Aku teringat dengan Rio, aku menyukainya dari dulu. Tapi sayang, Satria yang diizinkan oleh orangtua untuk menjadi suamiku. Di cafe, saat Satria sedang ke toilet, Rio datang dan dia membawa dua wanita dalam pelukannya. Aku tak percaya menatap tingkahnya yang seperti itu.
"Eh ada istri komandan," sapa Rio tak ramah, terdengar seperti mengejekku.
"Apa maksudnya?"
"Iya, kan lu udah dapet penjagaan ketat dari apa tuh kesatuan baret merah?" tanya Rio pada kedua wanita yang masih dipeluknya.
"Kopassus, mas." ujar salah satu diantaranya.
"Ya itu dia. Ibu persit, mau minum apa, biar saya traktir. Atau mau aku saja yang melayani?"
"Kurang ajar!" Kutampar dia dengan kencang, kuluapkan emosiku pada tanganku, yang akhirnya berbicara. Aku berlari keluar cafe, meninggalkan Rio yang setengah mabuk dan mengatakan seperti itu. Seseorang mendekatiku, dia Satria yang datang mengenakan jaket kulit hitam dan membantuku berdiri.
"Bawa aku pulang,"
"Kau sudah sele.."
"Kita pulang, mas." Aku berjalan menuju mobil dan disusul dengan Satria yang sudah kuberitahu untuk tidak menghajar Rio yang berada didalam cafe. Sesampainya dirumah, Satria memelukku ketika tangisanku pecah dikamar. Aku mengata-ngatai Rio sampah, dan Satria terus memelukku dan membiarkan kaus berwarna merah dengan plat abu-abu itu basah terkena air mataku.

"Aku akan menuruti apa yang kamu mau, aku lepas perjanjian itu. Kupikir Rio akan lebih baik darimu, nyatanya tidak!" Kubentak Satria yang tak salah apa-apa, aku hanya meluapkan emosi bukan memarahinya.
"Sabar, maafkan aku ya yang memutuskan untuk menerima saran ayahmu,"
"Bukan salahmu!" Tangisanku makin keras dipelukannya.
"Saras? Ini Saras yang sering kabur itu bukan? Yang sering marah kalau kujemput karena disuruh ayahmu?" Ucapannya membuatku menghentikan tangisan sejenak.
"Memangnya dia sering menangis gini? Loh, kukira dia wanita kuat," sambungnya. Aku tersenyum melihatnya, dan dia menyeka air mataku.
"Aku ngantuk sekarang,"
"Tidur yuk, cuci muka dulu sana."
"Harus sendiri?"
"Ayo aku temani," dia menemaniku ke kamar mandi dan menjemputku saat akan ke kamar. Malam itu terlalu indah untukku, tak bisa kujelaskan dari mana atau yang mana. Sepertinya kalimat pun tertunduk tak mampu mewakilkan kebahagiaan malam itu, malamku dengannya. Satriaku.
Setahun terakhir, ku lalui dengan tenteram sebagai pengantin baru yang sesungguhnya. Apa dayaku yang harus sabar dengan keadaan, Satria mendapat surat perintah penugasan. Aku sudah seharusnya memahami dari awal, bahwa aku siap menerimanya dipindahtugaskan kemana saja.

"Sulawesi? Itu jauh, mas," kataku sambil menyeduh susu dan menyiapkan roti untuknya.
"Iya, aku dapat surat perintah itu tadi. Aku sudah bicara dengan ayahmu, menitipkanmu padanya,"
"Diminum susunya, mas. Oh iya, untuk berapa lama?"
"Enam bulan, dek. Maaf,"
"Untuk apa?"
"Aku minta maaf saja. Maafkan aku," dia memelukku erat. Entah apa yang akan dia sampaikan, tapi kali ini aku merasakan kehangatannya.
"Kumaafkan,"
"Aku berangkat dulu ya," kucium tangannya. Dan aku berjalan ke depan kantor bersama ibu persit lainnya untuk melepas para suaminya bertugas. Perasaanku mendadak tak enak, dadaku sesak, dan kutahan dengan senyuman saat truk yang membawanya mulai berjalan, dan menjauh dari pandangan.

Enam bulan bukan waktu yang sebentar, apalagi aku baru menikah dengannya setahun lebih. Apalagi aku sedang mengandung buah cinta kami yang berusia 7 bulan. Aku tak merasakan kerinduan, namun kesedihan terus datang. Tapi mama selalu bilang, mungkin itu bawaan bayi atau apapun itu. Dan itu sudah kubiarkan mengusik hidupku selama tiga bulan. Baiklah, tinggal tiga bulan lagi, dan dia akan datang memelukku dan bermesraan seperti setahun terakhir yang indah di hidupku. Seusai sholat ashar, kuputuskan untuk membuat makanan seadanya untuk makan. Kebetulan mama tadi pagi menemaniku berbelanja di pasar.  Saat didapur, kudengar pintu rumah terketuk, entah siapa yang ada dibaliknya. Dengan langkah yang berat, kubuka pintu. Serda Sapta ditemani oleh Bu Dwi, utusan persit, mengajakku untuk berbicara di teras.

"Dengan berat hati, saya sampaikan..." ujar Serda Sapta dan mulai memberitahuku tentang kabar Mas Satria disana. Dia tertembak di dalam hutan oleh orang tak dikenal. Namun sekarang sedang ditangani oleh tim medis.
"Ya Allah," Aku segera jatuh tersungkur, entah apa penyebabnya tapi tubuhku langsung lemah dan perutku mulai kontraksi. Bu Dwi membantuku bangun, dan menyuruh Serda Sapta untuk memanggil bantuan pada orang yang ada disitu. Aku tak peduli keadaan sekitarku saat itu, yang pasti saat kudengar kabarnya tadi, hatiku remuk seketika. Aku tak tahu keadaannya yang sebenarnya, tapi kupastikan ia mendengar bisikan hatiku.
"Bangun, Mas. Bantu aku bertahan disaat seperti ini. Aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri! Aku belum bisa hidup tanpamu, mas." Kuteriakan suara hatiku, agar dia segera merasakan apa yang kusampaikan.
"Kau alasanku kuat sampai saat ini. Kumohon, jangan pergi lebih dulu," Aku sudah berbaring di rumah sakit, dan aku tak merasakan apapun saat itu. Aku hanya merasa, dunia hening, pandanganku samar, kuucapkan namanya sebelum kupejamkan mata dan hilang kesadaran.
Dua hari kemudian, aku baru sadar dari pingsanku. Disana sudah ada mama dan papa yang menemaniku di ruang ICU. Kulihat, pasien baru masuk ke dalam ruangan ini, dan disebelahku.
"Bayimu ada disini," kata mama menunjuk kotak mungil yang berada di dekat meja perawat. Aku tersenyum, kubangunkan tubuhku untuk memastikan bayiku ditempatkan ditempat yang nyaman.
"Satria, mah." Kutangisi dia yang kucinta, mama memelukku dengan nyaman. Papa juga kulihat menyeka air matanya yang tak sengaja mengalir. Perawat membawa bayiku dan Satria, dan meletakkannya pada dekapanku.
"Satria, anak kita." Aku menahan tangisan dan mengubahnya menjadi senyuman hangat untuk anakku tercinta.
"Itu dia," kata papa dan kutolehkan ke arah yang papa tunjukkan. Dia Satria! Segera ku bangkit dari pembaringan, dan menghampiri Satria yang masih tertidur manis dengan oksigen yang menempel. Kupanggil namanya, dan ku letakkan Rafa disebelahnya. Kuambil dan kupelukkan tangan Satria ke tubuh mungil Rafa, kubiarkan dia merasakan menjadi ayah meski keadaannya seperti ini. Aku menahan tangisan, dan membisikkan azan untuk Rafa dengan tangan Satria yang kuletakkan diatas kepalanya.
"Drrt deerrt," terdengar suara aneh dari alat yang menempel di tubuhnya. Segera kugendong Rafa, dan menjauh darinya. Lagi. Kulihat tim medis membantunya untuk tenang, tubuhnya kejang, dan tak tega melihat keadaannya seperti itu.
Aku memilih untuk tidak mengetahui kabar tentangnya dulu untuk saat ini.
.
.
.
Desember, bulan yang ku catat sebagai bulan pelepasanku atasnya. Rafa, hadiah terindah yang ia berikan untukku sebelum pergi semakin menjauh dariku. Sejak pendarahannya malam itu, kupikir dia akan kuat seperti biasa yang ia lakukan dilapangan. Makamnya di sirami bunga mawar segar, dan kusenyumi pusaranya dengan nisan berwarna putih.
Aku mengikhlaskannya pergi, dan kubiarkan dia bahagia dengan pahlawan lainnya dengan gugur dalam medan tugas.
Setahun sudah kepergiannya, aku sibuk mengurusi Rafa. Untuk masalah pengganti Satria, itu menjadi urusanku nanti. Aku belum berpikir untuk mengganti pemeran utama dari dramaku.
Terima kasih sudah menjaga kesucian cinta yang kita ikrarkan dulu. Terima kasih sudah menjadi karunia terindah yang kumiliki. Terima kasih sudah membawaku untuk melangkah menjadi wanita yang lebih berguna di bumi ini. Terima kasih juga sudah menjadi prajurit terbaik untuk negara, untuk keluarga, untuk Rafa juga untukku. Terima kasih banyak, Satria.
Dari aku, yang tak berhenti tuk selalu merindukanmu, Saras.

1 komentar:

  1. No Deposit Bonus Casino Bonus Codes December 2021
    온라인 바카라 Welcome Bonus For 오산 휴게텔 US 한게임 포커 머니 상 Players 바인드 토토 2021 · ⭐ Online Slots ✓ Online Blackjack ✓ Online Roulette ✓ Best 토토 라이브 스코어 Welcome Bonuses.

    BalasHapus