Minggu, 14 Februari 2016

Perlahan Melupakan - Part 3

Flashback ON: Gusti mulai menceritakan semuanya tanpa memberiku jeda untuk menyesali waktu yang berlalu. Hanya sejenak saja, selebihnya akan jadi luka dihati karena belum sempat memaafkan kesalahannya secara langsung. Prasangka burukku selama ini membuat hatiku tercambuk waktu, menyalahkan prasangka burukku terhadapnya selama ini.

“Kau janji takkan memberitahukannya? Hanya kau yang kuberitahu, oia kau pacarnya Giska?” ujar Rasti terbaring di rumah sakit,

“Iya dia pacarku sekarang tapi aku sedang bertengkar,”

“Kenapa?”

“Aku tak enak hati berpacaran dengan mantan pacar sahabatku. Maafkan aku membahas ini,”

“Aku sudah tahu,” Rasti tersenyum menepuk bahuku, wajahnya tampak ikhlas. Gusti tak tega berhadapan dengan suasana seperti ini.

“Aku tidak yakin, Ras. Aku tak bisa janji,”

“Kau harus janji!” Rasti membujuk Gusti terus, tapi ia terus menggelengkan kepalanya. Rasti menggenggam erat tangan Gusti, “kumohon,”

“BAIK! Aku takkan memberitahunya, lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Berikan ini padanya, jangan sampai kau lupa. Lalu berikan ini pada Giska, dia akan pulang ke Jakarta  jam 1  nanti, tolong cepatlah sebelum terlambat,”

“Tapi Angga memberikan ini untukmu,” ujar Gusti, “Shht, dia wanita yang lebih pantas untuknya. Bawa ini dan jaga janjimu,” Rasti sudah tak kuat lagi bicara. Gusti membaringkannya lagi di tempat tidur. Ia meninggalkannya dan segera pergi ke stasiun mencari Giska. Dia tak menemukan Giska, ia sudah menanyakan semua keberangkatan kereta ke Jakarta. Hanya kereta di jalur 2 yang akan berangkat dan benar yang Rasti bilang, kereta itu berangkat jam 1.

“Gerbong Eksekutif dimana pak?” tanya Gusti sambil mengatur napasnya, dia tak peduli banyak yang menatapnya seperti itu. Ia melepas topi baretnya dan meletakannya di bahu, panas iya tapi Gusti masih punya janji. Saat ia terduduk di kursi, napasnya masih tersengal kelelahan, seseorang menepuk bahunya. “Gusti,” sapanya, dia Giska. Gusti langsung mengajaknya duduk di sampingnya.

“Sebentar saja,” Gusti meyakinkan, ia mulai menceritakan semuanya pada Giska dan memberikan cincin yang diberikan Angga untuk Rasti. “lalu Rasti dimana sekarang?” tanya Giska. Mereka berdua segera berlari ke dalam gerbong Giska, dan membawa keluar koper yang masih tertinggal. Giska ingin bertemu dengan Rasti, ia butuh penjelasan. Sesampainya disana, dia menjatuhkan tasnya, langkahnya berat, dan menangis sedikit untuk mendukung suasana.

“Giska,” Rasti segera bangun, “sudah baringkan tubuhmu,” Giska membantunya membenarkan bantalnya agar Rasti nyaman.

“Bukankah kau akan pergi siang ini?” Rasti menatapnya lemah, Giska mulai mendekap lembut tangannya. “sudah lupakan pergi ke Jakarta. Kamu kenapa? Cincin ini terlalu berharga buat dikasih ke aku, ini cincin untuk kamu dari Angga. Bukan untuk aku,”

“Pegang ini untukmu, jaga ini. Aku tak bisa memberikan yang lebih untuknya,” ujar Rasti, Giska menahan tangisannya.

Terdengar suara gaduh dari dalam kamar, Giska menangis berteriak dan Gusti segera menghampirinya. Tubuhnya beku melihatnya, Rasti sudah secantik itu, memejamkan mata dengan senyuman yang indah, ia persis putri salju.

Disisi lain, Giska terus menangis memanggil nama Rasti dan mengguncangkan tubuh si putri salju. Ia segera menenangkan Giska, memeluknya dan membiarkan tangisan itu tumpah dalam pelukannya. Sayang, Gusti sudah berjanji agar menjaga rahasia ini sampai kapanpun. Ia tak tahu sampai kapan terus berbohong jika Angga menghubunginya. Giska masih bisa menjaga rahasia itu, tapi Gusti tetap saja gatal ingin memberitahu sahabatnya itu. Sampai saatnya tiba, ia mendengar Angga akan ke Magelang di cuti akhir tahun. Itu waktu yang tepat untuk memberitahunya, selagi tanah Rasti masih basah dan merah, belum mengering sedikitpun. Terlihat seakan Rasti masih sabar menunggu kehadiran Angga di pusaranya.

 

***

 

Angga sudah bersimpuh dan bersandar pada nisan yang masih tercium harum rambut Rasti setiap kali pesiar. Beberapa helai rambut yang tak sengaja menyapa wajah Angga karena angin yang datang tak diduga. Tangisan itu kini mulai mengalir, tak ada lagi yang akan ia kunjungi saat cuti libur. Gusti menelepon Giska agar datang ke makam Rasti, untuk menenangkan Angga yang terlihat terpuruk.

“Sabar, Angga. Dia sudah sangat tenang disana,” ujar Giska sambil merangkul Angga yang masih terisak.

“Kau tahu dia sakit kan? Kau tahu dia sekarat, kenapa kau tidak memberitahuku kalau dia sakit?” Angga mulai bicara yang aneh, sekarang Giska yang dituduh menutupi semuanya. Gusti paham betul kenapa sahabatnya seperti ini.

“Gusti, kenapa aku yang disalahkan? Memangnya aku tidak menyesal atas kepergian Rasti?”

“Sudah tenang dulu. Aku mohon kau mengerti Angga, kau sudah paham dia kan selama ini. Dia sedang sedih, gis. Dia butuh waktu juga buat paham keadaan ini,”

“Iya, aku paham. Tapi aku tidak akan memakai cincin yang ia berikan dirumah sakit waktu itu. Tetap saja itu akan jadi beban untukku,”

“Kumohon,” bujuk Gusti,

“Untuk kali ini maaf aku tidak bisa mengikuti apa maumu. Aku akan berbicara padanya,”

“Jangan!” Gusti menahan tangan Giska, “biarkan aku Gusti,” Giska melepaskan tangan Gusti yang menariknya. Angga sedang terduduk di batu yang ada dibawah pohon rindang. Cukup dekat dengan pusara Rasti, dia menahan tangisan tapi tak bisa. Dia terus menyeka air mata yang jatuh di pipinya. Giska langsung duduk di sana, membawa sejuta alasan kenapa dia tak mengabarinya kalau Rasti sakit dan sekarat.

“Shhht, sudah tak usah jelaskan apa-apa. Aku sudah menerima dia pergi,” sahut Angga dalam keheningan taman pemakaman.

“Angga, aku tak pernah berniat menutupi apapun. Aku akan menjelaskan walaupun kamu gak butuh penjelasan,” Giska menjelaskan semua ceritanya dari awal sampai akhir. Angga tampak terpukul, ia merasa bersalah karena pernah memarahinya, cemburu padanya dan sempat menjauh melampaui batas. Malam itu, Giska sampai di Jogja karena liburan semester. Dia dihubungi Gusti agar menghampirinya ke rumah sakit karena dia sedang sibuk menjaga. Sempat Giska terkejut melihat keadaan Rasti yang terus mual, sedangkan Gusti sibuk membersihkan.  Wajah cantiknya tertutup dengan pucatnya bibir, senyumannya manis sekali, dia memikirkan satu hal. Apa ini Rasti yang Angga sayangi itu? Giska tahu tentang meninggalnya Rasti, sudah hampir setahun yang lalu. Bunga yang masih segar itu, bunga yang Giska taburkan dua hari yang lalu. Ia merindukan Rasti, sahabatnya yang baru yang ia sayangi sebagai seorang kakak perempuan. Dan ia menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewatkan, dan Giska mengambil sesuatu dari tas.

“Ini, titipan Rasti. Aku merasa tak pantas,” kotak cincin itu tak berharga lagi dimata Angga, tapi Giska meletakkan itu di tangannya.

“Aku sedang ingin sendiri, Gis. Tinggalkan aku,” Angga masih bicara dalam keterpurukannya, tapi Giska tak membiarkan dia diam disini sendiri dalam kesedihan. Angga langsung menghempaskan tangan Giska, emosinya menyeruak tak terbatas, “pergi!” Giska sampai tersungkur ke tanah. Gusti segera datang dan membangunkannya, kemudian menenangkan sahabatnya yang tak bisa mengontrol emosinya. Dia menghajar Angga, akhirnya dia harus memakai cara ini untuk menenangkannya. Mau tak mau, ia lakukan karena masih menghargai kalau tempat itu adalah tempat peristirahatan.

“Angga! Ini pemakaman! Tenangkan dirimu,” Gusti membantu Angga bangun, sepertinya dia sadar apa yang ia lakukan adalah salah. Ia tak mau mengganggu Rasti yang sudah tertidur cantik di tempat paling tenang disana. Semoga surga milikmu, Rasti.....

***

Pagi hari, mataharinya sudah menyentuh pintu rumah, Angga membuka pintu dan menyambutnya dengan senyuman. Sambil menggendong anak lelakinya, ia berjemur bersama sambil menunggu Hanum. Tak lama yang ia tunggu datang juga, Hanum keluar sambil membawa semangkuk bubur bayi untuk sarapan jagoan mereka.

“Aaaa~” Hanum menyuapi Rangga, anak mereka. Angga tak mau kalah, dia juga ingin menyuapi walau hanya sesendok. Ia tampak bahagia dengan keluarganya sekarang, tapi jujur dalam hatinya masih mengingat sedikit tentang Rasti. Hanum tahu semuanya cerita tentang aku dan Rasti, dia juga memaklumi kalau aku masih sedikit mengingatnya. Iya, dia wanita yang ibu kenalkan padaku, setelah aku resmi menjadi Letnan Satu. Dia sangat perhatian padaku, pada hidupku dan masa laluku. Dia cukup membuatku semangat menghadapi hidup kedepannya.

Aku masih selalu sedih saat mengingat saat aku tahu Rasti sudah tertimbun tanah merah dan ditaburi bunga mawar. Tapi jujur kuakui, Hanum jauh lebih baik dan lebih indah dari Rasti. Maafkan aku, hidup ini memang harus terus berjalan. Rasti, dia harus segera kulupakan demi dia, Hanum, si kisah masa depanku.

Perlahan Melupakan - Part 2

Setelah sholat dan hendak tidur, baru ku sapa mereka berdua.

“Ada apa dengan kalian? Sepertinya ada yang perlu disampaikan aku tahu?” ujarku bijak merangkul mereka berdua seusai melipat sajadah,

“Angga, kau tak marah karena tadi?”

“Ah aku kan sudah sering latihan push up, itu karena kau juga kan Gusti.”

“Kau pasti marah padaku?” tanya Guntur,

“Hey adik sepupu, tak mungkin aku marah karena itu, ayolah semua seperti biasa kok. Gak ada yang berubah,” jelasku pada mereka yang daritadi membuntutiku entah untuk apa. Mereka senyum dan menyalamiku sebagai tanda kami sudah seperti biasa lagi, itu kebiasaan kami para pria. Jangan kira lelah kami malam ini berakhir nanti saat terbit matahari. Karena saat itulah aktivitas kami akan semakin berat. Kami wajib disiplin dalam hal waktu istirahat. Jasad kami memang lelap tertidur, tapi hati kami terus terjaga. Ini yang akan kami lakukan disetiap penugasan. Telinga terus siap, tubuh harus kuat melawan kantuk yang menguasai mata dan pikiran.

“Bangun! Bangun!” kemudian alarm berbunyi, aku baru saja selesai mandi dan lekas berlari ke kamar memakai seragam PDL. Berdiri dalam keadaan siap, mata beberapa taruna terlihat masih merah. Guntur dan Eryas yang hari ini membuat kami berolahraga pagi sambil membawa kasur.

Lemari Eryas berantakan, akhirnya semua isi lemarinya dikeluarkan. Satu lagi, tempat tidur Guntur tak dirapihkan dengan baik dan benar. Bocah ini masih butuh bimbingan rupanya, maklum saja dia baru anak kemarin. Kami pun atas perintah petugas berlari mengelilingi lapangan dengan kasur diangkat diatas kepala. Setelah 10 kali keliling, barulah kami kembalikan kasur ke kamar dan berkumpul dilapangan.

Kami belajar dikelas sekarang, tak dilapangan atau mungkin itu nanti sore. Kantukku tumbuh disiang hari, kepalaku berat, dan tertunduk.

“Kau!” hentakan suara itu mengejutkanku. Segera kuangkat kepalaku dan benar saja telunjuk itu jelas mengarah padaku. Aku berdiri dan dihukum mengangkat kursi sampai pelajaran selesai. Begitu terus sampai tingkat dua, aku belum berhasil menjadi taruna teladan. Bahkan Canka Lokananta pun aku tidak ikut, aku suka dengan kelas budaya. Eryas dan Yanto lah teman sependeritaanku. Guntur dan Gusti? Kami masih bersahabat baik, aku ingin banyak sahabat disini.

“Kau ini, masih ngantuk. Untuk apa kau malam bangun dan beribadah, apa tak tidur?” tanya Eryas,

“Itu salah satu usahaku untuk memohon restu dari Allah,” jawabku,

“Oh begitu. Lagipula, terimakasih berkat kau bangun mandi. Aku tak kesiangan setiap kali bangun,” tepuk Eryas pada pundakku,

“Hahaha, aku juga berterima kasih padamu. Berkat dengkuran kau, aku terbangun tengah malam dan sholat,”

“Kau ini, sudah pernah dicium sepatu?”

“Belum. Kau saja lah yang cium sepatuku dulu,” jawabku sambil meletakkan sepatu PDL milikku ke tangannya. Dia melempar sepatu milikku, aku hanya tertawa menatapnya berlalu ke luar kamar. Sambil membenarkan baret cokelat khas taruna, aku menuruni tangga dan tak kusangka ada seorang wanita disana. Disalah satu rumah yang kutahu milik Pak Daru, pamannya Guntur juga. Kulihat disana ada Guntur, dan dua orang wanita duduk dengan dress sederhana. Rambut dikuncir satu, yang satunya lagi dibiarkan terurai. Sebentar! Yang dikuncir, sepertinya pernah kulihat tapi dimana ya?

“Sersan taruna Angga Dwi! Ayo kesini dulu sebelum kegiatan sore nanti,” dari kejauhan tadi, mata Guntur sudah memberikan kode. Aku sudah tahu apa maksudnya, halah paling juga dia akan mengenalkanku pada seseorang. Kuhampiri saja mereka dan langsung berkenalan dengan kedua putri entah milik siapa hatinya.

“Yuka,” temannya menyapaku terlebih dahulu, “Angga,” jabat tanganku disapa olehnya, “Rasti,” ia tersenyum. Ah aku pernah mengenalinya dimimpi! Benar ternyata, bidadari itu nyata! Guntur menatapku penuh curiga, dia menyuruhku menemani Rasti berjalan sambil berbicara sampai sore tiba. Tak ada pembicaraan diantara kami, kuputuskan untuk memulainya duluan.

“Kau sudah kuliah?” tanyaku, “Sudah, aku semester 2 sekarang. Kamu sama dengan Guntur sekarang?” tanyanya balik, “Iya.” jawabku singkat, walau bagaimanapun aku taruna harus jaga sikap didepan wanita seperti dia. “Guntur banyak cerita tentangmu, oh iya aku teman SMP nya.” apa yang sering ia dengarkan dari Guntur tentangku? Benakku segera dipenuhi oleh tanda tanya dan rasa penasaran yang sebentar lagi menggunung entah setinggi apa. Tapi dia tidak boleh tahu dikepalaku isinya pertanyaan.

“Sepertinya teriknya ini sudah semakin membuat tidak nyaman. Apa tidak sebaiknya kita kembali ke rumah pade mu?”

“Baiklah” Rasti dan aku berjalan kembali kesana, tak lama Guntur memanggilku untuk segera kembali ke kelas. Dia menatapku sambil tersenyum, kesan indah untuk pertemuan pertama. Kan kutagih janjimu menemaniku pesiar besok lusa, Rasti.

Sesampainya dikelas, Gusti menghampiriku dan menceritakan sesuatu yang mencengangkan. Dia memang temanku yang selalu datang membawa kejutan besar, bahkan luar biasa. Ya, lihat saja bagaimana sahabatnya ini haha. Segalanya terlihat luar biasa kan? Skip yang ini!

Apa? Dia kenal dengan Giska? Oh jadi ini alasan Giska menghindar dariku, sudah jadian kah kalian berdua? Pikiranku terus menyalahi dan menyoraki diriku sendiri yang selalu memikirkan Giska. Oke, mulai sekarang Rasti lah yang akan menjadi bidadariku.

“Oh sudah 3 bulan. Dia sekarang dimana?”

“Dia kuliah di Bandung. Sekarang dia cantik sekali ya, liat nih fotonya. Beda dari waktu SMP dulu. Gak nyangka sekarang jadi pacarku,” dia senyum terus melihat foto seseorang yang sudah cukup membuatku muak akan sikapnya. “semoga langgeng ya, ajak dia ke Praspa nanti.” godaku pada sahabatku yang sedang berbahagia, “Amiin, akan kubawa nanti. Awas kalau kau sampai suka dengannya,” ujar Gusti mengejek, dia tidak tahu saja bagaimana sifat Giska saat kau jauh darinya. “Tidak akan. Sekarang kan dia punya Rasti, itu loh sepupuku, gus. Dia mengambil langkah cepat, biar gak sendiri saat Praspa nanti, tapi ya memang masih jauh sih. Pesiar nanti dia akan membawa kita mengenali bidadarinya secara resmi,” Guntur menyambung pembicaraan kami, kupukul saja perutnya. “uhuk, bercanda Angga. Tapi benar kan kau menyukainya?”

“Itu urusanku,”

“Ciee, Angga gak jomblo lagi. Dating party! Pesiar nanti kita kumpul dengan wanita kita masing-masing,” ide Gusti tak begitu baik karena itu berarti Giska akan datang, aku harus mencari alasan yang pintar.

“Wah, sepertinya Rasti ingin kencan denganku saja. Jangan ganggu kami ya,” mereka semakin menggodaku, biarlah ini caraku agar tak bertemu Giska. Muak menatapnya, pengkhianatannya membuat sesak di dada.

 

***

 

Pesiar datang, Yuka dan Rasti sudah duduk manis menungguku dan Guntur. “ayo,” kujemput bidadari itu dan mengajaknya jalan-jalan. Hanya makan makanan sederhana saja, tak direstoran seperti keinginan Giska yang selalu merajuk itu.

“Kau masih sendiri?” kuberanikan bertanya seperti itu,

“Iya,” jawabnya singkat, “Apa kau menyukaiku?” aku terlalu to the point.

“Jangan pikirkan hal cinta dulu, kau harus berhasil. Tenang, aku menunggumu.” Rasti tersenyum menatapku lurus tanpa henti. Dia akan menungguku sampai aku melamarnya? Tugasku hanya percaya, tak lebih dari itu dulu, belum terlalu percaya pada wanita ini.

“Ayo makan nanti keburu dingin,” sambung Rasti, dan aku hanya tertawa kecil malu.

Aku selalu mengingat kata-katanya, membakar api semangat dan kubiarkan membara hampir menyambar ke tepi. Dan kejadian keluarnya Guntur dari akmil juga menjadi salah satu peristiwa yang membuatku semakin ingin lulus di akademi ini dengan memuaskan. Yuka selalu menitip salam pada Rasti agar disampaikan ke Guntur. Tapi dia tak ingin menemui Guntur, ia belum berani jujur kalau dia sudah menikah dengan polisi berpangkat inspektur satu. Tentu ia dijodohkan oleh kedua orang tuanya, aku juga belum mau memberitahu Guntur.

Praspa sebentar lagi, sidang sudah kulewati pula. Sepertinya aku akan mendapat libur nanti, rencana langsung tersusun dibenak. Kukirim undangan Praspa kepada kedua orang tuaku di Surabaya dan juga Rasti sebagai tamu kehormatan. Selesai menulis alamat rumah, Eryas berlari memanggilku yang sedang duduk di kursi belajar. Kapten Hendra memanggilku katanya dilapangan. Segera kukayuh kaki dengan cepat, berlari ke lapangan yang Eryas beritahu tadi.

“Sersan Mayor Satu Taruna Angga Dwi Laksono, kau tahu kesalahan apa yang sudah terjadi?”

“Siap, tidak tahu pak!”

“Benar kau tak tahu semuanya?”

“Siap! Tidak pak!” kulantangkan suaraku dihadapan pelatih, “push up 100 kali, pikirkan kesalahanmu apa. Lalu bangun dan bicara! Sikap siap, mulai! Satu. Dua. Tiga...”

“Siap! Saya tahu pak!”

“Apa itu Sematutar Angga Dwi Laksono?”

“Siap, saya salah tidak bisa menjaga rekan tim saya saat dilapangan. Terlambat dalam jadwal kelas, dan selalu mengantuk di dalam kelas.”

“Baik. Kau harus sadari itu, dan jaga terus fisikmu, tugasmu akan berat setelah ini. Selamat ulang tahun dan selamat atas kelulusanmu Letda.Infanteri. Angga Dwi Laksono.” Jujur aku terkejut, semuanya langsung bersorak tertawa dan adapula yang menindihku. Semuanya memberiku ucapan ulang tahun, dan ternyata hanya aku yang tidak tahu pengumuman kelulusan itu. Keseruan ini takkan terulang lagi, hanya sekali mungkin. Biarkan mereka menghabisiku hari ini.

“Aku dan Kapten Hendra yang menyiapkan ini,”

“Eryas, kau!” kujitak kepala hitam dengan rambut cepak miliknya. Habis wajahku diacak-acak oleh teman lettingku, keseruan ini jadi kenangan. Kapten Hendra memanggilku, badan tegap menjadi tamengku dihadapannya.

“Bersikap biasa saja lah, Angga.”

“Siap, Kapten Hendra,” aku mendadak menjauh dan bersikap siap dihadapan atasanku.

“Lekas beritahu orang tuamu, dan kekasihmu, itupun kalau kau punya. Kalau tak punya jangan memaksakan diri,” semuanya tertawa mendengar perkataan Kapten Hendra. Dipikiranku langsung tertulis nama Rasti Ayuningsih, wanita yang kupuja dalam setiap pujian. Baiklah, akan kukenalkan pada dunia siapa orang yang mengunci hariku untuk selalu memikirkannya. Kapten Hendra, akan kukenalkan dia nanti padamu haha.  Rasti akan main ke asrama, kutunggu dia berdiri indah dengan pesonanya yang selalu kurindukan.

 

Malam yang indah, si pesona itu datang, aku diberitahu oleh angin kalau titisan dewi sudah datang. Kupersilakan dia duduk manis di tempat yang tak kotor, aku akan segera membersihkan diri. Parfum yang ia belikan dulu, pilihan terbaikku.

Kusematkan cincin kebanggaanku pada jari manisnya yang tak terlalu kurus. Sedikit sesak memang, tapi tak apa hanya sekedar menandainya sebagai milikku.

Cincin ini kelak kuberikan pada calon istriku, tapi aku belum yakin dia akan setia padaku. Jarak membuatku tak tahu apa yang dilakukannya disana. Hanya kepercayaan yang membuatku selalu berkata “iya” untuk seorang Rasti.

“Makasih ya, maaf kalau pernah kecewain kamu,” Rasti menatap cincin yang menempel dijari manisnya,

“Iya. Kamu gak pernah kecewain aku kok santai aja. Jangan diliatin terus cincinnya,”

“Haha, iya abisnya kekecilan. Sempit, kayanya kamu gak ikhlas ngasih aku, bukan buat aku ini. Cincinnya jujur banget ya,” Rasti mengangkat wajahnya dan tersenyum,

“Aku ikhlas kok, Rasti. Masa iya aku ngasih tapi gak ikhlas. Cincinnya aja yang kekecilan atau..”

“Tangan aku yang kegedean gitu? Iya?”

“Aku gak maksud loh,” mataku mencoba meyakinkannya. Aku tak mau dia marah.

“Iya kamu mau ngomong gitu kan. Aku gak marah kok santai aja sih,”

“Yaudah lupain itu. Nanti aku beliin buat kamu yang lebih bagus lagi. Dimomen yang lebih bagus,”

“Kapan?” tanya Rasti menantang,

“Nanti pokoknya, aku sedang tidak pegang uang lebih.”

“Jangan paksakan diri, aku bercanda kok. Gausah beli cincinnya,” Rasti memukul bahuku, aku segera berpura-pura kesakitan. “ughh,”

“Maaf Angga. Sakit ya,” Rasti mengusap bahuku, kuambil tangannya dan kuletakkan di jantungku, “iya sakitnya disini, Ras” Rasti tak pernah manis seperti wanita yang lain. Dia malah mendorong dadaku sampai hampir tersungkur, dia tertawa cukup puas. Tapi kenapa hatiku bicara kalau ini tak akan berlangsung lama, dan akan berakhir cepat. Kupeluk dia malam itu, dan kuantar dia balik ke rumah dengan selamat tanpa kurang apapun. Hanya saja sekarang dirumahnya sudah sepi, kedua orang tuanya sudah pulang lagi ke Jakarta.

---

Jam menunjukkan pukul 4 pagi, tubuhku sudah terbiasa ditempa untuk sigap dikala yang lain masih mesra memeluk guling dan tentunya berguling diatas kasur yang nyaman. Hari ini aku resmi berdinas di Bandung. Semakin jauh saja jarakku dengannya, lagu LDR-Raisa selalu membuatku mengingatnya. Tapi sekarang malah semakin dekat dengan Giska, sungguh tak kuharapkan.

Dia mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas di Bandung. Dan dengar-dengar dia bekerja disini juga, semakin lama dia menetap di Kota Kembang ini. Komunikasiku dengannya terjalin lagi dimulai dari siang itu setelah praspa. Kebetulan nomorku masih nomor yang lama, dia masih menyimpan nomorku rupanya.

“Angga, aku rindu kamu,” ujar Giska ditelepon,

“Ya. Memangnya kau tak merindukan Gusti?”

“Ah kamu jangan seperti itu. Aku sungguh mencintaimu,”

“juga sahabatku. Haha sudahlah, Giska. Aku sedang malas berbicara denganmu. Suaramu selalu membuatku ingin marah,”

“Kau tak jauh berbeda dengan yang dulu. Kau masih marah karena aku tak datang menemanimu ke akmil?”

“Sudahlah, itu sudah berlalu. Jangan diungkit lagi, lagipula aku sudah menemui siapa yang pantas memakai cincin itu,”

“Siapa? Kau selingkuh?”

“Aku itu diajarin kamu! Jadi jangan bicara seakan aku yang salah disini,”

“Apa sih Angga, kamu ngomong apa? Aku ngga paham maksud kamu apa,” Giska memohon, dia masih membutuhkan aku sepertinya. Oh iya, apalagi aku sekarang sudah resmi menjadi seorang perwira. Aku lupa hal itu. Kututup saja teleponnya. Tak ada lagi pembahasan yang mesti dibahas diantara kami.

 

---

 

 Rasti dirumahnya sendirian, ia segera menghubungi Gusti yang berada di kontrakan temannya. Dia butuh teman. Gusti segera meluncur ke rumahnya dan menemaninya. Dia sudah tahu seseuatu terjadi pada Rasti, ini sudah kesekian kalinya ia menelepon. Malam itu, perasaanku campur aduk ditengah jalan. Tak ada tujuan lain selain kembali ke asrama, kutelepon Yanto yang masih berada di kamar.

 “Halo to, si Gusti ada diasrama?”

 “Wah gak ada tuh. Gue ini dikamar, ngga ada dia disini. Tadi sih liat dia lagi keluar katanya ada urusan penting. Pas gue tanya, si Giska katanya sih bukan. Tapi cewe yang telepon,” jelas Yanto.

 “Yaudah thanks ya to. Kabarin gue kalau dia udah balik,”

 “Sip. Sama-sama, gue tidur dulu lah.”

 “Yo,” kututup telepon itu. Telepon Gusti tujuan keduaku, tapi tak juga diangkat apa dia sedang naik motor makanya tak terdengar? Ah yasudah kutelepon Rasti saja lah. Kartu SIM satu tak ada pulsa, sial nomor ini baru kuisi kemarin sore. Kupinjam ponsel supir taksi, hanya sebentar saja. Ya karena dia bilang, pakai saja mas saya masih ada bonus telepon, bagus! Kupikir kenapa ada kesempatan tak dimanfaatkan.

 

***

 

 Jujur aku terpuruk kalau mengingat itu, tapi apa harus persahabatan hancur hanya karena hal sepele. Apa mesti juga aku membenci Rasti? Kinerjaku menurun sebulan terakhir, dan peringatan sudah terlontar dari senior. Kalau aku melakukan kesalahan satu kali lagi, sepertinya aku akan terancam di posisiku sendiri.

 

---

 

“Halo ini dengan siapa?” tanya seseorang, pria siapa ini yang memegang ponsel Rasti?

 “Halo, ini siapa? Mana Rasti?”

 “Angga?” suara itu aku hafal! Itu Gusti, mau apa dia bersama Rasti. Bukankah Rasti sudah kuantar pulang sampai rumah. Apa jangan-jangan Gusti menghampiri Rasti, sial!

 “Oh kau Gusti. Sedang apa kau dirumah Rasti?” tanyaku meninggikan suara,

 “Santai dulu. Kau salah paham,”

 

Sudahlah aku muak bicara dengannya ditelepon, akan kutunggu kau sampai asrama nanti! Kututup teleponnya dan kuputuskan untuk diam saja dan menunggu. Sampai tengah malam dia baru pulang, wajahnya lusuh seperti lelah. Kudorong Gusti sampai menabrak dinding, tubuhnya pasrah saja tapi sedikit tak terima. “apa-apaan sih lu ngga? Ada masalah apa gua sama lu?” dia membalas mendorong bahuku.

Terjadi keributan yang cukup membuat penghuni asrama yang bangun, hanya beberapa. Sisanya, tetap tertidur dengan mimpi yang bergenre drama. Eryas melerai, Yanto menarikku menjauh dari Gusti, walau bagaimanapun dia tetap Danton di pleton ini. Sebagai Danyon, Ryan mengumpulkan kami di kamar asrama dan membahas masalah ini agar tak terdengar oleh petugas piket. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan ini besok, Ryan minta semua berjalan seperti biasa. Tapi tidak akan untuk aku dan Gusti.

 Derikan jangkrik terdengar bising ditelinga, mataku enggan terpejam walau sedetik. Kantukku tak segera mampir dan mengajak mata untuk menutup sebentar saja. Aku malah mengingat tadi, sekarang dipikiranku ada urusan apa antara Gusti dan Rasti. Bukankah Giska sekarang pacarnya Gusti? Kenapa juga dia harus mendekati Rasti lagi. Sial, karena hal ini aku bertengkar dengan sahabatku sendiri. Kukirim pesan ke Rasti, kuputuskan untuk tidak usah bertemu dulu sampai waktunya tiba.

 

Rasti, Rasti dan Rasti!!! Ah aku muak dengan semuanya, aku kesal dengan semua yang pernah terjadi ini. Sebenarnya aku masih menyayanginya, tapi kenapa dia selalu menghindar jika kuhubungi? Itu yang selalu menjadi salah satu masalah yang kupikirkan. Kenapa dia mesti ikut marah, sedangkan diposisi itu aku yang merasakan sakitnya? Sepertinya aku yang akan mengalah pada keadaan, sudah tiga bulan aku tak menghubungi Rasti. Gusti mendatangiku, dia yang meminta maaf padaku lebih dulu. Dia menjelaskan sesuatu yang menurutku masih bisa kuterima tapi masih ada yang menjanggal.

“Dia mau kemana emangnya? Kenapa gak minta bantuanku?” tanyaku,

“Cuman gak mau ngerepotin. Dia gak mau nyuruh kamu bawa barang berat,”

“Dia mau kemana?”

“Dia mau pergi jauh,” jawab Gusti serius, suasana sepi semakin menambah kesan ruang sidang disini.

“Kemana?”

“Ah sudahlah. Kau harus ke ruang dosen, dipanggil Kapten Rama,”

“Siap,” kami berdua lekas bergegas kesana, sudah resmi baikan sekarang. Damai, cara yang paling kusukai sekaligus kubenci. Ini lemah tapi punya sebuah kemenangan. Hebat! Tapi Rasti masih tak mau mengangkat teleponku, akan kucoba terus untuk mengucapkan maaf. Kuhampiri rumahnya saja lah nanti sore, Gusti harus menemaniku.

Selesai mandi ini sudah kukantongi izin bermalam, akan ku kunjungi dia. Tapi tak kutemui Gusti dikamarnya, di kamar mandi dan di kelas. Untuk kedua kalinya Yanto yang memberitahuku kalau Gusti tadi pergi terburu-buru, dia menitipkan pesan untuk pergi sendiri saja ke rumah Rasti. Kenapa dia? Ada apa dengan dia yang terus mendadak pergi, dan benar saja saat kutelepon dia, ponsel mati dan Rasti? Dia juga sama.

***

Apa yang mereka lakukan dibelakangku? Tapi terserah lah, apapun yang mereka lakukan aku tak mau terlibat lagi atau cemburu tak jelas. Lalu sekarang IB kali ini aku akan kemana? Apa akan kubiarkan ini berlalu dan takkan mendapatkannya lagi? Sudahlah, mungkin nasibku hanya bermain di rumah Alfian yang tak jauh dikompleks Akademi Militer. Tentunya dengan beberapa taruna yang lain yang mendapatkan izin bermalam. Kami berencana untuk naik gunung besok harinya, tak ada Gusti lebih baik daripada dia pulang dan aku langsung mengingat semua pertanyaanku. Kebencianku memang tak ada, tapi untuk berteman baik lagi sepertinya tidak. Aku juga sepertinya takkan marah dengan Rasti, hanya saja kami istirahat dari hubungan kami.

 

---

 

Sudah hampir tiga tahun menjalani masa tugasku, cukup menyita waktu pribadi dan keluarga, ya tugasku sebagian besar untuk negara. Waktunya menikmati libur panjang dan juga tiket pulang ke Magelang sudah ditangan. Rasti tak perlu tau aku ada disana, menghampirinya penuh kerinduan. Ingin rasanya kutelepon dia, tapi nanti tidak kejutan. Aku tak menghubunginya dua minggu, dan ini rencanaku, setelah semua fokusku pada penugasan pertama ini. Sesampainya di stasiun Tugu Jogja, kuhampiri Gusti yang memang bertugas disana, ya modus saja dulu biar semuanya terlihat mengalir. Nampaknya saat ia menemuiku, wajahnya murung seperti ada yang ia rahasiakan. Aku sudah menghubunginya tadi, jadi dia kelihatannya sudah siap keluar kebetulan sedang tidak bertugas.

“Ayo lekas berangkat, kelihatannya cuaca tak cukup baik,” Gusti akhirnya membuka mulutnya, “i-iya ayo. Pakai mobilku?” tanyaku,

“Iya, ayo.”

“Ini kuncinya. Kau yang kendarai,” ku berikan kunci mobil yang masih tersisa kehangatan dekapan tanganku. Yang dulunya milik Rasti, semoga sampai sekarang. Sudah hampir sejam melalui perjalanan, gemuruh terdengar dari kejauhan dan terlihatan kilatannya. Mencoba merenggut fokusku pada jalan yang kelihatannya sudah lewat jembatan yang ku ingat ini rumah Rasti. Aku kembali santai dan menyetel lagu sekedar menghancurkan tembok keheningan di dalam mobil. Tatapan Gusti lurus, dan kecepatan bertambah setelah mendengar sesuatu yang terucap dari lidahku.

“Rasti itu cantik ya, apalagi kalau sedang tertidur. Indah sekali, aku merindukannya.”

Sesaat mobil melaju kencang, dan masuk ke jembatan layang, ini bukan jalan kerumahnya.

“Kita mau kemana?” tanyaku,

“Ikut saja,” Gusti menatap lurus tanpa menengok ke hadapanku. Tujuan kami taman pemakaman, apa maksud darinya mengajakku kesini. “kau tak salah mengajakku kesini,” tanyaku heran, “ikut saja, jangan banyak bicara,” Gusti semakin serius dan berjalan lebih cepat.

Kuikuti saja, dan kutemukan sesuatu yang cukup membuatku terkejut. Kotak cincin pertunangan yang kukirimkan tempo hari, bunga yang kuberikan saat pertemuan terakhir sebelum pergi ke Bandung. Tanah merah yang masih basah, harum bunga yang sepertinya baru ditaburkan sekitar dua hari yang lalu, juga nisan putih bertuliskan nama Rasti Ayuningsih. APAA! Ada yang salahkah dengan hari ini?

“Kau sedang bercanda?” aku tetap heran menatap enggan percaya tentang makam itu, walau sebenarnya bukti didepan mata sudah sangat jelas. “Ini jawaban semua pertanyaanmu selama pendidikan, bahkan sampai saat ini.” ujarnya. “Maksudmu apa?” mungkin ini membuatku bingung, tapi aku sekarang merasa bodoh, bukan linglung.

Sabtu, 13 Februari 2016

Perlahan Melupakan - Part 1

Penghujung senja telah berlalu, berganti dengan semilir angin malam yang sedikit menusuk tulang. Tepat di kompleks militer ini aku berdiri dalam sebuah barisan taruna. Yang kelak menjadi barisan pertahanan negara, berpegang teguh pada Sapta Marga dan taat pada agama. Aku, Angga Dwi Laksono, taruna tingkat III yang sedang sibuk – sibuknya berdansa dengan Tugas Akhir (TA) dan bercumbu dengan lapangan tempur. Memeluk mesra senjata di medan tempur sudah menjadi makananku sehari – hari. Ya, sejak aku dan Gusti, sahabatku, memilih melanjutkan studi di Akademi Militer.

 Sudah banyak kisah jatuh bangun para taruna yang benar-benar kubuktikan disini. Fisikku ditempat, mentalku diuji, jiwaku sudah semakin membara akan perjuangan. Tak bisa kupungkiri, kadang aku merasa sangat tampan dengan balutan seragamku ini. Apalagi di lapangan tempur, aku merasa seperti para pejuang kemerdekaan yang sering ku tonton di film perjuangan. Kebetulan memang film seperti itu yang kusukai, Gusti lah yang biasanya bertugas mengunduh beberapa film. Sangat disayangkan, banyak film perjuangan yang tak pernah lagi terlihat oleh penerus bangsa. Padahal, itu bisa menjadi salah satu cara menghargai perjuangan mereka. Ya, mereka yang rela menumpahkan darahnya untuk mendapatkan anugrah terindah yang mereka sebut “FREEDOM” tak lain adalah Kemerdekaan.

 Guntur, salah satu teman seperjuanganku, dia mengakhiri pendidikan di Akademi Militer karena mengalami cedera yang sangat parah. Itu salah satu kebijakan yang diputuskan oleh keluarga besarnya yang sebagian besar adalah anggota TNI. Ia perlu pengobatan, tulang kakinya patah, bahunya retak, dan beberapa ruas rusuk retak. Terpeleset dan terguling saat latihan tempur di sebuah pegunungan dekat magelang, tali yang mengikatnya lepas diantara kami tak ada yang mengetahui talinya rapuh. Sebelumnya satu persatu dari kami sudah lebih dulu menuruni air terjun, entah kenapa saat Guntur turun, talinya lepas dari pengaitnya. Tubuhnya terhempas, sayang tubuhnya menghantam batu yang ada di permukaan air.

 

---

 

 “Guntur, ayo cepat. Biasanya kamu kalau di akmil gak takut ketinggian. Ayo turun,” ujarku meneriakinya dari bawah. “Ayo Tur, masih banyak yang lain harus melanjutkan perjalanan. Kamu berani tur, ayo cepat.” Gusti menyusul perkataanku, kebetulan dia masih berdiri dibelakang Guntur. Ia komandan peleton, ia bertanggung jawab atas semua taruna yang termasuk ke dalam peletonnya. “aku sedikit ragu, Angga,” teriaknya menjawabku. Keringat dingin terlihat mengalir di tengkuk Guntur, ia juga terus menelan air ludah. Memang hanya itu yang bisa ia lakukan, dan sesekali melihat ke bawah.

Di dasar air terjun, sudah ada aku dan 15 orang lainnya yang sudah turun, ia masih menggelengkan kepalanya karena pusing. Gusti kemudian memanggil komandan untuk memutuskan Guntur harus bagaimana. Angin menyibak dedaunan, mengeringkan air terjun yang membasahi wajahku. Tanganku terus memberi tanda pada Guntur agar turun, tapi ia masih memeluk tali yang sudah siap untuk membantunya turun.

 “Firman, kau tanya Gusti sudah dimana dia. Ini akan memakan waktu, kita harus sampai pos kelima sebelum jam 4 sore nanti. Sekarang sudah jam 3, masih ada 20 orang lagi. Suruh mereka turun lebih dulu,” ujarku pada salah satu taruna, ia langsung mengambil handtalk berusaha menghubungi Gusti.

Angin yang lebih kencang mencoba mengalihkanku pada satu sisi, dan benar saja setetes air terjun masuk ke dalam mataku. Perih, ku bersihkan mataku dari air yang masuk itu. Dan detik itu pula, keramaian, gaduh suara para taruna berteriak nama Guntur. Setelah mataku seperti biasa lagi, kulihat tubuh sahabat juga teman seperjuanganku terhempas begitu saja ke dasar. Tali yang ia gunakan sebagai tumpuan putus, Gusti dan yang lainnya melihat dari atas dan langsung mencari jalan lain untuk turun kesana.

 “Guntur!” teriakku menghampiri tubuhnya yang sudah tak melakukan aktivitas lagi.

“Tur, bangun. Ini berapa?” ujar Yanto menunjukkan tangannya ke depan Guntur,

Tak ada jawaban darinya, semua ramai membantunya setidaknya harus dalam keadaan sadar. Napasnya berhenti! teriak Yanto saat mengecek detak jantungnya dan hembusan napas di hidungnya. Tiba-tiba suaranya terdengar, ia merintih kesakitan,

“ugghh,” rintihnya sedikit batuk, semua langsung terkejut dan menghampirinya, “ayo bantu dia,” ujar Gusti, kami membantu mengangkat tubuhnya ke darat. Saat kami rebahkan tubuhnya di tanah, dia langsung merintih benar-benar sakit. Tak tega kami melihatnya, Gusti dan Ryan segera memanggil bantuan dari pos lima agar segera membawanya ke rumah sakit. Setelah ia dibawa oleh tim SAR yang tadi kami hubungi, kami melanjutkan kegiatan lagi. Seusai dari kegiatan tersebut, kami baru mengunjungi Guntur di rumah sakit. Tak habis pikir, kawan kami mengalami kecelakaan seperti itu. Awalnya hanya ingin membuatnya berani di medan yang sebenarnya, alam yang lebih terasa natural. Tapi nyatanya, dia masih butuh pelatihan yang lebih matang lagi.

“Bagaimana keadaannya?” tanyaku pada Gusti yang sejak tadi menunggu hasil dari dokter.

“Ia takkan bisa ikut dengan kita lagi,” ujarnya merunduk, sepertinya jiwaku sebagai seorang lelaki diuji. Tangisanku tak boleh pecah disini, bagaimanapun dia termasuk orang yang ingin kulindungi. Dia adik kelasku, dia masuk akademi militer dan menjadi teman letting. Dia adik sepupu dari kakak iparku.

“Dia tidak akan ikut latihan lagi? Apa dia…”

“Tidak, dia selamat. Cederanya cukup parah, aku baru menghubungi kedua orangtuanya. Mereka akan segera kesini,” ujar Gusti,

Syukurlah hanya cedera, dan pastinya masih tetap bernapas. Kukira akan mendapat berita duka yang akan mengiris asaku menjadi seorang tentara. Tekadku dan dia sama, kami ingin menjadi barisan kebanggaan bangsa tapi sekarang dia takkan bisa. Tak lama kedua orangtuanya datang, dia masih dalam keadaan koma yang kulihat tadi.

 “Pak, bu,” kucium tangan orangtuanya,

 “Dimana Guntur, nak?” ujar Pak Ridwan, ayahnya Guntur.

 “Masih di ruangan itu, mari saya antar. Hanya boleh masuk dua orang saja,” ujarku pada Pak Ridwan dan Bu Hani. “baiklah, bapak dulu baru ibu,” suara Bu Hani masih terdengar bijak walau terlihat bekas tangisan, air yang mongering di pipinya. Raut wajahnya yang menunjukkan kekhawatiran, ‘tenang, bu. Aku akan membantunya semampuku,’ ujarku dalam hati sambil tersenyum pada ibu dari tiga anak itu. Seusai mengantar ayahnya, kuputuskan untuk keluar dan menjemput ibunya untuk menemui anaknya yang tertidur pulas dengan beberapa kabel menempel dibadannya juga beberapa jarum infus menembus kulit cokelatnya. Kantung darah, infus dan penahan rasa sakit menjadi alat untuknya bertahan disaat seperti ini.
Kutinggali saja mereka didalam, dan terlihat beberapa suster membantu seseorang yang terjatuh. Bu Hani akhirnya ambruk menahan kesedihannya, dan Pak Ridwan hanya bisa menahan tangisannya. Pria memang begitu, menahan kesedihan hanya untuk memperbaiki suasana tanpa memperkeruhnya. Aku semakin tak tega, biar Yanto dan Eryas yang membantu Bu Hani keluar ruang ICU. Gusti memanggilku, ada sesuatu yang akan ia sampaikan, mengenai Guntur sepertinya. Ia sudah berbicara pada Pak Ridwan, keputusan ini sangat berat. Ayahnya akan membawa Guntur ke luar negeri dan menjalani pengobatan disana. Ia juga akan menyudahi pendidikannya sampai tingkat dua.

Jujur saja, hatiku miris mendengarnya. Masih teringat dibenakku bagaimana semangatnya berjuang masuk akademi militer bersamaku. Dan akhirnya, senyuman terakhir yang kulihat saat aku terakhir berbicara padanya soal wanita yang ia sukai. Yang ia kunjungi saat pesiar kemarin, dan aku malah teringat dengan teman wanita itu. Wanita yang memakai dress anggun, senyumannya manis dan lembut. Iya, dia yang kusukai dalam diam. Sesuatu yang spesial tapi terlihat sempurna, terlihat sederhana bukan? Biarkan aku bersama semangatku sebagai seorang tentara remaja.

---

 

Kisah cinta membuat seseorang bisa menggila sesaat dan tampak menyedihkan dalam waktu sekejap. Sebenarnya aku tak begitu menyukai hal cinta atau apapun, hanya saja seorang wanita itu membawaku ke romansa menggelikan hati. Semua berawal dari hari yang sudah ditunggu oleh kami para calon taruna Akademi Militer atau sering disebut akmil. Aku dan Gusti berasal dari Surabaya, dan Guntur asli orang Magelang. Kebetulan perkenalan kami terjalin sangat akrab sejak pertama kali kami berdiri di pendaftaran yang sama.

 

“Angga, lo berangkat kapan? Bareng ya,” ujar Gusti ditelepon,

“Gue berangkat abis sholat dhuha, lo siap-siap aja dulu. Lagian siapa suruh kita di Semarang, udah bener gue ajak turun di Jogja, gak bakal begitu jauh gini, gus.”

“Ya maaf, gue kan sekalian ke rumah bude. Sorry ya, semoga betah lu ya di hotel. Hari ini doang kan?” Gusti tak mengajakku menginap disana karena takut dibandingkan ole budenya. Dulu saja, habis aku dipuji oleh budenya sedangkan dia hanya dibandingkan saja. Balas dendam dia rupanya, lucu sahabatku yang satu ini.

“Ya siap.” dia yang menutup teleponnya, padahal baru akan kumintai lumpia basah buatan budenya yang enak. Dia pernah membawakannya, waktu diperjalanan kembali ke Surabaya setelah seleksi dulu. Aku sudah siap dari semalam, dan sekarang aku bisa bersantai dulu. Menelepon ayah dan ibu sudah, bicara dengan kak Putri sudah, tinggal Giska yang belum kutelepon. Ia akan merindukanku jika tak kukabari, lagipula dia juga belum tau kabarku yang akan masuk akademi yang ia inginkan. Ia ingin aku menjadi seorang perwira seperti kedua kakaknya. Kupikir kalau kuikuti keinginannya takkan rugi untukku. Ceria saja menghadapi pendidikan ini, Angga, tetap santai. Kuhela napas panjang saat detik yang sama ku tekan tombol telepon Giska. Aku masih malu meneleponnya, bukankah ini kejutan untuknya?

Kutunggu beberapa menit, nada telepon sudah berbunyi sampai bosan memberitahuku kalau telepon yang kutuju sedang sibuk atau berada diluar jangkauan. Sesulit inikah menelepon kekasih sendiri? Kejutanku akan gagal kalau aku beritahu lewat kakaknya, atau kutulis lewat message facebook.

“tinggalkan pesan setelah nada berikut,” nuut. Setelah nada itu, kuungkapkan pesan kejutanku untuknya. Aku senyum sendiri setelah menyelesaikan rekaman suara itu, bangga memberitahunya saat ini.

Dari kemarin, tiap kukabari sesuatu ia tak juga meneleponku balik atau sekedar membalas chat yang kukirimkan. Hanya terkirim saja, dan beberapa chat via lain ada yang hanya di baca. Ada apa dengan Giska? Aku merasa bukan prioritasnya? Giska kemana saja kau saat kubutuhkan? Ya aku berusaha tak membawa pikiran apapun sebelum masuk ke kawah Chandradimuka. Aku sedang tak ingin diganggu sampai tingkat dua. Aku akan konsentrasi belajar dulu di akmil, karena kusadari usahaku lolos seleksi itu sulit.

Kenapa kantukku datang disaat seperti ini? Kuputuskan untuk tidur dulu sebelum berkendara nanti, Semarang ke Magelang cukup jauh kan? Ya, setidaknya untuk orang yang sedang mengantuk sepertiku lebih memilih tidur daripada mengemudi. Ditengah tidur, mimpiku mulai tersusun berusaha merayuku untuk tergiur pada harapan semu.

Wanita itu pergi! “Tunggu nona!! Jangan tinggalkan aku disini sendiri, kau yang mengajakku kesini kan?” Wanita itu mengacuhkan rintihanku, kakiku sulit bergerak tak bisa mengejarnya. Kaku, kakiku kaku sekali!

“Nona! Bantu aku, kakiku sepertinya beku. Disini dingin!” Akhirnya wanita itu datang menghampiriku, dan menjulurkan tangannya. Hembusan dari arah timur datang tiba-tiba, tersibaklah wajah manis wanita itu.

“Nona! K-kau siapa?” Aku ketakutan menatapnya, ia terlalu cantik untuk seseorang yang menjebakku dalam ruangan ini.

“Aku pengarah jalanmu, sini kubantu. Maafkan aku yang mengajakmu kesini, aku akan berusaha mencari jalannya. Pasti.” Saat aku benar-benar berdiri dengan genggamannya, tangannya tak terasa lagi dan cahaya itu! Iya! Pecah! Terurai, memancar ke segala arah, pandanganku kabur! Dimana ini! Nona! Jangan pergi, nona!

 

“Nona!” hanya mimpi? Apa kubilang, tidur hanya menawarkanmu pada harapan semu yang tak pernah menjadi nyata. Siapa wanita tadi ya, wajahnya yang kutahu bukan Giska. Dia orang lain, tapi apa ada wanita secantik itu?

Tak lama Gusti meneleponku, dan beberapa pesan dari teman yang kukenali waktu itu menanyakan berangkat pukul berapa.

“Gusti, gue baru bangun. Abis cuci muka terus sholat dhuha dulu. Gak enak kalau gak sempat sholat, pasti gue jemput,”

“Jangan terlalu lama, nanti jalanan macet,”

“Tidak akan, ini kan hari kerja. Bukan hari libur,” kututup teleponnya, dan segera pergi ke kamar mandi. Selesai semua kegiatanku dihotel, check out kamar dan sebagainya, sesegera mungkin tancap gas ke rumah budenya Gusti. Hanya terlambat 10 menit dari perjanjian, wajah Gusti sudah tak enak. Kusenyumi saja wajah umeknya dan menepuk bahunya mengajak ke dalam untuk berpamitan pada bude dan padenya.

“Kalau macet gimana? Jam 11 kita mesti disana."

“Tak akan. Ayo,”

Dan ternyata jalanan benar-benar diluar prediksi, sesampainya di Magelang jalanan sulit dilewati. Entah apa penyebabnya, yang pasti aku baru sadar kalau sekarang ini jam makan siang seluruh kantor. Dan kulihat banyak mobil berplat lain selain AA dan AB. Ini sudah hampir pukul 11 dan harus sampai sana pukul 12 tanpa kompensasi apapun.

“Apa gue bilang Angga, Mertoyudan gabisa diprediksi kan." 

“Ya maaf maaf. Guntur juga belum sampai kok,”

“Guntur sih lompat juga sampai ke akmil,”

“Iya, bawel.” aku terus mengemudi, dan jam menunjukkan pukul 11.20. Jantungku sekarang mengalami getaran, degupannya terdengar olehku. Gusti sudah gatal saja ingin turun, masalahnya kita harus memarkirkan mobil di rumah Guntur. Akhirnya jam 11.45, kami sudah melihat pagar rumah yang dibilang Guntur. Katanya parkir diluar kompleks saja, biar apa aku kurang paham, hanya saja akan terlihat lebih sederhana.

“Cepat parkirkan, itu Guntur sudah ada,”

Setelah itu kami berjalan cepat, tas berat membuat langkah kami melambat sepersekian detik dan sesekali menatap jam ditangan.

Tebakanku tepat! Guntur dan Gusti berlari sambil membawa tas saat aku membenarkan tali sepatu. “wey! Tunggu!” Hanya terlambat 2 menit, tak ada ampun sepertinya. Aku diberhentikan oleh petugas, bersama dengan beberapa calon taruna yang terlambat lainnya.

“Sial,” hatiku geram, kalau kubiarkan tali sepatu terlepas itu akan menjadi bahasan oleh pelatih. Kalau kubenarkan, akan terlambat seperti ini. Wajahku terus diangkat, aku terus merasa malu saat beberapa wanita yang memakai seragam berpangkat sersan lewat di depan barisan. Menunduk bukan gayaku menghadapi masalah.

“Kau tau apa salahmu?”

“Siap! Tau pak,”

“Kau mengerti apa konsekuensinya?”

“Siap! Mengerti, pak”

“Lebih lantang!”

“Siap! Mengerti, pak!”

“Baik, push up 50 kali. Sikap siap, mulai berhitung! Satu! Dua!.....” dia terus menguji mentalku agar tak cengeng. Tanganku keram, harus menopang badan dengan tangan yang beralaskan aspal. Lama tak berhitung, dan kami terus push up sampai petugas bilang berhenti.

“Seratus!” petugas pun menyuruh kami berdiri dan mengambil tas kami yang diletakkan selama push up. Tak kusangka, tadi kami dua kali lipat melakukan push up-nya.

“Kalian ke lapangan sekarang. Lari!”

“Siap!” dia menyuruh kami berlari sambil bergemuruh dengan nyanyian yang sudah diberitahu oleh kakak kelas waktu itu.

“Lantangkan suara kalian!” petugas menuntun kami ke lapangan, sambil menyanyikan hymne taruna, kami tampak gagah berlari. Fokusku teralihkan kepada pemandangan anak-anak tentara yang baru kembali selepas bermain dirumah temannya. Ada juga yang baru pulang dari sekolah, mungkin masih kelas 1 atau TK? Entah kelas berapa mereka yang berlari atau yang sedang menatap kami berlari menyusuri jalan ke lapangan didepan sana, yang pasti aku rindu masa seperti itu, tapi aku harus terus maju dan dewasa. Kelak aku akan menjadi orang tua untuk masa yang kurindukan. Merasakan hal yang sama dirasakan oleh orang tuaku dulu waktuku kecil.

Sampai juga dilapangan, kududuki rumput dekat dengan Gusti dan Guntur. Mereka malu dekat denganku, karena mereka meninggalkanku dan membiarkanku dihukum. Bangun pun, aku dibantu oleh Yanto tanpa uluran tangan kedua sahabatku, kenapa ya mereka? Seusai melakukan kegiatan siang yang terik itu, malamnya kami menempati ruang tidur yang telah ditentukan. Guntur dan Gusti masih malu untuk berbicara padaku selepas latihan. Saat hendak berwudhu untuk sholat tahajud, mereka mengikutiku dari belakang. Mereka ikut wudhu dan mereka masih takut menatapku.

To be continued...