Minggu, 14 Februari 2016

Perlahan Melupakan - Part 2

Setelah sholat dan hendak tidur, baru ku sapa mereka berdua.

“Ada apa dengan kalian? Sepertinya ada yang perlu disampaikan aku tahu?” ujarku bijak merangkul mereka berdua seusai melipat sajadah,

“Angga, kau tak marah karena tadi?”

“Ah aku kan sudah sering latihan push up, itu karena kau juga kan Gusti.”

“Kau pasti marah padaku?” tanya Guntur,

“Hey adik sepupu, tak mungkin aku marah karena itu, ayolah semua seperti biasa kok. Gak ada yang berubah,” jelasku pada mereka yang daritadi membuntutiku entah untuk apa. Mereka senyum dan menyalamiku sebagai tanda kami sudah seperti biasa lagi, itu kebiasaan kami para pria. Jangan kira lelah kami malam ini berakhir nanti saat terbit matahari. Karena saat itulah aktivitas kami akan semakin berat. Kami wajib disiplin dalam hal waktu istirahat. Jasad kami memang lelap tertidur, tapi hati kami terus terjaga. Ini yang akan kami lakukan disetiap penugasan. Telinga terus siap, tubuh harus kuat melawan kantuk yang menguasai mata dan pikiran.

“Bangun! Bangun!” kemudian alarm berbunyi, aku baru saja selesai mandi dan lekas berlari ke kamar memakai seragam PDL. Berdiri dalam keadaan siap, mata beberapa taruna terlihat masih merah. Guntur dan Eryas yang hari ini membuat kami berolahraga pagi sambil membawa kasur.

Lemari Eryas berantakan, akhirnya semua isi lemarinya dikeluarkan. Satu lagi, tempat tidur Guntur tak dirapihkan dengan baik dan benar. Bocah ini masih butuh bimbingan rupanya, maklum saja dia baru anak kemarin. Kami pun atas perintah petugas berlari mengelilingi lapangan dengan kasur diangkat diatas kepala. Setelah 10 kali keliling, barulah kami kembalikan kasur ke kamar dan berkumpul dilapangan.

Kami belajar dikelas sekarang, tak dilapangan atau mungkin itu nanti sore. Kantukku tumbuh disiang hari, kepalaku berat, dan tertunduk.

“Kau!” hentakan suara itu mengejutkanku. Segera kuangkat kepalaku dan benar saja telunjuk itu jelas mengarah padaku. Aku berdiri dan dihukum mengangkat kursi sampai pelajaran selesai. Begitu terus sampai tingkat dua, aku belum berhasil menjadi taruna teladan. Bahkan Canka Lokananta pun aku tidak ikut, aku suka dengan kelas budaya. Eryas dan Yanto lah teman sependeritaanku. Guntur dan Gusti? Kami masih bersahabat baik, aku ingin banyak sahabat disini.

“Kau ini, masih ngantuk. Untuk apa kau malam bangun dan beribadah, apa tak tidur?” tanya Eryas,

“Itu salah satu usahaku untuk memohon restu dari Allah,” jawabku,

“Oh begitu. Lagipula, terimakasih berkat kau bangun mandi. Aku tak kesiangan setiap kali bangun,” tepuk Eryas pada pundakku,

“Hahaha, aku juga berterima kasih padamu. Berkat dengkuran kau, aku terbangun tengah malam dan sholat,”

“Kau ini, sudah pernah dicium sepatu?”

“Belum. Kau saja lah yang cium sepatuku dulu,” jawabku sambil meletakkan sepatu PDL milikku ke tangannya. Dia melempar sepatu milikku, aku hanya tertawa menatapnya berlalu ke luar kamar. Sambil membenarkan baret cokelat khas taruna, aku menuruni tangga dan tak kusangka ada seorang wanita disana. Disalah satu rumah yang kutahu milik Pak Daru, pamannya Guntur juga. Kulihat disana ada Guntur, dan dua orang wanita duduk dengan dress sederhana. Rambut dikuncir satu, yang satunya lagi dibiarkan terurai. Sebentar! Yang dikuncir, sepertinya pernah kulihat tapi dimana ya?

“Sersan taruna Angga Dwi! Ayo kesini dulu sebelum kegiatan sore nanti,” dari kejauhan tadi, mata Guntur sudah memberikan kode. Aku sudah tahu apa maksudnya, halah paling juga dia akan mengenalkanku pada seseorang. Kuhampiri saja mereka dan langsung berkenalan dengan kedua putri entah milik siapa hatinya.

“Yuka,” temannya menyapaku terlebih dahulu, “Angga,” jabat tanganku disapa olehnya, “Rasti,” ia tersenyum. Ah aku pernah mengenalinya dimimpi! Benar ternyata, bidadari itu nyata! Guntur menatapku penuh curiga, dia menyuruhku menemani Rasti berjalan sambil berbicara sampai sore tiba. Tak ada pembicaraan diantara kami, kuputuskan untuk memulainya duluan.

“Kau sudah kuliah?” tanyaku, “Sudah, aku semester 2 sekarang. Kamu sama dengan Guntur sekarang?” tanyanya balik, “Iya.” jawabku singkat, walau bagaimanapun aku taruna harus jaga sikap didepan wanita seperti dia. “Guntur banyak cerita tentangmu, oh iya aku teman SMP nya.” apa yang sering ia dengarkan dari Guntur tentangku? Benakku segera dipenuhi oleh tanda tanya dan rasa penasaran yang sebentar lagi menggunung entah setinggi apa. Tapi dia tidak boleh tahu dikepalaku isinya pertanyaan.

“Sepertinya teriknya ini sudah semakin membuat tidak nyaman. Apa tidak sebaiknya kita kembali ke rumah pade mu?”

“Baiklah” Rasti dan aku berjalan kembali kesana, tak lama Guntur memanggilku untuk segera kembali ke kelas. Dia menatapku sambil tersenyum, kesan indah untuk pertemuan pertama. Kan kutagih janjimu menemaniku pesiar besok lusa, Rasti.

Sesampainya dikelas, Gusti menghampiriku dan menceritakan sesuatu yang mencengangkan. Dia memang temanku yang selalu datang membawa kejutan besar, bahkan luar biasa. Ya, lihat saja bagaimana sahabatnya ini haha. Segalanya terlihat luar biasa kan? Skip yang ini!

Apa? Dia kenal dengan Giska? Oh jadi ini alasan Giska menghindar dariku, sudah jadian kah kalian berdua? Pikiranku terus menyalahi dan menyoraki diriku sendiri yang selalu memikirkan Giska. Oke, mulai sekarang Rasti lah yang akan menjadi bidadariku.

“Oh sudah 3 bulan. Dia sekarang dimana?”

“Dia kuliah di Bandung. Sekarang dia cantik sekali ya, liat nih fotonya. Beda dari waktu SMP dulu. Gak nyangka sekarang jadi pacarku,” dia senyum terus melihat foto seseorang yang sudah cukup membuatku muak akan sikapnya. “semoga langgeng ya, ajak dia ke Praspa nanti.” godaku pada sahabatku yang sedang berbahagia, “Amiin, akan kubawa nanti. Awas kalau kau sampai suka dengannya,” ujar Gusti mengejek, dia tidak tahu saja bagaimana sifat Giska saat kau jauh darinya. “Tidak akan. Sekarang kan dia punya Rasti, itu loh sepupuku, gus. Dia mengambil langkah cepat, biar gak sendiri saat Praspa nanti, tapi ya memang masih jauh sih. Pesiar nanti dia akan membawa kita mengenali bidadarinya secara resmi,” Guntur menyambung pembicaraan kami, kupukul saja perutnya. “uhuk, bercanda Angga. Tapi benar kan kau menyukainya?”

“Itu urusanku,”

“Ciee, Angga gak jomblo lagi. Dating party! Pesiar nanti kita kumpul dengan wanita kita masing-masing,” ide Gusti tak begitu baik karena itu berarti Giska akan datang, aku harus mencari alasan yang pintar.

“Wah, sepertinya Rasti ingin kencan denganku saja. Jangan ganggu kami ya,” mereka semakin menggodaku, biarlah ini caraku agar tak bertemu Giska. Muak menatapnya, pengkhianatannya membuat sesak di dada.

 

***

 

Pesiar datang, Yuka dan Rasti sudah duduk manis menungguku dan Guntur. “ayo,” kujemput bidadari itu dan mengajaknya jalan-jalan. Hanya makan makanan sederhana saja, tak direstoran seperti keinginan Giska yang selalu merajuk itu.

“Kau masih sendiri?” kuberanikan bertanya seperti itu,

“Iya,” jawabnya singkat, “Apa kau menyukaiku?” aku terlalu to the point.

“Jangan pikirkan hal cinta dulu, kau harus berhasil. Tenang, aku menunggumu.” Rasti tersenyum menatapku lurus tanpa henti. Dia akan menungguku sampai aku melamarnya? Tugasku hanya percaya, tak lebih dari itu dulu, belum terlalu percaya pada wanita ini.

“Ayo makan nanti keburu dingin,” sambung Rasti, dan aku hanya tertawa kecil malu.

Aku selalu mengingat kata-katanya, membakar api semangat dan kubiarkan membara hampir menyambar ke tepi. Dan kejadian keluarnya Guntur dari akmil juga menjadi salah satu peristiwa yang membuatku semakin ingin lulus di akademi ini dengan memuaskan. Yuka selalu menitip salam pada Rasti agar disampaikan ke Guntur. Tapi dia tak ingin menemui Guntur, ia belum berani jujur kalau dia sudah menikah dengan polisi berpangkat inspektur satu. Tentu ia dijodohkan oleh kedua orang tuanya, aku juga belum mau memberitahu Guntur.

Praspa sebentar lagi, sidang sudah kulewati pula. Sepertinya aku akan mendapat libur nanti, rencana langsung tersusun dibenak. Kukirim undangan Praspa kepada kedua orang tuaku di Surabaya dan juga Rasti sebagai tamu kehormatan. Selesai menulis alamat rumah, Eryas berlari memanggilku yang sedang duduk di kursi belajar. Kapten Hendra memanggilku katanya dilapangan. Segera kukayuh kaki dengan cepat, berlari ke lapangan yang Eryas beritahu tadi.

“Sersan Mayor Satu Taruna Angga Dwi Laksono, kau tahu kesalahan apa yang sudah terjadi?”

“Siap, tidak tahu pak!”

“Benar kau tak tahu semuanya?”

“Siap! Tidak pak!” kulantangkan suaraku dihadapan pelatih, “push up 100 kali, pikirkan kesalahanmu apa. Lalu bangun dan bicara! Sikap siap, mulai! Satu. Dua. Tiga...”

“Siap! Saya tahu pak!”

“Apa itu Sematutar Angga Dwi Laksono?”

“Siap, saya salah tidak bisa menjaga rekan tim saya saat dilapangan. Terlambat dalam jadwal kelas, dan selalu mengantuk di dalam kelas.”

“Baik. Kau harus sadari itu, dan jaga terus fisikmu, tugasmu akan berat setelah ini. Selamat ulang tahun dan selamat atas kelulusanmu Letda.Infanteri. Angga Dwi Laksono.” Jujur aku terkejut, semuanya langsung bersorak tertawa dan adapula yang menindihku. Semuanya memberiku ucapan ulang tahun, dan ternyata hanya aku yang tidak tahu pengumuman kelulusan itu. Keseruan ini takkan terulang lagi, hanya sekali mungkin. Biarkan mereka menghabisiku hari ini.

“Aku dan Kapten Hendra yang menyiapkan ini,”

“Eryas, kau!” kujitak kepala hitam dengan rambut cepak miliknya. Habis wajahku diacak-acak oleh teman lettingku, keseruan ini jadi kenangan. Kapten Hendra memanggilku, badan tegap menjadi tamengku dihadapannya.

“Bersikap biasa saja lah, Angga.”

“Siap, Kapten Hendra,” aku mendadak menjauh dan bersikap siap dihadapan atasanku.

“Lekas beritahu orang tuamu, dan kekasihmu, itupun kalau kau punya. Kalau tak punya jangan memaksakan diri,” semuanya tertawa mendengar perkataan Kapten Hendra. Dipikiranku langsung tertulis nama Rasti Ayuningsih, wanita yang kupuja dalam setiap pujian. Baiklah, akan kukenalkan pada dunia siapa orang yang mengunci hariku untuk selalu memikirkannya. Kapten Hendra, akan kukenalkan dia nanti padamu haha.  Rasti akan main ke asrama, kutunggu dia berdiri indah dengan pesonanya yang selalu kurindukan.

 

Malam yang indah, si pesona itu datang, aku diberitahu oleh angin kalau titisan dewi sudah datang. Kupersilakan dia duduk manis di tempat yang tak kotor, aku akan segera membersihkan diri. Parfum yang ia belikan dulu, pilihan terbaikku.

Kusematkan cincin kebanggaanku pada jari manisnya yang tak terlalu kurus. Sedikit sesak memang, tapi tak apa hanya sekedar menandainya sebagai milikku.

Cincin ini kelak kuberikan pada calon istriku, tapi aku belum yakin dia akan setia padaku. Jarak membuatku tak tahu apa yang dilakukannya disana. Hanya kepercayaan yang membuatku selalu berkata “iya” untuk seorang Rasti.

“Makasih ya, maaf kalau pernah kecewain kamu,” Rasti menatap cincin yang menempel dijari manisnya,

“Iya. Kamu gak pernah kecewain aku kok santai aja. Jangan diliatin terus cincinnya,”

“Haha, iya abisnya kekecilan. Sempit, kayanya kamu gak ikhlas ngasih aku, bukan buat aku ini. Cincinnya jujur banget ya,” Rasti mengangkat wajahnya dan tersenyum,

“Aku ikhlas kok, Rasti. Masa iya aku ngasih tapi gak ikhlas. Cincinnya aja yang kekecilan atau..”

“Tangan aku yang kegedean gitu? Iya?”

“Aku gak maksud loh,” mataku mencoba meyakinkannya. Aku tak mau dia marah.

“Iya kamu mau ngomong gitu kan. Aku gak marah kok santai aja sih,”

“Yaudah lupain itu. Nanti aku beliin buat kamu yang lebih bagus lagi. Dimomen yang lebih bagus,”

“Kapan?” tanya Rasti menantang,

“Nanti pokoknya, aku sedang tidak pegang uang lebih.”

“Jangan paksakan diri, aku bercanda kok. Gausah beli cincinnya,” Rasti memukul bahuku, aku segera berpura-pura kesakitan. “ughh,”

“Maaf Angga. Sakit ya,” Rasti mengusap bahuku, kuambil tangannya dan kuletakkan di jantungku, “iya sakitnya disini, Ras” Rasti tak pernah manis seperti wanita yang lain. Dia malah mendorong dadaku sampai hampir tersungkur, dia tertawa cukup puas. Tapi kenapa hatiku bicara kalau ini tak akan berlangsung lama, dan akan berakhir cepat. Kupeluk dia malam itu, dan kuantar dia balik ke rumah dengan selamat tanpa kurang apapun. Hanya saja sekarang dirumahnya sudah sepi, kedua orang tuanya sudah pulang lagi ke Jakarta.

---

Jam menunjukkan pukul 4 pagi, tubuhku sudah terbiasa ditempa untuk sigap dikala yang lain masih mesra memeluk guling dan tentunya berguling diatas kasur yang nyaman. Hari ini aku resmi berdinas di Bandung. Semakin jauh saja jarakku dengannya, lagu LDR-Raisa selalu membuatku mengingatnya. Tapi sekarang malah semakin dekat dengan Giska, sungguh tak kuharapkan.

Dia mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas di Bandung. Dan dengar-dengar dia bekerja disini juga, semakin lama dia menetap di Kota Kembang ini. Komunikasiku dengannya terjalin lagi dimulai dari siang itu setelah praspa. Kebetulan nomorku masih nomor yang lama, dia masih menyimpan nomorku rupanya.

“Angga, aku rindu kamu,” ujar Giska ditelepon,

“Ya. Memangnya kau tak merindukan Gusti?”

“Ah kamu jangan seperti itu. Aku sungguh mencintaimu,”

“juga sahabatku. Haha sudahlah, Giska. Aku sedang malas berbicara denganmu. Suaramu selalu membuatku ingin marah,”

“Kau tak jauh berbeda dengan yang dulu. Kau masih marah karena aku tak datang menemanimu ke akmil?”

“Sudahlah, itu sudah berlalu. Jangan diungkit lagi, lagipula aku sudah menemui siapa yang pantas memakai cincin itu,”

“Siapa? Kau selingkuh?”

“Aku itu diajarin kamu! Jadi jangan bicara seakan aku yang salah disini,”

“Apa sih Angga, kamu ngomong apa? Aku ngga paham maksud kamu apa,” Giska memohon, dia masih membutuhkan aku sepertinya. Oh iya, apalagi aku sekarang sudah resmi menjadi seorang perwira. Aku lupa hal itu. Kututup saja teleponnya. Tak ada lagi pembahasan yang mesti dibahas diantara kami.

 

---

 

 Rasti dirumahnya sendirian, ia segera menghubungi Gusti yang berada di kontrakan temannya. Dia butuh teman. Gusti segera meluncur ke rumahnya dan menemaninya. Dia sudah tahu seseuatu terjadi pada Rasti, ini sudah kesekian kalinya ia menelepon. Malam itu, perasaanku campur aduk ditengah jalan. Tak ada tujuan lain selain kembali ke asrama, kutelepon Yanto yang masih berada di kamar.

 “Halo to, si Gusti ada diasrama?”

 “Wah gak ada tuh. Gue ini dikamar, ngga ada dia disini. Tadi sih liat dia lagi keluar katanya ada urusan penting. Pas gue tanya, si Giska katanya sih bukan. Tapi cewe yang telepon,” jelas Yanto.

 “Yaudah thanks ya to. Kabarin gue kalau dia udah balik,”

 “Sip. Sama-sama, gue tidur dulu lah.”

 “Yo,” kututup telepon itu. Telepon Gusti tujuan keduaku, tapi tak juga diangkat apa dia sedang naik motor makanya tak terdengar? Ah yasudah kutelepon Rasti saja lah. Kartu SIM satu tak ada pulsa, sial nomor ini baru kuisi kemarin sore. Kupinjam ponsel supir taksi, hanya sebentar saja. Ya karena dia bilang, pakai saja mas saya masih ada bonus telepon, bagus! Kupikir kenapa ada kesempatan tak dimanfaatkan.

 

***

 

 Jujur aku terpuruk kalau mengingat itu, tapi apa harus persahabatan hancur hanya karena hal sepele. Apa mesti juga aku membenci Rasti? Kinerjaku menurun sebulan terakhir, dan peringatan sudah terlontar dari senior. Kalau aku melakukan kesalahan satu kali lagi, sepertinya aku akan terancam di posisiku sendiri.

 

---

 

“Halo ini dengan siapa?” tanya seseorang, pria siapa ini yang memegang ponsel Rasti?

 “Halo, ini siapa? Mana Rasti?”

 “Angga?” suara itu aku hafal! Itu Gusti, mau apa dia bersama Rasti. Bukankah Rasti sudah kuantar pulang sampai rumah. Apa jangan-jangan Gusti menghampiri Rasti, sial!

 “Oh kau Gusti. Sedang apa kau dirumah Rasti?” tanyaku meninggikan suara,

 “Santai dulu. Kau salah paham,”

 

Sudahlah aku muak bicara dengannya ditelepon, akan kutunggu kau sampai asrama nanti! Kututup teleponnya dan kuputuskan untuk diam saja dan menunggu. Sampai tengah malam dia baru pulang, wajahnya lusuh seperti lelah. Kudorong Gusti sampai menabrak dinding, tubuhnya pasrah saja tapi sedikit tak terima. “apa-apaan sih lu ngga? Ada masalah apa gua sama lu?” dia membalas mendorong bahuku.

Terjadi keributan yang cukup membuat penghuni asrama yang bangun, hanya beberapa. Sisanya, tetap tertidur dengan mimpi yang bergenre drama. Eryas melerai, Yanto menarikku menjauh dari Gusti, walau bagaimanapun dia tetap Danton di pleton ini. Sebagai Danyon, Ryan mengumpulkan kami di kamar asrama dan membahas masalah ini agar tak terdengar oleh petugas piket. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan ini besok, Ryan minta semua berjalan seperti biasa. Tapi tidak akan untuk aku dan Gusti.

 Derikan jangkrik terdengar bising ditelinga, mataku enggan terpejam walau sedetik. Kantukku tak segera mampir dan mengajak mata untuk menutup sebentar saja. Aku malah mengingat tadi, sekarang dipikiranku ada urusan apa antara Gusti dan Rasti. Bukankah Giska sekarang pacarnya Gusti? Kenapa juga dia harus mendekati Rasti lagi. Sial, karena hal ini aku bertengkar dengan sahabatku sendiri. Kukirim pesan ke Rasti, kuputuskan untuk tidak usah bertemu dulu sampai waktunya tiba.

 

Rasti, Rasti dan Rasti!!! Ah aku muak dengan semuanya, aku kesal dengan semua yang pernah terjadi ini. Sebenarnya aku masih menyayanginya, tapi kenapa dia selalu menghindar jika kuhubungi? Itu yang selalu menjadi salah satu masalah yang kupikirkan. Kenapa dia mesti ikut marah, sedangkan diposisi itu aku yang merasakan sakitnya? Sepertinya aku yang akan mengalah pada keadaan, sudah tiga bulan aku tak menghubungi Rasti. Gusti mendatangiku, dia yang meminta maaf padaku lebih dulu. Dia menjelaskan sesuatu yang menurutku masih bisa kuterima tapi masih ada yang menjanggal.

“Dia mau kemana emangnya? Kenapa gak minta bantuanku?” tanyaku,

“Cuman gak mau ngerepotin. Dia gak mau nyuruh kamu bawa barang berat,”

“Dia mau kemana?”

“Dia mau pergi jauh,” jawab Gusti serius, suasana sepi semakin menambah kesan ruang sidang disini.

“Kemana?”

“Ah sudahlah. Kau harus ke ruang dosen, dipanggil Kapten Rama,”

“Siap,” kami berdua lekas bergegas kesana, sudah resmi baikan sekarang. Damai, cara yang paling kusukai sekaligus kubenci. Ini lemah tapi punya sebuah kemenangan. Hebat! Tapi Rasti masih tak mau mengangkat teleponku, akan kucoba terus untuk mengucapkan maaf. Kuhampiri rumahnya saja lah nanti sore, Gusti harus menemaniku.

Selesai mandi ini sudah kukantongi izin bermalam, akan ku kunjungi dia. Tapi tak kutemui Gusti dikamarnya, di kamar mandi dan di kelas. Untuk kedua kalinya Yanto yang memberitahuku kalau Gusti tadi pergi terburu-buru, dia menitipkan pesan untuk pergi sendiri saja ke rumah Rasti. Kenapa dia? Ada apa dengan dia yang terus mendadak pergi, dan benar saja saat kutelepon dia, ponsel mati dan Rasti? Dia juga sama.

***

Apa yang mereka lakukan dibelakangku? Tapi terserah lah, apapun yang mereka lakukan aku tak mau terlibat lagi atau cemburu tak jelas. Lalu sekarang IB kali ini aku akan kemana? Apa akan kubiarkan ini berlalu dan takkan mendapatkannya lagi? Sudahlah, mungkin nasibku hanya bermain di rumah Alfian yang tak jauh dikompleks Akademi Militer. Tentunya dengan beberapa taruna yang lain yang mendapatkan izin bermalam. Kami berencana untuk naik gunung besok harinya, tak ada Gusti lebih baik daripada dia pulang dan aku langsung mengingat semua pertanyaanku. Kebencianku memang tak ada, tapi untuk berteman baik lagi sepertinya tidak. Aku juga sepertinya takkan marah dengan Rasti, hanya saja kami istirahat dari hubungan kami.

 

---

 

Sudah hampir tiga tahun menjalani masa tugasku, cukup menyita waktu pribadi dan keluarga, ya tugasku sebagian besar untuk negara. Waktunya menikmati libur panjang dan juga tiket pulang ke Magelang sudah ditangan. Rasti tak perlu tau aku ada disana, menghampirinya penuh kerinduan. Ingin rasanya kutelepon dia, tapi nanti tidak kejutan. Aku tak menghubunginya dua minggu, dan ini rencanaku, setelah semua fokusku pada penugasan pertama ini. Sesampainya di stasiun Tugu Jogja, kuhampiri Gusti yang memang bertugas disana, ya modus saja dulu biar semuanya terlihat mengalir. Nampaknya saat ia menemuiku, wajahnya murung seperti ada yang ia rahasiakan. Aku sudah menghubunginya tadi, jadi dia kelihatannya sudah siap keluar kebetulan sedang tidak bertugas.

“Ayo lekas berangkat, kelihatannya cuaca tak cukup baik,” Gusti akhirnya membuka mulutnya, “i-iya ayo. Pakai mobilku?” tanyaku,

“Iya, ayo.”

“Ini kuncinya. Kau yang kendarai,” ku berikan kunci mobil yang masih tersisa kehangatan dekapan tanganku. Yang dulunya milik Rasti, semoga sampai sekarang. Sudah hampir sejam melalui perjalanan, gemuruh terdengar dari kejauhan dan terlihatan kilatannya. Mencoba merenggut fokusku pada jalan yang kelihatannya sudah lewat jembatan yang ku ingat ini rumah Rasti. Aku kembali santai dan menyetel lagu sekedar menghancurkan tembok keheningan di dalam mobil. Tatapan Gusti lurus, dan kecepatan bertambah setelah mendengar sesuatu yang terucap dari lidahku.

“Rasti itu cantik ya, apalagi kalau sedang tertidur. Indah sekali, aku merindukannya.”

Sesaat mobil melaju kencang, dan masuk ke jembatan layang, ini bukan jalan kerumahnya.

“Kita mau kemana?” tanyaku,

“Ikut saja,” Gusti menatap lurus tanpa menengok ke hadapanku. Tujuan kami taman pemakaman, apa maksud darinya mengajakku kesini. “kau tak salah mengajakku kesini,” tanyaku heran, “ikut saja, jangan banyak bicara,” Gusti semakin serius dan berjalan lebih cepat.

Kuikuti saja, dan kutemukan sesuatu yang cukup membuatku terkejut. Kotak cincin pertunangan yang kukirimkan tempo hari, bunga yang kuberikan saat pertemuan terakhir sebelum pergi ke Bandung. Tanah merah yang masih basah, harum bunga yang sepertinya baru ditaburkan sekitar dua hari yang lalu, juga nisan putih bertuliskan nama Rasti Ayuningsih. APAA! Ada yang salahkah dengan hari ini?

“Kau sedang bercanda?” aku tetap heran menatap enggan percaya tentang makam itu, walau sebenarnya bukti didepan mata sudah sangat jelas. “Ini jawaban semua pertanyaanmu selama pendidikan, bahkan sampai saat ini.” ujarnya. “Maksudmu apa?” mungkin ini membuatku bingung, tapi aku sekarang merasa bodoh, bukan linglung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar