Minggu, 14 Februari 2016

Perlahan Melupakan - Part 3

Flashback ON: Gusti mulai menceritakan semuanya tanpa memberiku jeda untuk menyesali waktu yang berlalu. Hanya sejenak saja, selebihnya akan jadi luka dihati karena belum sempat memaafkan kesalahannya secara langsung. Prasangka burukku selama ini membuat hatiku tercambuk waktu, menyalahkan prasangka burukku terhadapnya selama ini.

“Kau janji takkan memberitahukannya? Hanya kau yang kuberitahu, oia kau pacarnya Giska?” ujar Rasti terbaring di rumah sakit,

“Iya dia pacarku sekarang tapi aku sedang bertengkar,”

“Kenapa?”

“Aku tak enak hati berpacaran dengan mantan pacar sahabatku. Maafkan aku membahas ini,”

“Aku sudah tahu,” Rasti tersenyum menepuk bahuku, wajahnya tampak ikhlas. Gusti tak tega berhadapan dengan suasana seperti ini.

“Aku tidak yakin, Ras. Aku tak bisa janji,”

“Kau harus janji!” Rasti membujuk Gusti terus, tapi ia terus menggelengkan kepalanya. Rasti menggenggam erat tangan Gusti, “kumohon,”

“BAIK! Aku takkan memberitahunya, lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Berikan ini padanya, jangan sampai kau lupa. Lalu berikan ini pada Giska, dia akan pulang ke Jakarta  jam 1  nanti, tolong cepatlah sebelum terlambat,”

“Tapi Angga memberikan ini untukmu,” ujar Gusti, “Shht, dia wanita yang lebih pantas untuknya. Bawa ini dan jaga janjimu,” Rasti sudah tak kuat lagi bicara. Gusti membaringkannya lagi di tempat tidur. Ia meninggalkannya dan segera pergi ke stasiun mencari Giska. Dia tak menemukan Giska, ia sudah menanyakan semua keberangkatan kereta ke Jakarta. Hanya kereta di jalur 2 yang akan berangkat dan benar yang Rasti bilang, kereta itu berangkat jam 1.

“Gerbong Eksekutif dimana pak?” tanya Gusti sambil mengatur napasnya, dia tak peduli banyak yang menatapnya seperti itu. Ia melepas topi baretnya dan meletakannya di bahu, panas iya tapi Gusti masih punya janji. Saat ia terduduk di kursi, napasnya masih tersengal kelelahan, seseorang menepuk bahunya. “Gusti,” sapanya, dia Giska. Gusti langsung mengajaknya duduk di sampingnya.

“Sebentar saja,” Gusti meyakinkan, ia mulai menceritakan semuanya pada Giska dan memberikan cincin yang diberikan Angga untuk Rasti. “lalu Rasti dimana sekarang?” tanya Giska. Mereka berdua segera berlari ke dalam gerbong Giska, dan membawa keluar koper yang masih tertinggal. Giska ingin bertemu dengan Rasti, ia butuh penjelasan. Sesampainya disana, dia menjatuhkan tasnya, langkahnya berat, dan menangis sedikit untuk mendukung suasana.

“Giska,” Rasti segera bangun, “sudah baringkan tubuhmu,” Giska membantunya membenarkan bantalnya agar Rasti nyaman.

“Bukankah kau akan pergi siang ini?” Rasti menatapnya lemah, Giska mulai mendekap lembut tangannya. “sudah lupakan pergi ke Jakarta. Kamu kenapa? Cincin ini terlalu berharga buat dikasih ke aku, ini cincin untuk kamu dari Angga. Bukan untuk aku,”

“Pegang ini untukmu, jaga ini. Aku tak bisa memberikan yang lebih untuknya,” ujar Rasti, Giska menahan tangisannya.

Terdengar suara gaduh dari dalam kamar, Giska menangis berteriak dan Gusti segera menghampirinya. Tubuhnya beku melihatnya, Rasti sudah secantik itu, memejamkan mata dengan senyuman yang indah, ia persis putri salju.

Disisi lain, Giska terus menangis memanggil nama Rasti dan mengguncangkan tubuh si putri salju. Ia segera menenangkan Giska, memeluknya dan membiarkan tangisan itu tumpah dalam pelukannya. Sayang, Gusti sudah berjanji agar menjaga rahasia ini sampai kapanpun. Ia tak tahu sampai kapan terus berbohong jika Angga menghubunginya. Giska masih bisa menjaga rahasia itu, tapi Gusti tetap saja gatal ingin memberitahu sahabatnya itu. Sampai saatnya tiba, ia mendengar Angga akan ke Magelang di cuti akhir tahun. Itu waktu yang tepat untuk memberitahunya, selagi tanah Rasti masih basah dan merah, belum mengering sedikitpun. Terlihat seakan Rasti masih sabar menunggu kehadiran Angga di pusaranya.

 

***

 

Angga sudah bersimpuh dan bersandar pada nisan yang masih tercium harum rambut Rasti setiap kali pesiar. Beberapa helai rambut yang tak sengaja menyapa wajah Angga karena angin yang datang tak diduga. Tangisan itu kini mulai mengalir, tak ada lagi yang akan ia kunjungi saat cuti libur. Gusti menelepon Giska agar datang ke makam Rasti, untuk menenangkan Angga yang terlihat terpuruk.

“Sabar, Angga. Dia sudah sangat tenang disana,” ujar Giska sambil merangkul Angga yang masih terisak.

“Kau tahu dia sakit kan? Kau tahu dia sekarat, kenapa kau tidak memberitahuku kalau dia sakit?” Angga mulai bicara yang aneh, sekarang Giska yang dituduh menutupi semuanya. Gusti paham betul kenapa sahabatnya seperti ini.

“Gusti, kenapa aku yang disalahkan? Memangnya aku tidak menyesal atas kepergian Rasti?”

“Sudah tenang dulu. Aku mohon kau mengerti Angga, kau sudah paham dia kan selama ini. Dia sedang sedih, gis. Dia butuh waktu juga buat paham keadaan ini,”

“Iya, aku paham. Tapi aku tidak akan memakai cincin yang ia berikan dirumah sakit waktu itu. Tetap saja itu akan jadi beban untukku,”

“Kumohon,” bujuk Gusti,

“Untuk kali ini maaf aku tidak bisa mengikuti apa maumu. Aku akan berbicara padanya,”

“Jangan!” Gusti menahan tangan Giska, “biarkan aku Gusti,” Giska melepaskan tangan Gusti yang menariknya. Angga sedang terduduk di batu yang ada dibawah pohon rindang. Cukup dekat dengan pusara Rasti, dia menahan tangisan tapi tak bisa. Dia terus menyeka air mata yang jatuh di pipinya. Giska langsung duduk di sana, membawa sejuta alasan kenapa dia tak mengabarinya kalau Rasti sakit dan sekarat.

“Shhht, sudah tak usah jelaskan apa-apa. Aku sudah menerima dia pergi,” sahut Angga dalam keheningan taman pemakaman.

“Angga, aku tak pernah berniat menutupi apapun. Aku akan menjelaskan walaupun kamu gak butuh penjelasan,” Giska menjelaskan semua ceritanya dari awal sampai akhir. Angga tampak terpukul, ia merasa bersalah karena pernah memarahinya, cemburu padanya dan sempat menjauh melampaui batas. Malam itu, Giska sampai di Jogja karena liburan semester. Dia dihubungi Gusti agar menghampirinya ke rumah sakit karena dia sedang sibuk menjaga. Sempat Giska terkejut melihat keadaan Rasti yang terus mual, sedangkan Gusti sibuk membersihkan.  Wajah cantiknya tertutup dengan pucatnya bibir, senyumannya manis sekali, dia memikirkan satu hal. Apa ini Rasti yang Angga sayangi itu? Giska tahu tentang meninggalnya Rasti, sudah hampir setahun yang lalu. Bunga yang masih segar itu, bunga yang Giska taburkan dua hari yang lalu. Ia merindukan Rasti, sahabatnya yang baru yang ia sayangi sebagai seorang kakak perempuan. Dan ia menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewatkan, dan Giska mengambil sesuatu dari tas.

“Ini, titipan Rasti. Aku merasa tak pantas,” kotak cincin itu tak berharga lagi dimata Angga, tapi Giska meletakkan itu di tangannya.

“Aku sedang ingin sendiri, Gis. Tinggalkan aku,” Angga masih bicara dalam keterpurukannya, tapi Giska tak membiarkan dia diam disini sendiri dalam kesedihan. Angga langsung menghempaskan tangan Giska, emosinya menyeruak tak terbatas, “pergi!” Giska sampai tersungkur ke tanah. Gusti segera datang dan membangunkannya, kemudian menenangkan sahabatnya yang tak bisa mengontrol emosinya. Dia menghajar Angga, akhirnya dia harus memakai cara ini untuk menenangkannya. Mau tak mau, ia lakukan karena masih menghargai kalau tempat itu adalah tempat peristirahatan.

“Angga! Ini pemakaman! Tenangkan dirimu,” Gusti membantu Angga bangun, sepertinya dia sadar apa yang ia lakukan adalah salah. Ia tak mau mengganggu Rasti yang sudah tertidur cantik di tempat paling tenang disana. Semoga surga milikmu, Rasti.....

***

Pagi hari, mataharinya sudah menyentuh pintu rumah, Angga membuka pintu dan menyambutnya dengan senyuman. Sambil menggendong anak lelakinya, ia berjemur bersama sambil menunggu Hanum. Tak lama yang ia tunggu datang juga, Hanum keluar sambil membawa semangkuk bubur bayi untuk sarapan jagoan mereka.

“Aaaa~” Hanum menyuapi Rangga, anak mereka. Angga tak mau kalah, dia juga ingin menyuapi walau hanya sesendok. Ia tampak bahagia dengan keluarganya sekarang, tapi jujur dalam hatinya masih mengingat sedikit tentang Rasti. Hanum tahu semuanya cerita tentang aku dan Rasti, dia juga memaklumi kalau aku masih sedikit mengingatnya. Iya, dia wanita yang ibu kenalkan padaku, setelah aku resmi menjadi Letnan Satu. Dia sangat perhatian padaku, pada hidupku dan masa laluku. Dia cukup membuatku semangat menghadapi hidup kedepannya.

Aku masih selalu sedih saat mengingat saat aku tahu Rasti sudah tertimbun tanah merah dan ditaburi bunga mawar. Tapi jujur kuakui, Hanum jauh lebih baik dan lebih indah dari Rasti. Maafkan aku, hidup ini memang harus terus berjalan. Rasti, dia harus segera kulupakan demi dia, Hanum, si kisah masa depanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar