Selasa, 12 Januari 2016

Destiny - part 1

Cast : Chanyeol (maincast), Cho Ahra (maincast), Baekhyun-Sehun-Kai (othercast)

Chanyeol POV

"Seharusnya Ahra segera ambil waktu kutawari susu kotak kemarin. Itu kan rasa favoritnya. Ah dia menyebalkan!" jelas aku ngomel terus. Dia itu tidak memiliki teman, ia juga tak memiliki orang yang menyayanginya. Dan juga setiap orang yang bertemu dengannya pasti segera menjauh, seperti melihat hantu. Entah apa alasannya, yang pasti hanya aku yang mengakui keberadaannya sebagai sesama manusia.
Aku ingin sesekali menjemputnya dari rumah, walaupun cuma pakai motor matic imut ini, aku bisa memastikan dia aman sampai kampus. Aku sekarang sudah menutupi latar belakangku, aku ini artis. Aku khawatir dia terluka karenaku. Cho Ahra, aku bingung dengan alasannya yang terus menolak pertolonganku, terlalu sombong. Sekarang tidur Chanyeol! Jangan sampai larut, dan besok jangan sampai terlambat karena aku akan mencoba mendekatinya. Lagi. Di percobaan ke-199.

Cho Ahra POV

Geram, lebih tepatnya bisa disebut seperti itu. Aku malas bertemu dengan Chanyeol, anak baru dikelasku, kami jadi bertemu lagi di kampus yang sama. Dan dia juga mengambil jurusan yang sama, aku masih ingat kelakuannya dulu padaku. Oh iya, aku lupa menceritakan bagaimana wataknya entah itu asli atau mungkin dia ragu dengan dirinya sendiri.
Dia itu anak yang menyebalkan, kadang ingin kulempar buku yang sedang kupegang ke arah kepalanya. Dia selalu menggangguku, Park Chanyeol, teman sebangku dari SMA yang kukira akan indah menjalaninya. Hampir 3 tahun sejak dia datang sebagai murid pindahan dari  Gangnam, aku terus terkena virus sial. Dari mulai, dia yang tidur malah aku yang diberi tugas untuk mengajarinya semua pelajaran karena akan ujian nasional. Sampai aku harus dijauhi teman-teman karena ulahnya. Aku kesal!

Flashback ON!

"Ahra! Tunggu!" panggil Chanyeol dari arah pintu kelas.
Aduh, kenapa dia disini sih! Kenapa mesti aku selalu terlihat oleh si telinga panjang itu. Kurasa dia lari dan segera mendekat padaku, merangkulku sekarang.
"Ada apa Chanyeol?" sapaku datar. Sengaja, agar dia merasa bosan dengan tindak-tandukku yang enggan menerimanya. Tapi usahanya menggangguku akan selalu bertambah jika aku memasang wajah menyebalkan. Dan menurutku, inilah awal dari kebencian sebagian besar orang di Seoul.
"Eo? Itu apa disana?" ujar Chanyeol,
"Hah?" Aku ikuti arah yang ia tunjuk, sepertinya memang tak ada apa-apa.
"Memangnya ada ap..." kuputuskan untuk berhenti bicara. Bibirnya menyentuh pipiku hampir saja mengenai bibirku, untung aku tak menengok ke arah Chanyeol sepenuhnya. Kami berdua memang terpaku saat itu semua terjadi, dan ada satu orang yang kusebut "devil queen" disekolah ini.
"cekreek!" Suara kamera ponsel, dan mata Jihyo yang terbelalak melihat pose kami saat itu. Lalu? Sudahlah, bayangkan saja apa yang terjadi selanjutnya. Dia diam, terpaku, bukan karena kaget, dia itu sibuk mengirim foto itu dan kemudian 1  2  3, action!
"Aaaaaak! Omona! Omona! Ahra berciuman di sekolah!" Teriakan heboh Jihyo rasanya ingin kubantingkan kursi padanya. Aku geram, dan tenang saja, aku masih lebih geram pada Chanyeol yang membuat masalah!
"Bisa tidak sih jangan menggangguku setiap hari, huh?!"
"Aku kan hanya ingin..."
"Apa! Aku akan ke perpustakaan, jangan ikuti aku. Arasseo!"
"Ne," ujarnya. Dia masih berdiri ditempat kami berdiri terpaku tadi. Dan kebodohanku adalah selalu tak tega melihat Chanyeol berdiri sendiri, aku segera berbalik.
"Ayo ikut! Jangan buat masalah," kutatap wajahnya yang kini berjarak kira-kira 2 meter dariku. Kemudian senyumannya selalu membuatku lupa kalau tadi aku sedang marah. Dia berlari ke arahku, dan dia berjalan bersamaku tanpa saling bersentuhan. Aku percaya dia, itu kehebatannya yang ditunjukan padaku.

Sepulang sekolah, aku memutuskan untuk pulang sendiri karena Chanyeol sudah hilang ditelan bumi sejak bel berbunyi. Tapi jalan pulangku tak selancar seperti pulang kemarin. Aku dicegat beberapa orang dan sudah bisa ditebak siapa yang berdiri didepanku? Jika kau jawab Jihyo, kau salah besar. Karena Jihyo berdiri tepat dibelakang wanita yang berdiri tepat didepanku. Dia Yeri, ketua geng yang cukup ditakuti oleh anak satu sekolah. Disini, guru pun sudah lelah menghadapi tingkahnya yang terlalu mengganggu. Aku mengabaikannya, dan memilih terus berjalan melewati kerumunan mereka.
"Ya! Ahra-ya! Cho Ahra!" Teriakan Yeri membuatku risih, kutolehkan kepalaku ke arahnya, tanpa menghadapkan tubuhku pastinya.
"Eoh, wae?" sahutku tanpa rasa takut. Tenang saja, Taehee ahjussi sudah mengajariku taekwondo sampai aku mendapatkan sabuk hitam. Tentunya, tanpa ada orang yang tahu itu.
"Kau mencoba mendekati Chanyeol? Kau tidak sadar, seberapa buruk wajahmu itu, huh?"
"Maksudmu?" ujarku menatap telunjuknya yang menyingkirkan rambut diwajahku karena tersibak angin.
"Jihyo-ah, mana fotomu tadi?"
"Ini Yeri." Jihyo berlagak seperti penjilat, ingin kuhajar wajahnya tapi nanti aku ketahuan. Yeri menunjukkan foto tadi, memang benar ciuman chanyeol hampir mengenai bibirku.
"Geurae, wae?" ujarku santai, tak membalas dengan tatapan melotot.
"Kau sengaja kan mendekatinya karena ingin terkenal?" tanya Hyoyeon, masih murid yang memihak pada Yeri.
"Aku tidak mendekatinya sama sekali," jawabku ketus.
"Bohong, lihat wajahnya itu penuh dengan akal kotor tentang Chanyeol,"
"Mwo? Katakan sekali lagi? Eo? Mworago?" ujarku dengan nada menantang dan berjalan mendekati Yeri, namun dihalangi oleh Jihyo.
"Menjauhlah, menjauh!" Yeri ketakutan. Dan dia memberi kode kepada teman-temannya untuk memukulku, aku terlalu kuat untuk mereka, para wanita yang memiliki bedak yang tebal diwajahnya. Kulawan mereka semua, dan diakhiri oleh Jihyo yang tersungkur sendiri karena pusing.
"Lalu mau mu apa sekarang?" tanyaku pada Yeri yang berdiri sendiri, karena yang lain sudah terjatuh.
"Jangan dekati Chanyeol, dia milikku!" Dia masih punya nyali berbicara padaku, baiklah, orang seperti ini cukup diberi gertakan dan teguran lisan. Kugertak dia dengan sebuah tamparan yang berhenti dekat kepalanya, mungkin hanya anginnya yang sampai.
"kau mau dia? Ambil dia sekarang, aku tak menginginkannya. Tapi kalau dia menginginkanku, itu bukan salahku." Aku baru sadar, kata-kataku keren juga.
"Eoh, bedakmu rontok, tolong ya agak dikurangi besok. Chanyeol kurang suka penampilan wanita yang berlebihan." sambungku sambil menepuk blazer seragam sekolahnya yang berwarna cokelat, sama denganku, karena kami masih satu sekolah.

Chanyeol (POV)

"Ahra kemana ya? Semoga tak terjadi apapun padanya," ujarku sambil memegang ponsel, entah kenapa rasa khawatirku pada Ahra mendadak memuncak.
"Kita harus jalan sekarang, Chanyeol." Manajer terlalu berisik, memangnya dia tak pernah punya cinta sejak dulu ya? Bagaimana rasanya tak mendengar kabar orang yang dicintai, sedangkan perasaa kita sedang tak enak.
"Hyung-ah, chakkamanyo," janjiku padanya, hanya 5 menit lagi kutunggu dia disini, didepan gedung kantor label musik terkemuka di Seoul.
Aku memilih untuk mencarinya lewat GPS, aku sudah pairing handphone-nya agar mudah dicari. Kuikuti lokasinya, dan kudapati dibelakang gedung, ada Yeri dkk. Aku mundur beberapa langkah dan mengintip dari kejauhan. Aku tak boleh buat kesalahan atau keributan. Kalau aku melakukan itu semua, hyung akan dihajar manajer sampai pingsan. Dia bertanggung jawab penuh atas hidup seorang Chanyeol. Ahra berani sekali menghadapi mereka berenam? Tapi mereka sedang apa?
"Kau itu wanita murahan atau apa sampai mau rela dicium, dipeluk dan sebagainya demi seorang artis?" kudengar Yeri bicara seperti itu. Ahra nampak hanya senyum smirk, tak ada rasa takut sama sekali. Yeri berani maju dan menampar Ahra yang mungkin tak tahu kesalahannya apa. Aku tak bisa menahan langkahku, tapi aku enggan memperkeruh suasana. Dan menjerumuskan Ahra lebih menderita karenaku. Tapi yang membuatku kaget, dia menampar balik Yeri, namun mengenai Jihyo.
"Wanita murahan, dasar!" teriak Yeri membantu Jihyo bangun.
"Mwohae, eoh?! Mworago!" Ahra membentak balik. Dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia bertarung seakan dia memiliki ilmu beladiri yang hebat! Daebbak! Setelah kulihat mereka semua tersungkur, aku pergi dari sana, karena itu berarti Ahra akan melewati jalan ini. Segera ku berlari secepat kilat dan masuk ke dalam mobil.
"Ada apa?"
"AC hyung, kencangkan anginnya! Huhh huhh.."
Lalu aku santai dulu, bersandar pada pintu mobil yang nyaman karena tadi aku kelelahan.
Tiba-tiba Ahra membuka pintu mobil tempatku bersandar, dengan cepat ia menopang tubuhku agar tak menimpanya.
"Hati-hati makanya," ujarnya padaku yang sedang membetulkan posisi duduk. "..kau mau bicara apa?"
"Eo? Aku? Ekhhm, aku mau sesuatu." Aku lupa, disini ada hyung. Kusuruh dia musnah dari kursinya, aku ingin berbicara empat mata saja.
"Apa?" Dia bertanya padaku dengan wajah seperti itu, menyeramkan.
"Aku menyukaimu, kumohon jangan kecewakan aku,"
"Aku tak bisa," jawabnya singkat. Aku terkejut dan terus membodohi diri sendiri karena sudah berbicara seperti itu. Hyung tergesa-gesa masuk ke mobil, ia mengatakan ada paparazzi yang sedang mengintai mobil ini.
"Sebaiknya Ahra turun di depan jalan sana, kumasukkan mobil ke jalan kecil, kau turun disitu dan jangan berisik." Perintah manajerku, Daehan hyung.
"Wae?" tanyanya hendak membuka pintu mobil,
"Andwae!!" Teriakku bersamaan dengan teriakan hyung yang kaget melihat Ahra hampir membuka pintu mobil. Aku memohon padanya untuk mendengarkanku sekali ini saja. Dia pun diam di kursi, dan aku pun sudah kembali tenang. Tiba-tiba serangan ada didepan, sudah ada segerombolan anak SMA yang meneriaki namaku. Aku sibuk menyuruh Ahra untuk merundukkan kepala, tak menunjukkan kalau ada kehidupan wanita di dalam mobil.
"Eo?! Itu yeoja! Ya!!!! Turun kau!" ujar seseorang mencoba menggedor pintu mobil dekat Ahra.
"Hyung, jalan saja. Aku tak tahu harus bicara apa," ujarku pada hyung yang segera menyalakan mesin mobilnya. Sesampainya di jalan kecil, Ahra pun turun dan mengucapkan salam perpisahan. Tak lama keluar dari jalan kecil ke jalan raya, aku ingin minum. Kebetulan di depan ada minimarket, kusuruh hyung saja yang membelinya. Saat meneguk minumannya, kulihat ada murid SMA wanita ber-6 berjalan ke arah jalan kecil tadi. Mungkin mereka akan memotong jalan, lagipula itu kan SMA Hyeoseong. Lebih dekat kalau memotong jalan lewat sana. Kucoba melihat tingkah mereka yang terlihat ganas. "eo? Stick baseball? Untuk olahraga di jalan kecil seperti itu?" Aku tertawa melihatnya. Tegukan ketiga aku tersedak, aku mendengar sesuatu yang mengejutkan.

Aku pun segera mengelap air soda yang tumpah karena kaget tadi.
"namanya Ahra, satu sekolah dengan Chanyeol. Dia pintar dalam pelajaran eksak, dan minim dipelajaran sejarah. Gitar, dia sangat menyukai ini." Orang itu membawa gitar usang juga, untuk apa mereka membawa itu semua? Untuk apa juga mereka membahas tentang Ahra? Kuikuti mereka setelah kira-kira dua meter mereka mendahuluiku. Kulihat GPS lagi, kupastikan posis Ahra di..APA! Jaraknya terhenti sekarang, dia kenapa berhenti. Sampai di blok ke dua, sudah kulihat Ahra terkapar dengan darah yang mengalir dari kepalanya. Segera kutelepon ambulans, dan menelepon hyung untuk menjemputku kesini. Sekarang dia sudah berada di rumah sakit, aku terus menyesalkan diri di mobil. Aku menyesal menyukainya, itu hanya membuatnya jatuh lebih dalam lagi. Aku membenturkan kepalaku ke jok didepanku, "kenapa hyung, kenapa harus dia, rrghh!" aku mengacak rambutku. Kulihat ditanganku masih ada darahnya yang mengering. Aku semakin merasa bersalah padanya, semoga dia selamat dan segera mengatakan padaku siapa mereka yang berani memukulnya.

Ahra POV

Kusalami mereka dan berjalan menjauh dari mobil. Aku mengambil earphone dan mendengarkan beberapa lagunya Chanyeol. Aku menyukai suaranya, aku tak bisa menerimanya. Akan sulit baginya yang baru menjadi artis lalu memiliki pacar.
Limabelas menit berjalan kaki, aku lupa mesti lewat jalan mana. Seperti aku salah belok tadi didepan sana.
"Ya! Sunbae-nim!" Teriaknya. Aku tak kenal itu siapa, yang pasti dia adik kelasku. SMA Hyeoseong? Kenapa memanggilku sunbae kalau dia anak SMA juga?
"Ya! Sunbae-nim! Kau salah jalan? Mau kubantu menemukan jalannya?" salah satu dari mereka berjalan mendekatiku dan tiga orang lainnya mengikuti.
Aku hanya senyum dan berjalan mendahului mereka. Tak lama aku mendapat tendangan dari arah belakang. Jelas aku tersungkur, dan tanganku menahan tubuhku agar tak mencium aspal. Kutatap mereka yang tertawa melihatku terjatuh.
"Ahjumma, ini uangnya, kubeli kursinya ya! Aku perlu," teriak salah seorang yang baru datang kepada pemilik kedai. Dua orang lainnya menyeretku ke ujung jalan sana, dan mendudukkanku dikursi yang baru dibeli tadi. Seorang yang kukira ketua dari mereka sudah memegang stick baseball dan mengangkat wajahku dengan itu.
"Kau yang menghajar Yeri, eo?" Aku hanya mendenga menatapnya.
"Nugu?"
Kemudian kurasakan sakit yang teramat di tubuhku, stick baseball itu mengayun begitu saja. "Uggh," aku menahan sakit, aku bisa.
"Kau belum mengaku?" tanyanya. Kemudian dia melempar buku yang ada di tasku. Dan mengambil ponselku,
"oooh, playlistmu chanyeol-ku? Kau manis sekali ya," ujarnya dan menendang pundakku hingga terjatuh. Tanganku terikat, aku tak bisa melakukan apapun selain terjatuh. Dua orang dari mereka membantuku bangun juga.
"Gitar? Kau suka gitar karena Chanyeol kan? Sunbae-nim?" Ia mendekatkan dirinya, aku tak bisa lihat jelas wajahnya. Lalu gitar itu dihantamkan dari arah belakang, "eunghh," aku merintih kali ini. Mungkin saja aku berteriak, tapi percuma tak ada yang mendengarkannya. Kepalaku sudah bersimbah darah, dan sudah mengalir di wajahku.
"Kau tak mengenaliku, sunbae-nim?"
Aku mengernyitkan dahi, da mencoba melihat wajahnya meski sudah tak jelas karena mataku lebam. Jinhee? Adik kelasku di tempat latihan Taehee ahjussi?

"Eonnie, ajarkan aku caramu beladiri!"
"Untuk apa? Kau masih kecil, pelajari dasarnya dulu, nanti akan kuajarkan saat kau sedang berada dalam bahaya." candaku kepada Jinhee yang baru daftar di Taehee taekwondo.
Aku baru pulang dari beli bakso ikan, aku lapar. Tak tahan kalau kubiarkan menahannya sampai rumah. Saat aku santai memakan bakso ikan yang tersisa, aku melihat ada seorang anak gadis menangis dan seorang pria tertawa. Dia sedang apa? Aku memilih memundurkan langkah dan mengintip saja.
"Tolong!" teriak wanita itu,
Aku hendak menolongnya tapi bukan waktu yang tepat. Aku menunggu waktunya, saat sudah waktunya kuhajar lelaki itu hingga tak bisa berjalan. Kugenggendong  gadis itu, dan membawanya ke rumah sakit. Samar kudengar gadis itu berbicara.

"Eonnie, kenapa kau tak ajarkan aku beladiri?" dia mengulang perkataan gadis itu. "gadis itu aku eonni!!! Hidupku hancur, untung saja ayah dan ibuku tak tahu kejadian itu. Karenamu, aku tak bisa ikut audisi di kantor agensi itu! Aku dijauhi teman sekolahku karena aku gagal masuk audisi. Aku hanya bisa menjadi artis, aku tak sepintar kau eon! Akhirnya aku pindah sekolah. Dan menjauh dari segala hal tentangmu, dan tak lama kudengar sepupuku, Yeri, kau hajar?!" dia mengangkat kepalaku, sudah banyak darah diwajahku. Ia tak menyadari kalau tak ada aku, mungkin orang itu sudah membunuhnya untuk menutup mulut. Tapi tak apa, dia tak perlu tahu apa yang kulakukan padanya. Aku enggan menghentikannya, itu akan membuatnya terus menyiksaku. Aku diam dan membuang air ludah bercampur darah dari mulutku. Ia menamparku cukup keras, dan menempeleng kepalaku terus menerus.
"Chanyeol? Kau mau mengambil dia dari Yeri? Dia sudah dijodohkan! Jadi kau jangan mengganggu keluargaku," ujarnya sambil melepaskan jambakannya.
"Dia menyukaiku, dia tak menyukai saudaramu. Tapi tenang, aku sudah menolaknya demi saudaramu." jawabku tersenyum angkuh. Stick baseball itu melayang tepat dari sisi kanan. Pelipisku jelas berdarah, dan aku tak bisa lagi melihat mereka namun kesadaranku masih ada. Langkah lari seseorang mendekatiku, "chanyeol?" Kutebak dia, karena aku tahu dia akan ada disaat aku seperti ini. Ia sibuk membuka tali pengikat tangan dan kakiku. Menyandarkanku pada tubuhnya, membantuku untuk bicara. Ia sibuk menelepon rumah sakit, dan kudengar Daehan hyung pun disuruhnya datang kesini.
"Chanyeol?"
"Jangan banyak bicara dulu," ujarnya. Kuulang lagi memanggilnya, "wae? Kau merasakan sakit? Sabar, sebentar lagi kubawa kau ke rumah sakit."
Aku tersenyum melihatnya yang khawatir, aku mencubit pipinya. Ia lucu kalau panik seperti itu, lalu kuusap wajahnya yang terbasahi air mata.
"Uljima," ujarku dan aku hilang kesadaran.