Jumat, 27 November 2015

Pulang (5)

Sekedar info, aku dan Dimas sudah setahun tanpa komunikasi dan jangan tanya kabarku, karena aku sedang tak baik-baik saja selama setahun terakhir. Sudah ya, jangan buat aku menangisi dia lagi, sudah capek batinku bersedih.
Bazar kali ini harus kulalui tanpanya, untung saja ada Denis dan Aji yang menemaniku. Aji jelas berniat menemaniku sebagai wakil kelas A semester 5 yang ikut serta bazar fakultas. Tapi kalau Denis, tak usah ditanya niatnya, sudah pasti menggoda wanita yang menjaga stan sebelah. Wanita yang ia kejar, Tuti, anak kelas H semester 5.
"Den, ambilin tali dong," panggil Aji sambil sibuk menahan tenda agar tetap berdiri. Denis mengambil tali dan memberikannya, namun tak fokus.
"Den, ambilin dus makanan itu. Buruan!" Denis memberikannya dengan cepat sambil terus modus ke Tuti yang hari ini makin anggun. Katanya.
"Den ambilin Tuti!" godaku.
"Hah?" sahut Denis bingung. Aji langsung tertawa melihat tingkah temannya salah tingkah. Aku juga pastinya akan terbawa suasana untuk tertawa.
"Tuti, ada salam!" Aku teriak dari arah stanku.
"Dari siapa, Les?"
"Denis tuh."
"Dimana dia?"
"Itu lagi bawain dus makanan dari ruang penyimpanan," kataku sambil ikut sibuk menata makanan yang ada diatas meja. Segera Tuti berlari, membantu Denis yang kesulitan membawa makanan di stan kami dan untuk stan Tuti. Romantis kan Denis? Lupakan dia, hening dulu tolong, aku menghela napas sejenak. Kemudian berkata, sekarang aku merindukan Dimas, dan aku akan selalu baik-baik saja.
Aku duduk, di dalam stan, tugas promosi di depan stan sudah menjadi tugas para pria ganteng nan menawan itu. Hahaha duo tangguh, Denis dan Aji. Kuraih ponsel dan kumainkan sebentar, menunggu pelanggan pertama yag ikhlas mengeluarkan uangnya untuk belanja di stan yang terlihat bagai gubug dibelah dua (?) Hahaha.
Tak ada lagi suara nyanyian duo tangguh itu, mereka kemana? Aku berdiri dan kepalaku menengok ke kanan dan kekiri. Kusapu semua pandangan yang ada dihadapanku.
"Tut, mereka kemana?"
"Ga lihat tuh, Tuti tadi lagi bersihin mangga dibawah. Coba tanya Hilman, tah. Hilman, si Denis sama si Aji kamana tadi (Hilman, tadi Denis sama Aji kemana?)" ujar Tuti memanggil Hilman yang sibuk menata kompor gas di meja stan-nya.
"Eh gatau. Tadi sih kesana, terus gatau lagi kemana,"
"Jih, jajan mereun, (Yah, jajan kali)" sahut Tuti,
"Tadi sih lari, ngacir gitu ke sana," Hilman menunjuk ke arah gedung Pasca Sarjana. Oh, sepertinya mereka pergi ke kamar mandi, dan itu alasan yang akan mereka pakai saat kutanyai. Sudah biasa.
Kududuk, sambil kupanggil para maba (mahasiswa baru) yang sedang lewat, entah akan membeli atau sekedar melihat saja.
"Hese, maba mah, (susah juga anak maba)" ujar Tuti,
"He emh," aku lemas, kuistirahatkan tubuhku di kursi. Dan sesekali kuseka air keringat yang mengucur, maklum walau pakai tenda, udaranya tetap pengap.
Tak lama, ada musik hiburan diputar, ini bagian yang kusukai saat bazar. Acara para kakak kelas UKM Seni Budaya akan menunjukkan keahlian mereka dibidang kesenian. Entah nyanyian, musik dengan alat maupun tanpa alat contohnya beatbox.

"Dia indah, merentas gundah. Dia yang selama ini kunanti~ Membawa sejuk  memanja rasa, dia yang selalu ada untukmu~" lagu ini! Ah aku suka sekali, indah artinya. Diam-diam kucuri waktu untuk ikut bernyanyi juga. Hampir hafal aku, cita-citaku ingin datang ke konsernya Tulus. Lagunya selalu romantis, dan selalu sampai ke hati. Sama seperti dia yang selalu mengena dihati. Rindu yang membuatku yakin kalau ini cinta.

"Bila didepan nanti, banyak cobaan untuk kisah cinta kita. Jangan cepat menyerah, kau punya aku, kupunya kamu. Selamanya kan begitu,"

Tiba-tiba nyanyian berubah menjadi suara dehem seseorang. Puisi pun dimulai, "ada yang bacain puisinya," kata Tuti menyadarkanku yang terlalu hanyut dalam khayal tentangnya.

"Setiap nafas yang ku hirup,
Itu adalah helaan asa tentangmu,
Setiap hembusan nafas yang kau hembus,
Itu adalah sempurnaku dalam hari.
Aku tak bisa tanpamu,
Aku ingin semua tetap berjarak,
namun wajar.
Bukan menyiksa karna rindu,
Bukan cinta menggebu karna nafsu."
Sepertinya aku tahu puisi ini, persis dengan puisi yang iseng kutulis disebuah buku. Aku tahu puisi ini, persis yang pernah kupikirkan. Tunggu, ini pernah kutulis dibuku tulis Dimas kan?

"Bukan, bukan cinta yang menemukan hati," ujarku bersamaan.
"Tapi hati yang menemukan cinta.
Menyatukan aku dengan seseorang. Dan itu kau..."
"Dimas," suaraku lirih,
"Lesta," suaranya jelas ditelingaku, mungkin juga ditelinga setiap mahasiswa yang ada di sekitar area bazar, waktu itu.
"Tetaplah bersamaku, jadi teman hidupku. Berdua kita hadapi dunia. Kau milikku, milikmu, kita satukan tuju. Bersama arungi derasnya waktu~"
Kucari sumber suara, tak ada yang memegang buku atau mikrofon setidaknya. Kucoba untuk menutupi segala kemungkinan yang terjadi dalam imajinasiku. Ramai, suasana jadi meriah saat aku duduk didalam stan. Segera kuarahkan mataku pada seorang lelaki yang tampak rapi, dengan stelan yang tak bisa kujelaskan bagaimana. Dia membawa buku tulis yang kutahu, itu buku dia. Aku mendadak luluh, dan airmataku mengalir tanpa kusuruh. Haru? Jelas, aku merindukannya. Tapi lidahku mendadak kelu untuk berucap, aku bingung harus mengatakan apa pada pertemuan ini. Tuti menarikku keluar stan dan berdiri dihadapannya, sekarang.
"Kamu gak merindukanku?" ujarnya. Segera kupeluk dia, entah apa yang kupikirkan tapi itu spontanitasku. Gemuruh suara mahasiswa menyoraki kebahagiaanku, ikut meramaikan suasana hatiku. Jas biru dongkernya itu basah karena air mataku. Semua keadaan kembali normal seperti biasa, hanya saja aku dan dia, bicara di taman belakang gedung akuntansi, stan sudah kupercayai pada duo tangguh itu. Ternyata mereka menjemput, komandan utama, Dimas si edan, kata mereka. Ia segera memberiku sapu tangannya yang berwarna biru juga.
"Lap ingusmu, jorok ih."
"Eh iya,"
"Itu hadiahku, kau ambil saja." ujarnya nampak jijik bekas ingusku. Aku hanya memukul tangannya, aku tak suka dia mengejekku terus.
"Ngga deh, ngga. Sini ku lap ingusku juga disini,"
"Eh jangan! Kotor!"
"Oh, sekarang sudah mulai khawatir kalau aku nanti sakit ya? Aku kan cuma mau satu sapu tangan denganmu. Emang gak boleh?" ujarnya. Aku kaget, aku tahu mengarah kemana ucapannya. Terus membully-ku karena puisi yang tadi ia bacakan, ia lebih tahu dulu bagaimana perasaanku padanya.

"Waktu itu, ada telepon dari Saskia. Dia memintaku untuk mengakhiri hubungan. Karena dia akan menikah dengan seseorang pilihan orang tuanya. Dia sudah ada di stasiun, dia akan ke Surabaya untuk menikah dan menetap disana. Makanya aku buru-buru," ujar Dimas, aku mengangguk, dan sesekali meng-iya-kan ceritanya.
"Maaf ya," sambungnya menggugahkan kesadaranku.
"Kenapa?" Aku bingung harus bertanya apa.
"Aku pergi gak bilang ke kamu. Setahun terakhir tanpa kabar. Aku memang sengaja tak menghubungimu,"
"Eh, kenapa?"
"Biar kamu kangen aku, hahaha!"
"Ish, Dimas!"
"Iya iya, bercanda. Aku mau ngelatih hati aku, soalnya kata mama, kalau kamu rindu dia berarti kamu cinta sama dia," perkataan mamanya sama dengan mamaku.
"Terus?" tanyaku antusias.
"Rindu, haha! Jangan meledek,"
"Aku juga,"
"Ih aku bercanda, Les."
"Ih!" Ku pukul lagi lengannya, dia hanya tertawa dan menghindari pukulanku.
"Aku cinta kamu," katanya,
"Aku ngga, Dim. Hahaha,"
"Aku serius,"
"....." aku diam. Berusaha berpikir dengan jernih, dan menjawabnya dengan bijak.
"Aku juga," jawabku. Dia mengecup keningku, dari situ aku tahu dia serius mengatakannya. Dan datanglah Denis dan Aji mengacaukan semuanya.
"Edan.. Main cium aja, Dim!" Denis meledek,
"Lain muhrim euy! (Bukan muhrim tuh!)" sahut Aji ikut-ikutan edannya Denis.
"Kalian juga belum muhrim, rangkul-rangkulan." Dimas menjawabnya dengan santai. Dan mereka berdua saling mendorong dan berjauhan. "bercanda. Eh kenalin, tuan putri nih orang Bogor, cakep gak?"
"Udahlah, bungkus Dim!"
"Kreseknya mana? Minta di Bu Darmi, mana ada yang cukup buat dia?" Dimas lagi dan lagi membuatku geram padanya, aku kesal dan memilih diam.
"Hayo loh, pundung! (Hayo loh, marah!)" kata Aji.
"Aku juga bakal gendut ah entar,"
"Hah?"
"Kan nanti aku jadi aset kamu. Tolong rawat aku yang baik ya,"
"Ya iya lah, Dim. Masa dibiarin terlantar, hahaha."
"Ketawa, puas deh puas. Eh kamu aset aku kan, udah jadi modal aku, terus kewajiban aku juga." kata Dimas,
"Hehehe, kok?" kataku bingung.
"Aku kan punya kewajiban buat bahagiain anaknya Pak Hardi," Dimas membuatku melayang, sekali lagi, dia tahu bagaimana membuatku tersenyum. Tiap saat.
"Pulang?"
"Belum selesai bazarnya!"
"Ah itu biar Aji sama Denis yang terusin. Iya kan?" tanyanya pada mereka berdua.
"Iya gampang, Les. Haha," seru Aji menarik Denis berjalan kembali ke stan kebanggan kami.
Akhirnya kami berjalan ke arah parkiran bersama, dengan motor yang sama pula seperti dulu. Belum berubah, sama seperti rasaku padanya.
"Eh inget gak perjanjian kita?"
"Ngga, apaan emangnya?"
"Kamu nungguin aku gak waktu itu setengah jam? Di depan gang?" Pertanyaannya membuatku membuang lima detikku untuk berpikir.
"Iya," jawabku singkat.
"Nah sekarang, ku bayar janjiku. Kuantar pulang sebagai gantinya," jelasnya, sesegera mungkin aku mengingat perjanjian itu. Dimotor kutatap wajahnya yang terlihat dari kaca spion.
"Makasih untuk selalu ingat semua janjimu." ujarku dalam hati, mengundang senyumanku.
"Sejak kapan sih kita jadi ngomongnya aku kamu?"
"Eh?" Dia bisa membaca pikiranku? Kok dia bertanya seperti itu?
"Sejak kamu sayang aku?" pertanyaannya cukup menjebakku. Payahnya, aku malah terjebak juga disana.
"Iya,"
"Makasih ya,"
"Buat apa?"
"Buat rasa bosan yang kamu rasain. Buat waktu yang kamu luangin buat sekedar merindu,"
"Oh iya. Sama-sama,"
"Kamu gak peluk aku? Aku bukan Mang Osman!"
"Haha belum muhrim!"
"Awas ya, kalau sampai rumah kulihat Pak Hardi diteras. Kupanggil tetangga, kalau bisa pak ustad!" ujarnya dengan nada tinggi.
"Memangnya ada apa?"
"Ku lamar anaknya Pak Hardi, langsung meminta pak ustad jadi penghulu, kunikahi anaknya Pak Hardi dengan tetangga yang jadi saksinya,"
"Hahaha nekat,"
"Biar kamu bisa meluk aku, abis dimintain gak mau terus!" ujarnya, dan ngerem mendadak.
"Aduh!" Rintihku sakit karena helmku membentur helmnya.
"Ayo kita pulang," ujarnya,
"Emang daritadi ngapain kita?"
"Jalan-jalan,"
"Ini arah pulang rumahku kan,"
"Iya," jawabnya singkat,
"Terus?"
"Gak kenapa-kenapa,"
"Ih dasar,"
"Tapi sayang kan?"
"Entar ah, jawabnya. Buktiin dulu janjinya,"
"Ngelamar anaknya Pak Hardi?"
"Hahaha iya!" jawabku. Kali ini aku terlampau senang sekali dan memeluknya dalam hitungan detik, kemudian kulepas.
"Yah, udah nyaman padahal. Jadi lamar deh, biar rada lamaan,"
"Hahaha"

Kunikmati hari itu bersamanya, juga bersama hujan yang mulai turun saat aku dan dia sudah dekat rumah.
"Hujan, gak jadi lamar dong?"
"Kata siapa? Pak Hardi gak keluar rumah kan?"
"Engga, kan hujan, Dimas."
"Bagus, aku minta nomer Pak RT dong."
"Buat apa?"
"Ngejarkom ke pak ustad sama warga yang punya payung aja. Suruh ke rumah Pak Hardi, ada acara nikahan dadakan. Ujan-ujan!"
"Hahaha lucu!"
"Biarin! Biar tuan putri ketawa!"

Dia sudah cukup membuatku bahagia, dia pulang pun hadiah terindah milikku. Jangan pergi, tetap disini ya. Setidaknya kalau kau pergi, ingatlah untuk pulang, kesini.

Pulang (4)

Eh besok ulang tahun ayah, sepertinya aku akan membeli kue yang enak kali ini. Usia tuan rumah ini sudah genap 50 tahun, sudah saatnya aku membahagiakan ayah.
"Enak yang mana ya?" ujarku didepan kulkas. Didalamnya sudah ada satu, dua, tiga... sepuluh, bahkan lebih, semuanya terlihat enak. Pak tuan rumah bilang, dia tak suka terlalu banyak krim, dan lebih suka yang cake-nya cokelat.
Karena aku bingung, kuputuskan untuk mengetik pesan ke Dimas, kira-kira yang mana yang mesti dibeli.
"Yang cokelat?" isi pesanku,
"Iya, yang cokelat aja. Pak Hardi suka pasti,"
"Eh manggil nama ayah gue. Oh jadi yang mana dong? Bingung,"
"Lu dimana? Gue kesitu,"
"Gak usah! Hujan diluar,"
"Hujan itu air kan?"
"Gak usah! Jangan, ntar sakit baru tau rasa,"
"Yaudah." pesan terakhir yang ia kirimkan. Kubiarkan saja pesan itu, hanya kubaca tak kubalas. Hampir 20 menit kubuang waktu hanya untuk memilih kue yang tepat. Notifikasiku berbunyi,
"Milihnya yang mana aja. Jangan sampe malem-malem disana," pesan baru yang pending, sepertinya.
"Iya, ini juga gue masih milih haha, bingung. Enak-enak,"
"Lu dimana?"
"Di Papuy Bakery,"
"Di Manado?"
"Di Bogor lah! Dekat kantor polisi"
"Gue kesana," ujarnya masih dalam bentuk chat via Whatsapp.
"Gausah, gerimis!" Pesanku yang ini tak digubris olehnya, hanya dibiarkan tanpa di read. Kurang ajar bocah ini, kuputuskan untuk menunggu Ka Dara menjemputku, katanya dia yang akan bayar kue yang kupilih. Saat ku istirahatkan otakku untuk memilih. Kulihat dari pantulan kaca, ada seseorang datang dan nampak kebingungan. Dan seorang pelayan disitu menunjuk ke arah kue tart, aku yang tak mengerti terus meluruskan kakiku. Pegal.
"Heh endut!" Panggilnya,
"Heh apa lu, manggil gitu,"
"Ya sorry bercanda. Mana kue yang lu bingungin? Sebanyak ini? Halah,"
"Kenapa," sahutku dengan wajah datar,
"Sama, gue juga bingung. Kemarin sih ayah gue juga ultah, beli yang tiramitsu. Juara kata mama, dia ikut makan juga. Lu pengen yang kaya gimana sih?"
"Gue pengennya yang gak banyak krimnya. Gak begitu, banyak selai diantara kuenya, gitu."
"Ok, tunggu sebentar. Duduk sana," ujarnya dan meninggalkanku sendiri. Tak lama, dia kembali dengan pelayan yang akan ia wawancarai soal kue disini. Wajahnya serius, menanyakan hal ini dan hal itu. Aku, sibuk mengirim pesan ke Kak Dara, memberitahunya kalau aku tak sendiri.
"Yang ini?" pertanyaannya yang kudengar.
"Ini full tiramitsu."
"Banyak krimnya?"
"Ngga, ini tiramitsu luar, tengah dan selai cake-nya juga tiramitsu,"
"Harganya berapa?"
"215 ribu,"
"Mahal ya, mba."
"Iya mas." Pelayan itu masih berdiri didepan kulkas bersama Dimas yang berpikir. Kemudian pelayan itu menawarkan jasanya untukku.
"Mba, sudah pesan tadi?"
"Oh, belum mba. Saya sama dengan mas itu,"
"Oh pacarnya ya mba," ujar pelayan,
"Ngga, mba. Kita sahabatan mba," jawabnya mematahkan harapanku yang tumbuh tadi, untung baru benih.
"Yang ini, mba saya mau ini aja. Ya, Lesta, kita pilih ini,"
"Oke," aku enggan menjawab setiap perkataannya. Tapi nanti aku terlihat seperti benci karena tingkahnya yang mematahkan perasaanku saat itu.
"Nanti Kak Dara kesini,"
"Heh? Oh lu janjian, gue kira sendiri. Eh tapi gak apa-apa deh, gue kan temen lu."
"Iya"
Tak lama, pelayan tadi memberikan kertas, kutulis ucapan yang akan dituliskan di atas kue. Dia sibuk dengan ponselnya,
"Saskia ya?"
"Iya nih. Bingung gue sama dia,"
"Yah cewe semua ngebingungin kali," kataku.
"Kok lu ngga?" tanyanya bingung, tapi tetap memandang ponselnya.
"Gue ngebingungin juga kali,"
"Lu juga ribet orangnya, Les. Tapi kok gue gak ngerasa itu ya?" Dia menatap ponsel yang entah apa yang ia buka.
"Hahaha asem!" Kulempar tisu bekas mengelap sepatuku, ke wajahnya.
"Mba! Ada yang jorok nih, buang tisu sembarangan!"
"Ih, ngadu!" aku kesal. Tapi ternyata dia sedang memegang tisu itu, dan membuangnya ke tempat sampah yang ada didekat situ. Kak Dara datang, aku memanggilnya agar kesini. Dan dia memutuskan untuk pulang lebih dulu. Kuantar dia sampai depan toko, dan kubiarkan motornya melaju.

***

Keesokan harinya, sudah hampir setengah jam kutunggu Dimas didepan gang. Kaki sudah terasa pegal, dan akhirnya kutinggal dia pergi ke kampus sendiri. Seperti yang biasa kulakukan saat dia sedang ada kerjaan di luar kota, semacam fotografer freelance. Sesuai perjanjian yang ia buat, "kalau gue belum dateng sampe setengah jam, lu berangkat sendiri ya. Jangan nunggu, nanti gantinya, gue yang anter lu pulang," dia selalu bicara seperti itu, dengan cengengesannya yang khas.
Sesampainya di kampus, Denis memanggilku dari arah pintu masuk kelas. Dia mengajakku untuk pergi ke depan kampus, dan makan bubur ayam bersama. Dia cerita sesuatu yang cukup membuatku kaget. Denis kemarin mengantar Dimas bertemu dengan klien, Pak Darius dari Medan. Dia meminta bantuan Dimas untuk mengatur dan mengelola galeri yang baru dibuka disana. Dimas tak bisa menyia-nyiakan kesempatan yang ada, dia segera menyetujui kontrak itu. Selama dua belas bulan, dia akan jadi anak rantauan.
"Dimas berangkat malem kemarin, Les. Dia juga nitip salam buat lu," ujarnya. Aku hampir tak percaya, itu berarti setahun tanpanya. Apa kabar dengan kuliahnya? Apa kabar denganku? Apa kabar dengan pertanyaanku soal Saskia?
"Ada Saskia di bandara?"
"Ngga deh. Kan cuman gue yang anter, yang bantuin dia packing,"
"Oh gitu."
"Tapi kemarin dia nelepon orang, dia bilang itu Saskia, bilangnya sih mereka putus kemarin."
"Eh? Kok bisa? Mereka kan baru sebulan,"
"Ya iya sih, gatau deh apa yang bikin mereka akhirnya nyerah. Eh dia juga nelepon orang pas mau boarding pass, dia agak kesel sih. Pas gue tanya kenapa, katanya gak diangkat terus, rumit nih cewe, gitu."
"Oh." jawabku datar, seakan cuek dengan apa yang ia ceritakan tentang Dimas. Tapi entah kenapa, saat mendengar penjelasan Denis yang tadi, rasanya ya ia maksud itu aku. Ah terlalu percaya diri, aku hanya sahabatnya, tak lebih. Aku tak mau merusak persahabatanku, hanya karena keegoisan perasaanku. Aku nyaman seperti ini dengannya. Tapi jarak Bogor dan Medan, lumayan menyiksa, mengurungku pada murung yang teramat. Aku takut rinduku menggebu, konon katanya rindu yang besar dapat menumbuhkan cinta yang besar pula.
Kusudahi sarapan bubur ayam Pak Mahmud yang lezat itu. Seusai jam perkuliahan, Denis mengajakku untuk pulang bersama. Kusenyumi dia, "makasih, aku dijemput Mang Osman," ujarku, dan setelah memberi senyuman, dia pun melanjutkan perjalanannya. Kuputuskan untuk duduk di tempat penjual jus depan kampus, sudah kuberitahu Mang Osman tadi dimana posisiku. Dimas, dia benar-benar tak bisa dihubungi, lalu dia pakai nomer yang mana? Enggan memutuskan komunikasi, tapi dia seakan menghilang ditelan keadaan. Lamunanku telah membawaku mengingat semua yang pernah kita lalui. Senyumanku merekah seketika, mengindahkan sore ini. Khayalanku saja, jangan ikut mengkhayal tentangnya, karena ini tentang dia, cukup aku saja, kau jangan.
Klakson motor berbunyi membuyarkan semuanya, segera kunaiki ojeg langganan keluargaku. Ditengah jalan, petir sudah terdengar bergemuruh, tandanya aku harus sudah berada di rumah sebelum hujan membasahi seluruhnya. Aku, Mang Osman, juga motor dan bagian lainnya, semacam tas yang kugendong dari tadi pagi. Kalau hujan, nanti aku rindu Dimas, hujan selalu mengingatkanku padanya. Celaka!
Di kamar, aku mulai merasa bosan, harus kubiasakan tanpa dia. Ruang obrolanku dengannya hanya sampai malam itu.
"Gue tidur duluan ya, capek banget nih. Abis jemput tuan putri, hahaha."  Dia berbohong padaku, di catatan waktunya 21.25 dan kata Denis, jam flight-nya pukul 21.45. Tuan putri yang mana yang kamu jemput, Dimas. Kamu pangerannya malah pergi jauh ninggalin gadis desa yang penuh pengharapan ini. Aku tersenyum melihat layar smartphone-ku.
.
.
3 bulan
.
.
6 bulan
.
.
Sudah genap setengah tahun aku menunggunya. Jelas teman sekelasku menanyakan kabarnya padaku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum sebagai jawaban hangat. Denis mengajakku berbicara di dalam kelas, ini mata kuliah Bu Ratih.
"Sepi yah," ujar Denis.
"Iya, hehe." Aku berusaha ramah, namun sebenarnya sedih karena tak mendengar kabarnya selama ini.
"Aku kangen dia nih,"
"Sama," jawabku.
Sepertinya, aku mulai mencintainya, Denis juga menyatakan hal yang sama. Di dalam perpustakaan,
"Dia punya janji apa sih?"
"Hah? Janji apa ya?"
"Gatau deh. Pokoknya, dia sih bilangnya, dia bakal pulang secepatnya buat nepatin janji sama kamu, Les."
Apa itu? Janji apa yang dia maksud? Aku langsung tersenyum, apa benar yang kupikirkan sama dengan apa yang ia maksud?
.
.
.
.
.
Bersambung

Rabu, 25 November 2015

Magelang Yang Terlupakan

L.Gurman

"Kamu ngerasa? Ya wajar kan aku curiga, aku cuma minta kamu paham maksud aku," ujar Hana enggan menatapnya,

"Aku gak pernah kasih harapan ke mereka, Hana. Kamu yang harusnya lebih paham aku," ujarku tetap menjaga nada dan intonasi bicara.

"Paham kalau kamu suka ngobrol sama perempuan lain? Iya? Tadi aku malah liat kamu sama Giska," ujarnya, "dia teman kuliahku," sambungnya. Kali ini aku hanya bisa diam seketika. Kebingungan.

 "Udahlah, Han. Gausah bicarain itu dulu, niat kita kan mau jalan. Bukan ribut begini,"

Kali ini, ucapanku tepat sekali, sekarang Hana hanya diam dan keadaan mobil hening, sepi sekali. Hanya suara dari radio yang sudah menyala sebelum adanya keributan itu.

"Kita harus pikirin lagi soal pertunangan kita," ujar Hana tiba-tiba, dan cukup mengejutkanku yang sedang khusyuk menyetir mobil.

"Kenapa? Masih karena kecurigaan kamu sama Giska? Aku gak ada apa-apa sama dia, tadi itu dia yang nyamperin aku, nanyain kabar kamu," tegasku, dan sepertinya itu belum cukup membuka hati Hana yang terbelenggu cemburu.

"Sepertinya aku mulai ragu sama hubungan kita, Raka. Maaf,"

"Udahlah, Han. Kamu gak bisa percaya sama aku sedikit apa? Kamu gak biasa kaya gini," sahutku agak kesal dengannya kali ini.

"Engga, maaf," ucapan Hana seperti petir bagi diri seorang taruna yang memiliki tubuh tinggi tegap, pemegang tenor drum di drumband akmil - Canka Lokananta itu. Karena tak bisa menahan emosinya, entah apa yang ia pikirkan. Kemudinya keras saat akan kuputar ke kanan, seketika itu pula hantaman keras ke arah mobil yang melaju berlawanan pun terdengar. Disusul dengan suara beberapa orang yang berteriak ngeri. Dalam keadaan pusing, kulihat sekeliling dan kutemui Hana yang tergeletak tak berdaya. Beberapa pengemudi mobil dan warga yang ada disitu membantuku mengangkat tubuhnya dan sesegera mungkin membawanya ke rumah sakit. Aku khawatir sesuatu terjadi padanya. Dua jam menunggu di lobby, dalam keadaan terus mengkhawatirkannya, akhirnya kudapati kabar bahwa dia berhasil dioperasi. Dokter segera menjelaskan bahwa dia akan baik-baik saja. Tapi hanya saja, dia mengalami shock berat yang menyebabkan ingatan Hana terbuang sebagian. Kali ini, sekeras-kerasnya jiwaku ditempa di lapangan, mendengar hal itu aku merasa hampa dan ingin kuulang waktu dan tak akan kubuat kesalahan yang membuatnya seperti ini.

***

Magelang dengan sejuta keindahan yang disuguhkan, tak menarik lagi untuk seorang aku. Rakaditya Sulistio, dengan akrab dipanggil Raka oleh beberapa teman letting-ku. Aku seorang taruna di Akmil, Magelang, dan aku tetap berdiri tegap meski sesekali ingat dia. Adalah seorang Hana, gadis yang menemaniku satu tahun terakhir. Namun ia sudah hilang, bersama dengan kenangannya. Aku hampir lelah menghadapinya yang sudah sulit untuk melakukan pendekatan. Kresna dan Denis selalu membantuku, meski kata menyerah terus mendorongku untuk berhenti mencintainya. Sampai saat tiba, IB pun datang, mereka berdua menyuruhku untuk ke rumah Hana yang berada di Kulon Progo, Jogjakarta.

 

"Ah, udah kita ke rumah Kresna aja sih," ujarku malas bergerak dari tempat tidur.

"Hana butuh lo, Raka. Ayo buruan, kita apel dulu," ujar Denis, dan sesegera mungkin kami berdua berlari menuju barisan. Dan akhirnya, kami dilepas IB, didepan sudah ada taksi yang menunggu kami. Pesanan mas Kresna, kata supirnya. Taksi yang kami naiki, bukan yang seperti biasa yang memakai "tarif lama". Rasanya cukup menggambarkan bagaimana taksi itu, kembali kepada perjalanan kami ke Kulon Progo.

Hampir lima bulan tak kutemui dia, karena berbagai alasan yang tak mungkin kujelaskan disini. Saat kuputuskan untuk masuk terakhir, ibunya Hana langsung menarikku keluar untuk bicara.

"Kamu tak mendapat surat dari ibu?" ujar ibu,

"Tidak, bu. Memangnya kenapa?"

"Sebaiknya kamu pulang, atau jangan menemui Hana. Dia.."

"Aku tahu, bu. Dia amnesia kan?" sergapku menyambung ucapannya, kutundukkan kepala menatap wajahnya dan ku pegang kedua bahunya. Senyumanku terus kupasang sebagai cover dihadapannya. Dia diam.

"Kenapa ibu, ada apa sebenarnya?" tanyaku bingung,

"Sudahlah nak, lebih baik kamu pulang sekarang," aku tersentak mendengar perkataannya yang terkesan mendesakku untuk pergi. Kenapa? Kutanyakan dia dengan pertanyaan yang sama, sampai akhirnya dia mengajakku untuk ke dalam dan mengintip kamar Hana.

"Jangan banyak bicara," ujar ibu, dan langsung pergi ke ruang tamu, meninggalkanku didepan kamarnya. Segera aku masuk ke dalam sana, kudapati Hana sedang menatap ke arah meja belajarnya. Dia terlihat sedang menulis sesuatu. Saat kudekati, aku hampir terkejut, ia menulis nama "Raka" diselembar kertas yang ada didekatnya. Itu berarti dia tidak lupa sedikitpun tentangku?

"Hana?" Aku tak sengaja memanggilnya,

"Ka Ndaru? Kamu pulang? Bawa apa, Hana mau martabak seperti biasa." sahutnya, aku diam. Dan sebagai lelaki, hanya bisa menahan airmata karena memang ingin menangis.

"Siapa itu?" tanyanya curiga, ku balikkan tubuhnya dan menghadap ke arahku. Aku berlutut dihadapannya, dia mulai meraba wajahku. Sampai akhirnya, kubiarkan tangannya merasakan detak jantungku. Kupeluk tangannya, tepat didepan jantungku.

"Raka?" tebakannya tak meleset, dia masih mengingat detak jantungku. Wajahnya nampak terkejut, dan dia sesegera mungkin bangun hendak menjauh dariku.

"Kamu pergi, aku bilang pergi!!" bentak Hana,

"Engga, Hana. Tenang," ujarku sambil memeluknya. Benar, tangisannya tak membasahi seragamku.

"Aku buta, Raka. Aku malu,"

"Kamu ingat aku?"

"Iya," jawabnya sambil terisak. Dia masih bersandar di pelukanku, kubiarkan itu. Aku masih tak percaya, sejak kapan dia ingat denganku.

"Maaf kalau aku terlambat ingat kamu," ia menceritakan semua hal yang tak kuketahui. Sejak terakhir bertemu, saat menghampirinya di area parkir.

 

"Siapa sih kamu? Bisa gak ganggu saya lagi?"

"Aku, Raka. Kamu gak inget apapun?"  

"Gini ya mas. Saya gak kenal kamu, dan kalau kamu kenal saya, mungkin kita cuma kenal di seminar atau apa,"

"Kamu gak pake cincin kita?"

Segera kuperiksa jarinya, dan dia masih memakainya ternyata. Tapi dia sama sekali tak tahu kenapa cincin itu ada dijarinya.

"Ini cincin dari kakak saya, bukan dari siapapun, termasuk mas sendiri." ujarnya. Dari gaya bicaranya, dia sudah berbeda dari biasanya.

"Namamu siapa?"

"Raka." jawabku sudah tak peduli. Kutinggalkan dia dan kembali ke restoran, Kedua rekanku sudah menunggu disana. Dan sejak itulah dia mulai mengingatku.

 

Selesai bercerita, aku paham sekali kenapa surat ibunya Hana yang bilang dia akan menikah dengan orang lain. Aku berbohong pada ibunya, tentang surat yang tak kuterima. Karena aku yakin, Hana juga akan menungguku.

"Gak apa-apa, Hana. Aku senang kamu ingat,"

"Lupakan aku, Raka."

"Kenapa?"

"Cukup, sebaiknya kau pulang. Dan tolong, lupakan aku."

"Aku akan menunggu, Hana."

"Kalau kau punya cara untuk mengejarku, aku punya lebih banyak cara lagi untuk menjauh darimu."

Aku keluar dari kamar Hana, setelah kubantu dia untuk berbaring ditempat tidurnya. Kuseka basah air mata yang tak sengaja keluar karena percakapan tadi. Aku meminta izin untuk pulang pada ibunya Hana, disusul dengan kedua temanku, dan Ka Ndaru yang mengantar kami sampai mobil.

"Bagaimana?" tanya Denis,

"Mulai sekarang, sudah kubiarkan dia bersama orang pilihannya,"

"Kenapa?" tanya Kresna, antusias.

"Sepertinya dia terlalu benci denganku, dia akan menikah dengan orang lain." ujarku tegar, berusaha menutupi apapun yang kudengar dan kulihat, tadi. Aku merasa lega sekarang, aku sudah tahu bagaimana perasaannya sekarang padaku. Kunikmati angin Kulon Progo setelah hujan. Segar. Kami akan menginap saja di rumah Kresna.

Magelang yang terlupakan, semua kenangan indah maupun menyakitkan terangkum disini. Kuamnesiakan ingatanku saat itu juga, kubuka semua yang terkunci. Entah jiwa atau hati tentangnya sekalipun. Dan detik ini, resmi ku lepas semua kenanganku bersamanya, di Magelang.

 

 

Larasanti Gurman. Lahir di kota Hujan, beberapa tahun yang lalu. Hobi adalah membaca komik dan menulis cerita. Lebih senang bermain imajinasi dibanding bermain petak umpet, capek. Kuliah di jurusan akuntansi, berniat akan membuat karya sastra berbasis kas dan akrual. Inspirasi saat ini, dia, anggota Marinir, Indonesia.

Senin, 23 November 2015

Pulang (3)

Hujannya indah, jatuh diwaktu yang tepat dan ditempat yang benar. Apa bagusnya? Ya coba lirik cerita sebelumnya, hari ini kami harus bertemu dengan Pak Haris yang lumayan mendidik cara mengajarnya. Tegas, bukan galak. Kami tak masuk kelasnya, karena pengemudi gila yang menjadi sahabatku itu. Dan juga hujan pula yang mengantarkanku pada sebuah warung yang biasa kami datangi karena jamuannya yang nikmat. Juga teh manis hangatnya. Sudah mengerti kan mengapa hujan hari ini indah?
Sama seperti kisah cinta, yang "katanya" indah pada waktunya. Aku percaya saja, walaupun masih galau karena belum memaknainya sendiri. Mungkin dengan hujan sore ini, aku mulai bisa memaklumi, mengapa remaja saat ini mengagungkan cinta diatas segalanya. Meski sebenarnya itu terdengar terlalu berlebihan. Menurutku, bukan menurutmu, terserah.

"Yuk?" panggil Dimas yang berdiri didepan pintu masuk warung. Aku menjawab, iya, dan kuambil helm dan jaket yang kubawa tadi. Tidak dipinjamkan, ukuranku dan ukurannya berbeda. Jauh. Kusenyumi saja ibu warung yang sejak tadi ngobrol, sebagai tanda perpisahan akrab yang kulakukan. Obrolan kami juga tak kalah seru dari obrolan mereka diluar, entah tentang apa itu. Yang pasti tampang para pria disana serius dan sesekali tangan Dimas bergerak, mengarah kesana kesini dan entah apa yang ia jelaskan dengan tangannya itu.

Sepertinya, pelanginya sedang mengintip bumi, apakah manusia sudah siap dengan keindahan setelah penantian yang ramai disebut hujan itu?
"Wih!" teriaknya mendadak berhenti di pinggir jalan. Sekedar info, tadi dia sempat mengarahkan jalannya ke pinggir jalan dan perlahan menurunkan kecepatan motornya hingga akhirnya ia ngerem mendadak.
"Ada apa sih, Dim?" jawabku membenarkan helm yang sedikit miring karena sempat terbentur helm Dimas.
"Itu ada pelangi," tunjuknya ke langit dengan cepat dan kemudian dia kembali menjalankan motornya lagi. "Gak jelas ih, Dim. Ya Allah, kuatkan Lesta! Mesti diapain dia Ya Allah,"
"Diturunin aja dari motor," sahutnya,
"Iya, bener." Aku menganggukan kepalaku dan mengusap wajahku meng-amin-kan ucapannya. Seketika, motor berhenti lagi dan kali ini mesinnya juga, eh tidak, standarnya juga ia turunkan.
"Eh? Kok turun sih! Gue mesti pulang cepet, takut hujan lagi..."
"Entar gue pusing, gue sakit, entar gue gak masuk, emang lu gak kangen gue?" dengan cepat dia mengambil naskah yang akan kuutarakan. Aku spontan hanya cengengesan menatapnya yang tampak lucu karena bete dengan ucapanku yang itu-itu saja.
"Hehe, lu ambil kata-kata gue, payah eh plagiat," ujarku.
"Lu yang gak kreatif, itu-itu mulu ngomongnya," jawabnya santai,
"Yaudah sih! Eh kok turun sih, buruan!"
"Eh? Lupa? Tadi doa apa?" perkataannya buatku berpikir beberapa detik saja, "ini di-Amin-in sama Allah," jawabnya cengengesan, gak peduli gerimis udah mulai turun lagi. Aku hanya bisa cemberut tanpa menatapnya, cuma diam lalu bete lagi.
"iya, iya, berangkat," dia akhirnya menjalankan motornya, dan aku hanya senyum dibelakangnya. Hahaha aku puas menjebaknya.
...
...
"Gak usah ketawa," dibalik keheningan dia bicara, eh? Dia tahu sedang apa aku?
"Apaan sih? Siapa yang ketawa?"
"Elu, dut."
"Ngomong apa tadi?"
"Endut. Lesta kan endut," ujarnya,
"Daripada lu, gak seksi ah, kurus,"
"Ya biarin, biar imbang. Udah ah berisik, gue turunin diterminal lu!"
"Eh, jangan!" Kutarik jaketnya, kuberi tanda aku tak mau diturunkan diterminal. Masih jauh ke arah rumah. Di lampu merah hampir dekat rumah, ponselnya Dimas berbunyi. Dia sibuk membobol kantung celana levisnya yang berwarna biru. Yang kudengar hanya ada kata, iya, iya, ngerti, iya dan iya. Udah, itu aja, gak ada yang lain. Kupikir itu dari pacarnya yang tinggal di Bandung sekarang, namanya Saskia.
Lampu hijau. Dan ia memacu motornya hingga depan gang, kemudian remnya beraksi.
"Lu turun disini aja ya," ujarnya,
"Eh? Iya." Kulepas helmnya, dan kugantungkan di depan motornya.
"Lagi ada perlu nih, maklum udah punya pacar hahaha." ucapannya entah kenapa membuatku sedikit kesal dihati.
"Oh. Ngerti deh, yang udah gak jomblo lagi."
"Lagi lu, korea mulu sih idamannya. Susah kan? Hah, cuma gue yang mirip Lee Minho kan? Aduh sayang, gue udah punya pacar, duh." ujarnya dengan rasa percaya diri yang tinggi.
"Ih, ogah." Tampangku mulai datar mendengarkannya, dan memukul lengannya kencang sebagai tanda tak suka dengan tingkahnya yang itu.
"Nanti gue anter lu sampe rumah," aku diam, bingung. "Besok tapi, haha." sambungnya.
"Dasar gila," aku langsung mengambil kresek yang berisi tahu isi dan tempe goreng dari warung tadi untuk ibuku dirumah. Setelah kudengar suara motor yang nyala. Kukira dia akan mengejutkanku seperti biasa karena ia tahu aku akan menengok. Tapi kali ini, saat kutengokkan pandangan, ternyata dia sudah memutar balik motornya dan memacunya dengan cepat. Dalam hatiku, "daah, hati-hati, Dim." dan tersenyum sendiri, kemudian kembali datar.
Sesampainya didepan pagar rumah, kutemui ibu diteras sedang bersama seorang tamu, oh dia ketua RT.
"Mah," kucium punggung tangan kanannya.
"Pak," kusapa, hanya itu, tak kucium tangannya karena enggan. Hahaha, bukan ayahku, omku, atau suamiku, eh? Hahahaha.
Kuletakkan tas ke meja belajar, juga plastik berisi tahu isi dan tempe di tempat yang sama, tapi lebih pelan. Kurebahkan sejenak tubuh yang lelah karena dari siang sampai dengan tadi sore, berkeliling ngalor ngidul. Tapi sesuatu mengusik jiwaku, ada pertanyaan yang mengganjal dikepala.
"Itu Saskia yang telepon?" itu pertanyaan yang terus menghantui pikiran sehatku. Yang kata dia sih, pikiranku akan selalu dan semakin sehat kalau ingat dia. Membosankan ya lelaki itu, dasar sahabatku, hahaha.
.
.
.
.
.
.
Bersambung..
@megawati
@liliana ze

Pulang (2)

Author : L.Gurman

Dimas menghela nafasnya, dan berusaha membahagiakanku dengan lawakan garingnya. Dia terus mengusik diamku, padahal ingin sekali tertawa. Tapi dia keterlaluan, kalau cuma sekali ya kumaafkan. Ini mungkin sudah puluhan kali aku dijadikan bahan tertawaan kelas. Berharap aku menghadiahinya sebuah tawa kecil dan sebuah kalimat "ya, kumaafkan" dariku. Nyatanya tidak. Kemudian dia diam, kudengar dosen terus mengoceh tentang leasee dan lessor. Apa kau tau itu? Itu pemeran utama dari drama yang kububuhi judul "pembayaran leasing". Aku yang bosan, hanya nunduk lalu melukis beberapa saja nama aktor korea yang kuinginkan, hanya bertemu bukan berharap menjadi pasangan hidup. Mimpinya terlalu tinggi, nanti jatuhnya makin sakit. Kembali ke suasana dan "dia" yang berubah.

"Lesta, kamu kenapa? Itu diliatin dosennya," ujarnya bisik ketakutan, ikut merunduk dan meyakinkanku, kalau dosen benar-benar sedang memperhatikanku. Aku langsung mengangkat wajahku, dan menegakkan dudukku. Saat kulihat, dosennya sedang menulis dipapan tulis dengan "anteng" dan jangan tanya selanjutnya bagaimana aku. Sudah jelas aku makin geram dengan sikapnya yang membuatku muak.
"Hahahaha," ia tertawa puas disebelahku, tapi dengan suara bisik yang tetap mengejekku. Kumaafkan untuk kali ini, dan kuputuskan untuk berhenti bercanda dan tetap belajar.
Oh iya, aku mengenalnya sejak semester awal sejak kami dipertemukan dikelompok yang sama dan ditunjuk sebagai ketua barisan. Tak usah dibahas bagaimana ia dipermalukan kakak kelas karena salah panggil nama kakak kelas, dan akhirnya.. jika kuingat itu, hanya akan membuatku tertawa terus saat melihatnya. Boleh aku tertawa lepas sekarang? HAHAHAHA.

Kami memacu nyali kami untuk tidak masuk mata kuliah Auditing II yang aku dan teman sekelas kenal bahwa dosennya adalah dosen yang kelak menguji kami nanti. Di sidang skripsi.
"Gausah masuk," ujarnya sambil asyik mengendarai motor santai,
"Heh, gila. Pak Haris sekarang!"
"Yaudah kamu aja, ntar aku turunin didepan kampus ya, Les?"
"Enak aja!" kutoyor helmnya dari belakang, motornya oleng. Atau memang sengaja ia kemudi dengan tak stabil.
"Heh pea! (Pea: entah tulisannya bagaimana yg pasti artinya lebih "bodoh") Yang bener, nanti gue gak jadi pake toga eh!" ujarku sedikit teriak dari belakang. Hujan, hujan! Sesegera mungkin ku instruksikan dia untuk menepi, kalau tidak bajuku akan basah. Baju dia? Tidak. Karena dia pakai jaket, bukan baju. Kalau kau tanya jaket dia, ya mungkin akan kujawab basah. Haha, bercanda. Dia juga selalu begitu, lupakan ini, boleh?

"Ini mienya,"
"Cie paham banget sih gue laper,"
"Lu kan gendut, Les" itu kata paling *kampret* yang kudengar darinya.
"Sialan, awas lu minta," kataku menarik mangkuk mie yang tadi ia pesankan untukku. Dia hanya tersenyum dan sesekali menyeka jaketnya yang sedikit basah.
"Gue ke kamar mandi dulu ya," ujarnya berlalu setelah kuberi anggukan, tak kujawab karena mulutku sudah kujejali mie. Maklum aku gendut, dan aku lapar. Untungnya sahabatku yang satu itu mengerti, aku sayang dia. Sekembalinya dari kamar mandi, dia meminta izin untuk merokok diluar. Untuk kali ini, kurespon saja ucapannya.
"Ishh, gak baik buat kesehatan. Kurus lo!"
"Ah temen gue gendut ini,"
"Haha!" jawabku sedikit ketus, aku marah saat dia mengungkit fisikku yang gempal seksi, itupun katanya juga. Hahahaha.

Seusai makan, kupanggil ibu warung.
"Berapa bu?"
"Anu mba, tadi sudah dibayar sama masnya yang pesen," ujarnya dengan intonasi medok khas Jawa Tengah itu.
"Oh? Makasih mba,"
"Enggeh mba,"
Lalu kuhampiri dia, tak kutemui batang rokok diantara jari jemarinya, baik yang kanan maupun yang kiri. Lalu dia ngapain daritadi disitu? Dia sedang akrab dengan teh hangat yang mengebul dengan dua bapak-bapak yang ikut mengebul juga, tehnya.
"Sudah?" kujawab dengan anggukan, dan senyuman untuk para bapak yang sudah baik menemaninya.
"Lu tunggu didalem aja, Les. Hujannya masih gede," ujarnya,
"Yah lu dingin juga, Dim,"
"Udah masuk sana, tuh disini nyiprat aer ujannya," ujar Dimas sambil menyuruhku untuk masuk ke dalam dengan kode kepalanya, dan aku menurut saja.
.
.
.
.
.
.
Bersambung

Pulang

Author : L.Gurman

Hujan sepertinya terus mengguyur bumi, tapi tidak untuk kepala dan seluruh tubuhku. Tak terkecuali. Aku berlindung di bawah naungan rumah mewah namun ngeri. Atapnya sudah usang tergerus zaman. Bukan, bukan untuk ribuan tahun yang lalu, hanya saja cuaca di Bogor ekstrim akhir-akhir ini. Hujan, lalu panas, hujan ya sesudah itu panas, hujan lalu ya hujan terus. Itu loh, yang sering dapat kutipan "pengirim" banjir ke Jakarta. Haha, kutertawai berita macam itu, terlalu menggelitik. Bukan tentang Jakarta banjir atau Bogor yang sering hujan yang akan jadi dongeng sebelum tidur para anak marmut yang lucu itu. Tapi dia, orang yang mengindahkan sulitku, dan menyulitkan indahku. Dimas Dirgantara, sahabatku yang mencoba menjadi temanku, "teman hidup" katanya. Sudah rajin kepalanya ia elus karena sakit, itu karenaku. Habisnya, dia terlalu sering menyesatkanku sampai dosen menggelengkan kepalanya untukku.
"Lesta, kamu ngapain?" Ujar dosen yang melihatku mendadak berdiri.
"Ngga pak, tadi katanya saya diabsen yang nilainya C pak,"
"Lesta, lesta, npm kamu berapa?" tanyanya sambil liat daftar nilainya.
"023 pak,"
"022, Adi Wicaksono. Bukan kamu,"
Semuanya tertawa, juga Dimas yang memberitahuku untuk berdiri dan menghampiri dosen. Katanya kalau tidak maju, tak bisa perbaikan nilai. Kurang ajar memang, aaarghhhh aku kesal. Saat kuhampiri bangkunya, dia hanya diam tapi masih ada tawa kecil bekas tadi aku dipermalukan.
Tapi sikapku tegas marah, tapi dia lebih punya ketegasan untuk membuatku tersenyum "lagi". 
.                                                  
.
.
.
bersambung

Sabtu, 21 November 2015

Ember bekas

Kalau besok lantai basah.
Mungkin ember itu sudah rusak.
Wajar, karena itu ember bekas, lapuk.
Kalau besok ada yang salah.
Mungkin kepercayaannya sudah rusak.
Wajar, karena sudah ada jejak kesalahan, mungkin berbekas. Bahkan berkerak, abadi.
Buang saja lah.
Tapi kalau sayang, simpan.
Jangan diperbaiki.
Sia-sia, simpan saja.
Jika ingin bertanya kenapa,
Disana ada pujangga nganggur.
Tanya saja, dia bisa jawab kok.
Sudah kutitipkan jawaban padanya.