Senin, 23 November 2015

Pulang (3)

Hujannya indah, jatuh diwaktu yang tepat dan ditempat yang benar. Apa bagusnya? Ya coba lirik cerita sebelumnya, hari ini kami harus bertemu dengan Pak Haris yang lumayan mendidik cara mengajarnya. Tegas, bukan galak. Kami tak masuk kelasnya, karena pengemudi gila yang menjadi sahabatku itu. Dan juga hujan pula yang mengantarkanku pada sebuah warung yang biasa kami datangi karena jamuannya yang nikmat. Juga teh manis hangatnya. Sudah mengerti kan mengapa hujan hari ini indah?
Sama seperti kisah cinta, yang "katanya" indah pada waktunya. Aku percaya saja, walaupun masih galau karena belum memaknainya sendiri. Mungkin dengan hujan sore ini, aku mulai bisa memaklumi, mengapa remaja saat ini mengagungkan cinta diatas segalanya. Meski sebenarnya itu terdengar terlalu berlebihan. Menurutku, bukan menurutmu, terserah.

"Yuk?" panggil Dimas yang berdiri didepan pintu masuk warung. Aku menjawab, iya, dan kuambil helm dan jaket yang kubawa tadi. Tidak dipinjamkan, ukuranku dan ukurannya berbeda. Jauh. Kusenyumi saja ibu warung yang sejak tadi ngobrol, sebagai tanda perpisahan akrab yang kulakukan. Obrolan kami juga tak kalah seru dari obrolan mereka diluar, entah tentang apa itu. Yang pasti tampang para pria disana serius dan sesekali tangan Dimas bergerak, mengarah kesana kesini dan entah apa yang ia jelaskan dengan tangannya itu.

Sepertinya, pelanginya sedang mengintip bumi, apakah manusia sudah siap dengan keindahan setelah penantian yang ramai disebut hujan itu?
"Wih!" teriaknya mendadak berhenti di pinggir jalan. Sekedar info, tadi dia sempat mengarahkan jalannya ke pinggir jalan dan perlahan menurunkan kecepatan motornya hingga akhirnya ia ngerem mendadak.
"Ada apa sih, Dim?" jawabku membenarkan helm yang sedikit miring karena sempat terbentur helm Dimas.
"Itu ada pelangi," tunjuknya ke langit dengan cepat dan kemudian dia kembali menjalankan motornya lagi. "Gak jelas ih, Dim. Ya Allah, kuatkan Lesta! Mesti diapain dia Ya Allah,"
"Diturunin aja dari motor," sahutnya,
"Iya, bener." Aku menganggukan kepalaku dan mengusap wajahku meng-amin-kan ucapannya. Seketika, motor berhenti lagi dan kali ini mesinnya juga, eh tidak, standarnya juga ia turunkan.
"Eh? Kok turun sih! Gue mesti pulang cepet, takut hujan lagi..."
"Entar gue pusing, gue sakit, entar gue gak masuk, emang lu gak kangen gue?" dengan cepat dia mengambil naskah yang akan kuutarakan. Aku spontan hanya cengengesan menatapnya yang tampak lucu karena bete dengan ucapanku yang itu-itu saja.
"Hehe, lu ambil kata-kata gue, payah eh plagiat," ujarku.
"Lu yang gak kreatif, itu-itu mulu ngomongnya," jawabnya santai,
"Yaudah sih! Eh kok turun sih, buruan!"
"Eh? Lupa? Tadi doa apa?" perkataannya buatku berpikir beberapa detik saja, "ini di-Amin-in sama Allah," jawabnya cengengesan, gak peduli gerimis udah mulai turun lagi. Aku hanya bisa cemberut tanpa menatapnya, cuma diam lalu bete lagi.
"iya, iya, berangkat," dia akhirnya menjalankan motornya, dan aku hanya senyum dibelakangnya. Hahaha aku puas menjebaknya.
...
...
"Gak usah ketawa," dibalik keheningan dia bicara, eh? Dia tahu sedang apa aku?
"Apaan sih? Siapa yang ketawa?"
"Elu, dut."
"Ngomong apa tadi?"
"Endut. Lesta kan endut," ujarnya,
"Daripada lu, gak seksi ah, kurus,"
"Ya biarin, biar imbang. Udah ah berisik, gue turunin diterminal lu!"
"Eh, jangan!" Kutarik jaketnya, kuberi tanda aku tak mau diturunkan diterminal. Masih jauh ke arah rumah. Di lampu merah hampir dekat rumah, ponselnya Dimas berbunyi. Dia sibuk membobol kantung celana levisnya yang berwarna biru. Yang kudengar hanya ada kata, iya, iya, ngerti, iya dan iya. Udah, itu aja, gak ada yang lain. Kupikir itu dari pacarnya yang tinggal di Bandung sekarang, namanya Saskia.
Lampu hijau. Dan ia memacu motornya hingga depan gang, kemudian remnya beraksi.
"Lu turun disini aja ya," ujarnya,
"Eh? Iya." Kulepas helmnya, dan kugantungkan di depan motornya.
"Lagi ada perlu nih, maklum udah punya pacar hahaha." ucapannya entah kenapa membuatku sedikit kesal dihati.
"Oh. Ngerti deh, yang udah gak jomblo lagi."
"Lagi lu, korea mulu sih idamannya. Susah kan? Hah, cuma gue yang mirip Lee Minho kan? Aduh sayang, gue udah punya pacar, duh." ujarnya dengan rasa percaya diri yang tinggi.
"Ih, ogah." Tampangku mulai datar mendengarkannya, dan memukul lengannya kencang sebagai tanda tak suka dengan tingkahnya yang itu.
"Nanti gue anter lu sampe rumah," aku diam, bingung. "Besok tapi, haha." sambungnya.
"Dasar gila," aku langsung mengambil kresek yang berisi tahu isi dan tempe goreng dari warung tadi untuk ibuku dirumah. Setelah kudengar suara motor yang nyala. Kukira dia akan mengejutkanku seperti biasa karena ia tahu aku akan menengok. Tapi kali ini, saat kutengokkan pandangan, ternyata dia sudah memutar balik motornya dan memacunya dengan cepat. Dalam hatiku, "daah, hati-hati, Dim." dan tersenyum sendiri, kemudian kembali datar.
Sesampainya didepan pagar rumah, kutemui ibu diteras sedang bersama seorang tamu, oh dia ketua RT.
"Mah," kucium punggung tangan kanannya.
"Pak," kusapa, hanya itu, tak kucium tangannya karena enggan. Hahaha, bukan ayahku, omku, atau suamiku, eh? Hahahaha.
Kuletakkan tas ke meja belajar, juga plastik berisi tahu isi dan tempe di tempat yang sama, tapi lebih pelan. Kurebahkan sejenak tubuh yang lelah karena dari siang sampai dengan tadi sore, berkeliling ngalor ngidul. Tapi sesuatu mengusik jiwaku, ada pertanyaan yang mengganjal dikepala.
"Itu Saskia yang telepon?" itu pertanyaan yang terus menghantui pikiran sehatku. Yang kata dia sih, pikiranku akan selalu dan semakin sehat kalau ingat dia. Membosankan ya lelaki itu, dasar sahabatku, hahaha.
.
.
.
.
.
.
Bersambung..
@megawati
@liliana ze

Tidak ada komentar:

Posting Komentar