Jumat, 27 November 2015

Pulang (4)

Eh besok ulang tahun ayah, sepertinya aku akan membeli kue yang enak kali ini. Usia tuan rumah ini sudah genap 50 tahun, sudah saatnya aku membahagiakan ayah.
"Enak yang mana ya?" ujarku didepan kulkas. Didalamnya sudah ada satu, dua, tiga... sepuluh, bahkan lebih, semuanya terlihat enak. Pak tuan rumah bilang, dia tak suka terlalu banyak krim, dan lebih suka yang cake-nya cokelat.
Karena aku bingung, kuputuskan untuk mengetik pesan ke Dimas, kira-kira yang mana yang mesti dibeli.
"Yang cokelat?" isi pesanku,
"Iya, yang cokelat aja. Pak Hardi suka pasti,"
"Eh manggil nama ayah gue. Oh jadi yang mana dong? Bingung,"
"Lu dimana? Gue kesitu,"
"Gak usah! Hujan diluar,"
"Hujan itu air kan?"
"Gak usah! Jangan, ntar sakit baru tau rasa,"
"Yaudah." pesan terakhir yang ia kirimkan. Kubiarkan saja pesan itu, hanya kubaca tak kubalas. Hampir 20 menit kubuang waktu hanya untuk memilih kue yang tepat. Notifikasiku berbunyi,
"Milihnya yang mana aja. Jangan sampe malem-malem disana," pesan baru yang pending, sepertinya.
"Iya, ini juga gue masih milih haha, bingung. Enak-enak,"
"Lu dimana?"
"Di Papuy Bakery,"
"Di Manado?"
"Di Bogor lah! Dekat kantor polisi"
"Gue kesana," ujarnya masih dalam bentuk chat via Whatsapp.
"Gausah, gerimis!" Pesanku yang ini tak digubris olehnya, hanya dibiarkan tanpa di read. Kurang ajar bocah ini, kuputuskan untuk menunggu Ka Dara menjemputku, katanya dia yang akan bayar kue yang kupilih. Saat ku istirahatkan otakku untuk memilih. Kulihat dari pantulan kaca, ada seseorang datang dan nampak kebingungan. Dan seorang pelayan disitu menunjuk ke arah kue tart, aku yang tak mengerti terus meluruskan kakiku. Pegal.
"Heh endut!" Panggilnya,
"Heh apa lu, manggil gitu,"
"Ya sorry bercanda. Mana kue yang lu bingungin? Sebanyak ini? Halah,"
"Kenapa," sahutku dengan wajah datar,
"Sama, gue juga bingung. Kemarin sih ayah gue juga ultah, beli yang tiramitsu. Juara kata mama, dia ikut makan juga. Lu pengen yang kaya gimana sih?"
"Gue pengennya yang gak banyak krimnya. Gak begitu, banyak selai diantara kuenya, gitu."
"Ok, tunggu sebentar. Duduk sana," ujarnya dan meninggalkanku sendiri. Tak lama, dia kembali dengan pelayan yang akan ia wawancarai soal kue disini. Wajahnya serius, menanyakan hal ini dan hal itu. Aku, sibuk mengirim pesan ke Kak Dara, memberitahunya kalau aku tak sendiri.
"Yang ini?" pertanyaannya yang kudengar.
"Ini full tiramitsu."
"Banyak krimnya?"
"Ngga, ini tiramitsu luar, tengah dan selai cake-nya juga tiramitsu,"
"Harganya berapa?"
"215 ribu,"
"Mahal ya, mba."
"Iya mas." Pelayan itu masih berdiri didepan kulkas bersama Dimas yang berpikir. Kemudian pelayan itu menawarkan jasanya untukku.
"Mba, sudah pesan tadi?"
"Oh, belum mba. Saya sama dengan mas itu,"
"Oh pacarnya ya mba," ujar pelayan,
"Ngga, mba. Kita sahabatan mba," jawabnya mematahkan harapanku yang tumbuh tadi, untung baru benih.
"Yang ini, mba saya mau ini aja. Ya, Lesta, kita pilih ini,"
"Oke," aku enggan menjawab setiap perkataannya. Tapi nanti aku terlihat seperti benci karena tingkahnya yang mematahkan perasaanku saat itu.
"Nanti Kak Dara kesini,"
"Heh? Oh lu janjian, gue kira sendiri. Eh tapi gak apa-apa deh, gue kan temen lu."
"Iya"
Tak lama, pelayan tadi memberikan kertas, kutulis ucapan yang akan dituliskan di atas kue. Dia sibuk dengan ponselnya,
"Saskia ya?"
"Iya nih. Bingung gue sama dia,"
"Yah cewe semua ngebingungin kali," kataku.
"Kok lu ngga?" tanyanya bingung, tapi tetap memandang ponselnya.
"Gue ngebingungin juga kali,"
"Lu juga ribet orangnya, Les. Tapi kok gue gak ngerasa itu ya?" Dia menatap ponsel yang entah apa yang ia buka.
"Hahaha asem!" Kulempar tisu bekas mengelap sepatuku, ke wajahnya.
"Mba! Ada yang jorok nih, buang tisu sembarangan!"
"Ih, ngadu!" aku kesal. Tapi ternyata dia sedang memegang tisu itu, dan membuangnya ke tempat sampah yang ada didekat situ. Kak Dara datang, aku memanggilnya agar kesini. Dan dia memutuskan untuk pulang lebih dulu. Kuantar dia sampai depan toko, dan kubiarkan motornya melaju.

***

Keesokan harinya, sudah hampir setengah jam kutunggu Dimas didepan gang. Kaki sudah terasa pegal, dan akhirnya kutinggal dia pergi ke kampus sendiri. Seperti yang biasa kulakukan saat dia sedang ada kerjaan di luar kota, semacam fotografer freelance. Sesuai perjanjian yang ia buat, "kalau gue belum dateng sampe setengah jam, lu berangkat sendiri ya. Jangan nunggu, nanti gantinya, gue yang anter lu pulang," dia selalu bicara seperti itu, dengan cengengesannya yang khas.
Sesampainya di kampus, Denis memanggilku dari arah pintu masuk kelas. Dia mengajakku untuk pergi ke depan kampus, dan makan bubur ayam bersama. Dia cerita sesuatu yang cukup membuatku kaget. Denis kemarin mengantar Dimas bertemu dengan klien, Pak Darius dari Medan. Dia meminta bantuan Dimas untuk mengatur dan mengelola galeri yang baru dibuka disana. Dimas tak bisa menyia-nyiakan kesempatan yang ada, dia segera menyetujui kontrak itu. Selama dua belas bulan, dia akan jadi anak rantauan.
"Dimas berangkat malem kemarin, Les. Dia juga nitip salam buat lu," ujarnya. Aku hampir tak percaya, itu berarti setahun tanpanya. Apa kabar dengan kuliahnya? Apa kabar denganku? Apa kabar dengan pertanyaanku soal Saskia?
"Ada Saskia di bandara?"
"Ngga deh. Kan cuman gue yang anter, yang bantuin dia packing,"
"Oh gitu."
"Tapi kemarin dia nelepon orang, dia bilang itu Saskia, bilangnya sih mereka putus kemarin."
"Eh? Kok bisa? Mereka kan baru sebulan,"
"Ya iya sih, gatau deh apa yang bikin mereka akhirnya nyerah. Eh dia juga nelepon orang pas mau boarding pass, dia agak kesel sih. Pas gue tanya kenapa, katanya gak diangkat terus, rumit nih cewe, gitu."
"Oh." jawabku datar, seakan cuek dengan apa yang ia ceritakan tentang Dimas. Tapi entah kenapa, saat mendengar penjelasan Denis yang tadi, rasanya ya ia maksud itu aku. Ah terlalu percaya diri, aku hanya sahabatnya, tak lebih. Aku tak mau merusak persahabatanku, hanya karena keegoisan perasaanku. Aku nyaman seperti ini dengannya. Tapi jarak Bogor dan Medan, lumayan menyiksa, mengurungku pada murung yang teramat. Aku takut rinduku menggebu, konon katanya rindu yang besar dapat menumbuhkan cinta yang besar pula.
Kusudahi sarapan bubur ayam Pak Mahmud yang lezat itu. Seusai jam perkuliahan, Denis mengajakku untuk pulang bersama. Kusenyumi dia, "makasih, aku dijemput Mang Osman," ujarku, dan setelah memberi senyuman, dia pun melanjutkan perjalanannya. Kuputuskan untuk duduk di tempat penjual jus depan kampus, sudah kuberitahu Mang Osman tadi dimana posisiku. Dimas, dia benar-benar tak bisa dihubungi, lalu dia pakai nomer yang mana? Enggan memutuskan komunikasi, tapi dia seakan menghilang ditelan keadaan. Lamunanku telah membawaku mengingat semua yang pernah kita lalui. Senyumanku merekah seketika, mengindahkan sore ini. Khayalanku saja, jangan ikut mengkhayal tentangnya, karena ini tentang dia, cukup aku saja, kau jangan.
Klakson motor berbunyi membuyarkan semuanya, segera kunaiki ojeg langganan keluargaku. Ditengah jalan, petir sudah terdengar bergemuruh, tandanya aku harus sudah berada di rumah sebelum hujan membasahi seluruhnya. Aku, Mang Osman, juga motor dan bagian lainnya, semacam tas yang kugendong dari tadi pagi. Kalau hujan, nanti aku rindu Dimas, hujan selalu mengingatkanku padanya. Celaka!
Di kamar, aku mulai merasa bosan, harus kubiasakan tanpa dia. Ruang obrolanku dengannya hanya sampai malam itu.
"Gue tidur duluan ya, capek banget nih. Abis jemput tuan putri, hahaha."  Dia berbohong padaku, di catatan waktunya 21.25 dan kata Denis, jam flight-nya pukul 21.45. Tuan putri yang mana yang kamu jemput, Dimas. Kamu pangerannya malah pergi jauh ninggalin gadis desa yang penuh pengharapan ini. Aku tersenyum melihat layar smartphone-ku.
.
.
3 bulan
.
.
6 bulan
.
.
Sudah genap setengah tahun aku menunggunya. Jelas teman sekelasku menanyakan kabarnya padaku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan tersenyum sebagai jawaban hangat. Denis mengajakku berbicara di dalam kelas, ini mata kuliah Bu Ratih.
"Sepi yah," ujar Denis.
"Iya, hehe." Aku berusaha ramah, namun sebenarnya sedih karena tak mendengar kabarnya selama ini.
"Aku kangen dia nih,"
"Sama," jawabku.
Sepertinya, aku mulai mencintainya, Denis juga menyatakan hal yang sama. Di dalam perpustakaan,
"Dia punya janji apa sih?"
"Hah? Janji apa ya?"
"Gatau deh. Pokoknya, dia sih bilangnya, dia bakal pulang secepatnya buat nepatin janji sama kamu, Les."
Apa itu? Janji apa yang dia maksud? Aku langsung tersenyum, apa benar yang kupikirkan sama dengan apa yang ia maksud?
.
.
.
.
.
Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar