Jumat, 27 November 2015

Pulang (5)

Sekedar info, aku dan Dimas sudah setahun tanpa komunikasi dan jangan tanya kabarku, karena aku sedang tak baik-baik saja selama setahun terakhir. Sudah ya, jangan buat aku menangisi dia lagi, sudah capek batinku bersedih.
Bazar kali ini harus kulalui tanpanya, untung saja ada Denis dan Aji yang menemaniku. Aji jelas berniat menemaniku sebagai wakil kelas A semester 5 yang ikut serta bazar fakultas. Tapi kalau Denis, tak usah ditanya niatnya, sudah pasti menggoda wanita yang menjaga stan sebelah. Wanita yang ia kejar, Tuti, anak kelas H semester 5.
"Den, ambilin tali dong," panggil Aji sambil sibuk menahan tenda agar tetap berdiri. Denis mengambil tali dan memberikannya, namun tak fokus.
"Den, ambilin dus makanan itu. Buruan!" Denis memberikannya dengan cepat sambil terus modus ke Tuti yang hari ini makin anggun. Katanya.
"Den ambilin Tuti!" godaku.
"Hah?" sahut Denis bingung. Aji langsung tertawa melihat tingkah temannya salah tingkah. Aku juga pastinya akan terbawa suasana untuk tertawa.
"Tuti, ada salam!" Aku teriak dari arah stanku.
"Dari siapa, Les?"
"Denis tuh."
"Dimana dia?"
"Itu lagi bawain dus makanan dari ruang penyimpanan," kataku sambil ikut sibuk menata makanan yang ada diatas meja. Segera Tuti berlari, membantu Denis yang kesulitan membawa makanan di stan kami dan untuk stan Tuti. Romantis kan Denis? Lupakan dia, hening dulu tolong, aku menghela napas sejenak. Kemudian berkata, sekarang aku merindukan Dimas, dan aku akan selalu baik-baik saja.
Aku duduk, di dalam stan, tugas promosi di depan stan sudah menjadi tugas para pria ganteng nan menawan itu. Hahaha duo tangguh, Denis dan Aji. Kuraih ponsel dan kumainkan sebentar, menunggu pelanggan pertama yag ikhlas mengeluarkan uangnya untuk belanja di stan yang terlihat bagai gubug dibelah dua (?) Hahaha.
Tak ada lagi suara nyanyian duo tangguh itu, mereka kemana? Aku berdiri dan kepalaku menengok ke kanan dan kekiri. Kusapu semua pandangan yang ada dihadapanku.
"Tut, mereka kemana?"
"Ga lihat tuh, Tuti tadi lagi bersihin mangga dibawah. Coba tanya Hilman, tah. Hilman, si Denis sama si Aji kamana tadi (Hilman, tadi Denis sama Aji kemana?)" ujar Tuti memanggil Hilman yang sibuk menata kompor gas di meja stan-nya.
"Eh gatau. Tadi sih kesana, terus gatau lagi kemana,"
"Jih, jajan mereun, (Yah, jajan kali)" sahut Tuti,
"Tadi sih lari, ngacir gitu ke sana," Hilman menunjuk ke arah gedung Pasca Sarjana. Oh, sepertinya mereka pergi ke kamar mandi, dan itu alasan yang akan mereka pakai saat kutanyai. Sudah biasa.
Kududuk, sambil kupanggil para maba (mahasiswa baru) yang sedang lewat, entah akan membeli atau sekedar melihat saja.
"Hese, maba mah, (susah juga anak maba)" ujar Tuti,
"He emh," aku lemas, kuistirahatkan tubuhku di kursi. Dan sesekali kuseka air keringat yang mengucur, maklum walau pakai tenda, udaranya tetap pengap.
Tak lama, ada musik hiburan diputar, ini bagian yang kusukai saat bazar. Acara para kakak kelas UKM Seni Budaya akan menunjukkan keahlian mereka dibidang kesenian. Entah nyanyian, musik dengan alat maupun tanpa alat contohnya beatbox.

"Dia indah, merentas gundah. Dia yang selama ini kunanti~ Membawa sejuk  memanja rasa, dia yang selalu ada untukmu~" lagu ini! Ah aku suka sekali, indah artinya. Diam-diam kucuri waktu untuk ikut bernyanyi juga. Hampir hafal aku, cita-citaku ingin datang ke konsernya Tulus. Lagunya selalu romantis, dan selalu sampai ke hati. Sama seperti dia yang selalu mengena dihati. Rindu yang membuatku yakin kalau ini cinta.

"Bila didepan nanti, banyak cobaan untuk kisah cinta kita. Jangan cepat menyerah, kau punya aku, kupunya kamu. Selamanya kan begitu,"

Tiba-tiba nyanyian berubah menjadi suara dehem seseorang. Puisi pun dimulai, "ada yang bacain puisinya," kata Tuti menyadarkanku yang terlalu hanyut dalam khayal tentangnya.

"Setiap nafas yang ku hirup,
Itu adalah helaan asa tentangmu,
Setiap hembusan nafas yang kau hembus,
Itu adalah sempurnaku dalam hari.
Aku tak bisa tanpamu,
Aku ingin semua tetap berjarak,
namun wajar.
Bukan menyiksa karna rindu,
Bukan cinta menggebu karna nafsu."
Sepertinya aku tahu puisi ini, persis dengan puisi yang iseng kutulis disebuah buku. Aku tahu puisi ini, persis yang pernah kupikirkan. Tunggu, ini pernah kutulis dibuku tulis Dimas kan?

"Bukan, bukan cinta yang menemukan hati," ujarku bersamaan.
"Tapi hati yang menemukan cinta.
Menyatukan aku dengan seseorang. Dan itu kau..."
"Dimas," suaraku lirih,
"Lesta," suaranya jelas ditelingaku, mungkin juga ditelinga setiap mahasiswa yang ada di sekitar area bazar, waktu itu.
"Tetaplah bersamaku, jadi teman hidupku. Berdua kita hadapi dunia. Kau milikku, milikmu, kita satukan tuju. Bersama arungi derasnya waktu~"
Kucari sumber suara, tak ada yang memegang buku atau mikrofon setidaknya. Kucoba untuk menutupi segala kemungkinan yang terjadi dalam imajinasiku. Ramai, suasana jadi meriah saat aku duduk didalam stan. Segera kuarahkan mataku pada seorang lelaki yang tampak rapi, dengan stelan yang tak bisa kujelaskan bagaimana. Dia membawa buku tulis yang kutahu, itu buku dia. Aku mendadak luluh, dan airmataku mengalir tanpa kusuruh. Haru? Jelas, aku merindukannya. Tapi lidahku mendadak kelu untuk berucap, aku bingung harus mengatakan apa pada pertemuan ini. Tuti menarikku keluar stan dan berdiri dihadapannya, sekarang.
"Kamu gak merindukanku?" ujarnya. Segera kupeluk dia, entah apa yang kupikirkan tapi itu spontanitasku. Gemuruh suara mahasiswa menyoraki kebahagiaanku, ikut meramaikan suasana hatiku. Jas biru dongkernya itu basah karena air mataku. Semua keadaan kembali normal seperti biasa, hanya saja aku dan dia, bicara di taman belakang gedung akuntansi, stan sudah kupercayai pada duo tangguh itu. Ternyata mereka menjemput, komandan utama, Dimas si edan, kata mereka. Ia segera memberiku sapu tangannya yang berwarna biru juga.
"Lap ingusmu, jorok ih."
"Eh iya,"
"Itu hadiahku, kau ambil saja." ujarnya nampak jijik bekas ingusku. Aku hanya memukul tangannya, aku tak suka dia mengejekku terus.
"Ngga deh, ngga. Sini ku lap ingusku juga disini,"
"Eh jangan! Kotor!"
"Oh, sekarang sudah mulai khawatir kalau aku nanti sakit ya? Aku kan cuma mau satu sapu tangan denganmu. Emang gak boleh?" ujarnya. Aku kaget, aku tahu mengarah kemana ucapannya. Terus membully-ku karena puisi yang tadi ia bacakan, ia lebih tahu dulu bagaimana perasaanku padanya.

"Waktu itu, ada telepon dari Saskia. Dia memintaku untuk mengakhiri hubungan. Karena dia akan menikah dengan seseorang pilihan orang tuanya. Dia sudah ada di stasiun, dia akan ke Surabaya untuk menikah dan menetap disana. Makanya aku buru-buru," ujar Dimas, aku mengangguk, dan sesekali meng-iya-kan ceritanya.
"Maaf ya," sambungnya menggugahkan kesadaranku.
"Kenapa?" Aku bingung harus bertanya apa.
"Aku pergi gak bilang ke kamu. Setahun terakhir tanpa kabar. Aku memang sengaja tak menghubungimu,"
"Eh, kenapa?"
"Biar kamu kangen aku, hahaha!"
"Ish, Dimas!"
"Iya iya, bercanda. Aku mau ngelatih hati aku, soalnya kata mama, kalau kamu rindu dia berarti kamu cinta sama dia," perkataan mamanya sama dengan mamaku.
"Terus?" tanyaku antusias.
"Rindu, haha! Jangan meledek,"
"Aku juga,"
"Ih aku bercanda, Les."
"Ih!" Ku pukul lagi lengannya, dia hanya tertawa dan menghindari pukulanku.
"Aku cinta kamu," katanya,
"Aku ngga, Dim. Hahaha,"
"Aku serius,"
"....." aku diam. Berusaha berpikir dengan jernih, dan menjawabnya dengan bijak.
"Aku juga," jawabku. Dia mengecup keningku, dari situ aku tahu dia serius mengatakannya. Dan datanglah Denis dan Aji mengacaukan semuanya.
"Edan.. Main cium aja, Dim!" Denis meledek,
"Lain muhrim euy! (Bukan muhrim tuh!)" sahut Aji ikut-ikutan edannya Denis.
"Kalian juga belum muhrim, rangkul-rangkulan." Dimas menjawabnya dengan santai. Dan mereka berdua saling mendorong dan berjauhan. "bercanda. Eh kenalin, tuan putri nih orang Bogor, cakep gak?"
"Udahlah, bungkus Dim!"
"Kreseknya mana? Minta di Bu Darmi, mana ada yang cukup buat dia?" Dimas lagi dan lagi membuatku geram padanya, aku kesal dan memilih diam.
"Hayo loh, pundung! (Hayo loh, marah!)" kata Aji.
"Aku juga bakal gendut ah entar,"
"Hah?"
"Kan nanti aku jadi aset kamu. Tolong rawat aku yang baik ya,"
"Ya iya lah, Dim. Masa dibiarin terlantar, hahaha."
"Ketawa, puas deh puas. Eh kamu aset aku kan, udah jadi modal aku, terus kewajiban aku juga." kata Dimas,
"Hehehe, kok?" kataku bingung.
"Aku kan punya kewajiban buat bahagiain anaknya Pak Hardi," Dimas membuatku melayang, sekali lagi, dia tahu bagaimana membuatku tersenyum. Tiap saat.
"Pulang?"
"Belum selesai bazarnya!"
"Ah itu biar Aji sama Denis yang terusin. Iya kan?" tanyanya pada mereka berdua.
"Iya gampang, Les. Haha," seru Aji menarik Denis berjalan kembali ke stan kebanggan kami.
Akhirnya kami berjalan ke arah parkiran bersama, dengan motor yang sama pula seperti dulu. Belum berubah, sama seperti rasaku padanya.
"Eh inget gak perjanjian kita?"
"Ngga, apaan emangnya?"
"Kamu nungguin aku gak waktu itu setengah jam? Di depan gang?" Pertanyaannya membuatku membuang lima detikku untuk berpikir.
"Iya," jawabku singkat.
"Nah sekarang, ku bayar janjiku. Kuantar pulang sebagai gantinya," jelasnya, sesegera mungkin aku mengingat perjanjian itu. Dimotor kutatap wajahnya yang terlihat dari kaca spion.
"Makasih untuk selalu ingat semua janjimu." ujarku dalam hati, mengundang senyumanku.
"Sejak kapan sih kita jadi ngomongnya aku kamu?"
"Eh?" Dia bisa membaca pikiranku? Kok dia bertanya seperti itu?
"Sejak kamu sayang aku?" pertanyaannya cukup menjebakku. Payahnya, aku malah terjebak juga disana.
"Iya,"
"Makasih ya,"
"Buat apa?"
"Buat rasa bosan yang kamu rasain. Buat waktu yang kamu luangin buat sekedar merindu,"
"Oh iya. Sama-sama,"
"Kamu gak peluk aku? Aku bukan Mang Osman!"
"Haha belum muhrim!"
"Awas ya, kalau sampai rumah kulihat Pak Hardi diteras. Kupanggil tetangga, kalau bisa pak ustad!" ujarnya dengan nada tinggi.
"Memangnya ada apa?"
"Ku lamar anaknya Pak Hardi, langsung meminta pak ustad jadi penghulu, kunikahi anaknya Pak Hardi dengan tetangga yang jadi saksinya,"
"Hahaha nekat,"
"Biar kamu bisa meluk aku, abis dimintain gak mau terus!" ujarnya, dan ngerem mendadak.
"Aduh!" Rintihku sakit karena helmku membentur helmnya.
"Ayo kita pulang," ujarnya,
"Emang daritadi ngapain kita?"
"Jalan-jalan,"
"Ini arah pulang rumahku kan,"
"Iya," jawabnya singkat,
"Terus?"
"Gak kenapa-kenapa,"
"Ih dasar,"
"Tapi sayang kan?"
"Entar ah, jawabnya. Buktiin dulu janjinya,"
"Ngelamar anaknya Pak Hardi?"
"Hahaha iya!" jawabku. Kali ini aku terlampau senang sekali dan memeluknya dalam hitungan detik, kemudian kulepas.
"Yah, udah nyaman padahal. Jadi lamar deh, biar rada lamaan,"
"Hahaha"

Kunikmati hari itu bersamanya, juga bersama hujan yang mulai turun saat aku dan dia sudah dekat rumah.
"Hujan, gak jadi lamar dong?"
"Kata siapa? Pak Hardi gak keluar rumah kan?"
"Engga, kan hujan, Dimas."
"Bagus, aku minta nomer Pak RT dong."
"Buat apa?"
"Ngejarkom ke pak ustad sama warga yang punya payung aja. Suruh ke rumah Pak Hardi, ada acara nikahan dadakan. Ujan-ujan!"
"Hahaha lucu!"
"Biarin! Biar tuan putri ketawa!"

Dia sudah cukup membuatku bahagia, dia pulang pun hadiah terindah milikku. Jangan pergi, tetap disini ya. Setidaknya kalau kau pergi, ingatlah untuk pulang, kesini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar