Kamis, 16 Juni 2016

Dan aku.

Kalau bisa aku pergi melayang jauh, aku akan memilih kehatimu. Iya, karena disitulah letakku mengharapkan kebahagiaan. Aku yang sedang terkapar tak berdaya karena sama sekali tak ada yang kuharapkan selain dari seorang dia saat ini. Dia, orang yang kugantungkan harapan bersamanya. Entah sampai kapan itu.

"Ren, woy!" panggilku,

"Ya? Ada apa?" tanya Renaldi menoleh ke arahku yang sedang berjalan menyusuri lorong.

"Dimas mana? Kok ga keliatan ya? Mau bareng dong pulangnya,"

"Dimas sih gatau yah, gue juga gak liat dia daritadi. Palingan juga absen," jawab Ren sambil memakai jaket. Tasnya kupegangi dulu karena dia menitipkannya tadi meski perjanjiannya sebentar. Dia menitipkannya sampai parkiran motor dan bodohnya aku mengikuti maunya.

"Boleh bareng nih?"

"Yuk. Meisya lagi berantem sama gue, jadi dia pulang duluan. Yaudah biarin aja lah," ujarnya sambil mengunyah permen karet yang sejak di kelas tadi ia mainkan. Tanpa henti. Apa cintanya juga begitu? Penuh dengan main-main dan kefanaan manusia yang menggilai cinta? Aku duduk di jok belakang motornya, berharap keajaiban datang. Dimas menyuruhku untuk duduk bersamanya di motor yang ia miliki dan menyusuri jalan raya bersama. Ia manis, aku suka. Tapi caranya terlalu mainstream, kalau Ren tidak. Dia punya 1001 cara agar aku atau orang lain yang memilih pulang bersamanya, tertawa.

Awalnya ia tak pernah membawa Meisya berkumpul bersama dengan kami walaupun sebentar. Aku hanya ingin tahu, siapa yang berhasil membahagiakan temanku. Setidaknya kami paham harus menyalahkan kepada siapa saat salah seorang diantara kami terluka hatinya. Ren berusaha menelepon Dimas saat di lampu merah, tapi sama sekali tak ada jawaban. Dan terus dia lakukan seperti setiap kali papasan dengan lampu merah. Ia sangat aneh, tak biasanya begini, menunggu lampu merah menyala dan memainkan ponsel. Terus menerus. Kurasa ini bukan menghubungi Dimas, atau mungkin mereka memang sedang janjian futsal atau apa gitu? Entahlah, nanti kutanyakan pada Bedu saja lewat LINE. Biasanya dia mengajakku bercanda sepanjang perjalanan dan kali ini, tidak. Mungkin sedang ada masalah tanpa ujung, kurasa begitu.

Sesampainya didepan rumah, mamaku sedang membeli sayuran di depan rumah. Aku turun dari motornya dan menyuruhnya untuk menyalami mama yang ada di dekat kami.

"Re, salam dulu ke mama gue,"

"Iya bentar. Ini Meisya kerjaannya ganggu mulu, tadi bilang gak mau dianterin. Sekarang bilang gue disuruh jemput,"

"Yaudah, gak usah mampir. Salam aja, langsung pergi nanti. Meisya jemput tuh," jawabku menyuruhnya untuk segera menghampiri mamaku dan segera menjemput kekasihnya yang cantik itu. Setelah dua bulan berpacaran, barulah kami tahu bahwa bidadari yang membuat Ren tersenyum selalu adalah dia, Meisya. Yang teman sekelasku, hanya saja ada jarak diantara kami karena dia artis. Ya, artis remaja, setidaknya wajah cantik dan imutnya itu sudah ada di berbagai merk terkenal baik makanan maupun kosmetik. Dulu bukannya Ren tak mau memperkenalkan kekasihnya, tapi memang tak ada waktu untuk sekedar nongkrong bersama di warung kopi. Hari ini kata Ren, Meisya marah karena seharusnya Ren menemaninya ke studio pemotretan untuk produk busana ternama di Indonesia. Kata dia juga, Meisya mengajaknya untuk menggantikan model laki-laki yang seharusnya melakukan pemotretan hari ini.

"Gue sih males lah kalau udah di suruh begini. Emang dia pikir gue itu siapanya dia sih?"

"Yaudahlah, Ren. Permintaan pacar lu juga kan ini?" tanyaku meyakinkannya, dan berusaha membela temanku, Meisya. Entahlah dimatanya aku teman atau bukan.

"Masalahnya ini udah berlangsung selama dua tahun, masih syukur Key segini juga. Lu tau sendiri mantan dia berapa biji, pacaran yang lama sama gue doang. Dan lu tau apa?"

"Apaan Ren?"

"Kata Bedu kemaren, gue udah digosipin ‘kacung' nya Meisya. Dan semua teman sekolah kita dulu sama anak kelas di kampus udah tau, lu belom tau emangnya?"

"Belom," ujarku berusaha menyembunyikan. Padahal jauh sebelum Bedu, aku sudah mendengarnya dari mulut Meisya sendiri. Waktu di kamar mandi, tak sengaja terdengar karena aku sedang buang air kecil di salah satu kamar mandi.

"Jangan deh. Itu gosip malu-maluin banget, gue takut lu gak mau temenan sama gue lagi. Cukup dah temen gue itu lu, Bedu sama Dimas apalagi Lita pesutku," ujarnya duduk karena lelah berdebat di telepon dengan Meisya. Ia memutuskan untuk berteduh di rumahku dulu, cuaca panasnya membuat dia semakin lelah dengan keadaan. Dia mulai tak peduli dengan raungan Meisya kali ini, ia terlihat sangat lelah. Setelah kuajak bicara selama dua jam dan sekarang sudah sore, ia pun pamit pulang. Mama ikut mengantarnya sampai depan pagar, dan saat ia menyalakan mesin motornya, mama memilih masuk. Tapi aku tidak, aku malah tersenyum melihat motornya yang menjauh dariku dan lambaian tangan untuk pertama kalinya. Kuacuhkan hal yang membuatku senyum tadi dan segera mengunci pintu. Besok akan menjadi hari yang menegangkan karena Bu Ellyn akan mengadakan kuis dadakan. Kuliah memang begini, ikuti, pelajari materi semalaman kalau ada kuis, salin dari google kalau ada tugas lalu lupakan setelah itu. Aku dan Ren akan menjadi tim yang bertanggung jawab atas pengumpulan materi kuis nanti. Aku yang mencari, dan Ren yang akan mengatur semuanya, agar semua bisa disembunyikan dengan baik dan benar. Meskipun cara kami tak sama sekali bisa dibenarkan atau dikatakan baik, namun kami memang butuh ini untuk bersaing diantara mahasiswa yang mengejar nilai juga dosen yang memperhatikan nilai saja. Kebetulan kami hanya sekumpulan mahasiswa yang sedang mencari ilmu. Dan memahaminya tak cukup dengan sebulan untuk beberapa bab yang menyebalkan itu. Bukan karena dosennya yang tak mampu mengajar kami, hanya saja kapasitas otak kami hanya sampai batas gigabyte, belum sampai terabyte. Mungkin aku takkan bertemu dengan mereka semua jika otakku sepandai Einstein. Manusia-manusia gila yang haus akan wanita seksi namun tak pernah berani menyapa lebih dulu. Aku disini dimanfaatkan untuk membuka kalimat dengan beberapa wanita itu. Dan setelah itu, sudah dibayangkan bagaimana jalan ceritanya. Ada yang bertahan sampai seminggu, ada yang sial hanya kenal sebatas dua hari karena ternyata wanita itu sudah memiliki kekasih. Ada pula yang harus terjebak sampai ke kantor polisi, ternyata dia dijebak menjadi supir pribadi wanita yang menjual na******. Bisa kujelaskan saja siapa mereka?

Dimas, dia pria asli Bandung yang merantau ke Kranggan lalu dia memilih tinggal di Bogor. Dia sedang mengambil jurusan kuliah menjadi pria yang tangguh untuk menggoda beberapa wanita cantik. Inilah yang membuatnya tersandung kasus dengan seorang wanita. Ia hampir dipukuli oleh pacar wanita itu, waktu kemarin di cafe ‘d'kems' bersama dengan kami bertiga lainnya. Lita saat itu absen dulu, karena dia mesti kerja rodi dengan ibunya di Toko Kue milik ibunya. Aku bagian yang mendekati awalnya, hanya dengan beberapa kata wanita itu memang kuakui terbuka pikirannya. Dia juga ramah dengan orang yang baru ia kenal, iya maksudnya aku. Dimas akan datang berpura-pura menjadi orang yang kutunggu daritadi. Setelah acting-nya yang sok kenal dan sok asik, aku akan mundur dan kembali bersama Ren dan Bedu yang menunggu di meja lain. Menurutku dia tak salah, karena kulihat wanita itu nyaman saja diajak bicara, bercanda bahkan mau dipegang tangannya. Dan tak lama, seorang lelaki mendekati mereka berdua dan saat itu Bedu juga Ren tidak melihatnya. Hanya mataku yang saat itu tak sengaja memantaunya.

"Ngapain lo?! Nyari mati gangguin cewe orang?" teriak lelaki itu, dia terus menarik tangan wanita yang tadi Dimas pegang juga. Dia diam dan mencoba untuk menjelaskan semuanya, berharap semua akan baik-baik saja.

Aku harus kesana, dan melanjutkan drama yang sudah kupikirkan sebelumnya. Mestinya aku menjadi aktris daripada berusaha menjadi seorang akuntan. Aku berlari dan sibuk menelepon supirku, Pak Rahmat agar membawa kotak P3K yang ada didalam mobil. Kupecahkan gelas yang kubawa, dan berhasil melukai kaki wanita itu. Lalu aku tarik baju Dimas dan dengan kesal beberapa acting yang kupikirkan telah kulakukan.

"Jahat! Gitu? Iya? Sekarang udah nyuruh aku duduk disana kamu suruh aku jadi temen aja, sekarang kamu malah selingkuh. Iya?!" teriakku didepannya. Berusaha untuk lebih tegas lagi dan lebih garang dari amarah pria tadi. Dimas langsung diam terpaku, dan hanya mengikuti apa mauku. Dia terlalu pasrah, dan dia mestinya menikah dengan temanku namanya Isny. Sekedar info, dia adalah teman sekelasku juga saat aku berkumpul dengan para wanita yang hobinya gosip. Aku juga menyukai kegiatan itu.

"Mbak, gak apa-apa kan?" tanyaku, langsung mengambil kotak P3K yang dibawakan Pak Rahmat tadi. Dan segera mengobati lukanya dan aku kembali membentak Dimas untuk duduk dikursi yang agak jauh dariku saat aku mengobati kaki wanita itu. Hanya serpihan kecil yang menggores, bukan potongan kaca yang tertancap.

"Sudah, maafin pacar saya ya mas, mba. Permisi," ujarku pada mereka dan memberikan kotak P3K ke Pak Rahmat dan menyuruhnya untuk menunggu dimobil lagi. Saat aku dan Dimas kembali, Bedu dan Ren sudah mulai tak tahan menertawakan sahabatnya yang satu itu. Dan mereka menunjukkan ‘respect' dengan sandiwaraku yang kelas dunia.

"Demi dewa, Keisha benar-benar aktris dunia, menciptakan kedamaian dari perang dunia yang hampir pecah tadi. Wah wah," ujar Ren. Kulempar dia tissue bekas mengelap tanganku yang menyentuh betis wanita tadi.

Kami pun akhirnya pulang dengan sisa tawa yang masih ada karena kejadian hari ini. Dimas, dia tak pernah jera karena masalah itu dan bodohnya dia bangga sudah berteman di semua sosial media wanita itu. Dia tak berpikir akan ada masalah apa lagi jika aktivitasnya ketahuan lelaki yang tak lain adalah kekasih hati wanita yang kemarin hampir memukulnya. Dan dia, takkan berubah dari yang lalu, aku suka.

Cerita kedua adalah tentang temanku yang berurusan dengan kantor polisi. Bedu, orangnya tinggi dengan dada yang bidang namun otaknya kosong adalah sahabatku yang kusayang. Ceritanya berawal dari seorang gadis SMA mendekati kami yang tertawa karena lawakan Bedu saat kita sedang berkumpul di warung Bu Inah.

"Eh kamu ikut ketawa juga dek?" usilku bertanya begitu, hanya aku yang sadar kalau dia tadi ikut tertawa. Karena mungkin kami sama-sama wanita, dan aku paham betul maksud dari adik kelas ini ikut tertawa. Dia ingin membuka pembicaraan dengan kami, anak kampus yang keliatannya hanya bisa bersantai saat istirahat dan belajar saat dosen berada di kelas.

(lanjutin yaaah)

Sejauh perjalanan ini, Ren hanya terlihat diam disebelah Bedu. Hanya dengan kacamata hitam dan jaket yang ia kenakan sejak berangkat tadi. Kulihat dia berbeda dengan Bedu hari ini,terlihat seperti terpisah jauh dari raga aslinya. Raganya yang setiap hari hadir di kampus, bersama kami semua. Dan perlu sekedar info, kami memutuskan untuk tidak terpaku berkumpul dengan kumpulan kami saja. Ya kumpulan yang berisi pria mesum, pria jorok dan pria yang bijaksana dalam menentukan film yang mana yang harus ditonton setiap malamnya.

"Bebeb, kok diem aja?" tanya Lita alias Bona kepada Ren yang terlihat murung meratap ke arah jendela. Dia mahasiswi yang tak kalah abnormalnya dari kami, sudah hampir 6 bulan dia bergabung dengan kelompok kecil-kecilan kami.

"Haha, ini nih Bon, gue lagi boring. Dibelakang penuh banget emang?" jawab Ren langsung,

"Bona juga disini kesempitan, beb. Sini gabung biar makin anget deh," ujar Lita. Dia sering dipanggil Bonbon oleh kami semua, tapi khusus permintaannya kami ralat panggilannya dengan sebutan "Bona". Katanya dia agak malu kalau dipanggil Bonbon, terlalu norak. Kupikir panggilan itu memang yang terlintas dikepala kami, dan apa memang pikiran kami yang? Ah sudahlah lupakan.

"Bon, gak usah deh ya. Nanti si Key bangun dari tidurnya," ledek Ren,

"Apaan sih?" sahutku ikut berbicara. Aku langsung menjauhkan ponselku yang sejak tadi merenggut konsentrasiku.

"Ngga, kata Ren lu itu liat handphone mulu. Gak bosen? Dikirain dia, lu itu lagi tidur. Lagian tumben banget gak mau jauh dari yang namanya gadget pas ngumpul gini." ujar Bona.

"Iya nih, Bon. Lagi cek e-banking, kok error terus ya? Nanti di Bandung gak bisa beli apa-apa dong?" keluhku pada Bona. Menutupi apa yang sebenarnya sedang terlihat. Kuceritakan pada Bona, tapi sebelumnya kucoba untuk membuat perjanjian dengannya. Seperti, "yang nyebarin rahasia ini, mulutnya bau ya?" sumpah serapah yan kuberikan demi keutuhan rahasiaku yang suci ini. Kulihatkan padanya, beberapa foto di akun instagram seseorang dan memang Bona mengakui itu terlalu menyakitkan untukku. Bedu mendekat, dan saat itu pula aku refleks mengunci layar ponselku dan pura-pura sibuk berbicara pada Bona.

"Iya, Bon. Tapi harusnya kemarin Bu Irma yang kasih contohnya," kualihkan pembicaraan.

"Tumben banget ngomongin pelajaran?" tanya Bedu memeriksa kursi paling belakang. Barangkali memang ada makanan yang sengaja ditimbun oleh kami yang duduknya paling belakang. Posisi dapur atau seksi logistik dan suplai makanan untuk seluruh ABK selama armada berjalan mengarungi jalan tol Bogor-Bandung.

"Gak ada makanan ya, Key?" Bedu tetap mencari sampai ke bagasi yang ada dibelakang jok yang kutempati.

"Beb, ini bawa lagi Bedunya dong? Ganggu nih disini," ujar Bona yang risih karena Bedu mengusik ketenangan didalam perjalanan.

"Bedu, sini nak sama om. Mau dikasih film lanjutan yang kemarin gak?" panggil Ren santai dengan earphone miliknya, tanpa menoleh sedikitpun. Ia hanya mengeraskan suaranya agar Bedu mendengarkannya dan kembali duduk. Bedu hanya ingin film yang di unduh Ren kemarin sore, tak usah kubahas lebih lanjut bagian ini. Sudah terpikir bukan, film apa yang mereka berdua maksud?

(dijalannya dilanjutin ya, bentar tapinya -,-)

Usai kunjungan ke Boscha, kami pun sedikit menghirup udara segar dataran tinggi di Bandung. Sungguh, aku terpana melihat keasriannya. Meski sekarang sudah hampir jam 1 siang, kami terus memuji hamparan hijau yang terlihat. Tentu ada sentuhan beberapa atap rumah yang terlihat, milik penduduk penjaga keasrian ini. Kumohon, jangan lagi dibuat perumahan, penginapan apalagi perkantoran. Kumohon, jangan.  

Bona dan aku sibuk berfoto, mengabadikan masing-masing pemandangan. Sampai ketika aku sadar, waktu sudah hampir setengah dua siang. Bona menanyakan apakah aku mau sholat sekarang.

"Gue lagi haidh, Bon. Hehehe, ingetin Ren sama Dimas yah sekalian." ujarku pada Bona yang segera menghampiri Dimas dan Ren yang sedang asyik dengan teleskop yang bisa dimainkan bebas. Untuk sekedar pengetahuan saja, tak lebih.

"Ren, sholat lu. Dim, lu juga sana. Key nyuruh gue kesini buat ngingetin kalian, si Bedu mana?"

"Si Bedu tidur di bus kali, udahlah bodo amat. Minggu nanti, ajakin dia taubat di gereja sama lu, Bon."

"Yakali kita satu gereja, pisah bebeb Ren. Buru deh sana, ajakin Dimas taubat, sholat, yang sholeh biar nantinya lurus sendiri itu pikiran," ujar Bona sambil menoyor sedikit kepala Dimas. Kulihat mereka berdua langsung pergi ke arah musholla dadakan yang disediakan. Aku hanya tersenyum kala melihat senyuman itu, Dimas selalu tersenyum manis. Aku suka.

Besok akan menjadi hari yang menyenangkan, dimana aku akan terus menceritakan sejarahku dengan Dimas. Iya, perasaanku. Akan kusiarkan terus, karena kupikir ini akan menjadi semester dimana takkan ada kegilaan yang sama di setiap menit ke depan nanti. Tak lama, Dimas kembali dengan wajah yang segar sehabis menyelesaikan sholat dzuhur. Dan ia kembali tanpa makhluk gila bernama Ren.

"Renaldi kemana?" tanya Bona mengunyah makanan ringan yang ia bawa dari Bogor. Tentu yang dititipkan dirumahku, tak ada gudang lain selain disini. Aku hanya menatap Dimas diam-diam dan tetap duduk manis di samping Bona yang sibuk makan. Aku akan biarkan dia terus berbicara dengan Bona sampai dia memutuskan untuk duduk di sampingku.

"Bagi dong, Bon! Pelit ih," bujuk Dimas duduk di sisi kanan Bona. Itu berlawanan denganku, dan aku hanya bisa menyikut lengan Bona mengirim kode.

"Aku gak tahu kan, Key. Nanti deh ya," ujar Bona berbisik sedikit.

"Apaan sih? Jahat banget mainnya rahasiaan sama temen sendiri,"

"Shht gue lagi omongin elu nih, Dim."

"Eh?" ujarku refleks, dan kemudian diam.

"Dimas pernah ngompol di matkul Pak Hari Situmeang. Bhaha gue inget banget itu, Dim!" lanjut Bona disertai hembusan napas legaku. Dimas langsung sibuk membekap mulut Bona agar tidak berbicara lagi tentang hal itu, hal yang sudah kuketahui dari jauh hari. Dan kemudian aku bersandar ke bahunya Bona, dan menghirup udara segar dataran tinggi Bandung. Tak lama Ren mendorongku dari belakang, aku kaget bukan main. Pasalnya tinggal beberapa langkah lagi, saat hilangnya keseimbanganku, hilang juga usiaku. Dan suratan hidupku, hanya sampai semester enam. Enam?! Sungguh lebih horor dari film horor "Annabelle", itu loh boneka yang mirip dengan Bona, sahabatku. (Maaf ya, Bon. Aku tak maksud menjelekkan namamu, sahabat. T_T)

"Gendud!" ujar Ren, aku langsung memukulnya yang sekarang bersandar padaku. Ia merintih kesakitan, "aduh sakit ih, jahat." sambungnya dan kembali bersandar.

"Lu udah solat, Ren?" tanyaku,

"Udah dong." jawabnya sambil mengambil makanan ringan yang ada ditangan Bona dan kembali bersandar sambil mengunyah.

"Ih itu berantakan! Bubuknya kena jaket gue ih," ujarku sambil menepuk lengan jaketku dan levis yang kukenakan sejak tadi subuh atau sejak awal perjalanan kami. Ren, makhluk yang kukenal paling jorok dan paling labil sepanjang hidupku. Dan Meisya, adalah penyebab utama dia seperti itu atau mungkin dia memang dilahirkan sebagai makhluk yang seperti itu.

Di dalam bus, aku yang sedang bersandar pada Bona memutuskan untuk tidur. Karena ternyata, matahari tadi sudah menguras sebagian dari tenagaku. Dan sekarang sudah akan pergi ke Kota Bandung, yang penuh akan gadis cantik yang bersolek dan juga tempat para wanita berbelanja untuk mempercantik diri. Dan aku, sudah benar-benar nyaman dengan posisi seperti ini, tak kurang tak lebih. Kumohon, jalan macetlah, aku butuh banyak waktu di bus.

"Kayanya hari bakal panjang, dan kita bakal lama bareng-bareng." ujarku yang bersandar ke bahu Bona dan memeluk tangannya manja.

"Dan gue bakal kangen suasana ini," sahut Ren saat dia tiba-tiba bersandar padaku dan dengan nyamannya kubiarkan itu terjadi. Tapi tak lama, aku bangun dan kembali memainkan gadget yang kumiliki. Ren pun bangun dan melanjutkan istirahatnya dengan bersandar pada jok bus yang nyaman itu. Hanya aku dan mataku yang masih berjaga di bus. Aku akan menjaga semua yang kucintai, termasuk dia yang disana. Kudengarkan musik dengan nyaman, perlahan bahuku semakin berat dan membuatku mengalihkan pandangan dari gadget yang sedang kumainkan permainan online. Aku konsentrasi karena itu permainan online, akan menghabiskan kuota kalau kutunda semakin lama. Kalau kuabaikan, aku yang kalah dan ujung-ujungnya aku yang rugi. Baik peringkat maupun kuota internet.

Kutengok sebelah kananku, dan sudah ada kepala Ren disana. Aku mematung, aku kali ini tak tega mengusik tidurnya. Aku pun membiarkannya tetap bersandar dan mengambil jaket yang ia peluk untuk menutupi wajahnya yang culun. Apa wajahnya selucu ini jika dia sedang tidur? Kupakai saja kacamatanya karena kalau kubiarkan dalam genggamannya itu akan jatuh dan retak.

"Aku akan mencoba untuk sok asik seperti dia tadi. Dengan gaya cool menatap jendela yang lebar, menikmati lagu koleksiku. Dan...." ucapanku terhenti, aku terkejut. "....seseorang yang sedang berada disisiku." Aku terkejut dengan ucapannya tadi, dan aku baru menyadari itu. Aku terus menepis semua pikiran buruk tentangnya, dan kembali memainkan permainan yang tadi menyibukkanku. Begitu bus rem mendadak membuat heboh para penumpang, kulihat tangan Ren menyentuh dahiku. Aku segera terbangun dari tidur dan mulai bertanya kenapa tangannya bisa ada pada keningku. Termasuk Ren yang malah kembali ke tempat duduknya waktu awal keberangkatan. Ia mengambil tas yang ia bawa dari kabin, dan minum sebelum turun dari bus. Kuabaikan dia dan mencoba mencari sumber yang lain. Tapi semua konsentrasi mengarah kepada mall di depan sana, ternyata kita sudah di depan pintu parkir masuk. Baiklah, nanti kutanyakan saja kepada siapa yang mengetahui dengan jelas.

Bona menceritakan semuanya, tentang aku yang mulai mendengkur, walau kecil itu cukup mengusik. Bona bilang kalau tadi kenapa tangannya Ren ada di keningku adalah aku yang bersandar padanya. Ponselku hampir jatuh karena aku sudah tertidur lebih dulu. Ren yang ambil ponselku, dan memainkan sampai gameover, lalu ia mematikan ponselku karena baterainya lemah. Bona juga bercerita kalau Ren sempat mengambil beberapa foto. Bona langsung menahan ucapannya,

"Eh?" ujar Bona terkejut dan menutup mulutnya,

"Foto? Foto apaan? Bon, foto apa? Ren foto gue apa gimana?"

"Kaga elah. Udah lupain aja, gue masih belum beranjak dari tidur tadi,"

"Boong, ih. Bona, gue gak suka punya temen suka boong." Aku jelas mengancamnya agar dia tak semena-mena padaku. Tapi Bona malah pergi meninggalkanku dan bergabung dengan Ren, Bedu dan Dimas yang sibuk memesan sosis bakar. Aku sendiri disana, memilih duduk untuk menunggu, aku kurang tertarik untuk berbelanja. Sekarang kutatap saja seluruh tingkah mereka yang aneh dan lucu. Aku sayang mereka, tapi tunggu, fokusku mengarah padanya.

"Dimas! Sini deh," teriakku memanggilnya. Dan memintanya untuk menemaniku, dan membicarakan banyak hal berdua. Banyak hal yang mesti kuungkap dengannya, baik manis atau pahit sekalipun tetap saja akan melegakan jika tahu langsung. Dimas ternyata semakin lucu ya, aku tak menyesal pernah suka dengannya. Seleraku masih baik bukan?

 

Ren hanya memilih beberapa topi dan sesekali mengajak Bona tertawa karena memang lucu. Aku hanya tertawa kecil dan sesekali memperhatikan tingkahnya. "tak mungkin kalau dia memang..... ah sudahlah, lupakan." Gumamku sambil sesekali melahap sesendok es krim yang kubeli didepan sana. Karena ada diskon sesuai usia, baiklah, usiaku sudah 20 tahun. Lumayan kan beli eskrim dengan potongan 20%?

Hari ini aneh, dia tak mengajakku berbicara, dia kenapa? Kupikir dia sedang tak suka berteman denganku, tapi sejak kapan dia berpikir seperti itu?

Selasa, 19 April 2016

Terobsesi (Part 3)

(Review)
Setelah ikatanku lepas, perlahan aku berjalan hingga pintu keluar. Sial, saat kubuka pintu itu malah menghasilkan bunyi yang membuat dia sadar kalau aku kabur.
"Berhenti! Sinta!" teriaknya. Aku sadar sesuatu sambil berlari, siapa itu Sinta?
.
.
.
Raihan terus mengejarku, dan aku hanya bisa mengumpat dibalik kotak usang yang ada dirumahnya. Dan ruangan ini kosong, cocok buatku yang sedang dikejarnya. Tak terdengar suaranya lagi, kuintip keadaan ternyata memang semuanya hening. Terdengar suara mobil Raihan, dan segera menginjak pedal gas, lalu pergi entah kemana. Kubangunkan tubuhku, dan mengendap-endap keluar ruangan yang kurasa tak cukup untukku mengandalkan kadar oksigennya. Pertukaran udara disini tak baik, perasaanku juga tak baik. Apa yang sedang dilakukan Adam disana? Aku sedih melihatnya mengorbankan diri untukku. Kulihat, di sebelah sana ada jendela yang terbuka. Baiklah, aku akan menggunakan itu untuk keluar, memanggil polisi dan menyelamatkan pangeran Adam yang baik hati itu. Kulihat jendela itu tak jauh dari ruang penyekapanku tadi.
.
.
Kusapa Adam yang duduk terikat didalam ruangan itu,
"Adam, are you ok?" tanyaku memastikan dirinya baik-baik saja.
"Kamu ngapain kesini lagi?"
"Mau bebasin kamu, ayo kita pergi sama-sama."
"Don't waste your time, Win. Aku itu lelaki, aku akan baik-baik saja tanpamu. Yang penting kau selamat, itu saja."
"Adam, aku itu perempuan. Aku akan selalu mengkhawatirkan lelaki yang kucintai. Tetaplah bersamaku, itu cukup bagiku." ujarku seusai merampungkan tugasku, melepas ikatan Adam. Ia berjalan mengendap-endap, tangannya tetap menggenggamku erat. Aku ikut tegang disitu, aku tak mau bertemu Raihan lagi. Aku benci dia mulai saat ini.
.
.
BRAK!
.
.
Pintu ruangan itu ditendang oleh Raihan, dan ia sangat marah pada kami. Adam menarikku ke belakangnya, dan memintaku berlindung dibalik tubuhnya.
"Rai, kamu udah gila?" tanya Adam,
"Urusan apa kamu, hah!"
"Dia ini Dwina, calon istriku. She's my precious one!" tegas Adam kali ini. Ia juga akan sama sepertiku, mulai membenci Raihan mulai detik ini.
"Dia itu Sinta. Jangan ambil Sinta gue!" teriak Raihan dan melayangkan tendangannya ke tubuh Adam. Tapi sayang, Adamku sudah seperti Van Damme idolaku, ia terlalu pandai untuk beladiri. Ia membalas pukulan Raihan tadi, dan terus menghujaminya pukulan. Aku hanya bisa histeris ketakutan, berdiri diantara orang yang bertengkar.
"Adam!" teriakku saat lelakiku jatuh tersungkur karena balasan pukulan dari Raihan. Terbesit dikepalaku, untuk menanyakan satu hal saja. Siapa sebenarnya orang yang ia disebut Sinta itu? Tak lama saat aku merenungkan sesuaty, bunyi hantaman keras terdengar, walau hanya sekali tapi itu mengecohkan.
"Ayo kita pergi," ujar Adam. Kulihat dilantai sudah tergeletak Raihan tak berdaya.
Adam turun lebih dulu dari aku, ia akan menjagaku saat turun nanti. Kulepas sepatuku, dan memilih untuk telanjang kaki saja. Tinggal selangkah lagi aku turun dari jendela, Raihan menarikku lagi.
"Adam! Adaaaam!" teriakku semakin histeris karena panik. Adam juga meneriaki namaku, dan memohon pada Raihan untuk tidak menyekapnya lagi.
"Aku hanya ingin mengambil Sinta, jadi aku tak butuh negosiasi murahan ini." ujar Raihan ke arah lantai satu, dimana Adam berdiri. Ia sudah turun lebih dulu untuk menjagaku.
"Adam, aku akan baik-baik saja." ujarku sambil tersedu menahan tangisan ketakutanku. Ia pun berlari ke arah pintu masuk, dan menggedor pintu terus menerus.
"What the hell you are, Rai!" ujar Adam kesal didepan pintu.
"Bisa gak? Gak bisa kan? You're so stupido, man! Aku tak sebodoh itu. Dan tali ini, kulepas ya. Nanti Sinta-ku pergi memilih dirimu daripada aku," ujar Raihan yang membuatku jijik mendengarnya.
"Jatuhkan aku saja, Rai. Aku gak mau disekap lagi,"
"Apa aku tega mendorong orang yang kusayang jatuh?" ujarnya. Dan ia menarikku untuk masuk ke jendela dan diam saja di rumah itu untuk beberapa waktu ke depan. Ia menarikku masuk ke ruangan tadi, tapi hanya mengambil kursi. Ia menyuruhku untuk duduk dan bersikap manis didepannya. Seperti saat seseorang bernama Sinta itu ada dihadapannya. Ia mendekatiku, dan menatapku dari dekat. Saat sampai ke dekat mataku, ia seperti melihat keanehan.
.
.
"Kau bukan Sinta milikku," ujar Raihan yang kemudian menamparku cukup keras. Aku sangat merasakan hantaman tangannya itu membuat pipiku merah untuk beberapa menit ke depan. Ia kemudian menarik rambutku, dan ia kembali kesal.
.
"Plakk!" Tamparan itu menyapa pipiku sebelah kiri.
"Kau berbeda dari Sinta, tapi kau benar-benar persis dengannya. Sinta, kau sedang berpura-pura denganku? Kamu sekarang memakai tahi lalat baru dan rambutmu agak cokelat?" ujarnya. Aku enggan menatapnya dan memilih memejamkan mataku saja. Ia menarik daguku, menyuruhku untuk membuka mata dan menatap lurus ke matanya.
"Adam," ujarku dalam hati. Terus memanggil namanya agar aku diselamatkan secepat mungkin. Aku sekarang sudah muak, dan akhirnya kuludahi saja ia karena semakin jijik dengan tingkahnya.
"Sinta? Kau sudah kasar seperti ini? Secepat itu kau berubah?"
"Aku itu Dwina, bukan Sinta!"
"Kau itu Sinta!" bentaknya didepan mataku, dan menempeleng kepalaku hingga membentur lemari yang ada disebelahku. Aku dapat ide untuk pura-pura pingsan, kumanfaatkan darah yang berasal dari keningku yang terluka. Secepat mungkin ia menggugahkanku, mencoba untuk menyadarkannya dan kudengar ia mulai panik. Kurasa ia berlari ke lantai satu mengambil kotak P3K di dalam mobilnya. Adam tak ada, kenapa dia tak menyelinap menolongku? Saat inilah kesempatanku untuk memotong tali dengan pecahan kaca di dekat tempatku duduk.
Aku bersembunyi sejauh mungkin, aku berpikir untuk mendekat ke lantai satu. Dengan linggis yang kubawa, kuturun dari lantai "menakutkan" itu. Pintu rumah terbuka, segera kulari ke arah dapur dan bersembunyi di lemari tempat gas, tepat di bawah kompor gas. Linggis masih kupegang, kuintip dari celah sepertinya dia akan naik. Usahaku sejauh ini lancar, tapi sayang tetesan darah dari keningku menghentikannya naik tangga. Aku terus membodohi diriku sendiri, kenapa bisa tak ingat dengan darah yang menetes dari keningku.
.
.
.
“Sinta? Kamu dimana?” tanya Raihan,
.
Aku hening, enggan menjawab, dan terus membekap mulutku sendiri karena ketakutan. Kulihat sepatu cats warna biru kesukaannya mendekat ke tempat persembunyianku. Aku membiarkan keringatku menetes terus di pelipis. Darah dikeningku saja sudah agak mengering, tertiup kencangnya deruan nafasku kala gugup dalam persembunyian. Tak sengaja, linggis yg kupegang terjatuh.
"I got ya!" Dia melangkahkan kakinya ke arah persembunyianku, lalu dia langsung membuka pintu tersebut. Tanganku ditarik, lalu aku diseret ke ruang tengah lantai 1.
"Wanita keras kepala! Aku bilang tetap dilantai dua!" Bentaknya. Aku hanya bisa menangis dan mencoba terus tegar disaat seperti ini.
.
Adam mendobrak pintu rumah dan masuk bersama beberapa polisi yang datang bersamanya. Dia membantuku bangun dan memelukku dengan erat, kutangiskan seluruh ketakutanku pada pelukannya.
"it's okay, Dwina. I'm here," ujarnya. Aku pun hanya bisa menganggukkan kepala, kulihat Raihan sedang ditangani oleh beberapa polisi. Adam melepas pelukannya dan kali ini ia menatapku lurus. Ia tersenyum hangat padaku,
"DARRR!" suara senapan itu membungkam keadaan.
Kini kusadari ada darah di dadaku, pandanganku juga tertuju pada darah ini.
Adam ambruk seketika, dan ramai polisi menenangkan Raihan yang merebut senapan yang ada di sabuk polisi.
"GAK AKAN ADA YANG BOLEH MEGANG SINTA KECUALI GUE!!!!" teriak Raihan disusul tawa yang kencang kemudian menangis histeris. Beberapa polisi segera meminta ambulance menjemput, karena kurasa tanganku sudah berlumuran darah.
"Kamu yakin gak mau menikah sama aku?" ujarnya memecah keheningan di ambulance. Aku mengabaikannya, dan dia memegang tanganku erat memintaku untuk menjawabnya.
"Are you kidding me? Aku yakinlah sama kamu," ujarku.
"Tapi kalau aku.." ucapannya terpotong oleh batuknya menahan sakit. "meninggal disini masih setia?" tanyanya.
"Masih, udah ah jangan bahas lagi,"
"Jangan, kamu harus tetap melanjutkan hidup. Kamu butuh teman hidup,"
"Iya. Dan aku maunya sama kamu! Udah jangan bicara tentang itu lagi. Aku butuh kamu sehat," ujarku. Ia segera menarik tanganku dan membiarkan tanganku tetap dalam dekapannya. Ia memejamkan mata sambil tersenyum, aku pun tersenyum. Namun masih saja rasa sedih menguasai pikiranku, tapi sayang, aku sudah terlanjur yakin dengan janjinya.
.
.
.
.
.
2 minggu kemudian, Aku menjenguk Adam yang asyik berbaring di tempat tidur rumah sakit ruang VIP yang nyaman ini.
"Enak ya disini, tidur terus. Aku malah panas, menyetir, izin ke bosku pulang lebih cepat agar bisa datang kesini untukmu."
"Iya enaklah. Aku kan jadi bisa cuti sebulan."
"Dan aku tetap berdiri disini? Melihatmu yang berbaring dan ditemani suster-suster cantik?"
"Iya disini susternya cantik-cantik," sahutnya sambil mengunyah apel yang sudah kukupas.
"Well, aku makin yakin untuk pergi pulang, Dam."
"Dwina, kau merajuk?" tanyanya. Aku bangun dari dudukku dan hendak pulang saja ke kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan lagi. Tapi dia malah menarikku dan mengajakku ikut berbaring dipelukannya. Ia mendekapku, aku panik takut ada suster yang tiba-tiba masuk.
"I have bodyguards, Honey. Don't worry," ujarnya menelepon bodyguardnya dan meminta menjaga pintu rumah sakit. Ia mencium keningku dan aku? Haha, tentunya nyaman dalam pelukannya.
.
.
.
selesai.

Terobsesi (Part 2)

Aku melanjutkan makan, kukira akan sia-sia jika aku meninggalkan makanan ini masih dibilang tersisa banyak. Kucoba habiskan semampuku, tapi aku tahu pasti Adam akan memarahiku kalau makan sebanyak ini. Apalagi cumi, ia khawatir alergiku kambuh. Akan terasa panas dikulit, jika makan cumi berlebihan. Seperti waktu pertama kali kami pergi kencan, baru menghabiskan sepiring cumi saja badanku sudah terasa panas dan wajahku memerah. Kenapa kuhabiskan sepiring cumi itu sendiri? Ya itu karena aku suka seafood. Hanya saja, aku memang diperingatkan untuk tidak berlebihan dengan cumi. Tapi entah kenapa, setiap kali makan cumi, aku selalu jatuh cinta. Sama, seperti saat aku memutuskan untuk saling kenal dengannya, langsung jatuh cinta.

Tak lama ada notifikasi diponselku, ini dari Adam.
"Sudah kubayar semuanya tadi, aku malas ke table lagi. Uang tipnya sudah kuberikan pada pelayan yang menghampirimu tadi. Kutunggu diparkiran," --- begitu isi pesan Adam.

Tahu darimana kalau aku bertanya pada pelayan itu? Oh, mungkin dia melihatku saat memanggil dan berbicara pada pelayan tadi.
Segera kuambil tas dan menyusulnya ke parkiran. Kusenyumi pelayan tadi dan penjaga meja resepsionis yang mengucapkan rasa terima kasih sudah singgah di restoran mereka. Aku sudah berada di parkiran, seketika aku lupa dimana dia memarkirkan mobil. Kupikir tak akan kenapa-kenapa kalau aku meminta dia menjemputku di depan pintu masuk saja. Tapi aku langsung ingat, dia sedang malas kalau harus kembali kesini. Kutelepon saja dia dimana, tak lama lampu mobil berkedip. Segera kuhampiri dia yang berada dimobil, saat aku duduk di mobil kulihat wajahnya berbeda.
"Adam? Are you ok?" tanyaku menatapnya.
"Just--go," bisiknya, kurasa ia begitu tegang, "now." sambungnya. Kini ia terus mengarahkan wajahnya ke depan tak menoleh, dengan keringat dingin yang menetes dari pelipisnya. Ada apa sebenarnya ini?
.
"BUUG!"
.
.
Tak lama, kurasakan sakit yang sangat di pundukku. Sepertinya sepersekian detik yang lalu, benda tumpul itu menghujamku dari arah belakang. Pada saat itulah aku hilang kesadaran dan tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Adam? Aku tak sempat memikirkannya, yang pasti sebelum aku memejamkan mata, dia berteriak namaku. Dan kemudian suara rintihannya menjadi suara terakhir yang menuntunku untuk tidur sejenak. Pindah ke alam bawah sadar.
.
.
Aku bercanda dengan Adam di tidurku, tetap dalam mimpiku, dibawah kesadaranku. Kami berdua sedang bermain ke sebuah taman yang kupikir sayang untuk dilewatkan tanpa berfoto. Adam segera menggunakan smartphonenya untuk mengabadikan kami berdua. Aku pun berlari, menggoda Adam agar ia mengejarku juga. Tapi, kali ini ia tampak pucat dan tak sama sekali ceria seperti tadi. Adam? Ada apa dengannya? Pertanyaan itu kulontarkan saat memandang Adam yang berdiri kaku dihadapanku. Tak lama, tubuhnya ambruk seketika dengan tubuh bersimbah darah.
"ADAM!!!!" aku hanya bisa berteriak, dan kakiku terasa terikat kencang, tak bisa menyusulnya. Seseorang tengah berdiri dibelakangnya, dengan pisau yang ia cabut dari belakang Adam.
ADAAAAM!!!!
.
.
"Adam!!!!" Teriakku membangunkan diriku sendiri yang sedang tidur entah sejak kapan. Aku mulai lupa. Kulihat sekeliling, tak seperti kantorku, tak seperti rumahku, kamar Adam atau... kutemukan Adam masih tertunduk dengan tubuh yang diikat ke kursi. Aku juga seperti itu. Aku dimana?
Kuseret kursiku hingga mendekati kursi Adam, dan berusaha menyadarkannya.
"Bangun, dam. Please wake up for me, dam. Come on," kucoba membenturkan kursiku dengan kursinya. Ia pun bangun, dan sedikit demi sedikit dia membuka matanya dan menyesuaikan cahaya yang remang dalam ruangan itu. Ia terkejut saat mengetahui aku dan dia berada dalam satu ruangan yang kosong. Dia langsung berusaha menolongku, membukakan tali yang mengikat tanganku. Tapi tak lama, pintu terbuka dan seseorang langsung berdiri dihadapan kami. Dibalik kegelapan.

Dia Raihan, orang yang kuanggap baik ternyata penyebab semua ini. Ia mendekatiku dan menarik kursiku sampai menjauh untuk beberapa meter. Menghadapkan kursiku pada Adam yang berada diujung sana. Raihan berjalan mendekati Adam dan meninggalkanku yang sedang kebingungan. Ia menghajar Adam sampai ia sempat hilang kesadarana, tapi kucoba panggil terus namanya. Agar ia terus sadar dan tak meninggalkanku sendiri diruangan ini bersama psikopat itu.
Tak lama, Raihan mengambil stick baseball besi yang ada di sudut rongsokan itu.
"Teng...teng" suara stick yang diadu ke lantai. Sekarang dia mendekati Adam yang sudah lemah karena pukulannya Raihan tadi.
"Rai? Kau kah itu?" tanya Adam. Ia berusaha nemberiku waktu agar Raihan terfokus padanya dan membiarkanku kabur dari sana. Setelah ikatanku lepas, perlahan aku berjalan hingga pintu keluar. Sial, saat kubuka pintu itu malah menghasilkan bunyi yang membuat dia sadar kalau aku kabur.
"Berhenti! Sinta!" teriaknya. Aku sadar sesuatu sambil berlari, siapa itu Sinta?
.
.
.
.
bersambung~

Selasa, 12 April 2016

Maaf Sahabat

L.Gurman
Genre: bukan horor bukan thriller, middle diantaranya haha.

Kami berdua benar-benar bersahabat, aku dan Hyuna itu bagai kancing dan benang. Iya, takkan berguna satu sama lain jika tak bersama. Kurang lebih seperti itu, sudah terbayang bagaimana kami menjalankannya?
Suatu hari aku akan pergi ke Gangnam, sepertinya paman Taekyung menyuruhku untuk menjenguknya yang sedang sakit. Hyuna ingin dekat denganku terus, tapi kujelaskan kalau aku tak bisa mengajaknya pergi kali ini. Ini bukan tamasya, ini dalam rangka bakti sosial ke rumah paman. Namun ia memaksa, untuk saat ini kubiarkan dia pulang dan aku tetap di Daegu. Kuputuskan tengah malam untuk pergi, dan tanpa memberitahu Hyuna.
"Tak akan, Hyuna. Aku disini,"
Aku merasa persahabatan ini terlalu berlebihan. Hyuna terlalu mengekangku untuk melakukan sesuatu. Hubunganku dengan Dae Young juga kandas, karena Hyuna mengabarkanku kalau kekasihku itu berselingkuh. Kuturuti saja, karena aku percaya pada sahabatku sendiri. Tapi, Daeyoung memberikanku keyakinan yang cukup imbang, bahkan dia nekat menikahiku akhir bulan ini. Setelah berkunjung ke Paman Taekyung, kusempatkan berbicara langsung dengan Daeyoung. Di tengah perjalanan kupikir ada lampu sign mobil yang menyorotiku. Tunggu, mobil itu mengarah padaku!

****CRASH****

Hyuna sudah berdiri dipinggir jurang dengan wajah bangganya. Ia pun menceritakan semuanya sambil tertawa lega karena telah menyingkirkanku. Samar kudengar,
"Daeyoung itu milikmu, kau itu milikku. Tak mungkin aku melepaskanmu untuk Daeyoung kan? Hahaha.. Dan kali ini aku harus menyingkirkanmu, karena aku sudah menyayangi Daeyoung. Biarkan aku yang menikah dengannya. Pamanmu, si Taekyung itu? Sudah kuberi obat tidur dosis tinggi, kubiarkan dia tertidur 'agak' lama dari biasanya. Tapi tak sampai mati, hanya sedikit sesak nantinya. Tekanan jantungnya akan cepat dan dia takkan membelamu lagi untuk bersama Daeyoung." suaranya terdengar jelas ditelingaku.
.
.
.
.
Aku pun naik ke atas tebing, berusaha bertahan dari bongkahan batu yang rapuh. Kupegang kaki Hyuna, ia pun terkejut. Aku menunjukkan wajah kesal dan marah dengannya. Karena semua kebanggaannya, aku akan membalaskan perbuatannya.
"OMO! Kau mau apa?" Tanya Hyuna seperti tak bersalah. Tak main-main, kutarik kakinya ke jurang seperti yang ia inginkan terjadi padaku.
"Maaf sahabat, cara busukmu itu terlalu membuatku menjadi iblis!" Ujarku sambil berdiri memandangi tubuhnya yang terkapar tak berdaya. .
.
.
.

Selesai.

Selasa, 05 April 2016

Terobsesi

Part (1)
Sebaiknya aku segera pergi, sebelum Raihan melihatku mengendap-endap bersembunyi disini. Aku akan berusaha lari dan menjauh darinya, aku harus menemukan tempat yang sama sekali belum terpikir olehku saat itu. Raihan mendekat, suara langkahnya sangat jelas. Sepertinya posisiku terancam, sebaiknya aku pergi kemana? Langkah ke berapa aku akan berpapasan dengannya? Langkah ke berapa pula aku akan melewati dia tanpa bekas jejak, bahkan napasku yang masih menderu karena ketakutan.

“Sinta? Kamu dimana?” tanya Raihan,

Aku hening, enggan menjawab, dan terus membekap mulutku sendiri karena ketakutan. Kulihat sepatu cats warna biru kesukaannya mendekat ke tempat persembunyianku. Aku membiarkan keringatku menetes terus di pelipis, haruskah aku menyerah padanya lagi?

***

Semilir angin pantai membuatku jatuh cinta dan akan terus memuja keindahannya. Apalagi di dua waktu yang terus menggodaku untuk mengucap rasa syukur, ya benar, waktu matahari terbit dan terbenam. Entah mengapa, cahaya mereka membuatku tertegun lalu beberapa detik memejamkan mata. Agar apa, aku kurang paham, yang pasti itu mengalir saja, cukup natural. Dekapan hangat yang kurasakan kali ini, Adam, dia memelukku dari belakang. Ini hari pertama kami memutuskan untuk berlibur bersama setelah pertunangan kami. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku, kupegang erat tangannya yang memeluk perutku. Aku, Dwina, sudah wisuda sekitar tiga bulan yang lalu, setelah akhirnya memutuskan untuk menambatkan hatiku pada pria yang bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan dan gas. Adam Legine Santoso, pria keturunan Indonesia-Inggris ini sering melafalkan Bahasa Indonesia dengan logat yang kebule-bulean. Sering menjadi candaan teman-temanku saat kuputuskan untuk mengajak Adam saat berkumpul dengan mereka.

“Si Pitung ada dimana?” ujar Udan, temanku di kampus, sesama anak UKM Seni Budaya.

“Ishhh, Udan. Iseng banget,” kulempar dia pakai tisu bekas mengeringkan tangan setelah mencucinya. Aku sedikit membantu Adam menerjemahkan apa yang Udan katakan tadi. Lalu Adam menyusul ketawa dengan menjawab “it’s ok. We’re friend, right?” ujarnya. Adam memang begini, selalu menganggap semuanya teman, tak terkecuali dengan Raihan anak kelasku yang kurang suka dengan keberadaan Adam yang mulai akrab. Sudah kupastikan dia memang tak suka dengan Adam, terlihat saat aku pertama kali mengajaknya dinner bersama. Saat ulang tahun pacarnya Udan, Gina, yang diadakan disebuah cafe yang cukup elite dibanding warkop dekat kampus. Yang harum kopinya tak pernah membuatku absen untuk meminumnya. Ya, aku maniak kopi meski sudah diperingatkan oleh Adam untuk tidak meminum kopi terus. Kafein-nya membuat keadaan tubuhku yang notabene adalah seorang wanita menjadi kurang baik, khususnya jantung. Dia selalu bilang, “kalau kamu ga bisa jaga jantung kamu sendiri. How can you gimmi your love? Carrying your heart for me, please."

Adam selalu bisa mencuri hatiku setiap kali kami berkencan. Maklum, kami hanya bertemu 7 hari dan menjauh kembali selama 3 – 6 bulan. Itu karena tugasnya yang selalu berada di tengah laut. Anak minyak, ini panggilanku pertama kali padanya saat datang ke undangan anak teman ayahku. Ya, dia adik dari sang mempelai pria pada acara megah ini.

“Are you kidding? Apa kamu sedang mencoba mempermainkanku?” ujar Adam sambil memegang gelas yang berisi wine yang harganya cukup mahal. Maklum, wine ini hasil fermentasi sejak tahun 1985. Ini memang pesta malam yang megah, tidakkah kau merasakannya juga? Terbayang pula bukan legitnya anggur merah itu, yang kuminum bersama anak bungsu dari pasangan aunty Clara dan om Heru Santoso. Untuk yang belum pernah mencoba minuman ini, maka jauhi sebelum kau mulai mual dan muntah karena tak terbiasa. Dari malam itu, cukup mampu ditebak bagaimana caranya mengejarku? Sampai akhirnya aku tertunduk pada cintanya, tapi dia tetap menghargaiku sebagai wanita yang dicintainya.
Kami sudah belajar untuk tidak melakukan hal berlebihan walau sudah bertunangan. Tapi seperti hal pelukan dan cium pipinya saat kami berpisah, sudah sering kami lakukan. Setidaknya, kami berdua tahu batasan itu dan menghargai satu sama lain. Sore ini, kuputuskan untuk pergi nonton film, mini bioskop. Hanya untuk 25 orang saja, film yang diputar ya film yang rilis hanya di bioskop luar negeri. Untuk dalam negeri, sepertinya jangan. Khawatir tak bisa terkontrol masa mudanya, terlalu liar soal cinta. Banyak adegan yang menurutku hanya untuk 18 tahun ke atas, tapi bukan beradegan syur. Hanya saja, kissing scene itu terlalu "panas" untuk remaja. Sepanjang film, aku sesekali menatap ke arah kekasihku dan bertanya, "apa kau begitu di UK?" disusul dengan senyumku yang menggodanya. Adam terlalu serius, dan terus membisikiku untuk tidak berpikir macam-macam tentangnya saat menonton. Ia khawatir aku terbawa perasaan dan malah cemburu.
"Aku bercanda, mas Adam Legine. Lanjutkan nontonnya," ujarku tertawa sedikit.
Adam sudah menjelaskan semuanya, ya seluruhnya. Tentang pekerjaannya, tentang kebiasaannya yang cuek, dan tentang mantannya selama berada di UK. Dan dia sangat khawatir aku berpikiran sesuatu, ia segera memastikanku tentang satu hal, bahwa dia lelaki yang beda dari pria bule yang sering kutonton di film. Yang sudah biasa dengan seks bebas, tak aneh dengan hal seperti ciuman dan sebagainya didepan umum.
"Trust me? Ayolah, Dwina, aku gak pernah sama sekali melakukan hal seperti yang di film tadi."
"Are you sure? Gadis UK lebih menarik bukan daripada aku?"
"Entah kenapa, hanya kau yang membuatku buta. Ingin kubuktikan?" ujarnya sambil mengarahkan garpu ke depan matanya. Tapi ini bercanda, jelas aku tahu itu.
"Jangan! Aku enggan melihatmu terluka, apalagi buta. Tidak." jawabku. Ia pun tertawa bangga dan kembali melanjutkan mengunyah steak yang daritadi menguping percakapan kami. Aku senang melihatnya yang berjalan meninggalkan table dinner kami. Dia hanya ingin ke kamar kecil, bukan untuk pergi ke UK lagi. Kulihat seseorang mengendap-endap di meja sana, kupanggil pelayan yang sejak tadi berdiri menunggu pelayanannya dibutuhkan.
"Meja itu reservasi atas nama siapa?" tanyaku. Dia pun segera kembali ke meja resepsionis dan membawakanku informasi yang kubutuhkan.
"Atas nama Raihan. Raihan Prayoga,"
"Oh terima kasih."
"Sama-sama," pelayan itupun kembali ke tempatnya berdiri tadi. Raihan? Sedang apa dia disini? Apa hanya kebetulan kami berada di restoran yang sama?
.
.
.
bersambung~

Sabtu, 02 April 2016

Destiny - part 2

Author POV

Chanyeol pun segera menemani Ahra di dalam ambulans, ia takkan melepaskan dia begitu saja. Ia mau tahu seperti apa kondisi Ahra sekarang menurut dokter disana. Darahnya terus mengotori seragam sekolahnya, lalu manajer menariknya untuk turun segera dari ambulans saat mobil berhenti di rumah sakit.
"Andwae, angayo!" Chanyeol enggan naik ke mobil van. Hyung terpaksa mendorongnya dan dia segera menyusul ke dalam mobil.
Ia membenturkan kepalanya ke jok mobil yang ada dihadapannya. Hyung tak bisa bisa membiarkannya terus begini, ia mengambil inisiatif untuk memarkirkan mobil dulu.
"Aku akan ke dalam, memastikan apa yang terjadi oleh Ahra. Kau tunggu disini!"
"Aku ikut!"
"Andwae, kau disini dulu! Kau mau membuat Ahra semakin begini? Aku akan memberimu informasi yang kudapat tadi. Kau tunggu disini, nanti akan kuberitahu," ujar Daehan hyung, kebetulan Chanyeol segera menuruti apa katanya. Sampailah kepada kekecewaan Chanyeol yang memuncak, ia akhirnya turun setelah mendengar kabar dari hyung. Kalau Ahra sudah sadar tapi akan dilakukan operasi untuknya. Ia pun berlari secepat yang ia bisa, mengejar cintanya yang akan menjalani operasi.
"Kenapa kau kesini!" ujar hyung menghalangi Chanyeol,
"Hyung, Ahra dimana?"
"Dia sedang di ruang tunggu, ia akan masuk ke ruang operasi sebentar lagi." Chanyeol tak menyia-nyiakan waktu, ia pun mendorong Daehan hyung dan segera mengejar Ahra. Beberapa pasang mata yang melihatnya, dengan balutan seragam yang penuh darah, ia berlari sambil menangis.
Ia menghentikan langkahnya saat menemukan Ahra ada dihadapannya. Ia menghampiri dengan langkah yang hati-hati, dan segera meraih tangan Ahra yang sedang berbaring. Ada suster didekatnya, sedang sibuk memegang oksigen untuknya. Membantunya agar tetap bernapas, terima kasih untuk suster itu.
"Ahra," panggilnya dengan nada lembut, siapa yang menyangka Ahra membuka matanya. Ahra juga memegang erat tangan Chanyeol, dan meneteskan air mata. Ia terlihat ingin berbicara, lalu chanyeol mendekatkan telinganya agar bisa mendengar apa yang dikatakan.
"Nado saranghae," bisiknya dan mempererat genggamannya, kemudian menangis lagi. Setelah itu tangan mereka akhirnya berpisah juga. Chanyeol tersungkur mengingat peristiwa ini, ia memastikan ini takkan terjadi lagi.

Chanyeol POV

Aku pun mengusap air mata yang ada, dan kembali duduk manis di dalam mobil. Hyung segera menanyakan bagaimana keadaannya, bagaimana kabar perasaanku. Dan aku datang untuk menagih janji hyung yang akan menceritakan informasi yang di dapat tadi.
"Kau harus tenang dulu kalau mau mendengarkan ini," ujarnya. Aku pun menarik napas beberapa kali agar tenang.
"Apa hyung?" tanyaku mengatur nada bicaraku agar tetap tenang. Hyung mendapatkan info dari ibu pemilik kedai, ada wanita yang membeli kursi di kedainya meski tidak di jual. Saat ahjumma itu hendak menjemur kain sehabis dicuci, ia melihat ada anak SMA lebih dari tiga memukul satu orang. Karena tak mungkin menghadang sendiri, lalu ia segera menyalakan sirine motor milik suaminya yang kebetulan seorang polisi untuk mengusir anak-anak itu pergi.
"Apa ada cctv di kedai itu?" tanyaku,
"Entahlah. Ayo kita bahas ini lain kali saja di asrama. Sebaiknya kau bersihkan bajumu sebelum ketahuan banyak orang dan mendapatkan fotomu dengan keadaan seperti ini.

Sesampainya di asrama, aku mengeringkan rambut dengan handuk sambil melamunkan cerita Daehan hyung tadi. Sepertinya ada yang bisa kuandalkan, dan kutuntut orang yang membuat  Ahra seperti itu.
"Brugg" tabrak Kai yang baru datang, mencoba mengejutkanku tapi malah bahunya yang sakit. Aku dapat ide bagus saat melihatnya yang baru datang, juga kehadiran baekhyun, sehun dan Daehan hyung. Akan kurekonstruksi ulang kejadian itu.
Aku mengambil kursi makan dan tali skipping yang biasanya kami pakai untuk olahraga pagi. Kuikat Kai pada kursi itu,
"Hyung, apa-apaan ini? Aku sesak, hyung ughh," ujar Kai menggeliat berusaha melonggarkan ikatannya.
"Diam dulu," kemudian aku kembali konsentrasi. Aku menyuruh Baekhyun dan Sehun berdiri di sebelah Kai. Tapi aneh, seharusnya tak ada jejak sepatu di belakang seragamnya Ahra kan? Tapi jelas kata kim ahjussi, polisi di TKP, dibaju Ahra ada jejak sepatu. Kucoba menendang Kai dari belakang, tapi punggung terhalang sandaran kursi itu kan? Kusuruh Daehan hyung berdiri didepanku dulu, berjalan membelakangiku. Kutendang dia,
"Aisssh appo!! Ya!! Augggh jinjja-ish," ujarnya berusaha mengusap punggungnya yang terasa sakit dan bangun berusaha memukulku kembali.
"diam hyung. Seriuslah." Aku berpikir sejenak, "hyung ambilkan gitarku yang sudah false,"
"Eodisseo?" tanyanya kesal sambil mengusap punggungnya yang sakit.
"di belakang pintu gudang," ujarku  memerintah. "Dan sehun, ambilkan stick baseball mu,"
"Ya hyung, buat apa sih?" tanyanya sambil tiduran dengan ponselnya. Ingin kutendang wajahnya waktu itu, lalu ia langsung berjalan ke kamarnya mengambil stick baseball. Lalu aku duduk santai sambil menunggu Daehan hyung dan Sehun mengambil barang yang kusuruh. Aku hanya tersenyum melihat Baekhyun dan Kai mencibir membicarakan sikapku yang aneh.
"Mwohae? Eo? Mwo?" sapaku kepada mereka sambil menggambar kejadian yang dipikiranku. Terpikir olehku untuk menelepon Kim ahjussi untuk menanyakan hasil olah TKP nya. Tapi tak kunjung di angkat, kubiarkan dia bekerja semaksimal mungkin, baru kutagig hasilnya nanti. Aku kembali dengan gelaran rekonstruksi yang kubuat sendiri.
"Sudah?"
"Eo!" ujar mereka bersamaan dengan wajah yang malas. Kuabaikan perilaku mereka terhadapku seperti itu, kusuruh mereka berdiri sesuai yang ku gambar.

Sehun menjadi shadow 1, baekhyun menjadi shadow 2, Daehan hyung menjadi shadow 3, Kai menjadi Main Target dan aku menjadi investigator.
Kusuruh mereka melakukan apa yang kukatakan, tentunya tanpa memukul secara keras.
"Eo? Eo, wae hyung?!" ujar Kai menundukkan kepalanya.
"Wae?" sahutku menahan tangan.
"Stick baseball itu, jangan sungguhan ya." ujarnya tersenyum ketakutan padaku. Aku bercanda hendak memukulnya, tapi aku tetaplah hyung-nya yang mesti menyayanginya. Aku segera melakukan beberapa pukulan yang kuduga penyebab luka yang cukup besar itu ada di kepala dan di pelipis. Telinganya masih bekerja dengan baik, tak ada kerusakan yang fatal. Hanya dengan beberapa kali memeriksakan ke dokter, itu tidak jadi hal yang serius.
Stick baseball, dan gitar seperti tidak membuat dia benar-benar kritis saat itu. Sebuah paku yang tertancap di punggungnya dan sebagian serpihan yang lebih kecil yang menempel di rambutnya kurasa bukan dari gitar.

"dia membeli kursiku, tapi aku tak menjualnya. Tak lama kudengar suara hantaman keras dari kursi," aku ingat apa kata ahjumma itu. Kursi? Apa Ahra dipukul kursi juga? Segera kugambarkan kejadian yang ada dikepalaku.
"Hyung?"
"Uhhm,"
"Kita punya kursi kayu?"
"Untuk apa lagi?"
"Ada? Dimana?" Aku langsung menuju kamar Baekhyun, aku ingat tempat ia meletakkan kotak-kotak berisi sepatunya adalah kursi kayu. Aku sudah memegang itu, dan kusuruh Baekhyun memukul Kai dari belakang dengan tenaga yang cukup keras. Aku akan meletakkan bantal yang tebal dan mengikatnya di seluruh bagian belakang tubuh Kai.
"Aku tak sebodoh itu, aku juga memikirkan keselamatanmu," ujarku sambil mengikatkan bantal milikku, milik Sehun, milik Daehan hyung yang tadi diambilkan oleh Sehun. Kukira semua sudah siap, ready..ACTION! Baekhyun punya tenaga yang kuat untuk melempar benda seperti ini hingga pecah.

"Prakk!!!" Hancur sudah kursi kayu yang tadi kugunakan untuk memukul Kai. Saat kulihat, aku cukup terkejut melihatnya. Sudah kuduga kenapa dia memilih kursi kayu yang tak dijual daripada kursi besi dan plastik yang jelas dijual di toko kursi tak jauh dari kedai ahjumma.
"Hyung!" Sehun berteriak,
"Eoh, wae?!" Kuhampiri dia yang ramai sendiri. Aku tak kalah terkejut dengan Sehun tadi, Kai terluka. Paku yang menancap itu sudah melukai permukaan kulitnya. Aku pun segera menjauhkan bantal penghalang tadi dari punggungnya dan segera mengobatinya sambil meminta maaf karena perbuatanku ia terluka.
"Gwaenchana hyung, hehe. Aku hanya sedikit kaget, ternyata aku tau bagaimana rasanya paku menancap ditubuh," Kai bercanda, kupukul lukanya yang sedang ku obati.
"Appo!" Kai meringis. Aku hanya tersenyum dan mengingat kejadian Ahra tadi. Kursi? Di TKP sudah tak ada kursi, kemana barang bukti itu? Apa mereka hanya membutuhkan pakunya, bukan kayunya? Lalu siapa Ahra, kenapa dia jadi target mereka?

Minggu, 14 Februari 2016

Perlahan Melupakan - Part 3

Flashback ON: Gusti mulai menceritakan semuanya tanpa memberiku jeda untuk menyesali waktu yang berlalu. Hanya sejenak saja, selebihnya akan jadi luka dihati karena belum sempat memaafkan kesalahannya secara langsung. Prasangka burukku selama ini membuat hatiku tercambuk waktu, menyalahkan prasangka burukku terhadapnya selama ini.

“Kau janji takkan memberitahukannya? Hanya kau yang kuberitahu, oia kau pacarnya Giska?” ujar Rasti terbaring di rumah sakit,

“Iya dia pacarku sekarang tapi aku sedang bertengkar,”

“Kenapa?”

“Aku tak enak hati berpacaran dengan mantan pacar sahabatku. Maafkan aku membahas ini,”

“Aku sudah tahu,” Rasti tersenyum menepuk bahuku, wajahnya tampak ikhlas. Gusti tak tega berhadapan dengan suasana seperti ini.

“Aku tidak yakin, Ras. Aku tak bisa janji,”

“Kau harus janji!” Rasti membujuk Gusti terus, tapi ia terus menggelengkan kepalanya. Rasti menggenggam erat tangan Gusti, “kumohon,”

“BAIK! Aku takkan memberitahunya, lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Berikan ini padanya, jangan sampai kau lupa. Lalu berikan ini pada Giska, dia akan pulang ke Jakarta  jam 1  nanti, tolong cepatlah sebelum terlambat,”

“Tapi Angga memberikan ini untukmu,” ujar Gusti, “Shht, dia wanita yang lebih pantas untuknya. Bawa ini dan jaga janjimu,” Rasti sudah tak kuat lagi bicara. Gusti membaringkannya lagi di tempat tidur. Ia meninggalkannya dan segera pergi ke stasiun mencari Giska. Dia tak menemukan Giska, ia sudah menanyakan semua keberangkatan kereta ke Jakarta. Hanya kereta di jalur 2 yang akan berangkat dan benar yang Rasti bilang, kereta itu berangkat jam 1.

“Gerbong Eksekutif dimana pak?” tanya Gusti sambil mengatur napasnya, dia tak peduli banyak yang menatapnya seperti itu. Ia melepas topi baretnya dan meletakannya di bahu, panas iya tapi Gusti masih punya janji. Saat ia terduduk di kursi, napasnya masih tersengal kelelahan, seseorang menepuk bahunya. “Gusti,” sapanya, dia Giska. Gusti langsung mengajaknya duduk di sampingnya.

“Sebentar saja,” Gusti meyakinkan, ia mulai menceritakan semuanya pada Giska dan memberikan cincin yang diberikan Angga untuk Rasti. “lalu Rasti dimana sekarang?” tanya Giska. Mereka berdua segera berlari ke dalam gerbong Giska, dan membawa keluar koper yang masih tertinggal. Giska ingin bertemu dengan Rasti, ia butuh penjelasan. Sesampainya disana, dia menjatuhkan tasnya, langkahnya berat, dan menangis sedikit untuk mendukung suasana.

“Giska,” Rasti segera bangun, “sudah baringkan tubuhmu,” Giska membantunya membenarkan bantalnya agar Rasti nyaman.

“Bukankah kau akan pergi siang ini?” Rasti menatapnya lemah, Giska mulai mendekap lembut tangannya. “sudah lupakan pergi ke Jakarta. Kamu kenapa? Cincin ini terlalu berharga buat dikasih ke aku, ini cincin untuk kamu dari Angga. Bukan untuk aku,”

“Pegang ini untukmu, jaga ini. Aku tak bisa memberikan yang lebih untuknya,” ujar Rasti, Giska menahan tangisannya.

Terdengar suara gaduh dari dalam kamar, Giska menangis berteriak dan Gusti segera menghampirinya. Tubuhnya beku melihatnya, Rasti sudah secantik itu, memejamkan mata dengan senyuman yang indah, ia persis putri salju.

Disisi lain, Giska terus menangis memanggil nama Rasti dan mengguncangkan tubuh si putri salju. Ia segera menenangkan Giska, memeluknya dan membiarkan tangisan itu tumpah dalam pelukannya. Sayang, Gusti sudah berjanji agar menjaga rahasia ini sampai kapanpun. Ia tak tahu sampai kapan terus berbohong jika Angga menghubunginya. Giska masih bisa menjaga rahasia itu, tapi Gusti tetap saja gatal ingin memberitahu sahabatnya itu. Sampai saatnya tiba, ia mendengar Angga akan ke Magelang di cuti akhir tahun. Itu waktu yang tepat untuk memberitahunya, selagi tanah Rasti masih basah dan merah, belum mengering sedikitpun. Terlihat seakan Rasti masih sabar menunggu kehadiran Angga di pusaranya.

 

***

 

Angga sudah bersimpuh dan bersandar pada nisan yang masih tercium harum rambut Rasti setiap kali pesiar. Beberapa helai rambut yang tak sengaja menyapa wajah Angga karena angin yang datang tak diduga. Tangisan itu kini mulai mengalir, tak ada lagi yang akan ia kunjungi saat cuti libur. Gusti menelepon Giska agar datang ke makam Rasti, untuk menenangkan Angga yang terlihat terpuruk.

“Sabar, Angga. Dia sudah sangat tenang disana,” ujar Giska sambil merangkul Angga yang masih terisak.

“Kau tahu dia sakit kan? Kau tahu dia sekarat, kenapa kau tidak memberitahuku kalau dia sakit?” Angga mulai bicara yang aneh, sekarang Giska yang dituduh menutupi semuanya. Gusti paham betul kenapa sahabatnya seperti ini.

“Gusti, kenapa aku yang disalahkan? Memangnya aku tidak menyesal atas kepergian Rasti?”

“Sudah tenang dulu. Aku mohon kau mengerti Angga, kau sudah paham dia kan selama ini. Dia sedang sedih, gis. Dia butuh waktu juga buat paham keadaan ini,”

“Iya, aku paham. Tapi aku tidak akan memakai cincin yang ia berikan dirumah sakit waktu itu. Tetap saja itu akan jadi beban untukku,”

“Kumohon,” bujuk Gusti,

“Untuk kali ini maaf aku tidak bisa mengikuti apa maumu. Aku akan berbicara padanya,”

“Jangan!” Gusti menahan tangan Giska, “biarkan aku Gusti,” Giska melepaskan tangan Gusti yang menariknya. Angga sedang terduduk di batu yang ada dibawah pohon rindang. Cukup dekat dengan pusara Rasti, dia menahan tangisan tapi tak bisa. Dia terus menyeka air mata yang jatuh di pipinya. Giska langsung duduk di sana, membawa sejuta alasan kenapa dia tak mengabarinya kalau Rasti sakit dan sekarat.

“Shhht, sudah tak usah jelaskan apa-apa. Aku sudah menerima dia pergi,” sahut Angga dalam keheningan taman pemakaman.

“Angga, aku tak pernah berniat menutupi apapun. Aku akan menjelaskan walaupun kamu gak butuh penjelasan,” Giska menjelaskan semua ceritanya dari awal sampai akhir. Angga tampak terpukul, ia merasa bersalah karena pernah memarahinya, cemburu padanya dan sempat menjauh melampaui batas. Malam itu, Giska sampai di Jogja karena liburan semester. Dia dihubungi Gusti agar menghampirinya ke rumah sakit karena dia sedang sibuk menjaga. Sempat Giska terkejut melihat keadaan Rasti yang terus mual, sedangkan Gusti sibuk membersihkan.  Wajah cantiknya tertutup dengan pucatnya bibir, senyumannya manis sekali, dia memikirkan satu hal. Apa ini Rasti yang Angga sayangi itu? Giska tahu tentang meninggalnya Rasti, sudah hampir setahun yang lalu. Bunga yang masih segar itu, bunga yang Giska taburkan dua hari yang lalu. Ia merindukan Rasti, sahabatnya yang baru yang ia sayangi sebagai seorang kakak perempuan. Dan ia menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewatkan, dan Giska mengambil sesuatu dari tas.

“Ini, titipan Rasti. Aku merasa tak pantas,” kotak cincin itu tak berharga lagi dimata Angga, tapi Giska meletakkan itu di tangannya.

“Aku sedang ingin sendiri, Gis. Tinggalkan aku,” Angga masih bicara dalam keterpurukannya, tapi Giska tak membiarkan dia diam disini sendiri dalam kesedihan. Angga langsung menghempaskan tangan Giska, emosinya menyeruak tak terbatas, “pergi!” Giska sampai tersungkur ke tanah. Gusti segera datang dan membangunkannya, kemudian menenangkan sahabatnya yang tak bisa mengontrol emosinya. Dia menghajar Angga, akhirnya dia harus memakai cara ini untuk menenangkannya. Mau tak mau, ia lakukan karena masih menghargai kalau tempat itu adalah tempat peristirahatan.

“Angga! Ini pemakaman! Tenangkan dirimu,” Gusti membantu Angga bangun, sepertinya dia sadar apa yang ia lakukan adalah salah. Ia tak mau mengganggu Rasti yang sudah tertidur cantik di tempat paling tenang disana. Semoga surga milikmu, Rasti.....

***

Pagi hari, mataharinya sudah menyentuh pintu rumah, Angga membuka pintu dan menyambutnya dengan senyuman. Sambil menggendong anak lelakinya, ia berjemur bersama sambil menunggu Hanum. Tak lama yang ia tunggu datang juga, Hanum keluar sambil membawa semangkuk bubur bayi untuk sarapan jagoan mereka.

“Aaaa~” Hanum menyuapi Rangga, anak mereka. Angga tak mau kalah, dia juga ingin menyuapi walau hanya sesendok. Ia tampak bahagia dengan keluarganya sekarang, tapi jujur dalam hatinya masih mengingat sedikit tentang Rasti. Hanum tahu semuanya cerita tentang aku dan Rasti, dia juga memaklumi kalau aku masih sedikit mengingatnya. Iya, dia wanita yang ibu kenalkan padaku, setelah aku resmi menjadi Letnan Satu. Dia sangat perhatian padaku, pada hidupku dan masa laluku. Dia cukup membuatku semangat menghadapi hidup kedepannya.

Aku masih selalu sedih saat mengingat saat aku tahu Rasti sudah tertimbun tanah merah dan ditaburi bunga mawar. Tapi jujur kuakui, Hanum jauh lebih baik dan lebih indah dari Rasti. Maafkan aku, hidup ini memang harus terus berjalan. Rasti, dia harus segera kulupakan demi dia, Hanum, si kisah masa depanku.

Perlahan Melupakan - Part 2

Setelah sholat dan hendak tidur, baru ku sapa mereka berdua.

“Ada apa dengan kalian? Sepertinya ada yang perlu disampaikan aku tahu?” ujarku bijak merangkul mereka berdua seusai melipat sajadah,

“Angga, kau tak marah karena tadi?”

“Ah aku kan sudah sering latihan push up, itu karena kau juga kan Gusti.”

“Kau pasti marah padaku?” tanya Guntur,

“Hey adik sepupu, tak mungkin aku marah karena itu, ayolah semua seperti biasa kok. Gak ada yang berubah,” jelasku pada mereka yang daritadi membuntutiku entah untuk apa. Mereka senyum dan menyalamiku sebagai tanda kami sudah seperti biasa lagi, itu kebiasaan kami para pria. Jangan kira lelah kami malam ini berakhir nanti saat terbit matahari. Karena saat itulah aktivitas kami akan semakin berat. Kami wajib disiplin dalam hal waktu istirahat. Jasad kami memang lelap tertidur, tapi hati kami terus terjaga. Ini yang akan kami lakukan disetiap penugasan. Telinga terus siap, tubuh harus kuat melawan kantuk yang menguasai mata dan pikiran.

“Bangun! Bangun!” kemudian alarm berbunyi, aku baru saja selesai mandi dan lekas berlari ke kamar memakai seragam PDL. Berdiri dalam keadaan siap, mata beberapa taruna terlihat masih merah. Guntur dan Eryas yang hari ini membuat kami berolahraga pagi sambil membawa kasur.

Lemari Eryas berantakan, akhirnya semua isi lemarinya dikeluarkan. Satu lagi, tempat tidur Guntur tak dirapihkan dengan baik dan benar. Bocah ini masih butuh bimbingan rupanya, maklum saja dia baru anak kemarin. Kami pun atas perintah petugas berlari mengelilingi lapangan dengan kasur diangkat diatas kepala. Setelah 10 kali keliling, barulah kami kembalikan kasur ke kamar dan berkumpul dilapangan.

Kami belajar dikelas sekarang, tak dilapangan atau mungkin itu nanti sore. Kantukku tumbuh disiang hari, kepalaku berat, dan tertunduk.

“Kau!” hentakan suara itu mengejutkanku. Segera kuangkat kepalaku dan benar saja telunjuk itu jelas mengarah padaku. Aku berdiri dan dihukum mengangkat kursi sampai pelajaran selesai. Begitu terus sampai tingkat dua, aku belum berhasil menjadi taruna teladan. Bahkan Canka Lokananta pun aku tidak ikut, aku suka dengan kelas budaya. Eryas dan Yanto lah teman sependeritaanku. Guntur dan Gusti? Kami masih bersahabat baik, aku ingin banyak sahabat disini.

“Kau ini, masih ngantuk. Untuk apa kau malam bangun dan beribadah, apa tak tidur?” tanya Eryas,

“Itu salah satu usahaku untuk memohon restu dari Allah,” jawabku,

“Oh begitu. Lagipula, terimakasih berkat kau bangun mandi. Aku tak kesiangan setiap kali bangun,” tepuk Eryas pada pundakku,

“Hahaha, aku juga berterima kasih padamu. Berkat dengkuran kau, aku terbangun tengah malam dan sholat,”

“Kau ini, sudah pernah dicium sepatu?”

“Belum. Kau saja lah yang cium sepatuku dulu,” jawabku sambil meletakkan sepatu PDL milikku ke tangannya. Dia melempar sepatu milikku, aku hanya tertawa menatapnya berlalu ke luar kamar. Sambil membenarkan baret cokelat khas taruna, aku menuruni tangga dan tak kusangka ada seorang wanita disana. Disalah satu rumah yang kutahu milik Pak Daru, pamannya Guntur juga. Kulihat disana ada Guntur, dan dua orang wanita duduk dengan dress sederhana. Rambut dikuncir satu, yang satunya lagi dibiarkan terurai. Sebentar! Yang dikuncir, sepertinya pernah kulihat tapi dimana ya?

“Sersan taruna Angga Dwi! Ayo kesini dulu sebelum kegiatan sore nanti,” dari kejauhan tadi, mata Guntur sudah memberikan kode. Aku sudah tahu apa maksudnya, halah paling juga dia akan mengenalkanku pada seseorang. Kuhampiri saja mereka dan langsung berkenalan dengan kedua putri entah milik siapa hatinya.

“Yuka,” temannya menyapaku terlebih dahulu, “Angga,” jabat tanganku disapa olehnya, “Rasti,” ia tersenyum. Ah aku pernah mengenalinya dimimpi! Benar ternyata, bidadari itu nyata! Guntur menatapku penuh curiga, dia menyuruhku menemani Rasti berjalan sambil berbicara sampai sore tiba. Tak ada pembicaraan diantara kami, kuputuskan untuk memulainya duluan.

“Kau sudah kuliah?” tanyaku, “Sudah, aku semester 2 sekarang. Kamu sama dengan Guntur sekarang?” tanyanya balik, “Iya.” jawabku singkat, walau bagaimanapun aku taruna harus jaga sikap didepan wanita seperti dia. “Guntur banyak cerita tentangmu, oh iya aku teman SMP nya.” apa yang sering ia dengarkan dari Guntur tentangku? Benakku segera dipenuhi oleh tanda tanya dan rasa penasaran yang sebentar lagi menggunung entah setinggi apa. Tapi dia tidak boleh tahu dikepalaku isinya pertanyaan.

“Sepertinya teriknya ini sudah semakin membuat tidak nyaman. Apa tidak sebaiknya kita kembali ke rumah pade mu?”

“Baiklah” Rasti dan aku berjalan kembali kesana, tak lama Guntur memanggilku untuk segera kembali ke kelas. Dia menatapku sambil tersenyum, kesan indah untuk pertemuan pertama. Kan kutagih janjimu menemaniku pesiar besok lusa, Rasti.

Sesampainya dikelas, Gusti menghampiriku dan menceritakan sesuatu yang mencengangkan. Dia memang temanku yang selalu datang membawa kejutan besar, bahkan luar biasa. Ya, lihat saja bagaimana sahabatnya ini haha. Segalanya terlihat luar biasa kan? Skip yang ini!

Apa? Dia kenal dengan Giska? Oh jadi ini alasan Giska menghindar dariku, sudah jadian kah kalian berdua? Pikiranku terus menyalahi dan menyoraki diriku sendiri yang selalu memikirkan Giska. Oke, mulai sekarang Rasti lah yang akan menjadi bidadariku.

“Oh sudah 3 bulan. Dia sekarang dimana?”

“Dia kuliah di Bandung. Sekarang dia cantik sekali ya, liat nih fotonya. Beda dari waktu SMP dulu. Gak nyangka sekarang jadi pacarku,” dia senyum terus melihat foto seseorang yang sudah cukup membuatku muak akan sikapnya. “semoga langgeng ya, ajak dia ke Praspa nanti.” godaku pada sahabatku yang sedang berbahagia, “Amiin, akan kubawa nanti. Awas kalau kau sampai suka dengannya,” ujar Gusti mengejek, dia tidak tahu saja bagaimana sifat Giska saat kau jauh darinya. “Tidak akan. Sekarang kan dia punya Rasti, itu loh sepupuku, gus. Dia mengambil langkah cepat, biar gak sendiri saat Praspa nanti, tapi ya memang masih jauh sih. Pesiar nanti dia akan membawa kita mengenali bidadarinya secara resmi,” Guntur menyambung pembicaraan kami, kupukul saja perutnya. “uhuk, bercanda Angga. Tapi benar kan kau menyukainya?”

“Itu urusanku,”

“Ciee, Angga gak jomblo lagi. Dating party! Pesiar nanti kita kumpul dengan wanita kita masing-masing,” ide Gusti tak begitu baik karena itu berarti Giska akan datang, aku harus mencari alasan yang pintar.

“Wah, sepertinya Rasti ingin kencan denganku saja. Jangan ganggu kami ya,” mereka semakin menggodaku, biarlah ini caraku agar tak bertemu Giska. Muak menatapnya, pengkhianatannya membuat sesak di dada.

 

***

 

Pesiar datang, Yuka dan Rasti sudah duduk manis menungguku dan Guntur. “ayo,” kujemput bidadari itu dan mengajaknya jalan-jalan. Hanya makan makanan sederhana saja, tak direstoran seperti keinginan Giska yang selalu merajuk itu.

“Kau masih sendiri?” kuberanikan bertanya seperti itu,

“Iya,” jawabnya singkat, “Apa kau menyukaiku?” aku terlalu to the point.

“Jangan pikirkan hal cinta dulu, kau harus berhasil. Tenang, aku menunggumu.” Rasti tersenyum menatapku lurus tanpa henti. Dia akan menungguku sampai aku melamarnya? Tugasku hanya percaya, tak lebih dari itu dulu, belum terlalu percaya pada wanita ini.

“Ayo makan nanti keburu dingin,” sambung Rasti, dan aku hanya tertawa kecil malu.

Aku selalu mengingat kata-katanya, membakar api semangat dan kubiarkan membara hampir menyambar ke tepi. Dan kejadian keluarnya Guntur dari akmil juga menjadi salah satu peristiwa yang membuatku semakin ingin lulus di akademi ini dengan memuaskan. Yuka selalu menitip salam pada Rasti agar disampaikan ke Guntur. Tapi dia tak ingin menemui Guntur, ia belum berani jujur kalau dia sudah menikah dengan polisi berpangkat inspektur satu. Tentu ia dijodohkan oleh kedua orang tuanya, aku juga belum mau memberitahu Guntur.

Praspa sebentar lagi, sidang sudah kulewati pula. Sepertinya aku akan mendapat libur nanti, rencana langsung tersusun dibenak. Kukirim undangan Praspa kepada kedua orang tuaku di Surabaya dan juga Rasti sebagai tamu kehormatan. Selesai menulis alamat rumah, Eryas berlari memanggilku yang sedang duduk di kursi belajar. Kapten Hendra memanggilku katanya dilapangan. Segera kukayuh kaki dengan cepat, berlari ke lapangan yang Eryas beritahu tadi.

“Sersan Mayor Satu Taruna Angga Dwi Laksono, kau tahu kesalahan apa yang sudah terjadi?”

“Siap, tidak tahu pak!”

“Benar kau tak tahu semuanya?”

“Siap! Tidak pak!” kulantangkan suaraku dihadapan pelatih, “push up 100 kali, pikirkan kesalahanmu apa. Lalu bangun dan bicara! Sikap siap, mulai! Satu. Dua. Tiga...”

“Siap! Saya tahu pak!”

“Apa itu Sematutar Angga Dwi Laksono?”

“Siap, saya salah tidak bisa menjaga rekan tim saya saat dilapangan. Terlambat dalam jadwal kelas, dan selalu mengantuk di dalam kelas.”

“Baik. Kau harus sadari itu, dan jaga terus fisikmu, tugasmu akan berat setelah ini. Selamat ulang tahun dan selamat atas kelulusanmu Letda.Infanteri. Angga Dwi Laksono.” Jujur aku terkejut, semuanya langsung bersorak tertawa dan adapula yang menindihku. Semuanya memberiku ucapan ulang tahun, dan ternyata hanya aku yang tidak tahu pengumuman kelulusan itu. Keseruan ini takkan terulang lagi, hanya sekali mungkin. Biarkan mereka menghabisiku hari ini.

“Aku dan Kapten Hendra yang menyiapkan ini,”

“Eryas, kau!” kujitak kepala hitam dengan rambut cepak miliknya. Habis wajahku diacak-acak oleh teman lettingku, keseruan ini jadi kenangan. Kapten Hendra memanggilku, badan tegap menjadi tamengku dihadapannya.

“Bersikap biasa saja lah, Angga.”

“Siap, Kapten Hendra,” aku mendadak menjauh dan bersikap siap dihadapan atasanku.

“Lekas beritahu orang tuamu, dan kekasihmu, itupun kalau kau punya. Kalau tak punya jangan memaksakan diri,” semuanya tertawa mendengar perkataan Kapten Hendra. Dipikiranku langsung tertulis nama Rasti Ayuningsih, wanita yang kupuja dalam setiap pujian. Baiklah, akan kukenalkan pada dunia siapa orang yang mengunci hariku untuk selalu memikirkannya. Kapten Hendra, akan kukenalkan dia nanti padamu haha.  Rasti akan main ke asrama, kutunggu dia berdiri indah dengan pesonanya yang selalu kurindukan.

 

Malam yang indah, si pesona itu datang, aku diberitahu oleh angin kalau titisan dewi sudah datang. Kupersilakan dia duduk manis di tempat yang tak kotor, aku akan segera membersihkan diri. Parfum yang ia belikan dulu, pilihan terbaikku.

Kusematkan cincin kebanggaanku pada jari manisnya yang tak terlalu kurus. Sedikit sesak memang, tapi tak apa hanya sekedar menandainya sebagai milikku.

Cincin ini kelak kuberikan pada calon istriku, tapi aku belum yakin dia akan setia padaku. Jarak membuatku tak tahu apa yang dilakukannya disana. Hanya kepercayaan yang membuatku selalu berkata “iya” untuk seorang Rasti.

“Makasih ya, maaf kalau pernah kecewain kamu,” Rasti menatap cincin yang menempel dijari manisnya,

“Iya. Kamu gak pernah kecewain aku kok santai aja. Jangan diliatin terus cincinnya,”

“Haha, iya abisnya kekecilan. Sempit, kayanya kamu gak ikhlas ngasih aku, bukan buat aku ini. Cincinnya jujur banget ya,” Rasti mengangkat wajahnya dan tersenyum,

“Aku ikhlas kok, Rasti. Masa iya aku ngasih tapi gak ikhlas. Cincinnya aja yang kekecilan atau..”

“Tangan aku yang kegedean gitu? Iya?”

“Aku gak maksud loh,” mataku mencoba meyakinkannya. Aku tak mau dia marah.

“Iya kamu mau ngomong gitu kan. Aku gak marah kok santai aja sih,”

“Yaudah lupain itu. Nanti aku beliin buat kamu yang lebih bagus lagi. Dimomen yang lebih bagus,”

“Kapan?” tanya Rasti menantang,

“Nanti pokoknya, aku sedang tidak pegang uang lebih.”

“Jangan paksakan diri, aku bercanda kok. Gausah beli cincinnya,” Rasti memukul bahuku, aku segera berpura-pura kesakitan. “ughh,”

“Maaf Angga. Sakit ya,” Rasti mengusap bahuku, kuambil tangannya dan kuletakkan di jantungku, “iya sakitnya disini, Ras” Rasti tak pernah manis seperti wanita yang lain. Dia malah mendorong dadaku sampai hampir tersungkur, dia tertawa cukup puas. Tapi kenapa hatiku bicara kalau ini tak akan berlangsung lama, dan akan berakhir cepat. Kupeluk dia malam itu, dan kuantar dia balik ke rumah dengan selamat tanpa kurang apapun. Hanya saja sekarang dirumahnya sudah sepi, kedua orang tuanya sudah pulang lagi ke Jakarta.

---

Jam menunjukkan pukul 4 pagi, tubuhku sudah terbiasa ditempa untuk sigap dikala yang lain masih mesra memeluk guling dan tentunya berguling diatas kasur yang nyaman. Hari ini aku resmi berdinas di Bandung. Semakin jauh saja jarakku dengannya, lagu LDR-Raisa selalu membuatku mengingatnya. Tapi sekarang malah semakin dekat dengan Giska, sungguh tak kuharapkan.

Dia mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas di Bandung. Dan dengar-dengar dia bekerja disini juga, semakin lama dia menetap di Kota Kembang ini. Komunikasiku dengannya terjalin lagi dimulai dari siang itu setelah praspa. Kebetulan nomorku masih nomor yang lama, dia masih menyimpan nomorku rupanya.

“Angga, aku rindu kamu,” ujar Giska ditelepon,

“Ya. Memangnya kau tak merindukan Gusti?”

“Ah kamu jangan seperti itu. Aku sungguh mencintaimu,”

“juga sahabatku. Haha sudahlah, Giska. Aku sedang malas berbicara denganmu. Suaramu selalu membuatku ingin marah,”

“Kau tak jauh berbeda dengan yang dulu. Kau masih marah karena aku tak datang menemanimu ke akmil?”

“Sudahlah, itu sudah berlalu. Jangan diungkit lagi, lagipula aku sudah menemui siapa yang pantas memakai cincin itu,”

“Siapa? Kau selingkuh?”

“Aku itu diajarin kamu! Jadi jangan bicara seakan aku yang salah disini,”

“Apa sih Angga, kamu ngomong apa? Aku ngga paham maksud kamu apa,” Giska memohon, dia masih membutuhkan aku sepertinya. Oh iya, apalagi aku sekarang sudah resmi menjadi seorang perwira. Aku lupa hal itu. Kututup saja teleponnya. Tak ada lagi pembahasan yang mesti dibahas diantara kami.

 

---

 

 Rasti dirumahnya sendirian, ia segera menghubungi Gusti yang berada di kontrakan temannya. Dia butuh teman. Gusti segera meluncur ke rumahnya dan menemaninya. Dia sudah tahu seseuatu terjadi pada Rasti, ini sudah kesekian kalinya ia menelepon. Malam itu, perasaanku campur aduk ditengah jalan. Tak ada tujuan lain selain kembali ke asrama, kutelepon Yanto yang masih berada di kamar.

 “Halo to, si Gusti ada diasrama?”

 “Wah gak ada tuh. Gue ini dikamar, ngga ada dia disini. Tadi sih liat dia lagi keluar katanya ada urusan penting. Pas gue tanya, si Giska katanya sih bukan. Tapi cewe yang telepon,” jelas Yanto.

 “Yaudah thanks ya to. Kabarin gue kalau dia udah balik,”

 “Sip. Sama-sama, gue tidur dulu lah.”

 “Yo,” kututup telepon itu. Telepon Gusti tujuan keduaku, tapi tak juga diangkat apa dia sedang naik motor makanya tak terdengar? Ah yasudah kutelepon Rasti saja lah. Kartu SIM satu tak ada pulsa, sial nomor ini baru kuisi kemarin sore. Kupinjam ponsel supir taksi, hanya sebentar saja. Ya karena dia bilang, pakai saja mas saya masih ada bonus telepon, bagus! Kupikir kenapa ada kesempatan tak dimanfaatkan.

 

***

 

 Jujur aku terpuruk kalau mengingat itu, tapi apa harus persahabatan hancur hanya karena hal sepele. Apa mesti juga aku membenci Rasti? Kinerjaku menurun sebulan terakhir, dan peringatan sudah terlontar dari senior. Kalau aku melakukan kesalahan satu kali lagi, sepertinya aku akan terancam di posisiku sendiri.

 

---

 

“Halo ini dengan siapa?” tanya seseorang, pria siapa ini yang memegang ponsel Rasti?

 “Halo, ini siapa? Mana Rasti?”

 “Angga?” suara itu aku hafal! Itu Gusti, mau apa dia bersama Rasti. Bukankah Rasti sudah kuantar pulang sampai rumah. Apa jangan-jangan Gusti menghampiri Rasti, sial!

 “Oh kau Gusti. Sedang apa kau dirumah Rasti?” tanyaku meninggikan suara,

 “Santai dulu. Kau salah paham,”

 

Sudahlah aku muak bicara dengannya ditelepon, akan kutunggu kau sampai asrama nanti! Kututup teleponnya dan kuputuskan untuk diam saja dan menunggu. Sampai tengah malam dia baru pulang, wajahnya lusuh seperti lelah. Kudorong Gusti sampai menabrak dinding, tubuhnya pasrah saja tapi sedikit tak terima. “apa-apaan sih lu ngga? Ada masalah apa gua sama lu?” dia membalas mendorong bahuku.

Terjadi keributan yang cukup membuat penghuni asrama yang bangun, hanya beberapa. Sisanya, tetap tertidur dengan mimpi yang bergenre drama. Eryas melerai, Yanto menarikku menjauh dari Gusti, walau bagaimanapun dia tetap Danton di pleton ini. Sebagai Danyon, Ryan mengumpulkan kami di kamar asrama dan membahas masalah ini agar tak terdengar oleh petugas piket. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan ini besok, Ryan minta semua berjalan seperti biasa. Tapi tidak akan untuk aku dan Gusti.

 Derikan jangkrik terdengar bising ditelinga, mataku enggan terpejam walau sedetik. Kantukku tak segera mampir dan mengajak mata untuk menutup sebentar saja. Aku malah mengingat tadi, sekarang dipikiranku ada urusan apa antara Gusti dan Rasti. Bukankah Giska sekarang pacarnya Gusti? Kenapa juga dia harus mendekati Rasti lagi. Sial, karena hal ini aku bertengkar dengan sahabatku sendiri. Kukirim pesan ke Rasti, kuputuskan untuk tidak usah bertemu dulu sampai waktunya tiba.

 

Rasti, Rasti dan Rasti!!! Ah aku muak dengan semuanya, aku kesal dengan semua yang pernah terjadi ini. Sebenarnya aku masih menyayanginya, tapi kenapa dia selalu menghindar jika kuhubungi? Itu yang selalu menjadi salah satu masalah yang kupikirkan. Kenapa dia mesti ikut marah, sedangkan diposisi itu aku yang merasakan sakitnya? Sepertinya aku yang akan mengalah pada keadaan, sudah tiga bulan aku tak menghubungi Rasti. Gusti mendatangiku, dia yang meminta maaf padaku lebih dulu. Dia menjelaskan sesuatu yang menurutku masih bisa kuterima tapi masih ada yang menjanggal.

“Dia mau kemana emangnya? Kenapa gak minta bantuanku?” tanyaku,

“Cuman gak mau ngerepotin. Dia gak mau nyuruh kamu bawa barang berat,”

“Dia mau kemana?”

“Dia mau pergi jauh,” jawab Gusti serius, suasana sepi semakin menambah kesan ruang sidang disini.

“Kemana?”

“Ah sudahlah. Kau harus ke ruang dosen, dipanggil Kapten Rama,”

“Siap,” kami berdua lekas bergegas kesana, sudah resmi baikan sekarang. Damai, cara yang paling kusukai sekaligus kubenci. Ini lemah tapi punya sebuah kemenangan. Hebat! Tapi Rasti masih tak mau mengangkat teleponku, akan kucoba terus untuk mengucapkan maaf. Kuhampiri rumahnya saja lah nanti sore, Gusti harus menemaniku.

Selesai mandi ini sudah kukantongi izin bermalam, akan ku kunjungi dia. Tapi tak kutemui Gusti dikamarnya, di kamar mandi dan di kelas. Untuk kedua kalinya Yanto yang memberitahuku kalau Gusti tadi pergi terburu-buru, dia menitipkan pesan untuk pergi sendiri saja ke rumah Rasti. Kenapa dia? Ada apa dengan dia yang terus mendadak pergi, dan benar saja saat kutelepon dia, ponsel mati dan Rasti? Dia juga sama.

***

Apa yang mereka lakukan dibelakangku? Tapi terserah lah, apapun yang mereka lakukan aku tak mau terlibat lagi atau cemburu tak jelas. Lalu sekarang IB kali ini aku akan kemana? Apa akan kubiarkan ini berlalu dan takkan mendapatkannya lagi? Sudahlah, mungkin nasibku hanya bermain di rumah Alfian yang tak jauh dikompleks Akademi Militer. Tentunya dengan beberapa taruna yang lain yang mendapatkan izin bermalam. Kami berencana untuk naik gunung besok harinya, tak ada Gusti lebih baik daripada dia pulang dan aku langsung mengingat semua pertanyaanku. Kebencianku memang tak ada, tapi untuk berteman baik lagi sepertinya tidak. Aku juga sepertinya takkan marah dengan Rasti, hanya saja kami istirahat dari hubungan kami.

 

---

 

Sudah hampir tiga tahun menjalani masa tugasku, cukup menyita waktu pribadi dan keluarga, ya tugasku sebagian besar untuk negara. Waktunya menikmati libur panjang dan juga tiket pulang ke Magelang sudah ditangan. Rasti tak perlu tau aku ada disana, menghampirinya penuh kerinduan. Ingin rasanya kutelepon dia, tapi nanti tidak kejutan. Aku tak menghubunginya dua minggu, dan ini rencanaku, setelah semua fokusku pada penugasan pertama ini. Sesampainya di stasiun Tugu Jogja, kuhampiri Gusti yang memang bertugas disana, ya modus saja dulu biar semuanya terlihat mengalir. Nampaknya saat ia menemuiku, wajahnya murung seperti ada yang ia rahasiakan. Aku sudah menghubunginya tadi, jadi dia kelihatannya sudah siap keluar kebetulan sedang tidak bertugas.

“Ayo lekas berangkat, kelihatannya cuaca tak cukup baik,” Gusti akhirnya membuka mulutnya, “i-iya ayo. Pakai mobilku?” tanyaku,

“Iya, ayo.”

“Ini kuncinya. Kau yang kendarai,” ku berikan kunci mobil yang masih tersisa kehangatan dekapan tanganku. Yang dulunya milik Rasti, semoga sampai sekarang. Sudah hampir sejam melalui perjalanan, gemuruh terdengar dari kejauhan dan terlihatan kilatannya. Mencoba merenggut fokusku pada jalan yang kelihatannya sudah lewat jembatan yang ku ingat ini rumah Rasti. Aku kembali santai dan menyetel lagu sekedar menghancurkan tembok keheningan di dalam mobil. Tatapan Gusti lurus, dan kecepatan bertambah setelah mendengar sesuatu yang terucap dari lidahku.

“Rasti itu cantik ya, apalagi kalau sedang tertidur. Indah sekali, aku merindukannya.”

Sesaat mobil melaju kencang, dan masuk ke jembatan layang, ini bukan jalan kerumahnya.

“Kita mau kemana?” tanyaku,

“Ikut saja,” Gusti menatap lurus tanpa menengok ke hadapanku. Tujuan kami taman pemakaman, apa maksud darinya mengajakku kesini. “kau tak salah mengajakku kesini,” tanyaku heran, “ikut saja, jangan banyak bicara,” Gusti semakin serius dan berjalan lebih cepat.

Kuikuti saja, dan kutemukan sesuatu yang cukup membuatku terkejut. Kotak cincin pertunangan yang kukirimkan tempo hari, bunga yang kuberikan saat pertemuan terakhir sebelum pergi ke Bandung. Tanah merah yang masih basah, harum bunga yang sepertinya baru ditaburkan sekitar dua hari yang lalu, juga nisan putih bertuliskan nama Rasti Ayuningsih. APAA! Ada yang salahkah dengan hari ini?

“Kau sedang bercanda?” aku tetap heran menatap enggan percaya tentang makam itu, walau sebenarnya bukti didepan mata sudah sangat jelas. “Ini jawaban semua pertanyaanmu selama pendidikan, bahkan sampai saat ini.” ujarnya. “Maksudmu apa?” mungkin ini membuatku bingung, tapi aku sekarang merasa bodoh, bukan linglung.

Sabtu, 13 Februari 2016

Perlahan Melupakan - Part 1

Penghujung senja telah berlalu, berganti dengan semilir angin malam yang sedikit menusuk tulang. Tepat di kompleks militer ini aku berdiri dalam sebuah barisan taruna. Yang kelak menjadi barisan pertahanan negara, berpegang teguh pada Sapta Marga dan taat pada agama. Aku, Angga Dwi Laksono, taruna tingkat III yang sedang sibuk – sibuknya berdansa dengan Tugas Akhir (TA) dan bercumbu dengan lapangan tempur. Memeluk mesra senjata di medan tempur sudah menjadi makananku sehari – hari. Ya, sejak aku dan Gusti, sahabatku, memilih melanjutkan studi di Akademi Militer.

 Sudah banyak kisah jatuh bangun para taruna yang benar-benar kubuktikan disini. Fisikku ditempat, mentalku diuji, jiwaku sudah semakin membara akan perjuangan. Tak bisa kupungkiri, kadang aku merasa sangat tampan dengan balutan seragamku ini. Apalagi di lapangan tempur, aku merasa seperti para pejuang kemerdekaan yang sering ku tonton di film perjuangan. Kebetulan memang film seperti itu yang kusukai, Gusti lah yang biasanya bertugas mengunduh beberapa film. Sangat disayangkan, banyak film perjuangan yang tak pernah lagi terlihat oleh penerus bangsa. Padahal, itu bisa menjadi salah satu cara menghargai perjuangan mereka. Ya, mereka yang rela menumpahkan darahnya untuk mendapatkan anugrah terindah yang mereka sebut “FREEDOM” tak lain adalah Kemerdekaan.

 Guntur, salah satu teman seperjuanganku, dia mengakhiri pendidikan di Akademi Militer karena mengalami cedera yang sangat parah. Itu salah satu kebijakan yang diputuskan oleh keluarga besarnya yang sebagian besar adalah anggota TNI. Ia perlu pengobatan, tulang kakinya patah, bahunya retak, dan beberapa ruas rusuk retak. Terpeleset dan terguling saat latihan tempur di sebuah pegunungan dekat magelang, tali yang mengikatnya lepas diantara kami tak ada yang mengetahui talinya rapuh. Sebelumnya satu persatu dari kami sudah lebih dulu menuruni air terjun, entah kenapa saat Guntur turun, talinya lepas dari pengaitnya. Tubuhnya terhempas, sayang tubuhnya menghantam batu yang ada di permukaan air.

 

---

 

 “Guntur, ayo cepat. Biasanya kamu kalau di akmil gak takut ketinggian. Ayo turun,” ujarku meneriakinya dari bawah. “Ayo Tur, masih banyak yang lain harus melanjutkan perjalanan. Kamu berani tur, ayo cepat.” Gusti menyusul perkataanku, kebetulan dia masih berdiri dibelakang Guntur. Ia komandan peleton, ia bertanggung jawab atas semua taruna yang termasuk ke dalam peletonnya. “aku sedikit ragu, Angga,” teriaknya menjawabku. Keringat dingin terlihat mengalir di tengkuk Guntur, ia juga terus menelan air ludah. Memang hanya itu yang bisa ia lakukan, dan sesekali melihat ke bawah.

Di dasar air terjun, sudah ada aku dan 15 orang lainnya yang sudah turun, ia masih menggelengkan kepalanya karena pusing. Gusti kemudian memanggil komandan untuk memutuskan Guntur harus bagaimana. Angin menyibak dedaunan, mengeringkan air terjun yang membasahi wajahku. Tanganku terus memberi tanda pada Guntur agar turun, tapi ia masih memeluk tali yang sudah siap untuk membantunya turun.

 “Firman, kau tanya Gusti sudah dimana dia. Ini akan memakan waktu, kita harus sampai pos kelima sebelum jam 4 sore nanti. Sekarang sudah jam 3, masih ada 20 orang lagi. Suruh mereka turun lebih dulu,” ujarku pada salah satu taruna, ia langsung mengambil handtalk berusaha menghubungi Gusti.

Angin yang lebih kencang mencoba mengalihkanku pada satu sisi, dan benar saja setetes air terjun masuk ke dalam mataku. Perih, ku bersihkan mataku dari air yang masuk itu. Dan detik itu pula, keramaian, gaduh suara para taruna berteriak nama Guntur. Setelah mataku seperti biasa lagi, kulihat tubuh sahabat juga teman seperjuanganku terhempas begitu saja ke dasar. Tali yang ia gunakan sebagai tumpuan putus, Gusti dan yang lainnya melihat dari atas dan langsung mencari jalan lain untuk turun kesana.

 “Guntur!” teriakku menghampiri tubuhnya yang sudah tak melakukan aktivitas lagi.

“Tur, bangun. Ini berapa?” ujar Yanto menunjukkan tangannya ke depan Guntur,

Tak ada jawaban darinya, semua ramai membantunya setidaknya harus dalam keadaan sadar. Napasnya berhenti! teriak Yanto saat mengecek detak jantungnya dan hembusan napas di hidungnya. Tiba-tiba suaranya terdengar, ia merintih kesakitan,

“ugghh,” rintihnya sedikit batuk, semua langsung terkejut dan menghampirinya, “ayo bantu dia,” ujar Gusti, kami membantu mengangkat tubuhnya ke darat. Saat kami rebahkan tubuhnya di tanah, dia langsung merintih benar-benar sakit. Tak tega kami melihatnya, Gusti dan Ryan segera memanggil bantuan dari pos lima agar segera membawanya ke rumah sakit. Setelah ia dibawa oleh tim SAR yang tadi kami hubungi, kami melanjutkan kegiatan lagi. Seusai dari kegiatan tersebut, kami baru mengunjungi Guntur di rumah sakit. Tak habis pikir, kawan kami mengalami kecelakaan seperti itu. Awalnya hanya ingin membuatnya berani di medan yang sebenarnya, alam yang lebih terasa natural. Tapi nyatanya, dia masih butuh pelatihan yang lebih matang lagi.

“Bagaimana keadaannya?” tanyaku pada Gusti yang sejak tadi menunggu hasil dari dokter.

“Ia takkan bisa ikut dengan kita lagi,” ujarnya merunduk, sepertinya jiwaku sebagai seorang lelaki diuji. Tangisanku tak boleh pecah disini, bagaimanapun dia termasuk orang yang ingin kulindungi. Dia adik kelasku, dia masuk akademi militer dan menjadi teman letting. Dia adik sepupu dari kakak iparku.

“Dia tidak akan ikut latihan lagi? Apa dia…”

“Tidak, dia selamat. Cederanya cukup parah, aku baru menghubungi kedua orangtuanya. Mereka akan segera kesini,” ujar Gusti,

Syukurlah hanya cedera, dan pastinya masih tetap bernapas. Kukira akan mendapat berita duka yang akan mengiris asaku menjadi seorang tentara. Tekadku dan dia sama, kami ingin menjadi barisan kebanggaan bangsa tapi sekarang dia takkan bisa. Tak lama kedua orangtuanya datang, dia masih dalam keadaan koma yang kulihat tadi.

 “Pak, bu,” kucium tangan orangtuanya,

 “Dimana Guntur, nak?” ujar Pak Ridwan, ayahnya Guntur.

 “Masih di ruangan itu, mari saya antar. Hanya boleh masuk dua orang saja,” ujarku pada Pak Ridwan dan Bu Hani. “baiklah, bapak dulu baru ibu,” suara Bu Hani masih terdengar bijak walau terlihat bekas tangisan, air yang mongering di pipinya. Raut wajahnya yang menunjukkan kekhawatiran, ‘tenang, bu. Aku akan membantunya semampuku,’ ujarku dalam hati sambil tersenyum pada ibu dari tiga anak itu. Seusai mengantar ayahnya, kuputuskan untuk keluar dan menjemput ibunya untuk menemui anaknya yang tertidur pulas dengan beberapa kabel menempel dibadannya juga beberapa jarum infus menembus kulit cokelatnya. Kantung darah, infus dan penahan rasa sakit menjadi alat untuknya bertahan disaat seperti ini.
Kutinggali saja mereka didalam, dan terlihat beberapa suster membantu seseorang yang terjatuh. Bu Hani akhirnya ambruk menahan kesedihannya, dan Pak Ridwan hanya bisa menahan tangisannya. Pria memang begitu, menahan kesedihan hanya untuk memperbaiki suasana tanpa memperkeruhnya. Aku semakin tak tega, biar Yanto dan Eryas yang membantu Bu Hani keluar ruang ICU. Gusti memanggilku, ada sesuatu yang akan ia sampaikan, mengenai Guntur sepertinya. Ia sudah berbicara pada Pak Ridwan, keputusan ini sangat berat. Ayahnya akan membawa Guntur ke luar negeri dan menjalani pengobatan disana. Ia juga akan menyudahi pendidikannya sampai tingkat dua.

Jujur saja, hatiku miris mendengarnya. Masih teringat dibenakku bagaimana semangatnya berjuang masuk akademi militer bersamaku. Dan akhirnya, senyuman terakhir yang kulihat saat aku terakhir berbicara padanya soal wanita yang ia sukai. Yang ia kunjungi saat pesiar kemarin, dan aku malah teringat dengan teman wanita itu. Wanita yang memakai dress anggun, senyumannya manis dan lembut. Iya, dia yang kusukai dalam diam. Sesuatu yang spesial tapi terlihat sempurna, terlihat sederhana bukan? Biarkan aku bersama semangatku sebagai seorang tentara remaja.

---

 

Kisah cinta membuat seseorang bisa menggila sesaat dan tampak menyedihkan dalam waktu sekejap. Sebenarnya aku tak begitu menyukai hal cinta atau apapun, hanya saja seorang wanita itu membawaku ke romansa menggelikan hati. Semua berawal dari hari yang sudah ditunggu oleh kami para calon taruna Akademi Militer atau sering disebut akmil. Aku dan Gusti berasal dari Surabaya, dan Guntur asli orang Magelang. Kebetulan perkenalan kami terjalin sangat akrab sejak pertama kali kami berdiri di pendaftaran yang sama.

 

“Angga, lo berangkat kapan? Bareng ya,” ujar Gusti ditelepon,

“Gue berangkat abis sholat dhuha, lo siap-siap aja dulu. Lagian siapa suruh kita di Semarang, udah bener gue ajak turun di Jogja, gak bakal begitu jauh gini, gus.”

“Ya maaf, gue kan sekalian ke rumah bude. Sorry ya, semoga betah lu ya di hotel. Hari ini doang kan?” Gusti tak mengajakku menginap disana karena takut dibandingkan ole budenya. Dulu saja, habis aku dipuji oleh budenya sedangkan dia hanya dibandingkan saja. Balas dendam dia rupanya, lucu sahabatku yang satu ini.

“Ya siap.” dia yang menutup teleponnya, padahal baru akan kumintai lumpia basah buatan budenya yang enak. Dia pernah membawakannya, waktu diperjalanan kembali ke Surabaya setelah seleksi dulu. Aku sudah siap dari semalam, dan sekarang aku bisa bersantai dulu. Menelepon ayah dan ibu sudah, bicara dengan kak Putri sudah, tinggal Giska yang belum kutelepon. Ia akan merindukanku jika tak kukabari, lagipula dia juga belum tau kabarku yang akan masuk akademi yang ia inginkan. Ia ingin aku menjadi seorang perwira seperti kedua kakaknya. Kupikir kalau kuikuti keinginannya takkan rugi untukku. Ceria saja menghadapi pendidikan ini, Angga, tetap santai. Kuhela napas panjang saat detik yang sama ku tekan tombol telepon Giska. Aku masih malu meneleponnya, bukankah ini kejutan untuknya?

Kutunggu beberapa menit, nada telepon sudah berbunyi sampai bosan memberitahuku kalau telepon yang kutuju sedang sibuk atau berada diluar jangkauan. Sesulit inikah menelepon kekasih sendiri? Kejutanku akan gagal kalau aku beritahu lewat kakaknya, atau kutulis lewat message facebook.

“tinggalkan pesan setelah nada berikut,” nuut. Setelah nada itu, kuungkapkan pesan kejutanku untuknya. Aku senyum sendiri setelah menyelesaikan rekaman suara itu, bangga memberitahunya saat ini.

Dari kemarin, tiap kukabari sesuatu ia tak juga meneleponku balik atau sekedar membalas chat yang kukirimkan. Hanya terkirim saja, dan beberapa chat via lain ada yang hanya di baca. Ada apa dengan Giska? Aku merasa bukan prioritasnya? Giska kemana saja kau saat kubutuhkan? Ya aku berusaha tak membawa pikiran apapun sebelum masuk ke kawah Chandradimuka. Aku sedang tak ingin diganggu sampai tingkat dua. Aku akan konsentrasi belajar dulu di akmil, karena kusadari usahaku lolos seleksi itu sulit.

Kenapa kantukku datang disaat seperti ini? Kuputuskan untuk tidur dulu sebelum berkendara nanti, Semarang ke Magelang cukup jauh kan? Ya, setidaknya untuk orang yang sedang mengantuk sepertiku lebih memilih tidur daripada mengemudi. Ditengah tidur, mimpiku mulai tersusun berusaha merayuku untuk tergiur pada harapan semu.

Wanita itu pergi! “Tunggu nona!! Jangan tinggalkan aku disini sendiri, kau yang mengajakku kesini kan?” Wanita itu mengacuhkan rintihanku, kakiku sulit bergerak tak bisa mengejarnya. Kaku, kakiku kaku sekali!

“Nona! Bantu aku, kakiku sepertinya beku. Disini dingin!” Akhirnya wanita itu datang menghampiriku, dan menjulurkan tangannya. Hembusan dari arah timur datang tiba-tiba, tersibaklah wajah manis wanita itu.

“Nona! K-kau siapa?” Aku ketakutan menatapnya, ia terlalu cantik untuk seseorang yang menjebakku dalam ruangan ini.

“Aku pengarah jalanmu, sini kubantu. Maafkan aku yang mengajakmu kesini, aku akan berusaha mencari jalannya. Pasti.” Saat aku benar-benar berdiri dengan genggamannya, tangannya tak terasa lagi dan cahaya itu! Iya! Pecah! Terurai, memancar ke segala arah, pandanganku kabur! Dimana ini! Nona! Jangan pergi, nona!

 

“Nona!” hanya mimpi? Apa kubilang, tidur hanya menawarkanmu pada harapan semu yang tak pernah menjadi nyata. Siapa wanita tadi ya, wajahnya yang kutahu bukan Giska. Dia orang lain, tapi apa ada wanita secantik itu?

Tak lama Gusti meneleponku, dan beberapa pesan dari teman yang kukenali waktu itu menanyakan berangkat pukul berapa.

“Gusti, gue baru bangun. Abis cuci muka terus sholat dhuha dulu. Gak enak kalau gak sempat sholat, pasti gue jemput,”

“Jangan terlalu lama, nanti jalanan macet,”

“Tidak akan, ini kan hari kerja. Bukan hari libur,” kututup teleponnya, dan segera pergi ke kamar mandi. Selesai semua kegiatanku dihotel, check out kamar dan sebagainya, sesegera mungkin tancap gas ke rumah budenya Gusti. Hanya terlambat 10 menit dari perjanjian, wajah Gusti sudah tak enak. Kusenyumi saja wajah umeknya dan menepuk bahunya mengajak ke dalam untuk berpamitan pada bude dan padenya.

“Kalau macet gimana? Jam 11 kita mesti disana."

“Tak akan. Ayo,”

Dan ternyata jalanan benar-benar diluar prediksi, sesampainya di Magelang jalanan sulit dilewati. Entah apa penyebabnya, yang pasti aku baru sadar kalau sekarang ini jam makan siang seluruh kantor. Dan kulihat banyak mobil berplat lain selain AA dan AB. Ini sudah hampir pukul 11 dan harus sampai sana pukul 12 tanpa kompensasi apapun.

“Apa gue bilang Angga, Mertoyudan gabisa diprediksi kan." 

“Ya maaf maaf. Guntur juga belum sampai kok,”

“Guntur sih lompat juga sampai ke akmil,”

“Iya, bawel.” aku terus mengemudi, dan jam menunjukkan pukul 11.20. Jantungku sekarang mengalami getaran, degupannya terdengar olehku. Gusti sudah gatal saja ingin turun, masalahnya kita harus memarkirkan mobil di rumah Guntur. Akhirnya jam 11.45, kami sudah melihat pagar rumah yang dibilang Guntur. Katanya parkir diluar kompleks saja, biar apa aku kurang paham, hanya saja akan terlihat lebih sederhana.

“Cepat parkirkan, itu Guntur sudah ada,”

Setelah itu kami berjalan cepat, tas berat membuat langkah kami melambat sepersekian detik dan sesekali menatap jam ditangan.

Tebakanku tepat! Guntur dan Gusti berlari sambil membawa tas saat aku membenarkan tali sepatu. “wey! Tunggu!” Hanya terlambat 2 menit, tak ada ampun sepertinya. Aku diberhentikan oleh petugas, bersama dengan beberapa calon taruna yang terlambat lainnya.

“Sial,” hatiku geram, kalau kubiarkan tali sepatu terlepas itu akan menjadi bahasan oleh pelatih. Kalau kubenarkan, akan terlambat seperti ini. Wajahku terus diangkat, aku terus merasa malu saat beberapa wanita yang memakai seragam berpangkat sersan lewat di depan barisan. Menunduk bukan gayaku menghadapi masalah.

“Kau tau apa salahmu?”

“Siap! Tau pak,”

“Kau mengerti apa konsekuensinya?”

“Siap! Mengerti, pak”

“Lebih lantang!”

“Siap! Mengerti, pak!”

“Baik, push up 50 kali. Sikap siap, mulai berhitung! Satu! Dua!.....” dia terus menguji mentalku agar tak cengeng. Tanganku keram, harus menopang badan dengan tangan yang beralaskan aspal. Lama tak berhitung, dan kami terus push up sampai petugas bilang berhenti.

“Seratus!” petugas pun menyuruh kami berdiri dan mengambil tas kami yang diletakkan selama push up. Tak kusangka, tadi kami dua kali lipat melakukan push up-nya.

“Kalian ke lapangan sekarang. Lari!”

“Siap!” dia menyuruh kami berlari sambil bergemuruh dengan nyanyian yang sudah diberitahu oleh kakak kelas waktu itu.

“Lantangkan suara kalian!” petugas menuntun kami ke lapangan, sambil menyanyikan hymne taruna, kami tampak gagah berlari. Fokusku teralihkan kepada pemandangan anak-anak tentara yang baru kembali selepas bermain dirumah temannya. Ada juga yang baru pulang dari sekolah, mungkin masih kelas 1 atau TK? Entah kelas berapa mereka yang berlari atau yang sedang menatap kami berlari menyusuri jalan ke lapangan didepan sana, yang pasti aku rindu masa seperti itu, tapi aku harus terus maju dan dewasa. Kelak aku akan menjadi orang tua untuk masa yang kurindukan. Merasakan hal yang sama dirasakan oleh orang tuaku dulu waktuku kecil.

Sampai juga dilapangan, kududuki rumput dekat dengan Gusti dan Guntur. Mereka malu dekat denganku, karena mereka meninggalkanku dan membiarkanku dihukum. Bangun pun, aku dibantu oleh Yanto tanpa uluran tangan kedua sahabatku, kenapa ya mereka? Seusai melakukan kegiatan siang yang terik itu, malamnya kami menempati ruang tidur yang telah ditentukan. Guntur dan Gusti masih malu untuk berbicara padaku selepas latihan. Saat hendak berwudhu untuk sholat tahajud, mereka mengikutiku dari belakang. Mereka ikut wudhu dan mereka masih takut menatapku.

To be continued...