Sabtu, 13 Februari 2016

Perlahan Melupakan - Part 1

Penghujung senja telah berlalu, berganti dengan semilir angin malam yang sedikit menusuk tulang. Tepat di kompleks militer ini aku berdiri dalam sebuah barisan taruna. Yang kelak menjadi barisan pertahanan negara, berpegang teguh pada Sapta Marga dan taat pada agama. Aku, Angga Dwi Laksono, taruna tingkat III yang sedang sibuk – sibuknya berdansa dengan Tugas Akhir (TA) dan bercumbu dengan lapangan tempur. Memeluk mesra senjata di medan tempur sudah menjadi makananku sehari – hari. Ya, sejak aku dan Gusti, sahabatku, memilih melanjutkan studi di Akademi Militer.

 Sudah banyak kisah jatuh bangun para taruna yang benar-benar kubuktikan disini. Fisikku ditempat, mentalku diuji, jiwaku sudah semakin membara akan perjuangan. Tak bisa kupungkiri, kadang aku merasa sangat tampan dengan balutan seragamku ini. Apalagi di lapangan tempur, aku merasa seperti para pejuang kemerdekaan yang sering ku tonton di film perjuangan. Kebetulan memang film seperti itu yang kusukai, Gusti lah yang biasanya bertugas mengunduh beberapa film. Sangat disayangkan, banyak film perjuangan yang tak pernah lagi terlihat oleh penerus bangsa. Padahal, itu bisa menjadi salah satu cara menghargai perjuangan mereka. Ya, mereka yang rela menumpahkan darahnya untuk mendapatkan anugrah terindah yang mereka sebut “FREEDOM” tak lain adalah Kemerdekaan.

 Guntur, salah satu teman seperjuanganku, dia mengakhiri pendidikan di Akademi Militer karena mengalami cedera yang sangat parah. Itu salah satu kebijakan yang diputuskan oleh keluarga besarnya yang sebagian besar adalah anggota TNI. Ia perlu pengobatan, tulang kakinya patah, bahunya retak, dan beberapa ruas rusuk retak. Terpeleset dan terguling saat latihan tempur di sebuah pegunungan dekat magelang, tali yang mengikatnya lepas diantara kami tak ada yang mengetahui talinya rapuh. Sebelumnya satu persatu dari kami sudah lebih dulu menuruni air terjun, entah kenapa saat Guntur turun, talinya lepas dari pengaitnya. Tubuhnya terhempas, sayang tubuhnya menghantam batu yang ada di permukaan air.

 

---

 

 “Guntur, ayo cepat. Biasanya kamu kalau di akmil gak takut ketinggian. Ayo turun,” ujarku meneriakinya dari bawah. “Ayo Tur, masih banyak yang lain harus melanjutkan perjalanan. Kamu berani tur, ayo cepat.” Gusti menyusul perkataanku, kebetulan dia masih berdiri dibelakang Guntur. Ia komandan peleton, ia bertanggung jawab atas semua taruna yang termasuk ke dalam peletonnya. “aku sedikit ragu, Angga,” teriaknya menjawabku. Keringat dingin terlihat mengalir di tengkuk Guntur, ia juga terus menelan air ludah. Memang hanya itu yang bisa ia lakukan, dan sesekali melihat ke bawah.

Di dasar air terjun, sudah ada aku dan 15 orang lainnya yang sudah turun, ia masih menggelengkan kepalanya karena pusing. Gusti kemudian memanggil komandan untuk memutuskan Guntur harus bagaimana. Angin menyibak dedaunan, mengeringkan air terjun yang membasahi wajahku. Tanganku terus memberi tanda pada Guntur agar turun, tapi ia masih memeluk tali yang sudah siap untuk membantunya turun.

 “Firman, kau tanya Gusti sudah dimana dia. Ini akan memakan waktu, kita harus sampai pos kelima sebelum jam 4 sore nanti. Sekarang sudah jam 3, masih ada 20 orang lagi. Suruh mereka turun lebih dulu,” ujarku pada salah satu taruna, ia langsung mengambil handtalk berusaha menghubungi Gusti.

Angin yang lebih kencang mencoba mengalihkanku pada satu sisi, dan benar saja setetes air terjun masuk ke dalam mataku. Perih, ku bersihkan mataku dari air yang masuk itu. Dan detik itu pula, keramaian, gaduh suara para taruna berteriak nama Guntur. Setelah mataku seperti biasa lagi, kulihat tubuh sahabat juga teman seperjuanganku terhempas begitu saja ke dasar. Tali yang ia gunakan sebagai tumpuan putus, Gusti dan yang lainnya melihat dari atas dan langsung mencari jalan lain untuk turun kesana.

 “Guntur!” teriakku menghampiri tubuhnya yang sudah tak melakukan aktivitas lagi.

“Tur, bangun. Ini berapa?” ujar Yanto menunjukkan tangannya ke depan Guntur,

Tak ada jawaban darinya, semua ramai membantunya setidaknya harus dalam keadaan sadar. Napasnya berhenti! teriak Yanto saat mengecek detak jantungnya dan hembusan napas di hidungnya. Tiba-tiba suaranya terdengar, ia merintih kesakitan,

“ugghh,” rintihnya sedikit batuk, semua langsung terkejut dan menghampirinya, “ayo bantu dia,” ujar Gusti, kami membantu mengangkat tubuhnya ke darat. Saat kami rebahkan tubuhnya di tanah, dia langsung merintih benar-benar sakit. Tak tega kami melihatnya, Gusti dan Ryan segera memanggil bantuan dari pos lima agar segera membawanya ke rumah sakit. Setelah ia dibawa oleh tim SAR yang tadi kami hubungi, kami melanjutkan kegiatan lagi. Seusai dari kegiatan tersebut, kami baru mengunjungi Guntur di rumah sakit. Tak habis pikir, kawan kami mengalami kecelakaan seperti itu. Awalnya hanya ingin membuatnya berani di medan yang sebenarnya, alam yang lebih terasa natural. Tapi nyatanya, dia masih butuh pelatihan yang lebih matang lagi.

“Bagaimana keadaannya?” tanyaku pada Gusti yang sejak tadi menunggu hasil dari dokter.

“Ia takkan bisa ikut dengan kita lagi,” ujarnya merunduk, sepertinya jiwaku sebagai seorang lelaki diuji. Tangisanku tak boleh pecah disini, bagaimanapun dia termasuk orang yang ingin kulindungi. Dia adik kelasku, dia masuk akademi militer dan menjadi teman letting. Dia adik sepupu dari kakak iparku.

“Dia tidak akan ikut latihan lagi? Apa dia…”

“Tidak, dia selamat. Cederanya cukup parah, aku baru menghubungi kedua orangtuanya. Mereka akan segera kesini,” ujar Gusti,

Syukurlah hanya cedera, dan pastinya masih tetap bernapas. Kukira akan mendapat berita duka yang akan mengiris asaku menjadi seorang tentara. Tekadku dan dia sama, kami ingin menjadi barisan kebanggaan bangsa tapi sekarang dia takkan bisa. Tak lama kedua orangtuanya datang, dia masih dalam keadaan koma yang kulihat tadi.

 “Pak, bu,” kucium tangan orangtuanya,

 “Dimana Guntur, nak?” ujar Pak Ridwan, ayahnya Guntur.

 “Masih di ruangan itu, mari saya antar. Hanya boleh masuk dua orang saja,” ujarku pada Pak Ridwan dan Bu Hani. “baiklah, bapak dulu baru ibu,” suara Bu Hani masih terdengar bijak walau terlihat bekas tangisan, air yang mongering di pipinya. Raut wajahnya yang menunjukkan kekhawatiran, ‘tenang, bu. Aku akan membantunya semampuku,’ ujarku dalam hati sambil tersenyum pada ibu dari tiga anak itu. Seusai mengantar ayahnya, kuputuskan untuk keluar dan menjemput ibunya untuk menemui anaknya yang tertidur pulas dengan beberapa kabel menempel dibadannya juga beberapa jarum infus menembus kulit cokelatnya. Kantung darah, infus dan penahan rasa sakit menjadi alat untuknya bertahan disaat seperti ini.
Kutinggali saja mereka didalam, dan terlihat beberapa suster membantu seseorang yang terjatuh. Bu Hani akhirnya ambruk menahan kesedihannya, dan Pak Ridwan hanya bisa menahan tangisannya. Pria memang begitu, menahan kesedihan hanya untuk memperbaiki suasana tanpa memperkeruhnya. Aku semakin tak tega, biar Yanto dan Eryas yang membantu Bu Hani keluar ruang ICU. Gusti memanggilku, ada sesuatu yang akan ia sampaikan, mengenai Guntur sepertinya. Ia sudah berbicara pada Pak Ridwan, keputusan ini sangat berat. Ayahnya akan membawa Guntur ke luar negeri dan menjalani pengobatan disana. Ia juga akan menyudahi pendidikannya sampai tingkat dua.

Jujur saja, hatiku miris mendengarnya. Masih teringat dibenakku bagaimana semangatnya berjuang masuk akademi militer bersamaku. Dan akhirnya, senyuman terakhir yang kulihat saat aku terakhir berbicara padanya soal wanita yang ia sukai. Yang ia kunjungi saat pesiar kemarin, dan aku malah teringat dengan teman wanita itu. Wanita yang memakai dress anggun, senyumannya manis dan lembut. Iya, dia yang kusukai dalam diam. Sesuatu yang spesial tapi terlihat sempurna, terlihat sederhana bukan? Biarkan aku bersama semangatku sebagai seorang tentara remaja.

---

 

Kisah cinta membuat seseorang bisa menggila sesaat dan tampak menyedihkan dalam waktu sekejap. Sebenarnya aku tak begitu menyukai hal cinta atau apapun, hanya saja seorang wanita itu membawaku ke romansa menggelikan hati. Semua berawal dari hari yang sudah ditunggu oleh kami para calon taruna Akademi Militer atau sering disebut akmil. Aku dan Gusti berasal dari Surabaya, dan Guntur asli orang Magelang. Kebetulan perkenalan kami terjalin sangat akrab sejak pertama kali kami berdiri di pendaftaran yang sama.

 

“Angga, lo berangkat kapan? Bareng ya,” ujar Gusti ditelepon,

“Gue berangkat abis sholat dhuha, lo siap-siap aja dulu. Lagian siapa suruh kita di Semarang, udah bener gue ajak turun di Jogja, gak bakal begitu jauh gini, gus.”

“Ya maaf, gue kan sekalian ke rumah bude. Sorry ya, semoga betah lu ya di hotel. Hari ini doang kan?” Gusti tak mengajakku menginap disana karena takut dibandingkan ole budenya. Dulu saja, habis aku dipuji oleh budenya sedangkan dia hanya dibandingkan saja. Balas dendam dia rupanya, lucu sahabatku yang satu ini.

“Ya siap.” dia yang menutup teleponnya, padahal baru akan kumintai lumpia basah buatan budenya yang enak. Dia pernah membawakannya, waktu diperjalanan kembali ke Surabaya setelah seleksi dulu. Aku sudah siap dari semalam, dan sekarang aku bisa bersantai dulu. Menelepon ayah dan ibu sudah, bicara dengan kak Putri sudah, tinggal Giska yang belum kutelepon. Ia akan merindukanku jika tak kukabari, lagipula dia juga belum tau kabarku yang akan masuk akademi yang ia inginkan. Ia ingin aku menjadi seorang perwira seperti kedua kakaknya. Kupikir kalau kuikuti keinginannya takkan rugi untukku. Ceria saja menghadapi pendidikan ini, Angga, tetap santai. Kuhela napas panjang saat detik yang sama ku tekan tombol telepon Giska. Aku masih malu meneleponnya, bukankah ini kejutan untuknya?

Kutunggu beberapa menit, nada telepon sudah berbunyi sampai bosan memberitahuku kalau telepon yang kutuju sedang sibuk atau berada diluar jangkauan. Sesulit inikah menelepon kekasih sendiri? Kejutanku akan gagal kalau aku beritahu lewat kakaknya, atau kutulis lewat message facebook.

“tinggalkan pesan setelah nada berikut,” nuut. Setelah nada itu, kuungkapkan pesan kejutanku untuknya. Aku senyum sendiri setelah menyelesaikan rekaman suara itu, bangga memberitahunya saat ini.

Dari kemarin, tiap kukabari sesuatu ia tak juga meneleponku balik atau sekedar membalas chat yang kukirimkan. Hanya terkirim saja, dan beberapa chat via lain ada yang hanya di baca. Ada apa dengan Giska? Aku merasa bukan prioritasnya? Giska kemana saja kau saat kubutuhkan? Ya aku berusaha tak membawa pikiran apapun sebelum masuk ke kawah Chandradimuka. Aku sedang tak ingin diganggu sampai tingkat dua. Aku akan konsentrasi belajar dulu di akmil, karena kusadari usahaku lolos seleksi itu sulit.

Kenapa kantukku datang disaat seperti ini? Kuputuskan untuk tidur dulu sebelum berkendara nanti, Semarang ke Magelang cukup jauh kan? Ya, setidaknya untuk orang yang sedang mengantuk sepertiku lebih memilih tidur daripada mengemudi. Ditengah tidur, mimpiku mulai tersusun berusaha merayuku untuk tergiur pada harapan semu.

Wanita itu pergi! “Tunggu nona!! Jangan tinggalkan aku disini sendiri, kau yang mengajakku kesini kan?” Wanita itu mengacuhkan rintihanku, kakiku sulit bergerak tak bisa mengejarnya. Kaku, kakiku kaku sekali!

“Nona! Bantu aku, kakiku sepertinya beku. Disini dingin!” Akhirnya wanita itu datang menghampiriku, dan menjulurkan tangannya. Hembusan dari arah timur datang tiba-tiba, tersibaklah wajah manis wanita itu.

“Nona! K-kau siapa?” Aku ketakutan menatapnya, ia terlalu cantik untuk seseorang yang menjebakku dalam ruangan ini.

“Aku pengarah jalanmu, sini kubantu. Maafkan aku yang mengajakmu kesini, aku akan berusaha mencari jalannya. Pasti.” Saat aku benar-benar berdiri dengan genggamannya, tangannya tak terasa lagi dan cahaya itu! Iya! Pecah! Terurai, memancar ke segala arah, pandanganku kabur! Dimana ini! Nona! Jangan pergi, nona!

 

“Nona!” hanya mimpi? Apa kubilang, tidur hanya menawarkanmu pada harapan semu yang tak pernah menjadi nyata. Siapa wanita tadi ya, wajahnya yang kutahu bukan Giska. Dia orang lain, tapi apa ada wanita secantik itu?

Tak lama Gusti meneleponku, dan beberapa pesan dari teman yang kukenali waktu itu menanyakan berangkat pukul berapa.

“Gusti, gue baru bangun. Abis cuci muka terus sholat dhuha dulu. Gak enak kalau gak sempat sholat, pasti gue jemput,”

“Jangan terlalu lama, nanti jalanan macet,”

“Tidak akan, ini kan hari kerja. Bukan hari libur,” kututup teleponnya, dan segera pergi ke kamar mandi. Selesai semua kegiatanku dihotel, check out kamar dan sebagainya, sesegera mungkin tancap gas ke rumah budenya Gusti. Hanya terlambat 10 menit dari perjanjian, wajah Gusti sudah tak enak. Kusenyumi saja wajah umeknya dan menepuk bahunya mengajak ke dalam untuk berpamitan pada bude dan padenya.

“Kalau macet gimana? Jam 11 kita mesti disana."

“Tak akan. Ayo,”

Dan ternyata jalanan benar-benar diluar prediksi, sesampainya di Magelang jalanan sulit dilewati. Entah apa penyebabnya, yang pasti aku baru sadar kalau sekarang ini jam makan siang seluruh kantor. Dan kulihat banyak mobil berplat lain selain AA dan AB. Ini sudah hampir pukul 11 dan harus sampai sana pukul 12 tanpa kompensasi apapun.

“Apa gue bilang Angga, Mertoyudan gabisa diprediksi kan." 

“Ya maaf maaf. Guntur juga belum sampai kok,”

“Guntur sih lompat juga sampai ke akmil,”

“Iya, bawel.” aku terus mengemudi, dan jam menunjukkan pukul 11.20. Jantungku sekarang mengalami getaran, degupannya terdengar olehku. Gusti sudah gatal saja ingin turun, masalahnya kita harus memarkirkan mobil di rumah Guntur. Akhirnya jam 11.45, kami sudah melihat pagar rumah yang dibilang Guntur. Katanya parkir diluar kompleks saja, biar apa aku kurang paham, hanya saja akan terlihat lebih sederhana.

“Cepat parkirkan, itu Guntur sudah ada,”

Setelah itu kami berjalan cepat, tas berat membuat langkah kami melambat sepersekian detik dan sesekali menatap jam ditangan.

Tebakanku tepat! Guntur dan Gusti berlari sambil membawa tas saat aku membenarkan tali sepatu. “wey! Tunggu!” Hanya terlambat 2 menit, tak ada ampun sepertinya. Aku diberhentikan oleh petugas, bersama dengan beberapa calon taruna yang terlambat lainnya.

“Sial,” hatiku geram, kalau kubiarkan tali sepatu terlepas itu akan menjadi bahasan oleh pelatih. Kalau kubenarkan, akan terlambat seperti ini. Wajahku terus diangkat, aku terus merasa malu saat beberapa wanita yang memakai seragam berpangkat sersan lewat di depan barisan. Menunduk bukan gayaku menghadapi masalah.

“Kau tau apa salahmu?”

“Siap! Tau pak,”

“Kau mengerti apa konsekuensinya?”

“Siap! Mengerti, pak”

“Lebih lantang!”

“Siap! Mengerti, pak!”

“Baik, push up 50 kali. Sikap siap, mulai berhitung! Satu! Dua!.....” dia terus menguji mentalku agar tak cengeng. Tanganku keram, harus menopang badan dengan tangan yang beralaskan aspal. Lama tak berhitung, dan kami terus push up sampai petugas bilang berhenti.

“Seratus!” petugas pun menyuruh kami berdiri dan mengambil tas kami yang diletakkan selama push up. Tak kusangka, tadi kami dua kali lipat melakukan push up-nya.

“Kalian ke lapangan sekarang. Lari!”

“Siap!” dia menyuruh kami berlari sambil bergemuruh dengan nyanyian yang sudah diberitahu oleh kakak kelas waktu itu.

“Lantangkan suara kalian!” petugas menuntun kami ke lapangan, sambil menyanyikan hymne taruna, kami tampak gagah berlari. Fokusku teralihkan kepada pemandangan anak-anak tentara yang baru kembali selepas bermain dirumah temannya. Ada juga yang baru pulang dari sekolah, mungkin masih kelas 1 atau TK? Entah kelas berapa mereka yang berlari atau yang sedang menatap kami berlari menyusuri jalan ke lapangan didepan sana, yang pasti aku rindu masa seperti itu, tapi aku harus terus maju dan dewasa. Kelak aku akan menjadi orang tua untuk masa yang kurindukan. Merasakan hal yang sama dirasakan oleh orang tuaku dulu waktuku kecil.

Sampai juga dilapangan, kududuki rumput dekat dengan Gusti dan Guntur. Mereka malu dekat denganku, karena mereka meninggalkanku dan membiarkanku dihukum. Bangun pun, aku dibantu oleh Yanto tanpa uluran tangan kedua sahabatku, kenapa ya mereka? Seusai melakukan kegiatan siang yang terik itu, malamnya kami menempati ruang tidur yang telah ditentukan. Guntur dan Gusti masih malu untuk berbicara padaku selepas latihan. Saat hendak berwudhu untuk sholat tahajud, mereka mengikutiku dari belakang. Mereka ikut wudhu dan mereka masih takut menatapku.

To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar