Selasa, 05 April 2016

Terobsesi

Part (1)
Sebaiknya aku segera pergi, sebelum Raihan melihatku mengendap-endap bersembunyi disini. Aku akan berusaha lari dan menjauh darinya, aku harus menemukan tempat yang sama sekali belum terpikir olehku saat itu. Raihan mendekat, suara langkahnya sangat jelas. Sepertinya posisiku terancam, sebaiknya aku pergi kemana? Langkah ke berapa aku akan berpapasan dengannya? Langkah ke berapa pula aku akan melewati dia tanpa bekas jejak, bahkan napasku yang masih menderu karena ketakutan.

“Sinta? Kamu dimana?” tanya Raihan,

Aku hening, enggan menjawab, dan terus membekap mulutku sendiri karena ketakutan. Kulihat sepatu cats warna biru kesukaannya mendekat ke tempat persembunyianku. Aku membiarkan keringatku menetes terus di pelipis, haruskah aku menyerah padanya lagi?

***

Semilir angin pantai membuatku jatuh cinta dan akan terus memuja keindahannya. Apalagi di dua waktu yang terus menggodaku untuk mengucap rasa syukur, ya benar, waktu matahari terbit dan terbenam. Entah mengapa, cahaya mereka membuatku tertegun lalu beberapa detik memejamkan mata. Agar apa, aku kurang paham, yang pasti itu mengalir saja, cukup natural. Dekapan hangat yang kurasakan kali ini, Adam, dia memelukku dari belakang. Ini hari pertama kami memutuskan untuk berlibur bersama setelah pertunangan kami. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku, kupegang erat tangannya yang memeluk perutku. Aku, Dwina, sudah wisuda sekitar tiga bulan yang lalu, setelah akhirnya memutuskan untuk menambatkan hatiku pada pria yang bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan dan gas. Adam Legine Santoso, pria keturunan Indonesia-Inggris ini sering melafalkan Bahasa Indonesia dengan logat yang kebule-bulean. Sering menjadi candaan teman-temanku saat kuputuskan untuk mengajak Adam saat berkumpul dengan mereka.

“Si Pitung ada dimana?” ujar Udan, temanku di kampus, sesama anak UKM Seni Budaya.

“Ishhh, Udan. Iseng banget,” kulempar dia pakai tisu bekas mengeringkan tangan setelah mencucinya. Aku sedikit membantu Adam menerjemahkan apa yang Udan katakan tadi. Lalu Adam menyusul ketawa dengan menjawab “it’s ok. We’re friend, right?” ujarnya. Adam memang begini, selalu menganggap semuanya teman, tak terkecuali dengan Raihan anak kelasku yang kurang suka dengan keberadaan Adam yang mulai akrab. Sudah kupastikan dia memang tak suka dengan Adam, terlihat saat aku pertama kali mengajaknya dinner bersama. Saat ulang tahun pacarnya Udan, Gina, yang diadakan disebuah cafe yang cukup elite dibanding warkop dekat kampus. Yang harum kopinya tak pernah membuatku absen untuk meminumnya. Ya, aku maniak kopi meski sudah diperingatkan oleh Adam untuk tidak meminum kopi terus. Kafein-nya membuat keadaan tubuhku yang notabene adalah seorang wanita menjadi kurang baik, khususnya jantung. Dia selalu bilang, “kalau kamu ga bisa jaga jantung kamu sendiri. How can you gimmi your love? Carrying your heart for me, please."

Adam selalu bisa mencuri hatiku setiap kali kami berkencan. Maklum, kami hanya bertemu 7 hari dan menjauh kembali selama 3 – 6 bulan. Itu karena tugasnya yang selalu berada di tengah laut. Anak minyak, ini panggilanku pertama kali padanya saat datang ke undangan anak teman ayahku. Ya, dia adik dari sang mempelai pria pada acara megah ini.

“Are you kidding? Apa kamu sedang mencoba mempermainkanku?” ujar Adam sambil memegang gelas yang berisi wine yang harganya cukup mahal. Maklum, wine ini hasil fermentasi sejak tahun 1985. Ini memang pesta malam yang megah, tidakkah kau merasakannya juga? Terbayang pula bukan legitnya anggur merah itu, yang kuminum bersama anak bungsu dari pasangan aunty Clara dan om Heru Santoso. Untuk yang belum pernah mencoba minuman ini, maka jauhi sebelum kau mulai mual dan muntah karena tak terbiasa. Dari malam itu, cukup mampu ditebak bagaimana caranya mengejarku? Sampai akhirnya aku tertunduk pada cintanya, tapi dia tetap menghargaiku sebagai wanita yang dicintainya.
Kami sudah belajar untuk tidak melakukan hal berlebihan walau sudah bertunangan. Tapi seperti hal pelukan dan cium pipinya saat kami berpisah, sudah sering kami lakukan. Setidaknya, kami berdua tahu batasan itu dan menghargai satu sama lain. Sore ini, kuputuskan untuk pergi nonton film, mini bioskop. Hanya untuk 25 orang saja, film yang diputar ya film yang rilis hanya di bioskop luar negeri. Untuk dalam negeri, sepertinya jangan. Khawatir tak bisa terkontrol masa mudanya, terlalu liar soal cinta. Banyak adegan yang menurutku hanya untuk 18 tahun ke atas, tapi bukan beradegan syur. Hanya saja, kissing scene itu terlalu "panas" untuk remaja. Sepanjang film, aku sesekali menatap ke arah kekasihku dan bertanya, "apa kau begitu di UK?" disusul dengan senyumku yang menggodanya. Adam terlalu serius, dan terus membisikiku untuk tidak berpikir macam-macam tentangnya saat menonton. Ia khawatir aku terbawa perasaan dan malah cemburu.
"Aku bercanda, mas Adam Legine. Lanjutkan nontonnya," ujarku tertawa sedikit.
Adam sudah menjelaskan semuanya, ya seluruhnya. Tentang pekerjaannya, tentang kebiasaannya yang cuek, dan tentang mantannya selama berada di UK. Dan dia sangat khawatir aku berpikiran sesuatu, ia segera memastikanku tentang satu hal, bahwa dia lelaki yang beda dari pria bule yang sering kutonton di film. Yang sudah biasa dengan seks bebas, tak aneh dengan hal seperti ciuman dan sebagainya didepan umum.
"Trust me? Ayolah, Dwina, aku gak pernah sama sekali melakukan hal seperti yang di film tadi."
"Are you sure? Gadis UK lebih menarik bukan daripada aku?"
"Entah kenapa, hanya kau yang membuatku buta. Ingin kubuktikan?" ujarnya sambil mengarahkan garpu ke depan matanya. Tapi ini bercanda, jelas aku tahu itu.
"Jangan! Aku enggan melihatmu terluka, apalagi buta. Tidak." jawabku. Ia pun tertawa bangga dan kembali melanjutkan mengunyah steak yang daritadi menguping percakapan kami. Aku senang melihatnya yang berjalan meninggalkan table dinner kami. Dia hanya ingin ke kamar kecil, bukan untuk pergi ke UK lagi. Kulihat seseorang mengendap-endap di meja sana, kupanggil pelayan yang sejak tadi berdiri menunggu pelayanannya dibutuhkan.
"Meja itu reservasi atas nama siapa?" tanyaku. Dia pun segera kembali ke meja resepsionis dan membawakanku informasi yang kubutuhkan.
"Atas nama Raihan. Raihan Prayoga,"
"Oh terima kasih."
"Sama-sama," pelayan itupun kembali ke tempatnya berdiri tadi. Raihan? Sedang apa dia disini? Apa hanya kebetulan kami berada di restoran yang sama?
.
.
.
bersambung~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar