Senin, 11 Agustus 2014

Takkan Terlupakan



“Hujan membuat suasana hati semakin menjadi – jadi. Semakin terasa dinginnya. Dingin akan jarak yang membentang antara kami. Sebenarnya ada rasa yang terasa selain dingin. Ya benar, aku merasa panas kala itu karena sebuah perasaan. Khawatir tentang setianya, aku sangat tak mengetahui jelas. Untuk mencari tahu itu, tanyakan pada seseorang yang membuat hatiku terus berharap. Sampai saat ini,
Namaku Hesta Yuliana, entah apa arti dari kata Hesta tapi yang jelas aku tahu arti kata Yuliana. Ulang tahun pernikahan ibu dan ayahku adalah bulan Juli. Sedangkan pada kenyataannya, aku lahir di bulan Maret. Kelahiran kota Yogyakarta, 16 Maret tepat 22 tahun yang lalu. Sudah cukup umur untuk mencari seseorang dan tidak menyendiri. Tapi memang aku punya sebuah alasan, itu karena kekasihku masih belajar juga. Aku juga masih menitih karirku sebagai mahasiswi tingkat akhir dan sibuk dengan skripsi dan seminar. Juga menjalankan hobiku menulis beberapa karangan dalam bentuk puisi, cerpen dan novel. Untuk masa depan kami berdua juga.
Dengan dua lelaki yang mengiringi jalanku, sampai sekarang aku masih bisa berdiri menjalani kehidupan ini. Mereka bukan kekasihku, tapi mereka kakakku yang sekarang menjadi idola para wanita diluar sana. Jelas, kedua kakakku sudah berhasil dengan karir cita – cita mereka. Kakak pertamaku, dia Angga Heryanto Saputra kelahiran 1988 berarti sudah kurang lebih 26 tahun dia menghuni dunia ini. Dia bekerja di salah satu instansi negara. Tentara Nasional Indonesia, itulah instansinya. Melihat dia sering diganggu beberapa wanita yang menginginkannya, aku sering menyuruhnya untuk tidak terlalu memberi harapan pada mereka semua. Lagipula, dihatinya sudah ada yang menghuni saat ini. Wanita itu namanya Dewi Wahyuningsih, mahasiswi lulusan Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi di universitas terkemuka di Yogyakarta. Bisa dibayangkan bagaimana kepribadiannya dari namanya? Ayu, cantik dan anggun, memang cocok dengan abang yang seorang tentara. Abang belum mau menikah sebelum umur 29, entah apa alasannya tetapi itu sudah jadi keputusannya. Bukan urusanku.
Untuk kakakku yang satu ini, namanya Adhitia Dwi Saputra. Dia lahir di Medan, 30 November 1990. Hanya dia yang tak lahir di Yogyakarta karena kebetulan ibuku melahirkannya saat ayah bertugas disana, katanya. Kali ini dia bukan seorang tentara, dia sudah memilih jalannya sendiri. Memilih masuk ke Akademi Kepolisian (Akpol), agar tak dibandingkan dengan Kak Angga. Memang terlihat tak mau dibandingkan.
Dia sama dengan kak Angga, dia sudah memiliki wanita pendamping. Wanita yang kuat menemani dan menyemangatinya selama pendidikan. Kebetulan kakakku yang satu ini baru lulus pendidikannya. Sekarang dia sudah menjadi bagian dari cita – citanya, dan tinggal aku yang masih kuliah tingkat akhir. Juga tentunya lelaki pujaanku itu.
Adi Chandra Wijaya, nama ini dimiliki oleh seorang taruna didikan alam Indonesia. Akademi Militer, pilihannya yang saat ini menjadi prioritas utama. Taruna tingkat IV yang satu ini adalah seorang pria yang dingin dengan usaha romantis yang cukup membuat aku jatuh pada cintanya. Aku mengenalinya saat menemani Kak Angga pelantikan Prasetya Perwira (Praspa) di Lembah Tidar, Koella. Pada saat itu dia masih menjadi seorang taruna tingkat dua. Saat itu memang dia tampil dalam barisan GSCL (Genderang Suling Canka Lokananta : Drumband Akademi Militer), barisan para lelaki pilihan bumi pertiwi. Pria tangguh pilihanku itu memegang posisi bass drum dengan pakaian loreng dan bertopeng macan. Kebanggaan tersendiri saat memakai itu, katanya.
“Permisi,” sapanya,
“Ya?” sapaku menoleh pada sumber suara tadi,
Seorang pria dengan pakaian loreng dan memeluk topeng macannya disisi kanannya, berdiri menyapaku yang sedang duduk mengipas diri berteduh dari panas yang cukup menyengat tadi. Sekarang sudah sore saja, tak terasa. Dan beristirahat sejenak setelah berdiri cukup lama tadi adalah pilihan tepat. Kulitnya hitam, tinggi ideal, pinggang yang indah, sorot matanya yang tajam membuatku sedikit tertegun pada tatapannya beberapa saat.
“Boleh ikut duduk disini?” tanyanya,
“Boleh, silakan.”
Kali ini memang aku bingung harus berkata apa, jadi kuputuskan tak akan ada pembicaraan berarti diantara kami. Awalnya. Wajahnya memerah, dahinya mengerut, dia sedang kepanasan juga, sama denganku. Aku membagi angin padanya, lewat kepakan kipas yang kupegang.
            “Terima kasih,” ujarnya, jelas aku terkejut.
            “Iya, sama – sama.”
            “Kau sendiri disini? Menunggu siapa?” tanyanya,
            “Aku menunggu abangku,” jawabku,
            “Abang?” tanyanya heran,
            “Iya, kakakku pelantikan. Dia sedang ke toilet sekarang,”
            “Oh, ya. Memang siapa nama abangmu kalau boleh tahu?”
            “Angga Heryanto Saputra,”
            “Oo, aku kenal. Dia kakak tingkatku,” ujarnya tersenyum. Aku mulai terpana pada senyumnya yang manis. Menangkap senyuman itu dalam ketidaktahuannya.
            “Ooh iya, mas.” jawabku. Aku berusaha memberikan senyumanku untuknya. Orang yang baru kutemui tadi, sejam yang lalu. Aku dijemput abang tepat dibawah pohon yang ku tempati daritadi, bersamanya. Disana memang ada tembok setinggi kurang lebih 50 cm yang masih bisa kujadikan tempat duduk. Abang memberikan salam pada adik tingkatnya yang duduk disebelahku tadi. Merasa tak dianggap, aku bangun dari duduk dan memberikan tanda kalau aku tak mau seperti ini, diacuhkan dengan keadaan. Tak ada peran sama sekali.
            “Sebentar ya,” jawab abang dan kembali berbicara pada seorang taruna itu. Pemegang bass drum itu membuatku terpukau pada cara bicaranya, setiap tawa kecilnya juga tentu sorot matanya. Lambat laun aku ingin mengenalnya tapi sepertinya dia sudah memiliki seseorang. Aku takut mengetahuinya, karena aku sedang malas untuk tersakiti kali ini.
            “O iya, kenalkan dek. Dia Adi Chandra, dia adik tingkatku disini. Dia tingkat II dek,”
            “Ini Hesta, adikku.” Abang mengenaliku padanya. Dia menjulurkan tangannya, menyapa tanganku. Indah terasa, tapi tak boleh terlalu dalam. Akan sakit sekali untuk melepas senyumnya jika ku menyukainya terlalu dalam. Kuakui, memang banyak disini pria tampan berpakaian seragam sepertinya. Apalagi mereka semua tampil dengan kewibawaannya. Tapi hanya satu yang mengena, dia adalah Adi.
            Kak Angga mengajakku pulang, setelah aku nyaman menatap wajahnya dalam diam. Lalu dia menjabat tanganku lagi sebagai tanda perpisahan, semakin erat semakin hangat, apa artinya itu dia menyambutku? Entahlah, biarkan itu terjadi seperti biasa. Biar hanya aku saja yang memiliki perasaan ini, jangan ada yang lain. Beberapa langkah telah kulampaui dari tempatku menatapnya tadi.
            “Kau menyukai Adi ya, dek?” godanya, sambil menyenggol tanganku.
            “Apa? Tidak. Biasa saja,” jawabku menutupi semuanya.
            “Cerita saja. Nanti kalau abang sudah pindah dari sini, kamu akan menyesal.”
“Menyesal kenapa?” tanyaku,
“Tidak bisa berkomunikasi dengan Adi lagi, iya kan?” terkanya. Biarkan, acuhkanlah, karena ini soal perasaanku.
            “Bukan tak mau cerita, tapi apa yang harus aku ceritakan? Tak ada,” ujarku, membuatnya yakin.
            “Ayolah, dek. Cerita saja. Nanti kalau aku sudah penempatan yang semakin jauh darimu, kamu akan merindukan teman cerita seperti abang. Mas Adit tak akan mengajak bercerita seperti aku, ya seperti ini. Aku mengajakmu bercerita.” jelasnya, sudah pasti aku luluh pada pernyataannya itu. Akhirnya kuceritakan apa yang kurasakan saat bertemu adik tingkatnya itu.
Abang mulai menceritakan tentangnya, seluruhnya. Mereka memang dekat, sering bercerita saat ada kesempatan bersama pada setiap pesiar. Dari sekian paragraf yang ia ceritakan tentang Adi, hanya satu yang kuperhatikan. Dengan seksama, tak bergeming. Tentang masalah percintaan Adi, pada nyatanya dia masih sendiri hingga saat ini. Aku sih senang mendengar itu bagai “Canka LokanantaSuara Merdu dari Surga –“ setiap alunan terasa indah, tak ada kesalahan yang berarti pada setiap tabuhannya. Memang aku mulai menyukainya, tapi apa mungkin dia memang juga menyukaiku? Sesungguhnya memang ada lelaki yang manis pada setiap orang, hangat pada setiap orang. Apa mungkin dia juga menyambutku dengan hangat, tetapi hanya sebagai orang biasa? Mungkin begitu.
            Baru sadar ternyata jarak dari Yogyakarta ke Bandung memang jauh, sama jauhnya dengan aku dan Kak Angga. Kakak sekaligus sahabat curhatku tak disini lagi saat ku butuh. Biarkanlah dia sekarang menjalani cita – cita luhurnya itu. Sama seperti biasanya, Ka Adit dekat tapi memang jarang bicara padaku. Dia tertutup, kecuali pada kekasihnya, Ka Desti. Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi yang sedang co-Ast itu, beruntung dapat kakakku yang satu ini. Biarlah mereka dengan ceritanya sendiri, biar aku dengan cerita cinta baruku.
            Aku semakin mengenali Adi, itu karena dia yang semakin sering main ke rumah. Aku tak bisa bercerita pada Kak Angga kali ini, tapi aku yakin dia pasti tahu disana. Adi, begitu kusapa dia yang berdiri didepan pintu, diatas lantai teras rumahku. Sore itu.
            “Kau memang boleh keluar?” tanyaku,
            “Ya, ini kan jadwalku pesiar,” jelasnya.
            “Oh begitu ya? Oh iya, silakan masuk.”
“Oh iya.” Dia duduk dikursi sederhana yang masih terasa nilai artistik budaya Jawa. Maklum saja, ini masih di Yogyakarta. Dia membawakanku sebungkus martabak manis kesukaanku, dia memang tahu apa yang kumau daritadi siang.
“Aku ke dapur dulu, ya.”
“Oh iya,” ujarnya,
“Mau minum apa?” tanyaku.
“Air teh saja,” jawabnya,
“Manis?”
“Terserah kamu.”
Senyumannya memang mengalihkan semuanya, dan dia memberikan itu padaku. Dia memang suka teh sepertinya, itu sama sepertiku. Lalu didapur kupindahkan martabak yang ia bawa tadi. Disana ada ibu yang sedang masak, dia langsung menanyakan apa yang kubawa dari dalam. Kujawab saja kalau Adi datang kesini, langsung ia rampungkan masakannya dan pergi ke dalam menemui Adi. Tentu dengan niat mewawancarai secara detail tentang sesuatu. Setiap kenalan yang pernah datang ke rumah pasti akan ada proses scanning dari ibu ataupun ayah. Kebetulan ayah sedang keluar sebentar jadi belum ikut ibu duduk disana. Dikursi, bersama.
            “Oh, kamu adik kelasnya mas Angga, nak?” tanya ibu,
            “Iya, bu.” jawabnya.
Lalu aku masuk dengan membawa sebuah nampan yang diatasnya ada sebuah piring kecil dengan tiga gelas berisi teh hangat yang siap kusajikan diatas meja ruang tamu. Kuletakkan satu per satu gelas juga piring tadi, dan aku ikut duduk bersama mereka di ruang tamu. Suara motor, itu tandanya ayah sudah pulang. Ku pastikan beliau akan duduk disini bersama menggantikan posisi ibu karena ibu akan ke dapur lagi. Sepertinya kalau sudah ayah yang mengajak berbicara, rasanya aku hanya akan bersenyum ria ditengah obrolan. Itu karena aku tak akan mengerti sedikitpun. Mereka asyik dengan pembicaraan tugas, sedangkan aku sesekali menawarkan, “Diminum tehnya,” itu yang kuucapkan.
Setelah sekian lama aku hanya diam sesekali menengok ke bawah, akhirnya mereka menyudahi obrolan mereka. Ayah akhirnya beranjak dari tempat duduk, itu artinya ayah membolehkanku berdua. Aku memanfaatkan ini sebagai caraku melakukan pendekatan dengannya. Sama dengan usahanya yang masih mau datang ke rumahku, rumah orang yang baru ia kenal. Kupersilakan lagi untuk dia meminum teh yang kusajikan tadi.
            “Pas,” katanya,
            “Apa?”
            “Tehnya, hangat dan manis. Sama seperti sambutanmu,”
            “Terima kasih,”
            “Sama – sama,”
Kenapa dia mesti menjawab terima kasihku? Aku kan hanya ingin berterima kasih atas pujiannya. Aku ingin senyumannya saja, tapi tak apalah. Mungkin itu kebiasaannya, sangat terlihat beradab. Tapi aku belum mengenalnya lebih dekat. Yang kutahu tak lebih dari, dia seorang taruna akademi militer dan adik tingkat kakakku. Dia menceritakan banyak hal padaku, tentang perjuangannya mendapatkan seragam itu. Yang ia kenakan, saat ini saat tubuhnya bertatapan denganku. Jatuh bangun usahanya meraih seragam sebagai calon prajurit taruna. Butuh mental lebih untuk menaklukkan kehidupan militer, katanya. Dia juga bercerita kalau dia ingin membahagiakan ibunya, setelah kepergian ayahnya. Aku salut mendengar cita – citanya, kebahagiaan ibu. Kelihatannya kau sayang sekali dengan ibumu, pikirku.
            “Lalu ibumu sekarang dengan siapa?”
            “Kedua adik perempuanku,”
            “Kau anak pertama?”
            “Iya, benar. Aku ingin menjadi tulang punggung keluarga yang baik dan amanah,”
            “Oh begitu. Bagus tujuanmu,” ujarku.
            “Oh ya.” jawabnya. Aku beranjak dari tidurku dalam hangat pembicaraannya. Aku memang ingin ke kamar mengambil sesuatu.
            “Hesta, mau kemana?” tanyanya dengan wajah gelisah, seakan tak setuju aku pergi.
            “Aku mau ke kamar. Aku mau solat,”
“Aku juga,” jawabnya.
“Ya sudah, solatnya setelah aku saja ya, dikamarku. Wudhunya ditoilet belakang,” jelasku. Senyumannya kenapa begitu? Tampak berbeda, senyuman itu semakin hangat. Bahkan darahku memang menjadi hangat dan mengalir dengan cepat. Saat menatapnya membuatku berkeringat ditempat. Setelah solat, aku akan mengajaknya mencari sesuatu untuk kujadikan hadiah yang akan diberikan pada ibunya. Yang kuberikan langsung saat aku bermain ke rumahnya atau kutitipkan padanya saat dia pulang ke rumah, nanti. Dia bilang setelah ini dia juga ingin mengajakku main, kebetulan tepat pada keadaan yang kuinginkan.
            “Ayo,” ajakku. Tujuan selanjutnya adalah ke dapur untuk ijin kepada ibu untuk pergi sebentar. Ayah menghalangi kami pergi sebelum kami makan malam bersama. Kulihat juga sepertinya dia belum makan dari tadi sore. Memang masakan ibu tak akan ada yang bisa menandingi, sekalipun itu dari chef terkenal. Ia membisikkanku sesuatu yang menjadi satu semangat untukku.
            ‘Ini makanan kesukaanku,’ bisiknya.
Ini artinya aku harus bisa memasak makanan ini. Dia kan menyukainya, siapa tahu saat aku bersamanya aku bisa memuaskannya dengan masakan kesukaannya. Berkhayal tinggi, tak apa kan?
Ditengah perjalanan, aku mengajaknya membeli sebuah kerudung yang memang aku tunjuk sebagai kerudung yang aku suka. Ini akan kubelikan untuk ibu yang melahirkanku dan seorang lagi untuk ibu yang akan menjadi mertuaku, nanti. Dan sekarang aku belikan dan kuberikan untuk ibunda Adi. Sebagai ucapan terima kasih telah melahirkan lelaki tangguh yang kucintai saat ini.
            “Sudah?” tanyanya, sesekali menatap jam ditangan kirinya.
            “Sebentar lagi, tinggal bayar.”
Setelah dia menemaniku membelikan hadiah untuk ibunya. Dia segera mengajakku. Dan sekarang dia tak kalah membuatku penasaran. Diseperempat perjalanan, aku memang sempat tahu ini bukan taman rekreasi atau tempat hiburan. Tak ada hadiah spesial untukku agar lebih berkesan padanya. Aku diajak ke sebuah rumah sederhana namun terlihat indah, aku menginjakkan kakiku pada lantainya. Dingin, nyaman. Ada yang tak kalah nyaman dari lantai yang kupijakkan, sapaan manis dari dua wanita manis yang berlari ke arahku. Senyumku merekah kala dua wanita manis itu mencium tanganku dan tangan Adi. Kemudian memeluk Adi sangat erat, manis sekali suasananya. Siapa mereka?, pikirku.
Tak banyak ku bicara dan bertanya, nyatanya tanyaku terjawab dengan sambutan hangat oleh seorang wanita  dengan penampilan keibuan.
            “Ibu...” panggil Adi. Ia menghampiri wanita itu dan mencium punggung tangannya. Memeluknya, seperti yang ia lakukan kepada dua wanita manis yang sudah lebih dulu ia peluk. Aku juga menghampiri beliau untuk mencium punggung tangannya juga. Sejak saat itu, aku mengetahui kalau rumah indah ini, lantai yang nyaman ini, dua wanita manis yang berlari tadi dan seorang ibu itu adalah temannya saat ia sangat membutuhkan semangat.
            “Ini rumahku,” ujarnya. Aku senyum didekatnya, berusaha sangat ramah. Sekalian aku melatih senyumku saat berbicara pada ibunya. Mataku mencari keindahan yang sampai saat ini belum tertangkap itu. Senyuman sang bunda, itulah keindahan yang melengkapi segelintir poin yang kutangkap daritadi.
            “Ini siapa nak?” tanya beliau,
            “Dia Hesta, Hesta Yuliana. Temanku,” jawabnya,
            “Hesta, ini ibuku.” Aku menyunggingkan senyumanku pada beliau, orang yang ia sayangi dan yang nanti aku cintai juga sebagai ibu mertua.
Ibunda Adi mulai mengajakku berbicara panjang, dimulai dari pembahasan yang kupanggil dengan basa – basi. Adi menatapku sesekali seraya tersenyum. Begitu seterusnya, sesekali aku pun membalas senyumannnya. Beberapa pertanyaan ibunya, dia membantuku menjawabnya. Karena memang itu bukan hakku untuk menjawab. Lalu kedua adiknya menghampiri kami dan duduk didekat Adi. Sepertinya mereka berdua masih duduk disekolah dasar terlihat dari tingkah laku mereka. Aku bermain dengan mereka selepas berbicara baik dengan ibunya. Tatapan ibunya tadi, nyaman. Aku mungkin saja disukai olehnya sebagai menantu. Terlalu banyak berharap, tak boleh begitu seharusnya.
            “Mbak, namaku Rina.” Salah satu dari mereka yang tak bicara selain tertawa tadi mendekatiku dan memperkenalkan diri.
            “Namaku Hesta,” jawabku tersenyum padanya. Dan yang satu lagi mendekatiku dan memperkenalkan diri juga. Yang satu lagi namanya Rani. Akhirnya mereka berdua mampu akrab denganku, layaknya gayung bersambut.
***
            Sudah satu tahun aku berteman baik dengannya, kukira akan ada peristiwa romantis yang menghampiriku. Nyatanya tidak ada, mungkin sebenarnya hati itu sudah berpihak pada yang lain. Hanya aku lagi yang diam, bukan siapa – siapa. Tak ada yang lain. Sebaiknya memang aku konsen pada kuliahku, setelah selesai baru aku lanjutkan petualangan cinta itu. Dengan membuka hati sedikit demi sedikit. Mencintai dalam sunyi, itu tak akan menyakitkan namun memang sedikit tergores, tak apa kan? Itu untuk mengantisipasi luka yang lebih dalam lagi.
            Siang itu memang terik, tumben cuacanya panas begini. Biasanya jam tiga sore begini, matahari sudah ingin beristirahat untuk keesokan harinya. Angkutan umum memang sedang sulit – sulitnya. Kenapa dengan hari ini? Lelah dengan hari ini, segera berganti, kumohon.
            “Halo, ibu.”
            “Hesta, kamu dimana?” tanya ibu. Ibu meneleponku, ini juga kebetulan jam segini beliau meneleponku dengan intonasi tergesa – gesa.
            “Di depan kampus bu. Gak ada angkot,” jawabku sambil mengerutkan dahi karena teriknya mulai menyorotiku.
            “Ya sudah tunggu disitu. Nanti kamu dijemput,” ibu segera menutup panggilannya. Aku belum sempat jawab bu, pikirku sambil menatap layar handphoneku. Kutunggu, tapi tak ada yang datang. Aku mencari tempat duduk yang nyaman untuk meluruskan kakiku yang mulai pegal berdiri. Tak lama ada motor berhenti tepat didepanku, itu ayah. Tapi sepertinya berbeda dengan beliau, aku tahu siapa itu.
            “Selamat siang, nona.”
            “Si...” dia membuka helmnya. “..ang.” Aku mengenalinya, dia Adi. kenapa dia muncul dengan motor ayahku.
            “Kenapa kau yang jemput?”
            “Karena kebetulan aku main ke rumahmu, Hesta.”
Dia main ke rumahku lagi, aku senang sekali mendengar itu. Sepertinya rumahku akan menjadi tujuannya setiap kali pesiar. Aku langsung naik dibelakangnya, ini kursi VVIP yang pernah kududuki. Sesampainya dirumah, ibu dan ayah sudah duduk diruang keluarga. Aku masuk dengan menenteng helm yang tadi kupakai dan ia mengikuti dibelakangku.
Dia membicarakan kalau dia ingin mengajakku ke hubungan yang lebih serius. Selama pendidikan, akan semakin sulit bertemu apalagi mendekati tingkat akhir. Jadi, mau tak mau ikatan itu harus dibuat untuk mengikat keduanya. Aku menyetujuinya, dan mulai saat ini aku dalam ikatannya begitu pula dia dalam ikatanku. Memang suasana ini yang selama ini kucari. Dia memang tak menunjukku sebagai pacarnya, tetapi dia menunjukku untuk menjadi calon pendampingnya. Begitulah hubunganku dengannya, berjalan sampai saat ini. Aku sudah tingkat akhir, dan dia pun begitu. Seperti biasa, hanya ada rindu diantara kami tak ada yang lain. Ada kabar yang lebih mengejutkan, kakakku Angga, dia memutuskan untuk menikah sekarang. Aku senang mendengarnya, begitu pula Kak Adit yang ingin menyusul Kak Angga. Bagus! Ini tak akan menjadi penghalang untukku menikah dengannya nanti.
            Setahun kemudian, aku dan dia memang sama – sama wisuda. Dia lebih cepat wisudanya dibanding aku. Aku wisuda bulan september, dan dia bulan Juli ini. Aku ditunjuk olehnya sebagai orang yang hadir dan duduk dikursi itu menemani ibunya. Aku senang melihatnya, akhirnya perjuangannya selama pendidikan terjawab sudah. Kulihat ibunya menangis saat melihat itu, lalu kami ke tengah lapangan menghampiri Adi. Memeluk ibunya dengan erat, raut wajah ibunya penuh kebanggaan. Adi menatapku, tapi ku biarkan dia bersama ibunya. Waktuku bersamamu akan lebih panjang, pikirku.
            Setelah waktu siangnya dihabiskan bersama ibunda dan kedua adiknya, dia meluangkan seluruhnya untukku. Malam itu malam terindah yang pernah kuketahui dan kualami. Kami pun bercanda tentang perandaian pernikahan kalau kita benar – benar bersama. Bersenandung lagu favorit kita berdua dan menghabiskan malam ini berdua. Bersama hembusan angin yang tersisa, menyibak nuansa malam ini yang indah. 


Salam,
Toushiro Yagami
(selaku tim ekspedisi dua dunia >>dunia sadar dan tidak sadar<<)

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar