“Hujan membuat
suasana hati semakin menjadi – jadi. Semakin terasa dinginnya. Dingin akan
jarak yang membentang antara kami. Sebenarnya ada rasa yang terasa selain
dingin. Ya benar, aku merasa panas kala itu karena sebuah perasaan. Khawatir
tentang setianya, aku sangat tak mengetahui jelas. Untuk mencari tahu itu,
tanyakan pada seseorang yang membuat hatiku terus berharap. Sampai saat ini,”
Namaku Hesta Yuliana, entah apa arti dari kata Hesta tapi yang
jelas aku tahu arti kata Yuliana. Ulang tahun pernikahan ibu dan ayahku adalah
bulan Juli. Sedangkan pada kenyataannya, aku lahir di bulan Maret. Kelahiran
kota Yogyakarta, 16 Maret tepat 22 tahun yang lalu. Sudah cukup umur untuk mencari
seseorang dan tidak menyendiri. Tapi memang aku punya sebuah alasan, itu karena
kekasihku masih belajar juga. Aku juga masih menitih karirku sebagai mahasiswi
tingkat akhir dan sibuk dengan skripsi dan seminar. Juga menjalankan hobiku
menulis beberapa karangan dalam bentuk puisi, cerpen dan novel. Untuk masa
depan kami berdua juga. 
Dengan dua lelaki yang mengiringi jalanku, sampai sekarang aku
masih bisa berdiri menjalani kehidupan ini. Mereka bukan kekasihku, tapi mereka
kakakku yang sekarang menjadi idola para wanita diluar sana. Jelas, kedua
kakakku sudah berhasil dengan karir cita – cita mereka. Kakak pertamaku, dia Angga
Heryanto Saputra kelahiran 1988 berarti sudah kurang lebih 26 tahun dia
menghuni dunia ini. Dia bekerja di salah satu instansi negara. Tentara Nasional
Indonesia, itulah instansinya. Melihat dia sering diganggu beberapa wanita yang
menginginkannya, aku sering menyuruhnya untuk tidak terlalu memberi harapan
pada mereka semua. Lagipula, dihatinya sudah ada yang menghuni saat ini. Wanita
itu namanya Dewi Wahyuningsih, mahasiswi lulusan Fakultas Ekonomi jurusan
Akuntansi di universitas terkemuka di Yogyakarta. Bisa dibayangkan bagaimana
kepribadiannya dari namanya? Ayu, cantik dan anggun, memang cocok dengan abang
yang seorang tentara. Abang belum mau menikah sebelum umur 29, entah apa
alasannya tetapi itu sudah jadi keputusannya. Bukan urusanku.
Untuk kakakku yang satu ini, namanya Adhitia Dwi Saputra. Dia lahir
di Medan, 30 November 1990. Hanya dia yang tak lahir di Yogyakarta karena kebetulan
ibuku melahirkannya saat ayah bertugas disana, katanya. Kali ini dia bukan
seorang tentara, dia sudah memilih jalannya sendiri. Memilih masuk ke Akademi Kepolisian
(Akpol), agar tak dibandingkan dengan Kak Angga. Memang terlihat tak mau
dibandingkan.
Dia sama dengan kak Angga, dia sudah memiliki wanita pendamping.
Wanita yang kuat menemani dan menyemangatinya selama pendidikan. Kebetulan kakakku
yang satu ini baru lulus pendidikannya. Sekarang dia sudah menjadi bagian dari
cita – citanya, dan tinggal aku yang masih kuliah tingkat akhir. Juga tentunya
lelaki pujaanku itu.
Adi Chandra Wijaya, nama
ini dimiliki oleh seorang taruna didikan alam Indonesia. Akademi Militer,
pilihannya yang saat ini menjadi prioritas utama. Taruna tingkat IV yang satu ini
adalah seorang pria yang dingin dengan usaha romantis yang cukup membuat aku
jatuh pada cintanya. Aku mengenalinya saat menemani Kak Angga pelantikan
Prasetya Perwira (Praspa) di Lembah Tidar, Koella. Pada saat itu dia masih
menjadi seorang taruna tingkat dua. Saat itu memang dia tampil dalam barisan
GSCL (Genderang Suling Canka Lokananta : Drumband Akademi Militer), barisan
para lelaki pilihan bumi pertiwi. Pria tangguh pilihanku itu memegang posisi bass
drum dengan pakaian loreng dan bertopeng macan. Kebanggaan tersendiri saat
memakai itu, katanya. 
“Permisi,” sapanya,
“Ya?” sapaku menoleh pada sumber suara tadi,
Seorang pria dengan pakaian loreng dan memeluk topeng macannya
disisi kanannya, berdiri menyapaku yang sedang duduk mengipas diri berteduh
dari panas yang cukup menyengat tadi. Sekarang sudah sore saja, tak terasa. Dan
beristirahat sejenak setelah berdiri cukup lama tadi adalah pilihan tepat.
Kulitnya hitam, tinggi ideal, pinggang yang indah, sorot matanya yang tajam
membuatku sedikit tertegun pada tatapannya beberapa saat. 
“Boleh ikut duduk disini?” tanyanya,
“Boleh, silakan.”
Kali ini memang aku bingung harus berkata apa, jadi kuputuskan tak
akan ada pembicaraan berarti diantara kami. Awalnya. Wajahnya memerah,
dahinya mengerut, dia sedang kepanasan juga, sama denganku. Aku membagi angin
padanya, lewat kepakan kipas yang kupegang. 
            “Terima kasih,”
ujarnya, jelas aku terkejut.
            “Iya, sama –
sama.”
            “Kau sendiri
disini? Menunggu siapa?” tanyanya,
            “Aku menunggu
abangku,” jawabku,
            “Abang?” tanyanya
heran,
            “Iya, kakakku
pelantikan. Dia sedang ke toilet sekarang,”
            “Oh, ya. Memang
siapa nama abangmu kalau boleh tahu?”
            “Angga Heryanto
Saputra,”
            “Oo, aku kenal.
Dia kakak tingkatku,” ujarnya tersenyum. Aku mulai terpana pada senyumnya yang
manis. Menangkap senyuman itu dalam ketidaktahuannya. 
            “Ooh iya, mas.”
jawabku. Aku berusaha memberikan senyumanku untuknya. Orang yang baru kutemui
tadi, sejam yang lalu. Aku dijemput abang tepat dibawah pohon yang ku tempati daritadi,
bersamanya. Disana memang ada tembok setinggi kurang lebih 50 cm yang masih
bisa kujadikan tempat duduk. Abang memberikan salam pada adik tingkatnya yang
duduk disebelahku tadi. Merasa tak dianggap, aku bangun dari duduk dan memberikan
tanda kalau aku tak mau seperti ini, diacuhkan dengan keadaan. Tak ada peran
sama sekali.
            “Sebentar ya,” jawab
abang dan kembali berbicara pada seorang taruna itu. Pemegang bass drum itu
membuatku terpukau pada cara bicaranya, setiap tawa kecilnya juga tentu sorot
matanya. Lambat laun aku ingin mengenalnya tapi sepertinya dia sudah memiliki
seseorang. Aku takut mengetahuinya, karena aku sedang malas untuk tersakiti
kali ini. 
            “O iya, kenalkan
dek. Dia Adi Chandra, dia adik tingkatku disini. Dia tingkat II dek,”
            “Ini Hesta,
adikku.” Abang mengenaliku padanya. Dia menjulurkan tangannya, menyapa
tanganku. Indah terasa, tapi tak boleh terlalu dalam. Akan sakit sekali untuk
melepas senyumnya jika ku menyukainya terlalu dalam. Kuakui, memang banyak
disini pria tampan berpakaian seragam sepertinya. Apalagi mereka semua tampil
dengan kewibawaannya. Tapi hanya satu yang mengena, dia adalah Adi. 
            Kak Angga
mengajakku pulang, setelah aku nyaman menatap wajahnya dalam diam. Lalu dia
menjabat tanganku lagi sebagai tanda perpisahan, semakin erat semakin hangat,
apa artinya itu dia menyambutku? Entahlah, biarkan itu terjadi seperti biasa.
Biar hanya aku saja yang memiliki perasaan ini, jangan ada yang lain. Beberapa
langkah telah kulampaui dari tempatku menatapnya tadi. 
            “Kau menyukai Adi
ya, dek?” godanya, sambil menyenggol tanganku.
            “Apa? Tidak. Biasa
saja,” jawabku menutupi semuanya.
            “Cerita saja. Nanti
kalau abang sudah pindah dari sini, kamu akan menyesal.”
“Menyesal kenapa?” tanyaku,
“Tidak bisa berkomunikasi dengan Adi lagi, iya kan?” terkanya.
Biarkan, acuhkanlah, karena ini soal perasaanku. 
            “Bukan tak mau
cerita, tapi apa yang harus aku ceritakan? Tak ada,” ujarku, membuatnya yakin.
            “Ayolah, dek. Cerita
saja. Nanti kalau aku sudah penempatan yang semakin jauh darimu, kamu akan merindukan
teman cerita seperti abang. Mas Adit tak akan mengajak bercerita seperti aku,
ya seperti ini. Aku mengajakmu bercerita.” jelasnya, sudah pasti aku luluh pada
pernyataannya itu. Akhirnya kuceritakan apa yang kurasakan saat bertemu adik
tingkatnya itu. 
Abang mulai menceritakan tentangnya, seluruhnya. Mereka memang
dekat, sering bercerita saat ada kesempatan bersama pada setiap pesiar. Dari
sekian paragraf yang ia ceritakan tentang Adi, hanya satu yang kuperhatikan. Dengan
seksama, tak bergeming. Tentang masalah
percintaan Adi, pada nyatanya dia masih sendiri hingga saat ini.
Aku sih senang mendengar itu bagai “Canka Lokananta – Suara Merdu
dari Surga –“ setiap alunan terasa indah, tak ada kesalahan yang berarti
pada setiap tabuhannya. Memang aku mulai menyukainya, tapi apa mungkin dia
memang juga menyukaiku? Sesungguhnya memang ada lelaki yang manis pada setiap
orang, hangat pada setiap orang. Apa mungkin dia juga menyambutku dengan
hangat, tetapi hanya sebagai orang biasa? Mungkin begitu.
            Baru sadar
ternyata jarak dari Yogyakarta ke Bandung memang jauh, sama jauhnya dengan aku
dan Kak Angga. Kakak sekaligus sahabat curhatku tak disini lagi saat ku butuh.
Biarkanlah dia sekarang menjalani cita – cita luhurnya itu. Sama seperti
biasanya, Ka Adit dekat tapi memang jarang bicara padaku. Dia tertutup, kecuali
pada kekasihnya, Ka Desti. Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi yang sedang
co-Ast itu, beruntung dapat kakakku yang satu ini. Biarlah mereka dengan
ceritanya sendiri, biar aku dengan cerita cinta baruku. 
            Aku semakin
mengenali Adi, itu karena dia yang semakin sering main ke rumah. Aku tak bisa
bercerita pada Kak Angga kali ini, tapi aku yakin dia pasti tahu disana. Adi,
begitu kusapa dia yang berdiri didepan pintu, diatas lantai teras rumahku. Sore
itu.
            “Kau memang boleh
keluar?” tanyaku,
            “Ya, ini kan
jadwalku pesiar,” jelasnya. 
            “Oh begitu ya? Oh
iya, silakan masuk.” 
“Oh iya.” Dia duduk dikursi sederhana yang masih terasa nilai
artistik budaya Jawa. Maklum saja, ini masih di Yogyakarta. Dia membawakanku
sebungkus martabak manis kesukaanku, dia memang tahu apa yang kumau daritadi
siang. 
“Aku ke dapur dulu, ya.”
“Oh iya,” ujarnya,
“Mau minum apa?” tanyaku.
“Air teh saja,” jawabnya,
“Manis?”
“Terserah kamu.” 
Senyumannya memang mengalihkan semuanya, dan dia memberikan itu
padaku. Dia memang suka teh sepertinya, itu sama sepertiku. Lalu didapur
kupindahkan martabak yang ia bawa tadi. Disana ada ibu yang sedang masak, dia
langsung menanyakan apa yang kubawa dari dalam. Kujawab saja kalau Adi datang
kesini, langsung ia rampungkan masakannya dan pergi ke dalam menemui Adi. Tentu
dengan niat mewawancarai secara detail tentang sesuatu. Setiap kenalan yang
pernah datang ke rumah pasti akan ada proses scanning dari ibu ataupun
ayah. Kebetulan ayah sedang keluar sebentar jadi belum ikut ibu duduk disana.
Dikursi, bersama. 
            “Oh, kamu adik
kelasnya mas Angga, nak?” tanya ibu,
            “Iya, bu.”
jawabnya. 
Lalu aku masuk dengan membawa sebuah nampan yang diatasnya ada
sebuah piring kecil dengan tiga gelas berisi teh hangat yang siap kusajikan diatas
meja ruang tamu. Kuletakkan satu per satu gelas juga piring tadi, dan aku ikut
duduk bersama mereka di ruang tamu. Suara motor, itu tandanya ayah sudah
pulang. Ku pastikan beliau akan duduk disini bersama menggantikan posisi ibu karena
ibu akan ke dapur lagi. Sepertinya kalau sudah ayah yang mengajak berbicara,
rasanya aku hanya akan bersenyum ria ditengah obrolan. Itu karena aku tak akan
mengerti sedikitpun. Mereka asyik dengan pembicaraan tugas, sedangkan aku
sesekali menawarkan, “Diminum tehnya,” itu yang kuucapkan. 
Setelah sekian lama aku hanya diam sesekali menengok ke bawah,
akhirnya mereka menyudahi obrolan mereka. Ayah akhirnya beranjak dari tempat
duduk, itu artinya ayah membolehkanku berdua. Aku memanfaatkan ini sebagai
caraku melakukan pendekatan dengannya. Sama dengan usahanya yang masih mau
datang ke rumahku, rumah orang yang baru ia kenal. Kupersilakan lagi untuk dia
meminum teh yang kusajikan tadi. 
            “Pas,” katanya,
            “Apa?” 
            “Tehnya, hangat
dan manis. Sama seperti sambutanmu,” 
            “Terima kasih,”
            “Sama – sama,” 
Kenapa dia mesti menjawab terima kasihku? Aku kan hanya ingin
berterima kasih atas pujiannya. Aku ingin senyumannya saja, tapi tak apalah.
Mungkin itu kebiasaannya, sangat terlihat beradab. Tapi aku belum mengenalnya
lebih dekat. Yang kutahu tak lebih dari, dia seorang taruna akademi militer dan
adik tingkat kakakku. Dia menceritakan banyak hal padaku, tentang perjuangannya
mendapatkan seragam itu. Yang ia kenakan, saat ini saat tubuhnya bertatapan
denganku. Jatuh bangun usahanya meraih seragam sebagai calon prajurit taruna.
Butuh mental lebih untuk menaklukkan kehidupan militer, katanya. Dia juga
bercerita kalau dia ingin membahagiakan ibunya, setelah kepergian ayahnya. Aku
salut mendengar cita – citanya, kebahagiaan ibu. Kelihatannya kau sayang sekali
dengan ibumu, pikirku. 
            “Lalu ibumu
sekarang dengan siapa?”
            “Kedua adik
perempuanku,”
            “Kau anak
pertama?”
            “Iya, benar. Aku
ingin menjadi tulang punggung keluarga yang baik dan amanah,”
            “Oh begitu. Bagus
tujuanmu,” ujarku.
            “Oh ya.” jawabnya.
Aku beranjak dari tidurku dalam hangat pembicaraannya. Aku memang ingin ke
kamar mengambil sesuatu.
            “Hesta, mau
kemana?” tanyanya dengan wajah gelisah, seakan tak setuju aku pergi. 
            “Aku mau ke kamar.
Aku mau solat,” 
“Aku juga,” jawabnya.
“Ya sudah, solatnya setelah aku saja ya, dikamarku. Wudhunya
ditoilet belakang,” jelasku. Senyumannya kenapa begitu? Tampak berbeda,
senyuman itu semakin hangat. Bahkan darahku memang menjadi hangat dan mengalir
dengan cepat. Saat menatapnya membuatku berkeringat ditempat. Setelah solat,
aku akan mengajaknya mencari sesuatu untuk kujadikan hadiah yang akan diberikan
pada ibunya. Yang kuberikan langsung saat aku bermain ke rumahnya atau
kutitipkan padanya saat dia pulang ke rumah, nanti. Dia bilang setelah ini dia
juga ingin mengajakku main, kebetulan tepat pada keadaan yang kuinginkan. 
            “Ayo,” ajakku.
Tujuan selanjutnya adalah ke dapur untuk ijin kepada ibu untuk pergi sebentar.
Ayah menghalangi kami pergi sebelum kami makan malam bersama. Kulihat juga sepertinya
dia belum makan dari tadi sore. Memang masakan ibu tak akan ada yang bisa
menandingi, sekalipun itu dari chef terkenal. Ia membisikkanku sesuatu yang
menjadi satu semangat untukku.
            ‘Ini makanan
kesukaanku,’ bisiknya. 
Ini artinya aku harus bisa memasak makanan ini. Dia kan
menyukainya, siapa tahu saat aku bersamanya aku bisa memuaskannya dengan
masakan kesukaannya. Berkhayal tinggi, tak apa kan?
Ditengah perjalanan, aku mengajaknya membeli sebuah kerudung yang
memang aku tunjuk sebagai kerudung yang aku suka. Ini akan kubelikan untuk ibu
yang melahirkanku dan seorang lagi untuk ibu yang akan menjadi mertuaku, nanti.
Dan sekarang aku belikan dan kuberikan untuk ibunda Adi. Sebagai ucapan terima
kasih telah melahirkan lelaki tangguh yang kucintai saat ini.
            “Sudah?” tanyanya,
sesekali menatap jam ditangan kirinya. 
            “Sebentar lagi,
tinggal bayar.”
Setelah dia menemaniku membelikan hadiah untuk ibunya. Dia segera
mengajakku. Dan sekarang dia tak kalah membuatku penasaran. Diseperempat
perjalanan, aku memang sempat tahu ini bukan taman rekreasi atau tempat hiburan.
Tak ada hadiah spesial untukku agar lebih berkesan padanya. Aku diajak ke
sebuah rumah sederhana namun terlihat indah, aku menginjakkan kakiku pada
lantainya. Dingin, nyaman. Ada yang tak kalah nyaman dari lantai yang
kupijakkan, sapaan manis dari dua wanita manis yang berlari ke arahku. Senyumku
merekah kala dua wanita manis itu mencium tanganku dan tangan Adi. Kemudian
memeluk Adi sangat erat, manis sekali suasananya. Siapa mereka?, pikirku.
Tak banyak ku bicara dan bertanya, nyatanya tanyaku terjawab dengan
sambutan hangat oleh seorang wanita 
dengan penampilan keibuan.
            “Ibu...” panggil
Adi. Ia menghampiri wanita itu dan mencium punggung tangannya. Memeluknya,
seperti yang ia lakukan kepada dua wanita manis yang sudah lebih dulu ia peluk.
Aku juga menghampiri beliau untuk mencium punggung tangannya juga. Sejak saat
itu, aku mengetahui kalau rumah indah ini, lantai yang nyaman ini, dua wanita
manis yang berlari tadi dan seorang ibu itu adalah temannya saat ia sangat
membutuhkan semangat. 
            “Ini rumahku,”
ujarnya. Aku senyum didekatnya, berusaha sangat ramah. Sekalian aku melatih
senyumku saat berbicara pada ibunya. Mataku mencari keindahan yang sampai saat
ini belum tertangkap itu. Senyuman sang bunda, itulah keindahan yang
melengkapi segelintir poin yang kutangkap daritadi. 
            “Ini siapa nak?”
tanya beliau,
            “Dia Hesta, Hesta
Yuliana. Temanku,” jawabnya,
            “Hesta, ini
ibuku.” Aku menyunggingkan senyumanku pada beliau, orang yang ia sayangi dan yang
nanti aku cintai juga sebagai ibu mertua. 
Ibunda Adi mulai mengajakku berbicara panjang, dimulai dari
pembahasan yang kupanggil dengan basa – basi. Adi menatapku sesekali seraya
tersenyum. Begitu seterusnya, sesekali aku pun membalas senyumannnya. Beberapa
pertanyaan ibunya, dia membantuku menjawabnya. Karena memang itu bukan hakku
untuk menjawab. Lalu kedua adiknya menghampiri kami dan duduk didekat Adi. Sepertinya
mereka berdua masih duduk disekolah dasar terlihat dari tingkah laku mereka. Aku
bermain dengan mereka selepas berbicara baik dengan ibunya. Tatapan ibunya tadi,
nyaman. Aku mungkin saja disukai olehnya sebagai menantu. Terlalu banyak
berharap, tak boleh begitu seharusnya.
            “Mbak, namaku
Rina.” Salah satu dari mereka yang tak bicara selain tertawa tadi mendekatiku
dan memperkenalkan diri. 
            “Namaku Hesta,”
jawabku tersenyum padanya. Dan yang satu lagi mendekatiku dan memperkenalkan
diri juga. Yang satu lagi namanya Rani. Akhirnya mereka berdua mampu akrab
denganku, layaknya gayung bersambut. 
***
            Sudah satu tahun
aku berteman baik dengannya, kukira akan ada peristiwa romantis yang
menghampiriku. Nyatanya tidak ada, mungkin sebenarnya hati itu sudah berpihak
pada yang lain. Hanya aku lagi yang diam, bukan siapa – siapa. Tak ada yang lain.
Sebaiknya memang aku konsen pada kuliahku, setelah selesai baru aku lanjutkan
petualangan cinta itu. Dengan membuka hati sedikit demi sedikit. Mencintai
dalam sunyi, itu tak akan menyakitkan namun memang sedikit tergores, tak apa
kan? Itu untuk mengantisipasi luka yang lebih dalam lagi.
            Siang itu memang
terik, tumben cuacanya panas begini. Biasanya jam tiga sore begini, matahari
sudah ingin beristirahat untuk keesokan harinya. Angkutan umum memang sedang
sulit – sulitnya. Kenapa dengan hari ini? Lelah dengan hari ini, segera
berganti, kumohon. 
            “Halo, ibu.”
            “Hesta, kamu
dimana?” tanya ibu. Ibu meneleponku, ini juga kebetulan jam segini beliau
meneleponku dengan intonasi tergesa – gesa.
            “Di depan kampus
bu. Gak ada angkot,” jawabku sambil mengerutkan dahi karena teriknya mulai
menyorotiku. 
            “Ya sudah tunggu
disitu. Nanti kamu dijemput,” ibu segera menutup panggilannya. Aku belum sempat
jawab bu, pikirku sambil menatap layar handphoneku. Kutunggu, tapi tak ada yang
datang. Aku mencari tempat duduk yang nyaman untuk meluruskan kakiku yang mulai
pegal berdiri. Tak lama ada motor berhenti tepat didepanku, itu ayah. Tapi
sepertinya berbeda dengan beliau, aku tahu siapa itu.
            “Selamat siang, nona.”
            “Si...” dia
membuka helmnya. “..ang.” Aku mengenalinya, dia Adi. kenapa dia muncul dengan
motor ayahku.
            “Kenapa kau yang
jemput?”
            “Karena kebetulan
aku main ke rumahmu, Hesta.”
Dia main ke rumahku lagi, aku senang sekali mendengar itu.
Sepertinya rumahku akan menjadi tujuannya setiap kali pesiar. Aku langsung naik
dibelakangnya, ini kursi VVIP yang pernah kududuki. Sesampainya dirumah, ibu
dan ayah sudah duduk diruang keluarga. Aku masuk dengan menenteng helm yang
tadi kupakai dan ia mengikuti dibelakangku. 
Dia membicarakan kalau dia ingin mengajakku ke hubungan yang lebih
serius. Selama pendidikan, akan semakin sulit bertemu apalagi mendekati tingkat
akhir. Jadi, mau tak mau ikatan itu harus dibuat untuk mengikat keduanya. Aku
menyetujuinya, dan mulai saat ini aku dalam ikatannya begitu pula dia dalam
ikatanku. Memang suasana ini yang selama ini kucari. Dia memang tak menunjukku
sebagai pacarnya, tetapi dia menunjukku untuk menjadi calon pendampingnya. Begitulah
hubunganku dengannya, berjalan sampai saat ini. Aku sudah tingkat akhir, dan
dia pun begitu. Seperti biasa, hanya ada rindu diantara kami tak ada yang lain.
Ada kabar yang lebih mengejutkan, kakakku Angga, dia memutuskan untuk menikah
sekarang. Aku senang mendengarnya, begitu pula Kak Adit yang ingin menyusul Kak
Angga. Bagus! Ini tak akan menjadi penghalang untukku menikah dengannya nanti. 
            Setahun kemudian,
aku dan dia memang sama – sama wisuda. Dia lebih cepat wisudanya dibanding aku.
Aku wisuda bulan september, dan dia bulan Juli ini. Aku ditunjuk olehnya
sebagai orang yang hadir dan duduk dikursi itu menemani ibunya. Aku senang
melihatnya, akhirnya perjuangannya selama pendidikan terjawab sudah. Kulihat
ibunya menangis saat melihat itu, lalu kami ke tengah lapangan menghampiri Adi.
Memeluk ibunya dengan erat, raut wajah ibunya penuh kebanggaan. Adi menatapku,
tapi ku biarkan dia bersama ibunya. Waktuku bersamamu akan lebih panjang,
pikirku. 
            Setelah waktu
siangnya dihabiskan bersama ibunda dan kedua adiknya, dia meluangkan seluruhnya
untukku. Malam itu malam terindah yang pernah kuketahui dan kualami. Kami pun
bercanda tentang perandaian pernikahan kalau kita benar – benar bersama.
Bersenandung lagu favorit kita berdua dan menghabiskan malam ini berdua.
Bersama hembusan angin yang tersisa, menyibak nuansa malam ini yang indah. 
 
Salam, 
Toushiro Yagami 
(selaku tim ekspedisi dua dunia
>>dunia sadar dan tidak sadar<<)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar