“Emang gue pernah nanya sekarang lo dimana?”
teriakku didepannya, dia tetap diam.
“Emang gue pernah nanya penerbangan lo apa?”
teriakku kembali dan tetap dihadapannya.
“Emang gue harus tahu juga seberapa lama lo disana?
Ngga kan?” teriakku terus menatapnya yang sesekali mendengakkan kepalanya untuk
menatapku yang penuh amarah dan kecewa.
“Ngga pernah.” Dia menjawab itu dengan nada yang
sayu.
“Terus kenapa lo harus cerita semuanya ke gue? Emang
lo siapa gue? Terus seberapa penting gue harus tahu semua hal tentang lo?” aku
tetap menatapnya yang sekarang tertunduk. Tetap menahan tangisan ini dari
kelopak mataku. 
“Karena aku cuma pengen kamu tahu aku. Kamu ngerti
aku, kamu tahu dimana aku. Aku cuma takut kamu khawatir. Aku gak tahu sekarang
harus ngapain, aku kira kamu peduli aku.” dia terus mengunciku, sekarang aku
yang tertunduk. Dia terus menjelaskan sesuatu yang mungkin aku bisa ambil untuk
jawaban dari semua pertanyaanku.
“Aku pengen aku yang selalu lebih dulu ngabarin
kamu. Aku gak mau bikin kamu gak jelas. Itu aja, gak ada yang lain.” Aku memang
terkejut. Tak ada yang spesial dari setiap jawaban dari pertanyaan dan
bentakanku tadi? Lalu aku jelaskan, aku yang menatapnya kembali.
“Terus mau lo apa?”
“.....” diam tanpa kata. Rese! Gak ada yang lebih
selain kesunyian yang ia berikan.
“Ah, udahlah! Capek! Gue udah males, gue balik.”
Akhirnya aku pun memilih meninggalkannya disana. Entah kemana aku melangkah,
yang pasti terus mencoba untuk mengerti keadaan yang berbicara. Yang pasti
kesedihan sudah menyelimuti relung jiwa ini. Kepergiannya untuk melanjutkan
pendidikannya. Aku yang terlalu dibuatnya melayang, akhirnya aku dijatuhkan
juga, dengan orang yang sama.
“Hhhh..” kubantingkan tubuh ini di tempat tidur
kesayanganku. Aku lelah, aku takut dia bohong lagi. Mungkin ini hanya usahanya
untuk merayuku memaafkannya. Sebulan lagi kan baru mulai jadwal perkualiahan.
Berarti masih ada waktu untuk kembali merayunya agar lebih manis lagi.
“..tapi, untung perasaan itu masih tersimpan..”
ujarku dalam hati. Aku yang tak pernah bisa manis didepannya hanya bisa
berharap yang terbaik untuk kita. Aku tak pernah menyangka akan menyukainya,
aku tak akan pernah menyukainya. Persahabatan ini terlalu murni dari dulu
sampai sekarang. Aku baru mengenalnya, sebagai seorang sahabat. Dulu dia
temanku. Teman biasaku, sampai akhirnya teman baikku di SMA bercerita
tentangnya, sahabat karibku.
***
Namaku Rachmanita Nabilla, aku seorang anak perempuan yang berusaha untuk tetap hidup di rumah tanpa kedua orang tua. Tetap mengerjakan berbagai project penulisannya, disini.
Namaku Rachmanita Nabilla, aku seorang anak perempuan yang berusaha untuk tetap hidup di rumah tanpa kedua orang tua. Tetap mengerjakan berbagai project penulisannya, disini.
Tiga
tahun yang lalu, disebuah sekolah klasik nan indah berdiri ditengah kotaku
lahir, Bogor. Sejarah telah membuat kota ini semakin menjadi indah. Kenapa?
Karena aku merasa selalu aman dan nyaman disini, dibanding dikota lain. Sebab
aku pernah merantau mengikuti kedua oran tuaku, ke Surabaya. Mungkin itu karena
aku belum mengenal lama kora tersebut, setelah 1 bulan aku kembali ke Bogor. 
Kedua
orang tuaku, sedang berada di Makassar saat ini, dan aku memilih tetap tinggal
dirumah dan menjaganya. Aku tidak sendiri, aku masih punya kakak laki - laki.
Dia bernama Hanafi, biasa kupanggil Kak Anap. Dan beberapa temanku yang bermain
ke rumah juga memanggilnya dengan panggilan yang sama seperti yang kulakukan
kepadanya setiap hari dirumah kami ini. Suatu hari aku dan teman - teman
bermain ke rumahku. Rumahku jalannya tak jauh dari jalan raya, aku nyaman
disini dengan segala fasilitas yang ada, walau sederhana. 
“Rumah lo yang mana bil?” tanya temanku, 
“Disini,” aku mengarahkan badanku ke depan pagar
rumah,
“Ka anap! Billa pulang!” panggilku dari luar rumah,
tapi tak ada jawaban. Teriakan ini kuulang sampai akhirnya aku memutuskan untuk
meneleponnya. 
Diangkat,
“Halo, ka anap dimana? Billa didepan rumah,” ujarku
ditelepon genggamku, bukan Smartphone bukan juga Stupidphone. 
“Eh abang di minimarket, sebentar lagi pulang. Maaf
ya dek, memangnya kamu udah pulang sekolah?” tanya kak Anap. 
“Udah. Tadi dibubarin, gak tahu kenapa ka. Ayo
cepat, disini kami kepanasan.” jawabku.
“Kami?” heran abang,
“Iya, aku membawa temanku. Teman baru di SMA ku ka,
ayo cepat. Kasihan mereka kepanasan disini.”
“Oh iya, sebentar sebentar,” lalu telepon pun
ditutup. Aku dan teman - teman kembali menyandarkan diri dibawah canopy yang setidaknya menutupi mereka
dari terik matahari siang ini. 
Mereka
yang aku bawa ke rumahku adalah teman baikku semuanya. Ada Linda wajahnya
cantik, tapi kepribadian yang diselimuti kecuekan terhadap diri sendiri dan
orang lain. Ada Pipit wajahnya anggun, tapi sayang sekali kelakuannya seperti
Linda, cuek. Lalu ada lelaki yang bernama Rafli, lelaki ini tampan tapi tak
selevel dengan Kai EXO (salah satu boyband yang terkemuka dan tersayang). Dan
masih ada Anna, dia teman sebangkuku dikelas, kami dikelas masih duduk berdua -
berdua. Aku kira akan berbeda dengan SMP, ternyata kami masing harus duduk
berdua bersama. Seharusnya aku duduk di kursi yang ada disebelah Rafli, tapi
aku tak leluasa jika sebelahnya lelaki. Apalagi dengan pria yang baru saja aku
kenal selama MOS (Masa Orientasi Siswa). Aku terlalu nyaman dengan tipe lelaki
yang hampir sama dengan kakaknya, baik, tampan, tanggung jawab, sayang, dan
lain - lain, tentunya semua hal yang baik dan juga romantis.
“Eh lo punya kakak juga?” tanya Rafli,
“Iya punya, sebentar lagi pulang. Dia sedang membeli
makanan untuk camilan kita,” jawabku,
“Oh ganteng gak? Modus ahh~” celetuk Linda, wanita
cantik nan cuek itu. Aku, pipit dan Rafli hanya bisa tertawa kecil melihat
dirinya seperti itu. Akhirnya abangku pulang juga, segera kami masuk dan duduk
diruang tamu. Aku yang ikut beristirahat sebentar, segera bangun untuk
menyiapkan beberapa minuman yang sudah dibeli tadi. Sepertinya memang kalau
panas seperti siang ini, paling enak minum es sirup. Ku suguhkan semuanya
dihadapan mereka, dan kami memutuskan untuk bersantai sejenak. 
Aku mengenali mereka sejak MOS (Masa Orientasi
Siswa) mereka berasal dari berbagai sekolah menengah pertama di Indonesia. Pada
awalnya kami semua banyak yang hidup masing - masing, ada yang selalu berdua,
ada yang selalu berisik dan riang, ada yang pendiam dan ada yang sering
menyendiri, nah itu aku. Seiring waktu memang aku dan mereka saling berkenalan.
Pertama kali masuk, Linda yang kukenal awalnya adalah wanita sok perfect, teman
wanita yang bisanya hanya bergosip. Membicarakan banyak orang yang lewat adalah
kebiasaannya, dan pada nyatanya itu semua salah. Dia mudah diajak bergaul,
diajak berbicara dan juga diajak bermain. Aku dan dia memiliki kesamaan, aku
dan dia sering sekali membicarakan hal yang aneh dan tak lazim. Yang tak semua
orang kira, bukan hal yang porno. Tapi kami berdua sering membuat sesuatu hal
yang baru. 
Beda Linda, beda pula Pipit. Pipit temanku ini
kukenal dia hampir sama dengan penilaianku terhadap Linda awalnya. Pipit
sepertinya wanita yang angkuh, sok memimpin, dan sering mengambil perhatian.
Dia tak tahan kalau tak diperhatikan oleh orang lain. Wanita ini juga sok
perfect, pada awalnya kukira begini. Nyatanya tidak ada yang sama dengan apa
yang kupikirkan awalnya dan saat ini saat aku dekat dengan mereka.
Tak
ada kesan lain selain kami yang semakin kompak ditahun awal, dan seterusnya.
Aku merasa ada yang ganjal dikelas, aku merasa ada hal yang mencoba
menghalangku. Itu berasal dari salah satu murid kelasku sendiri, namanya Gina.
Dia nampaknya kesal denganku, entah apa sebab dan tujuannya. Yang aku tahu
jelas, dia mulai membenciku sejak awal masuk. Hanya Linda, Pipit dan Rafli yang
menemaniku kemanapun. Pada akhirnya, aku kesal dengan tindakannya yang
membuatku dibenci anak kelas. Usut punya usut, dia mulai membenciku sejak salah
satu primadona sekolahku mengajakku berbicara. Dan sejak aku bermain ke
rumahnya. Aku punya banyak foto primadona itu, aku dapat dari flashdisknya yang
aku pinjam. Niatku baik, ingin memberikan ini untuk Gina agar ia dapat
menyimpannya. Awalnya dia menerima pemberianku, tapi satu saat ia memintaku
lagi,
“Bill, aku mau foto Rio lagi dong. Kamu pasti punya
banyak ya?” ujarnya,
“Aku gak punya lagi. Lagipula Rio kan sedang sibuk
dengan kegiatan OSIS nya. Aku sudah jarang ke rumahnya, apalagi bertukar
flashdisk, gin.”
“Ah masa sih, seorang Nabila tak punya fotonya?
Jangan - jangan kamu menyimpannya sendiri ya dan menyembunyikannya dariku?”
tuduhnya. Karena bukan seperti itu, makanya aku langsung mengelak tuduhannya
itu.
“Ngga, beneran. Kalau gak percaya cek aja
flashdisk-ku. Atau kamu mau ke rumahku untuk mengecek laptop-ku?” ujarku
membela diri. Rupanya ia hanya bercanda menuduhku. 
            Cobaan ini tak cukup sampai disitu.
Ternyata Gina menghasut dan menceritakan beberapa cerita yang sama sekali bukan
aku pelakunya. Aku hanya sedang dekat memang dengan salah satu anak dikelas
bernama Lesti. Lesti yang memang mempunyai catatan buruk di setiap sekolahnya,
membuat namaku ikut terseret. Aku tak pernah menjelek - jelekkan Gina, apalagi
mencoba mencelakakannya. Tapi sesuai berita yang beredar adalah aku sempat
mencoba mencelakakannya dan mencoba merebut pangeran impiannya. Gina tak cukup
disitu, karena dia dekat dengan orang tua pangerannya. Ia mulai menceritakan
aku, lalu otomatis aku dapat sebuah atau lebih tepatnya sebait nasihat dari
beberapa guru. Nilaiku terus jatuh karena aku lebih memikirkan bagaimana aku
disekolah. Disaat itulah, datanglah Linda semakin dekat denganku. Begitu juga
pipit dan Rafli menyusul juga. Jadilah aku dekat dan semakin dekat dengan
mereka. 
            Aku mendadak menjadi sering pergi
setelah pulang sekolah bersama mereka. Tentu saja abang akan mengizinkanku jika
memang pergi dengan mereka bertiga. Tujuan utama yang sering kami kunjungi ada
dua tempat, yaitu mie ayam dekat toko buku Gurindam dan tentunya perpustakaan
utama dekat situ. Kami sering menghabiskan waktu dengan membaca buku favorit
kami masing - masing. 
            Kelas dua SMA akan segera berakhir,
artinya kami akan siap - siap lebih memacu adrenalin kami. Untuk lebih siap
menghadapi ujian nasional nanti, akhir kelas tiga SMA. Kami mempunyai rencana
untuk menghabiskan waktu santai ini untuk sekedar mengingat perjalanan
persahabatan kami berempat.  
            “Gue pengen deh, abis UN nanti ya
kita kemah yuk. Didekat sini aja,” ujar Linda yang sedang asyik melahap mie
ayam.
            “Kalau gue sih pengennya kita bikin
event. Buat kita aja sih, emm biar persahabatan kita afdol. Lebih greget,” ujar
Rafli nyahut, dan Pipit mangut - mangut. 
            “Yee fli, kan tadi gue bilang. Kita
kemah, tapi jangan keluar kota. Disini aja, masih banyak destinasi tempat kemah
yang bagus juga loh. Daerah kaki Gunung Salak contohnya, gue udah pernah
kesana,” ujar Linda yang masih mengunyah mie ayam dimulutnya. Rafli menjejal
keripik yang ada didepannya ke mulut Linda. Dan kami pun tertawa melihat Linda
memukul kembali ke Rafli. 
Kami
langsung merencanakan semuanya, dari sekarang. Jadi, saat mendekati UN tinggal
mempersiapkan yang belum ada. Kami akan berkemah dibawah kaki Gunung Salak.
Kalau jalan kaki, tak terlalu jauh dari jalan dekat rumahku. Kalau dari rumah
Linda memang akan sedikit jauh karena mengitari dua kampung. Kami akan
menyalakan pesta api unggun disana, hanya berempat. Garing? Tidak. Karena ini
kami, bukan persahabatan biasa. 
***
Tak
terasa sudah empat hari kami lalui dengan sangat hati - hati. Ya, mengerjakan
soal Ujian Nasional memang tak bisa dianggap remeh. Meski memang beberapa siswa
dari berbagai sekolah menganggap ini mudah, banyak jockey jawaban UN
berkeliaran disekitar mereka. Tapi kami, mengusung nilai kejujuran, akan lebih
puas toh dengan hasilnya kelak?
Didepan
rumahku,
            “Bill, udah siap semua?” tanya Rafli
seusai mengecek barang bawaannya. 
            “Udah fli. Gue udah bawa indomie 13
bungkus, cukup gak?” tanyaku kembali.
            “Ya Allah! Banyak banget bil, gak
selebay itu perjalan kita.”
            “Emang lebay? Ini kata Pipit kemaren
malem sms,” tunjukku ke Pipit yang bersembunyi dibalik tubuh Linda yang
ukurannya tak lebih besar darinya. Konyol juga dia.
            “Pit! Kita cuma dua hari disana, gak
sebanyak ini makannya. Lagian masing - masing udah bawa bekal makanan sendiri
kan? Kasian si Billa keberatan,” ujar Rafli sambil mengambil tasku dan
mengeluarkan beberapa bungkus mie instan dari tasku. Pipit meringis melihatnya,
dia sangat suka makan mie instan. Linda yang menertawakan Pipit malah ikut
meringis karena ia juga suka mie instan. 
            “Biar gue yang bawa,” ujar Linda,
karena Rafli gak bisa menolak akhirnya menyerahkan beberapa bungkus mie instan
yang tadi dikeluarkan dari tasku. 
            “Tenda? Alas tidur? Selimut? Jaket?
Baju ganti? Minum? Makanan?” absen Rafli,
            “UDAAAAH,” jawab kami malas karena
itu terus ia absenkan. Tinggal pamit ke abangku, dan ia membolehkanku mulai
berpetualang. Pipit dan aku jalan lebih dulu dan disusul dengan Rafli dan
Linda. Ditengah keasyikkan perjalanan kami, Linda meminta untuk istirahat dulu.
            “Kata lo deket bil, ini kok jauh ya?
Kok gue udah ngerasa capek begini?” keluh Linda sambil duduk di batu yang ada
dekat situ. 
            “Ayo, lin. Semangat dong, nanti kan
kita bermalam bersama. Untuk kesuksesan dan kebersamaan persahabatan kita.
Semangat!” ujar Rafli. Linda langsung bangun dan semangat kembali, aku dan
Pipit yang melihatnya langsung cekikikan. Kenapa aku ikut tertawa? Karena
dipertengahan jalan tadi, Pipit banyak cerita tentang Linda. Dia bilang, Linda
mulai menyukai Rafli. Aku merasa sudah meraba ini dari awalnya, karena tingkah
Linda dari mulai pulang bersama, membawakan mie instan tadi, jalan bersama, dan
terakhir tadi. 
            Tak terasa petang hari menjelang,
kami sudah sampai di sepertiga jalan lagi. Dipinggir sungai kami membuat tenda,
disitu hanya satu sampai lima rumah yang terlihat dan terhitung oleh sepanjang
mataku memandang. Linda mulai menyalakan api unggun dengan Rafli sedangkan aku
dan Pipit menyedikan satu panci yang bisa kami pakai untuk membuat makan malam.
Dan setelah semuanya matang, kami pun makan. Merasa lelah, tak peduli ia habis
makan atau tidak, Pipit langsung pamit ke tenda untuk lebih dulu tidur. 
            “Pit, gak berubah ya lo. Dirumah,
disini sama aja. Yaudah gue ikut deh ya, bye semuanya!” ujar Linda menyusul ke
dalam tenda. Tinggal aku dan Rafli yang berjaga diluar tenda, aku tidur
bersamanya dalam satu tenda. Tetap ada pembatasnya. 
            “Bil,” panggil Rafli,
            “Emm?” jawabku sambil menyeruput
kopi hangat yang ada ditanganku saat itu.
            “Moodnya lagi bagus gak?” tanyanya,
            “Hmm, wae?” jawabku,
            “Mau tanya, apa alasan lo nolak
semua ajakan gue?” 
            “Maksudnya? Yang jalan itu? Lo kaya
gak tahu aja abang gue gimana kalau marah. Dia kan gak izinin gue pergi, fli.” 
            “Ya itu. Oh, lo gak dapet izin ya. Em,
gue mau nanya sama lo,”
            “Ya apa? Daritadi gue mau jawab,
gimana sih lo hahaha,” jawabku mencoba mencairkan suasana. Suasana dimalam itu
memang sangat dingin, jadi kami memutuskan untuk mengambil jaket didalam tenda.
            “Udah biar gue yang ambilin,” Rafli
masuk ke tenda dan mengambil jaket untuk kami berdua. Kali ini wajah Rafli tak
enak, dia keluar sambil menggenggam ponselku. Dia bilang ada beberapa panggilan
dan SMS dari Gilang. Aku mulai sibuk memainkan ponselku dan tak sadar cuek
terhadap Rafli. Dia memilih untuk masuk tenda lebih dulu. Kupikir, tingkahnya
hari ini sedang aneh lebih tepatnya malam ini. Aku menyiram api unggun yang
masih menyala dengan air yang ada diember sebelahku. 
            Saat aku masuk, sarung tidurku sudah
disediakan olehnya, barang - barangku rapi terpisah dari sisinya. Kenapa dia?
Tingkahnya aneh, dan jelas aneh. Tapi lupakan. Malam itu berlalu sangat cepat
hingga akhirnya pagi menjelang mengajak kami untuk segera melakukan perjalanan.
Pagi ini aneh, Rafli sudah tak ada ditenda, tak ada didepan tenda. Hanya Pipit
yang kutemui disana,
            “Pit, Rafli kemana?” tanyaku,
            “Rafli udah jalan duluan, katanya
gue disuruh nunggu lo disini. Tuh tenda gue sama Linda udah dirapihin sama
Rafli, ayo bil buruan nanti kita terlambat.”
            “Iyaa, sebentar ya.”
Lalu
aku dan Pipit melanjutkan perjalanan, sudah tak terlihat Linda dan Rafli
disana. Sejauh 2,5 km kami berjalan, sudah kutemukan Linda dan Rafli. Niatku
mengagetkannya, tapi ternyata aku yang kaget. 
            “Lin, gue suka sama lo,” suara Rafli
terdengar menusuk lubang telingaku. Aku diam, dan Pipit mencoba menyadarkanku.
            “Eh kalian, sejak kapan sampai sini?”
jawab Linda salah tingkah,
            “Gak. Eh lo pada udah jadian? Gak
ngabarin gue sama Pipit? Basi lo ah,” ujarku menatap mereka berdua, santai. 
Rafli
menatapku curiga tetapi tetap membaur, wajahnya tetap seperti biasa. Hanya
kepadaku, tatapannya mulai tak jelas. Rafli mendadak acuh padaku, tak menatapku
bahkan selalu mengalihkan padangannya dariku, Pipit mendekatiku. 
            “Lo yang sabar ya, dia lagi gak mood
mungkin. Eh?”
            “Eh apaan pit?”
            “Pernah gak sih lo pikir, Rafli
bakalan suka sama lo?” tanya Pipit,
            “Kok lo bisa ngomong begitu sih pit?”
jawabku sambil memainkan air yang mengalir.
            “Gak sih, gue ngerasa aja. Kok Rafli
malah care sama lo dibanding Linda
ya?”
            “Ngaco lo, Linda aja jadian sama
Rafli. Gue kan ada Gilang,”
            “Gausah boong, bil. Gue tahu semua
temen - temen gue ini, Linda suka sama Rafli. Rafli suka sama lo, dan lo juga
suka sama Rafli kan?” ujar Pipit, aku terdiam. 
            “Iya, tapi lo jangan cerita sama
siapa - siapa ya,”
            “Apaan?”
            “Gue berantem sama Gilang, gue udah
putus sama dia tadi malem. Emang ada sms sama beberapa missed calls dari dia.
Tapi dia mutusin gue sepihak, pit” ujarku menangis. Rafli menghampiriku, 
            “Gue gak apa - apa, gue cuma lagi cerita
sama Pipit. Udah lah, main aja sono fli,” ujarku tersenyum. Dia membalikkan
badannya dan berlalu dari mataku. Sampai akhirnya kami puas bermain air dibawah
air terjun yang memang menjadi tujuan terakhir kami. 
Sesampainya
dirumah, abang tumben menyapaku dan memberikanku segelas teh hangat. Kebetulan
aku sampai ke rumah malam setelah perjalanan kembali yang lumayan panjang. 
“4 hari ini kemana saja kalian?” ajaknya bicara,
“Aku jalan 1,5 hari dan sampai ke air terjunnya.
Oppa! Bagus sekali disana, indah.” ujarku mengembangkan tanganku ke sisi kanan
dan kiri.
“Aduh hati-hati billa, terus kamu tidak merasa ada
yang spesial?”
“Maksud abang? Spesial apanya?”
“Jujur, tatap abang. Kau menyukainya kan? Kau
menyukai Rafli?” ujar abang sambil membekap kedua pipiku.
“Ah, bang. Percuma juga bilang suka sama dia. Ya
gimana sih bang, aku kan sekarang udah gak sama Gilang. Ya jadinya gini, udah
suka sama dia. Tapinya dianya udah buat orang lain, lan bete bang,” jawabku
sambil tidur dipangkuannya. 
“Abang tahu kenapa ini? Kalian itu waktu cinta itu
bersemi, kalian gak ada yang berani mengungkapkannya. Jadi, cinta datang
terlambat. Itu datang dari sisimu, juga sisi Rafli.” jawab abang.
“Aku harus gimana bang? Aku jauhi dia biar perasaan
ini hilang dulu? Baru kita kumpul lagi?” tanyaku,
“Coba saja, kalau itu yang terbaik. Yang abang
saranin tuh, jangan sampai kamu menyesal, bil. Nyesel tuh datengnya belakangan,
kalau diawal namanya pendaftaran.” abang mencoba menghiburku dengan lelucon
garingnya. Baiklah, kalau memang itu cara paling tepat. Aku akan memilih cara
itu dan tegar menjalaninya. Persahabatan memang tak boleh ada yang lebih,
akibatnya ya seperti ini. Akan semakin menjauh dengan sendirinya. 
Aku tak pernah ikut kumpul
jika disana ada Rafli, begitupun sebaliknya Rafli. Pipit juga tak pernah ikut
lagi, karena ia memilih kuliah diluar kota. Dia sedang mempersiapkan semuanya
sebagai anak perantauan. Aku tahu itu dari Linda. Tak pernah ada yang mencoba
mencari tahu, untung saja seperti ini. Tapi suatu ketika,
“Lin, kita sekarang kemane?” tanyaku nyeleneh,
“Kita makan aja yuk, gue punya duitnya cuma 50 ribu
aja, bil.” jawabnya,
“Tuh, disitu aja. Setahu gue sih harganya anak
kuliahan banget.” saranku sambil menunjuk kedai makanan itu. Kami berdua
meluncur kesana, kupesan minuman dan makanan yang enak namun harganya
terjangkau. Begitupun Linda tentunya. 
“Bil, gue mau nanya sesuatu,” tanya Linda
menghentikan suapannya,
“Hmm, apaan?” sahutku sambil mengunyah makanan yang
masih ada dimulut,
“Lu suka sama Rafli?” 
“Hah? Apaan maksud lu, lin? Kan dia nembaknya lu,
kenapa gue yang pacaran deh?” jawabku mencoba santai. Sebenarnya hati ini yang
terkejut. 
“Bukan gitu. Maksud gue, kenapa ya pas dia gue ajak
kesini. Dia nanya dulu, si Billa ikut? Kalau ikut gue ngga ya,”
“Kenapa lu pikir dia suka sama gue? Dia emang lagi
benci sama gue kali,” ujarku sambil mengunyah makanan yang ada didalam mulutku.
“Gue liat tingkah dia aja tiap kita masih jalan
bareng berempat. Dia bakal nyebelin kalau denger kata-kata Gilang dari mulut
lu, bil. Jadi gue pikir kayanya dia suka sama lu deh,” dia sama sekali gak
lanjutin makannya. Tangannya mengembalikan sendok dan garpu dipirinnya. Aku
yang bingung juga malah ikut terdiam tak melanjutkan makanan.
“Oh ya? Kok gitu? Emang sih gue juga jujur aja emang
suka diperhatiin sama dia dulu. Tapi sayang, Gilang udah duluan ada disini.” 
“Saran gue 
sebelum lu nyesel segede gunung, lu ungkapin aja perasaan lu ke dia. Gue
rasa dia juga bakal suka lu kok.”
“Ogah ah! Tengsin kali, masa gue yang ungkapin? Gak
mau. Kayanya juga sekarang dia maunya sahabatan aja sama gue.” jawabku sambil
melanjutkan makan. Aku takut kehabisan selera makan membicarakan dia.
“Dia m au berangkat ke Papua,
dia bakal kuliah dan kerja disana. Gue tahu itu dari dia, gue dapet telepon
dari dia sama waktu kita jalan bareng. Dia ngomongin itu terus, ampe bosen gue,”
ujarnya. Oh, jadi dia akan lebih jauh dariku, Jawa sampai Papua? Berapa
kilometer sih? Biarin waktu berlalu. Toh aku
yang akan merasakan rasa rindunya. Karena aku sepertinya sudah mulai rasa
kepadanya, sejak ia tak ada dihadapanku.
5 bulan berlalu, pagi
hari ada yang mengetuk pagar, berisik, memaksa! Aku malas membukanya. Bi Enah,
bibi baru sejak abang berangkat ke Padang untuk tugas. 
“Bibi, tanyain dong itu siapa? Berisik bi,
pagi-pagi.” ujarku mengucek mata pagi itu,
“Iya non. Sebentar ya,” Bi Enah segera meluncur ke
depan. Ternyata diluar sama sudah ada Linda dan Rafli disana. Aku segera cuci
muka dan ke ruang tamu. 
“Ada apa? Kalian pagi sekali kesini,” ujarku terus
menatap ke arah Linda. Rafli tetap diam.
“Gue mau ngomong, bil.” Linda mempersilahkan kami
berdua ke luar sebentar.
“Bil, abang lo mana? Kok gak keliatan?” kata Rafli,
“Abang ke Padang, ada kerjaan disana.” jawabku
seakan acuh,
“Oh, pantesan. Itu bibi kapan ada disini? Sejak
kapan lu tinggal sama bibi?” 
“Dari satu minggu yang lalu sih, rekomendasi abang.
Buat jagain gue dirumah ini,”
“Lama berarti gue udah gak kesini,”
“Iya,” jawabku mencoba seakan acuh padanya. Terus
mencoba.
Dia
terus membicarakan tentang rencana kuliah dan kerja di Papua. Aku hanya mengiya
kan saja. Dia tak kelihatan mau membicarakan sesuatu yang spesial. Aku mendadak
kesal dengan semua yang ada dibenakku, kesal pada dirinya dan harapanku. Dia
yang mebuatku berharap, harus akalku tak langsung menangkap rasaku terlalu
cepat. 
“Maafin gue ya, gue masih belum bisa jalan sama lo.
Kemarin emang bener-bener berhalangan hadir jalan bareng kalian. Gue juga ini baru balik dari sana dan harus kesana lagi.
Dosen minta revisi makalah pengajuan, bil.”
“Ohh iya lain waktu aja,”
“Iya lain waktu ya, maaf. Besok gue berangkatnya, gue gak akan lama kok
disana,” ujarnya dan aku diam. Dan meng-iya-kan setiap ucapannya.
“Pesawat gue jam tiga sore, penerbangannya seperti
biasa yang kita pernah pake ke Lombok berempat.” aku semakin kesal, terus
memancingnya untuk bicara, nyatanya
tak mungkin. Aku takut hatinya tak sama dengan yang kurasakan saat ini. Diam, aku memilih diam untuk mencoba mengatur napas
sebelum kukeluarkan semua unek – unek
ku. 
“Emang gue pernah nanya sekarang lo dimana?”
teriakku didepannya, dia tetap diam.
“Emang gue pernah nanya penerbangan lo apa?”
teriakku kembali dan tetap dihadapannya.
“Emang gue harus tahu juga seberapa lama lo disana?
Ngga kan?” teriakku terus menatapnya yang sesekali mendengakkan kepalanya untuk
menatapku yang penuh amarah dan kecewa.
“Ngga pernah.” Dia menjawab itu dengan nada yang
sayu.
“Terus kenapa lo harus cerita semuanya ke gue? Emang
lo siapa gue? Terus seberapa penting gue harus tahu semua hal tentang lo?” aku
tetap menatapnya yang sekarang tertunduk. Tetap menahan tangisan ini dari
kelopak mataku. 
“Karena aku cuma pengen kamu tahu aku. Kamu ngerti
aku, kamu tahu dimana aku. Aku cuma takut kamu khawatir. Aku gak tahu sekarang
harus ngapain, aku kira kamu peduli aku.” dia terus mengunciku, sekarang aku
yang tertunduk. Dia terus menjelaskan sesuatu yang mungkin aku bisa ambil untuk
jawaban dari semua pertanyaanku.
“Aku pengen aku yang selalu lebih dulu ngabarin
kamu. Aku gak mau bikin kamu gak jelas. Itu aja, gak ada yang lain.” Aku memang
terkejut. Tak ada yang spesial dari setiap jawaban dari pertanyaan dan
bentakanku tadi? Lalu aku jelaskan, aku yang menatapnya kembali.
“Terus mau lo apa?”
“.....” diam tanpa kata. Rese!
Gak ada yang lebih selain kesunyian yang ia berikan.
“Ah, udahlah! Capek! Gue
udah males, gue balik.”
Akhirnya aku pun memilih meninggalkannya disana. Entah kemana aku melangkah,
yang pasti terus mencoba untuk mengerti keadaan yang berbicara. Yang pasti
kesedihan sudah menyelimuti relung jiwa ini. Sesampainya dirumah, disana masih
ada Linda terduduk manis sedang berbincang dengan Bi Enah. 
“Billa, lo kenapa?”
“Kalau lu masih mau
disini, gak apa-apa. Tapi kalau nyuruh gue kesini lagi cuman buat cowo brengsek
kaya dia, bilang gue lagi gak mau liat wajahnya,” ujarku menahan emosi yang sedang
berkoar koar didepan Linda. 
“Udah lah, Lin. Gue
males sama dia,”
“Loh? Kenapa? Tumben lu
segitu marahnya sama gue. Terutama sama dia,”
ujar Linda menyusul ke kamar.
“Lu pikir deh ya, masa gue udah sekeras itu coba bikin
dia jujur. Tapi nyatanya yang gue dapet cueknya dia. Dia masih anggap gue
sahabat,” ujarku, “..lebih baik mungkin begini,” sambungku.
“Beri waktu dia, bil. Dia juga sekarang harus konsentrasi
sama makalah pengajuan skripsinya. Dia lulus akhir tahun ini, gak akan lama lagi.
Dia juga pulang buat lu bil,” ujar Linda membuatku tegar.
“Iya, terserah dia deh. Pulang atau ngga, kayanya gue gak
akan peduli lagi,”
“Tapi kita kan sahabatan,”
“Kadang sahabat juga ada sesuatu yang tak harus
diprioritaskan,”
“Gue ngerti lu lagi begini. Oke gue kasih waktu buat lu
untuk sendiri. Besok dia berangkat, ada yang mau dititipin?” ujar Linda, tak
ada yang bisa ku pikirkan lagi se;ain mencoba membenci Rafli secepatnya. Agar
hanya ada perhatian sebagai sahabat yang ada dipikiranku. 
3 bulan sudah dia menyelesaikan pendidikannya. Aku
menghitung itu, seharusnya sih tidak. Niatku terhalang oleh rasaku, dan
digagalkan seluruhnya. Aku mencoba membuka recent
update di BBM messenger ku. Ada update personal
message nya, dia bilang kalau dia sudah menyelesaikan pendidikannya. Segeraku
mengucapkan selamat padanya, tetapi tetap dalam diamku. Karena aku takut sakit
hati lagi, 
            “Halo?”
sapaku pada penelepon yang tak kukenali suaranya, mungkin napasnya aku masih
kenal.
            “Bil ini
gue Linda,” ujar Linda di telepon,
            “Oh lo,
lin. Ada apaan? Kok lu ganti nomer sih?” tanyaku,
            “Ah
males gue. Si Rio temen bimbel kita dulu ganggu melulu. Udah tau gue gak suka
sama dia. Eh by the way lu mau ikut gak?” tanya Linda,
            “Kemana?”
            “UDAH!
MAU IKUT APA NGGA? LO SIBUK GA?”
            “Iya gue
ikut, tapi kemana sih. Tumben lo gak jelas gini,”
            “Bukannya
tiap sama lo, gue gak jelas mulu ya bil? Haha, cepetan mandi,”
Aku segera mandi setelah pagi itu aku ditelepon sahabatku
tercinta, Linda. Dia akan mengajakku ke suatu tempat, yang pasti tempat itu
yang tak pernah kuduga. Dia tak memberitahukanku, biasanya dia akan mengajakku
dengan menceritakan tujuannya. Sesampainya didepan rumah, Linda menjemputku
menggunakan mobilnya. 
            “Billa!
Buruan, nanti kita terlambat,” ujar Linda,
            “Iya
bentar.” Aku menyusulnya kedalam mobil. Linda tak segera jalan, dia melihat
penampilanku dari atas sampai bawah dan terus seperti itu.
            “Kenapa
lin?” tanyaku,
            “Lo gak
salah? Masa lo pake baju kaya begini sih?” wajah datar Linda dihadapanku,
            “Loh,
kita kan mau hangout? Ya biasanya juga begini,” ujarku polos. Tanpa banyak
bicara, Linda menarikku masuk ke dalam kamar dan mencarikan baju untukku. Dia
memilihkanku baju maxidress yang anggun, yang sering kupakai untuk pesta. Dan
me-make over-kanku, bak hendak pergi
ke sebuah pesta. Ini aneh.
            “SELESAI!”
            “Mau
kemana sih kita, lin? Lebay banget,” ujarku menatap seluruh penampilanku,
            “Udah
diem! Ikut aja,”
Sudah selesai, sekarang aku dan Linda segera meluncur ke
tempat yang Linda ingin mengajakku. Sebuah tempat atau tepatnya gedung
serbaguna, berlantai lebih dari 5 lantai. Aku tak mengenali undangan ini. 
            “Sebentar!
Kok ini tempat wisuda? Banyak bunganya?” tanyaku heran,
            “BILLA
SAYANG! Ini tempat, dimana Rafli di wisuda. Kita tunggu dia disini ya,”
            “Ngga
ah, gue gak mau.”
            “Atas
dasar persahabatan, gue minta lo tetep disini ya.”
            “Oke
oke,” jawabku malas. 
Waw, banyak teman – teman dari Rafli lebih tampan, tapi
kenapa hatiku mencari yang namanya Rafli. Bodoh! Dia kan sahabatmu,
bagaimanapun juga. 
            “Billa!”
panggil Rafli dari jauh,
            “Kok lo
kesini sih? Emang udah beres acaranya?” tanyaku,
            “Belum
sih, gue cuman pengen nyamperin lo. Ngapain tampilannya begini? Tumben lo bisa
pake baju beginian?” ledek Rafli, refleks aku memukul tangannya,
            “Adawww!
Sakit bil, gitu doang marah. Maaf deh,” Rafli menggogaku,
            “Ekhm,
ada gue kali disini!” kata Linda,
            “Hahahaha,
sorry bolot! Gue baru liat ada lo, haha. Lo bareng sama dia? Oh, jadi biang
keroknya lo, LIN?” ujar Rafli mencubit tangan Linda,
            “Aww
sakit. Haha, ya gak apa – apa kan? Ada yang salah dari tingkah gue?” kata Linda
dengan suara meledek. Rafli yang terburu – buru masuk ke ruangan, memisahkan
aku dengan tatapannya yang kukira makin hangat. Akhirnya aku dan Linda menunggu
sampai Rafli keluar ruangan. 
Dilain tempat, Linda meninggalkan kita disebuah mall, dia
kembali untuk menjemput ibunya disuatu tempat. Tinggallah aku dan dia disana,
            “Bill?”
            “Hmm?” 
            “Gue mau
minta maaf,”
            “Kenapa?”
            “Gue mau
minta lebih dari lo, ini lebih dari sebatas teman. Entah kenapa, gue nemuin kenyamanan
sama lo. Maafin gue ya, gue suka sama lo,”
            “Loh?
Bukannya gue yang suka sama lo?” 
            “Loh? Lo
suka sama gue?” tanya dia heran,
            “Iya,
sejak lu pergi kesana, gue kangen. Bodoh ya gue?” ujarku,
            “Haha,
iya. Apalagi waktu marah – marahin gue, terus lu balik ke rumah. Itu sumpah,
pengen ngakak banget gue,” ujarnya menempelengkan kepalaku,
            “Hahah
iya,” jawabku lemas, malu dan tertunduk.
Akhirnya setelah menunggu sekian lama, dia duluan yang
menyatakan cintanya terlebih dahulu. Aku tak akan merasa digantung lagi
cintanya, sudah terpecahkan perasaanku padanya. Tak ada yang tersisa, semua
terungkap. Tak ada kata “Deny This Feeling” tapi ada kata “Deny to Delete This
Feeling”.
Salam, 
Toushiro Yagami 
(selaku tim ekspedisi dua dunia
>>dunia sadar dan tidak sadar<<)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar